Langit-langit kamar Ana menjadi pemandangan pertama yang ia lihat setelah bangun dari tidurnya. Ana mengucapkan syukur, saat merasakan kondisi tubuhnya yang sudah lebih baik. Ana mengedarkan pandangannya, dan terkejut saat melihat Cakra yang duduk di lantai dengan punggung yang bersandar pada sisi ranjang. Ana hanya bisa melihat satu sisi wajah Cakra, pria itu terlihat tengah dalam suasana hati yang buruk. Saat ini Ana mulai memutar otak, apa sebelumnya ia melakukan hal yang salah? Jika iya, mungkin Ana yang bertanggung jawab akan suasana hati Cakra ini. Ana mengedarkan matanya lebih jauh, dan terkejut saat melihat ponselnya telah hancur di dekat kaki Cakra. Ana bisa memastikan jika Cakra pasti telah mengetahui perihal pesan-pesan itu.
Fatih bertolak pinggang melihat tingkah adiknya yang sungguh kekanakan. Saat tahu Cakra datang menjemputnya dan berniat untuk mengantarnya ke kampus seperti biasanya, Ana malah menolak untuk ke luar menemuinya. Katakan, apa Fatih salah jika berpikir bahwa kini sikap Ana sangat kekanakan? Fatih mengembuskan napsanya lalu kembali mengetuk pintu kamar Ana dengan sabar. “Ana, kamu benar-benar tidak akan ke luar? Kamu akan terlambat jika tetap seperti ini.” Fatih tampak seperti bicara dengan pintu, ia sama sekali tidak mendapatkan sahutan apa pun dari sang pemilik kamar.Beberapa saat kemudian Ana berte
“Oma, Ana ingin pindah ke kampung saja.” Ana memeluk kedua lututnya, dan bersandar di dinding kamarnya.“Ada apa? Kenapa cucu cantik Oma menangis?” Suara wanita tua terdengar di ujung sambungan telepon.“Ana ingin pindah saja. Karen
“Akhirnya selesai!” Tasha bersorak gembira. Ana juga tak kalah senangnya dengan Tasha, karena mereka baru saja menyelesaikan ujian terakhir mereka.“Untuk merayakan kebebasan kita, bagaimana kalau kita nonton?” tanya Kekeu.“Kebetulan aku juga sedang ingin nonton,” jawab Tasha.
“Cucu Oma yang cantik ayo bangun,” ucap oma sembari menepuk-nepuk punggung Ana dengan lembut. Oma tersenyum karena Ana yang masih enggan bangun. Cucu bungsunya itu masih berada dalam posisi tengkurap dalam tidurnya. “Ana mau bercerita sesuatu pada Oma? Kenapa Ana terlihat sedih? Bukankah Ana seharusnya merasa senang karena sudah bertunangan dengan Cakra?”Oma tak mendapatkan jawaban apa pun dari cucunya yang masih keras kepala, mengubur wajahnya di bantal. Oma pada akhirnya kembali mengangguk. “Sepertinya cucu Oma, masih mau sendiri. Oma akan meninggalkan Ana sendirian, tapi Ana jangan terlalu lama seperti ini. Opa dan Kak Fa
Fatih menggeleng dan berdecak saat melihat Cakra dengan telaten mengompres Ana yang tengah demam tinggi. Pasangan ini memang selalu membuat dirinya sakit kepala tiap harinya. Lihat saja sekarang, Ana kembali jatuh sakit karena syok dan Fatih yakin ini tidak lepas dari Cakra. Kekasih adiknya itu memang memiliki jiwa jail dibalik topeng dingin yang ia gunakan. “Ana demam karena syok. Aku penasaran, apa yang telah kau lakukan sehingga menyebabkan adikku seperti ini?” tanya Fatih sembari bersandar di ambang pintu kamar Ana.Cakra mengusap pipi pucat Ana lalu menegakkan punggungnya kembali. Pria itu duduk di kursi yang berada di dekat ranjang, posi
Berhari-hari Ana mencoba untuk menelaah perasaannya sendiri. Apa yang sebenarnya ia rasakan, dan apa yang inginkan. Sayangnya hingga saat ini Ana belum merasa lebih tenang. Ia masih merasa bingung dengan semua perasaannya. Ana belum bisa menarik sebuah kesimpulan atas rasa sedih yang menggelayuti hatinya. Untuk membuat pikirannya teralihkan pada hal positif, Ana memutuskan untuk bekerja di sebuah coffee shop. Untungnya setelah Fatih tahu Ana dan Cakra telah putus, Fatih tidak pernah sekali pun mengungkitnya kembali. Akhir-akhir ini Fatih juga tengah sibuk dengan pekerjaannya.Terkadang saking sibuknya, Fatih bahkan sampai tidak pulang. Karena itu
Lidah Ana berubah kelu. Matanya menyorot tepat pada wajah pria berambut cokelat, yang kini telah berdiri tepat di samping meja. Helaan napas terdengar dari Sintya, wanita anggun tersebut kembali menyesap tehnya sebelum bertanya, “Ada sesuatu yang perlu dia jelaskan padamu, Ana. Sebelum itu, aku harus memastikan apa kaubenar-benar mengenalnya?”Dengan gerakan perlahan Ana mengangguk. Mata Ana masih menatap wajah pria yang merupakan putra dari Nindya itu. “Tentu saja. Sudah lama kita tidak bertemu. Sepertinya, kondisimu jauh dari kata baik-baik saja ya &
Ana menutup pintu rumah dengan wajah muram. Sudah berjam-jam Ana menunggu kedatangan seseorang yang selama ini telah terluka oleh prasangkanya. Ya, Ana tengah menunggu Cakra. Tadi siang, tanpa perlu diperintah Ana memutuskan untuk segera pergi dari kantor Cakra. Selain tidak mau mempermalukan diri sendiri karena tangisannya yang tidak bisa berhenti, Ana juga tidak mau jika nantinya Cakra sampai malu karena tingkahnya itu. Cakra sendiri tidak berusaha menghentikan tangisan tersebut atau pun menahan Ana lebih lama di kantor, yang ada Cakra malah memesan taksi online untuk Ana. Awalnya Ana pikir jika Cakra memang tidak mengharapkan kehadirannya sehingga mengusirnya dengan lembut dari sana, tapi ternyata prasangka Ana kembali salah. Ketika Ana sudah masuk ke dalam taksi Cakra berbisik