Lidah Ana berubah kelu. Matanya menyorot tepat pada wajah pria berambut cokelat, yang kini telah berdiri tepat di samping meja. Helaan napas terdengar dari Sintya, wanita anggun tersebut kembali menyesap tehnya sebelum bertanya, “Ada sesuatu yang perlu dia jelaskan padamu, Ana. Sebelum itu, aku harus memastikan apa kaubenar-benar mengenalnya?”
Dengan gerakan perlahan Ana mengangguk. Mata Ana masih menatap wajah pria yang merupakan putra dari Nindya itu. “Tentu saja. Sudah lama kita tidak bertemu. Sepertinya, kondisimu jauh dari kata baik-baik saja ya &
Ana menutup pintu rumah dengan wajah muram. Sudah berjam-jam Ana menunggu kedatangan seseorang yang selama ini telah terluka oleh prasangkanya. Ya, Ana tengah menunggu Cakra. Tadi siang, tanpa perlu diperintah Ana memutuskan untuk segera pergi dari kantor Cakra. Selain tidak mau mempermalukan diri sendiri karena tangisannya yang tidak bisa berhenti, Ana juga tidak mau jika nantinya Cakra sampai malu karena tingkahnya itu. Cakra sendiri tidak berusaha menghentikan tangisan tersebut atau pun menahan Ana lebih lama di kantor, yang ada Cakra malah memesan taksi online untuk Ana. Awalnya Ana pikir jika Cakra memang tidak mengharapkan kehadirannya sehingga mengusirnya dengan lembut dari sana, tapi ternyata prasangka Ana kembali salah. Ketika Ana sudah masuk ke dalam taksi Cakra berbisik
Entah sudah berapa kali Ana menghela napas. Ia menunduk dan melihat jari manisnya yang kini telah dihiasi cincin cantik bermata merah muda. Benar, Ana memutuskan kembali memulai hubungan dengan Cakra. Tentu saja, ini ke luar dari rencana awal Ana.Ingat, rencana awal Ana ingin meminta maaf pada Cakra, karena dirinya ingin memperbaiki kesalahan dimasa lalu. Sayangya, Cakra dengan mudah mengendalikan keadaan dan membuat Ana masuk ke dalam situasi yang sulit dijelaskan. Untuk kedua kalinya, Cakra melamarnya, akan tetapi lamaran yang terakhir terasa lebih intim. Ada ketulusan yang kental dari ucapan Cakra.
Cakra mendengkus ketika lagi-lagi Ana yang tengah terlelap menendang dirinya dan membuatnya terkapar begitu saja di atas lantai. Cakra bangkit lalu menatap Ana yang kini menguasai ranjang. Ia kemudian duduk di tepi ranjang dan mengusap kening Ana yang berkeringat. Malam ini Ana dan Cakra seharusnya menghabiskan malam pertama mereka sebagai suami istri, sayangnya ada banyak hal yang menjadi pertimbangan sehingga pada akhirnya mereka memutuskan untuk menundannya.Benar, malam ini pada akhirnya Ana dan Cakra hanya tidur bersama tanpa kegiatan lain. Cakra menatap Ana yang kini tengah mendengkur, istrinya ini tidur dengan sangat pulas. Meskipun acara akad tadi
“Akra, kamu di mana sih? Kita harus berangkat sekarang juga.” Ana menghentikan langkah kakinya. Ia sudah begitu lelah mengelilingi rumah luas milik Cakra, untuk mencari suaminya yang tiba-tiba menghilang saat dirinya bangun di pagi hari.Suasana hati Ana yang masih buruk karena perkataan Panji, semakin memburuk karena menghilangnya Cakra. Seharusnya Ana tadi malam menolak untuk langsung pulang ke rumah Cakra, karena jika di hotel Ana pasti tidak akan dipaksa bangun pagi hanya untuk mengejar jadwal penerbangan pagi.
“Akra bilang tidak, tetap tidak.”Ana mengerucutkan bibirnya, dan melempar bikini yang ia pegang. “Lalu kenapa Akra mengajak Bhu ke pantai? Mending kita tetap di tenda dan tidur seharian.”“Seharian kemarin kita sudah menghabiskan waktu di tenda itu, tapi setidaknya kita harus ke pantai jika datang ke Bali. Hanya saja, Akra tidak mengizinkan Bhu mengenakan bikini. Ini tempat umum!”
“Buang saja. Terlalu lama menyimpan sampah hanya akan menghasilkan bau busuk dan mengundang lalat yang mengganggu.”Ana mencoba untuk membuka kelopak matanya yang terasa melekat begitu erat. Begitu terbuka, tanpa bisa ditahan Ana segera mengerang merasakan pegal yang memeluk sekujur tubuhnya. Entah mengapa, Ana merasa jika tadi malam Cakra lebih menuntut dalam meminta haknya. Bahkan untuk menggerakkan jarinya saja Ana tidak sanggup, ini lebih parah daripada pengalaman pertamanya.
“Yah sayang sekali. Padahal aku bersusah payah untuk menyembuyikan semuanya. Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah ketahuan.”Mata Ana membulat. Perkataan Cakra barusan, sudah lebih dari cukup sebagai pengakuan dari Cakra. Ana menatap Cakra dengan tatapan tak percaya. Sebenarnya manakah Cakra yang asli? Dan siapakah yang sebenarnya menjadi suaminya? Meskipun begitu banyak pertanyaan yang bercokol dalam kepalanya, Ana tak bisa menyuarakan satu pun pertanyaannya.
“Menantu Ayah tidur?” bisik Bima dan terus mencoba mengintip wajah menantunya yang kini pulas dalam tidurnya.Kini Cakra memang tengah menggendong Ana yang tampak nyaman tidur menempel di punggung lebar Cakra. Keduanya baru saja tiba di kediaman Abinaya. Karena Cakra Ana pulang mendadak serta sampai di rumah ketika hampir tengah malam, jadi tidak banyak yang menyambut kepulangan mereka. Hanya ada Bima, Sintya serta Lili yang menyambut.Sintya mendesah. “Kenapa pulang
Ana masih dalam mode merajuk. Mungkin ini periode meajuk Ana yang paling lama karena berhasil bertahan hampir dua tiga minggu. Cakra bahkan sudah kehabisan cara untuk membujuk Ana. ketika meminta bantuan pada Bima, dan yang lainnya, Cakra harus menahan kesal karena jawaban mereka semua.Dengan kompak mereka semua berkata, “Maaf, kami tidak mau ikut campur dalam masalah rumah tangga kalian. Jadi, bujuk istrimu sendiri.”
Satu, dua, hingga tiga buah sayap ayam bumbu kecap disantap Ana dengan lahapnya. Lulu yang menemani hanya bisa tersenyum melihat nafsu makan ibu hamil satu ini. “Nyonya ingin tambah?”Ana menggeleng lalu meletakkan tulang, sebelum meminum es teh yang sudah tersedia. “Terima kasih, aku sudah kenyang. Tapi bisakah kamu menuangkan es tehnya lagi? Kenapa hari ini terasa sangat panas?” keluh Ana sembari menyeka keringat di keningnya.
Enam Bulan KemudianKediaman Abinaya tampak ramai dengan para tamu yang semuanya mengenakan pakaian adat jawa yang anggun. Tamu-tamu tersebut terdiri dari keluarga besar Abinaya, keluarga besar Ana, teman-teman Ana serta Cakra, dan beberapa keluarga rekan bisnis. Mereka semua hadir memenuhi undanga
Waktu berlalu, dan kini Ana sudah kembali pada kesehariannya sebagai mahasiswi di perguruan tinggi Majaraya. Dengan statusnya sebagai istri dari Cakradana Abinaya, tugas Ana saat ini bertambah menjadi dua kali lipat. Karena selain harus mengerjakan tugas kuliah, Ana juga harus mengerjakan tugas seorang istri. Memang terasa sangat melelahkan, tapi Ana tidak mau mengeluh. Ini tugasnya, dan Ana menikmatinya.Ana membereskan buku-bukunya saat kelas berakhir. Ditemani Tasha dan Kekeu, Ana melangkah menuju kantin. Tadi pagi Ana tidak sempat sarapan dan memilih untuk membawa sarapannya sebagai bekal makan siang. Jadi ketika tiba di kantin, bukannya memesan makan
“Menantu Ayah tidur?” bisik Bima dan terus mencoba mengintip wajah menantunya yang kini pulas dalam tidurnya.Kini Cakra memang tengah menggendong Ana yang tampak nyaman tidur menempel di punggung lebar Cakra. Keduanya baru saja tiba di kediaman Abinaya. Karena Cakra Ana pulang mendadak serta sampai di rumah ketika hampir tengah malam, jadi tidak banyak yang menyambut kepulangan mereka. Hanya ada Bima, Sintya serta Lili yang menyambut.Sintya mendesah. “Kenapa pulang
“Yah sayang sekali. Padahal aku bersusah payah untuk menyembuyikan semuanya. Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah ketahuan.”Mata Ana membulat. Perkataan Cakra barusan, sudah lebih dari cukup sebagai pengakuan dari Cakra. Ana menatap Cakra dengan tatapan tak percaya. Sebenarnya manakah Cakra yang asli? Dan siapakah yang sebenarnya menjadi suaminya? Meskipun begitu banyak pertanyaan yang bercokol dalam kepalanya, Ana tak bisa menyuarakan satu pun pertanyaannya.
“Buang saja. Terlalu lama menyimpan sampah hanya akan menghasilkan bau busuk dan mengundang lalat yang mengganggu.”Ana mencoba untuk membuka kelopak matanya yang terasa melekat begitu erat. Begitu terbuka, tanpa bisa ditahan Ana segera mengerang merasakan pegal yang memeluk sekujur tubuhnya. Entah mengapa, Ana merasa jika tadi malam Cakra lebih menuntut dalam meminta haknya. Bahkan untuk menggerakkan jarinya saja Ana tidak sanggup, ini lebih parah daripada pengalaman pertamanya.
“Akra bilang tidak, tetap tidak.”Ana mengerucutkan bibirnya, dan melempar bikini yang ia pegang. “Lalu kenapa Akra mengajak Bhu ke pantai? Mending kita tetap di tenda dan tidur seharian.”“Seharian kemarin kita sudah menghabiskan waktu di tenda itu, tapi setidaknya kita harus ke pantai jika datang ke Bali. Hanya saja, Akra tidak mengizinkan Bhu mengenakan bikini. Ini tempat umum!”
“Akra, kamu di mana sih? Kita harus berangkat sekarang juga.” Ana menghentikan langkah kakinya. Ia sudah begitu lelah mengelilingi rumah luas milik Cakra, untuk mencari suaminya yang tiba-tiba menghilang saat dirinya bangun di pagi hari.Suasana hati Ana yang masih buruk karena perkataan Panji, semakin memburuk karena menghilangnya Cakra. Seharusnya Ana tadi malam menolak untuk langsung pulang ke rumah Cakra, karena jika di hotel Ana pasti tidak akan dipaksa bangun pagi hanya untuk mengejar jadwal penerbangan pagi.