Ana tersenyum saat membaca pesan dari Panji. Pria itu adalah teman kecilnya. Dulu, Ana dan Panji bertetangga. Sayangnya mereka tidak lagi bisa bertemu, karena keluarga Panji harus pindah saat perusahaan ayah Panji mengalami masalah finansial. Jadi, setelah itu Ana dan Panji putus kontak. Ketika pertama kali bertemu setelah sekian lama, Panji dan Ana tak membutuhkan banyak waktu untuk saling mengenali. Ana kembali tersenyum saat membaca balasan chat Panji.
Ana tengah berada dalam suasana hati yang baik saat ini. Ia bahkan sampai lupa akan peringatan Cakra untuk terus mengiriminya pesan, dan melaporkan apa yang tengah ia lakukan. Cakra memang tak bisa menghubungi Ana, karena sibuk dengan skripsinya.
Ana juga melupakan pesan-pesan beruntun yang dikirim orang asing yang mengaku mengetahui semua hal tentang Cakra. Karena pesan itu tak lagi datang, Ana berpikir jika orang itu hanya bermain-main dengannya. Ana mengangkat bahunya tak acuh, dan memilih untuk membalas pesan Panji. Kini Ana berbaring nyaman di ranjang. Berniat kembali berbalas pesan dengan Panji, sebelum niatnya urung karena ada telepon masuk dari Cakra. Ana tampak sedikit terkejut, sebelum mengangkat telepon tersebut.
“Bhu, sedang apa?” tanya Cakra.
“Bhu mau tidur,” jawab Ana sembari menarik selimut.
“Ah~ benarkah?”
Ana merinding saat mendengar suara Cakra yang aneh. Entahlah Ana merasa jika Cakra mengetahui kebohongannya. Ayolah, Ana lebih tidak berani untuk jujur dan mengatakan jika dirinya tengah sibuk berkirim pesan dengan Panji. Karena Ana yakin jika Cakra tidak akan membiarkannya kembali menjalin komunikasi dengan Panji.
“I-iya. Akra sendiri sedang apa?” tanya Ana mencoba mengalihkan perhatian Cakra.
“Akra baru saja pulang setelah merampungkan revisi skripsi.”
Ana mengerutkan keningnya. “Kok sudah selesai?”
“Kenapa Bhu terdengar tidak senang?”
“Ka-kata siapa? Bhu senang kok.”
“Sepertinya Bhu memang tidak senang. Mungkin, karena sekarang Bhu harus kembali sering bertemu dengan Akra?”
Ana mengerucutkan bibirnya. Kenapa Cakra bisa menebak dengan tepat pikiran Ana? Apa Cakra memiliki ilmu hitam?
“Bhu?”
“Ah, iya?”
“Besok Bhu tidak ada kelas bukan?”
Ana mengangguk. “Iya, Bhu tidak ada kelas.”
“Kalau begitu, besok Akra jemput,” ucap Cakra.
Ana mengerutkan keningnya. Entah mengapa, Ana berpikir jika Cakra lagi-lagi akan membawanya untuk berkumpul dengan anak-anak klub futsal. “Kalau Akra mau berkumpul dengan ana-anak klub futsal, Ana tidak mau ikut.”
“Bhu, Akra sudah tidak lagi jadi anggota klub. Akra sebentar lagi akan sidang dan lulus, tidak ada waktu lagi menjadi kapten futsal.”
Ana tanpa sadar mengembangkan bibirnya membentuk sebuah senyum cantik. Jika Cakra sudah tak lagi bergabung dengan klub futsal, itu artinya Ely sudah tak lagi bisa mendekati Cakra. Entahlah, rasa tak suka Ana pada Ely masih tetap bertahan. Ana sendiri tak mengerti. Berkat kabar yang ia dengar barusan, mood Ana membaik seketika. “Oke, besok jemput Bhu!”
***
Ana ternganga, ia menatap Tasha dengan pandangan takjub. Cakra yang duduk di samping Ana hanya menggeleng, dan dengan lembut mengatupkan rahang pacarnya. Keterkejutan Ana memang wajar. Karena ternyata Adi si kaku bisa bersikap manja pada kekasihnya yang tak lain adalah Tasha, teman sekelas Ana. “Ini belum seberapa. Sebentar lagi, akan ada sesuatu yang lebih menakjubkan.”
Ana menoleh pada Cakra setelah mendengar penuturan pacarnya. Benar saja beberapa saat kemudian, Ana kembali dikejutkan oleh tingkah absurd Alfian yang menggoda Kekeu. Ana kembali menatap Cakra, dan pria itu hanya mengangkat bahunya. “Aku juga tidak tahu, sejak kapan mereka pacaran.”
“San, sisa kita berdua yang jomblo,” celoteh Hidayat.
“Maaf. Lo aja kali, gue enggak,” jawab Sani.
“Emang kamu nggak jomblo?” tanya Hidayat.
“Kagak. Daku mah bujangan yang masih nyaman menjadi single. Yes, I’m single lady. I’m single lady. O,o,o.” Sani malah menyanyi sembari menirukan Beyonce dengan lincah.
Cakra dan yang lainnya menggelengkan kepala mereka. lalu Alfian si bibir lemes dengan mudah berkomentar, “Bego sih, jadi jomblo.”
Kini bukan enam orang lagi yang berkumpul. Ditambah Tasha dan Kekeu, berarti total ada delapan orang. Lebih dari cukup, untuk membuat kafe yang menjadi tempat berkumpul Cakra dan kawan-kawannya riuh bukan main. Tidak akan ada yang berani menegur, karena pemilik kafe tersebut adalah Cakra dan teman-temannya sendiri. Ya, Cakra dan keempat temannya memang telah merintis bisnis sejak dini. Pertemuan mereka saat ini juga untuk membicarakan perihal pembukaan cabang kafe dan restoran yang mereka miliki. Di tengah pembicaraan seru mengenai bisnis serta diselingi candaan, Ana terlihat tak berniat memasuki pembicaraan dan asyik dengan ponselnya. Hal itu membuat Cakra sedikit kesal. “Bhu, jangan bermain ponsel terus!”
Mendengar peringatan dari Cakra, Ana segera meletakkan ponselnya di atas pangkuannya sendiri. Ia kemudian mencoba ikut dalam pembicaraan. Tasha dan Kekeu tampak santai, seperti mereka telah mengenal lama dengan teman-teman pacarnya. Ana merasa itu aneh. Karena dulu ketika Ana baru menjadi pacar Cakra dan dibawa untuk berkumpul dengan mereka semua, Ana merasa canggung. “Tadi asik sendiri, sekarang malah melamun,” bisik Cakra lalu mencubit pipi Ana dengan gemas.
Ana mengerang kesakitan, dan menyentuh tangan Cakra yang masih setia mencubit pipinya. “Akra ih, sakit!”
“Pipi Bhu seperti sudah siap meledak. Pantas, Bhu terasa berat jika Akra gendong.”
Ana menepis tangan Cakra, dan melotot padanya. “Wah, Bhu berat ya? Kenapa tidak sebut Bhu gendut saja sekalian! Lalu, memangnya siapa yang minta digendong? Nggak usah gendong-gendong, nggak butuh,” ucap Ana ketus dan membuang pandangannya. Adi dan yang lainnya memilih memakan camilan dengan santai. Menonton pertengkaran antara Cakra dan Ana memang menjadi salah satu rutinitas yang menyenangkan bagi mereka. Tasha dan Kekeu juga merasa gemas bukan main dengan tingkah Ana.
Ketika Ana merajuk dan sibuk memakan brownies yang nikmat, para lelaki juga sibuk dengan pembicaraan serius mereka. Tasha dan Kekeu sudah menghilang sejak tadi, karena keduanya memiliki acara. Tersisa Ana yang kini merasa kebosanan, ia ingin pulang. Berbalas pesan dengan Panji, tentu saja terasa lebih menyenangkan bagi Ana daripada berkumpul seperti ini. Atau setidaknya Ana ingin berbaring di ranjang nyamannya, dan tidur dengan puas. Ana menguap lebar. Ia melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya. Sudah jam sepuluh malam, ini sudah masuk jam tidur bagi Ana. Biasanya jika tidak ada tugas mendesak, Ana sangat anti dalam begadang. Ana memilih memejamkan mata, ia benar-benar tak bisa terjaga lagi.
“Jadi, cabang baru akan di buka di Bandung terlebih dahulu?” tanya Adi.
Cakra mengangguk. “Meskipun di luar kota, Bandung masih dalam jangkauan kita. Setiap akhir pekan atau akhir bulan, kita bisa mengecek kemajuan cabang kita.”
Semua orang mengangguk. Diskusi mereka terus berlanjut hingga jam sebelas malam. Saat itulah Cakra sadar jika Ana telah lama tertidur. Kini Ana bahkan telah bersandar nyaman di punggung Cakra. Alfian dan Sani kompak mencibir Cakra yang kini dengan sangat berhati-hati meraih Ana ke dalam pelukannya, bersiap untuk menggendong pacar keras kepalanya itu. “Aku pulang lebih dulu,” pamit Cakra lalu beranjak pergi. Adi dengan bijak mengikuti Cakra, karena ia tahu jika Cakra pasti kesulitan untuk membuka pintu mobil.
Cakra mengucapkan terima kasih, setelah Adi membantunya membukakan pintu kafe dan mobil. Adi hanya mengangguk lalu kembali masuk ke kafe, sedangkan Cakra langsung duduk di kursi pengemudi dan mencari selimut yang selalu tersedia di mobilnya. Cakra menyelimuti Ana, dan meraih ponsel Ana yang berbunyi. Cakra menyandarkan punggungnya dan mulai membaca pesan-pesan di ponsel Ana. Pesan terbaru yang baru masuk, adalah pesan yang dikirim oleh Panji. Awalnya wajah Cakra sangat datar. Beberapa saat kemudian, seringai terukir sempurna di wajah rupawannya. Pria itu melirik pada Ana yang tampak nyenyak. Tangan Cakra terangkat dan mengusap pipi Ana dengan lembut.
“Tidur yang nyenyak, Bhu. Persiapkan dirimu untuk esok hari.”
***
Ana membuka matanya saat dirinya mendengar suara kakaknya yang berteriak membangunkannya. Ana mengerang dan menarik selimut agar menutupi sekujur tubuhnya. Tapi beberapa saat kemudian, Ana merasakan selimut tersebut disibak dengan kasar.
“Bhu, bangun!”
Ana mengerang kesal dan bangkit untuk duduk. Dengan mata yang terpejam, Ana berkata, “Kakak, ini masih pagi. Bhu masih ngantuk. Lagian hari ini, Bhu ti—” Ana menghentikan ucapannya saat sadar ada sesuatu yang aneh.
Bhu? Kakaknya tidak pernah memanggilnya dengan nama itu. Terlebih, yang boleh memanggilnya seperti itu hanya ada satu orang. Ana membuka matanya dan terkejut melihat Cakra yang telah berada di kamarnya. Pria itu terlihat tampan dengan setelan santainya, dan melipat kedua tangannya di depan dada. Beberapa saat kemudian, Ana berusaha menyembunyikan wajah bantalnya. “Akra kenapa di sini? Ada Kak Fatih, ingat kata Kakak A—“
“Fatih yang mengizinkan Akra masuk, dan membangunkan putri tidur yang jago ngiler.”
Ana menurunkan tangannya dan memasang wajah masam. Ternyata, Cakra sudah melihat ukiran iler di wajahnya. “Kenapa ke sini, sih? Masih pagi juga, Bhu masih ngantuk,” ucap Ana sembari mencoba menghilangkan bekas iler yang masih menempel di pipinya.
Cakra menggeleng melihat tingkah Ana. Kadang, Cakra tidak percaya jika Ana adalah pacarnya. Lihat saja, Ana sama sekali tak terlihat memiliki keanggunan seorang wanita. Dari rambut yang mengembang bak singa, hingga cetakkan iler yang nyata di pipinya membuat tampilan Ana tampak sangat berantakan. Bagi Cakra, Ana tetap terlihat menggemaskan. “Ha, ini sudah jam sepuluh Bhu. Bukan waktunya untuk tetap tidur. Ayo cepat bangun dan mandi!”
“Memangnya kenapa harus cepat mandi? Bhu hari ini tidak ada kelas.”
Cakra melangkah dan mengusap rambut Ana agar lebih rapi. “Padahal, Akra mau mengajak Bhu untuk membeli pernak-pernik Lee Dong—”
“Oke, tunggu Bhu lima menit. Bhu bakal dandan cantik. Kita pergi oke! Akra tidak boleh bohong!” Ana memotong ucapan Cakra dan segera melompat dari ranjangnya, saat mendengar niat Cakra yang akan membelikan dirinya pernak-pernik yang berhubungan dengan Lee Dong Wook. Oh ini tidak boleh dilewatkan. Tidak pernah sekali pun Cakra memperbolehkan dirinya membeli atau melakukan sesuatu yang berkaitan dengan K-Pop atau K-Drama. Ini keajaiban!
Cakra hanya menggelengkan kepalanya lalu duduk dengan menyilangkan kakinya, sebelum berkata, “Tidak perlu berdandan terlalu cantik. Aku …,” tidak rela.
***
“Jangan yang itu, selera Bhu sungguh buruk.”
“Bhu serius ingin memlih itu?”
“Boleh Akra ujur? Itu buruk.”
“Memangnya itu untuk apa?”
“Ayolah Bhu, Akra tidak mungkin membuang uang untuk hal itu.”
Ana mengerucutkan bibirnya, dan pada akhirnya melangkah ke luar dari toko yang menjual pernak-pernik asli dari Korea dengan tangan kosong. Wajah Ana tampak benar-benar kesal. Langkah kakinya bahkan terhentak-hentak seakan-akan tengah mengekspresikan betapa dirinya tengah kesal. “Bhu,” panggil Cakra yang tertinggal di belakang punggung Ana. Cakra menahan senyumnya saat melihat kejengkelan Ana. Pada akhirnya Ana tidak membeli apa-apa. Ya bagaimana lagi, Cakra lebih rewel dari seorang ibu rumah tangga jika diajak untuk berbelanja.
“Bhu, kita makan siang dulu,” ucapan Cakra masih belum berhasil menarik perhatian Ana.
Cakra tak kehabisan akal. Ia kemudian menghentikan langkahnya sembari berkata, “Baik, sepertinya Akra harus makan sendiri. Padahal kemarin katanya Lee Dong Wook makan di sana.”
Cakra terkejut saat melihat Ana yang sudah berada di dekat dirinya. “Ayo makan, Bhu sudah lapar!”
Kini Ana yang malah menarik Cakra dengan semangat. Cakra tak menahan Ana tapi ia berkata, “Bhu, arahnya bukan ke sana.” Ana segera membalik arah, sesuai dengan petunjuk Cakra.
Pada akhirnya, keduanya tiba dan mengambil tempat di salah satu restoran di mall yang sama dengan toko yang tadi dikunjungi oleh Cakra dan Ana. Tidak perlu banyak waktu, pesanan keduanya datang. Jika Cakra memesan sayap bakar bumbu madu, maka Ana memesan mi kocok. Keduanya makan dengan tenang. Hingga Cakra mulai membuka pembicaraan. “Bhu, Akra punya pertanyaan.”
Ana yang masih sibuk mengunyah mi, mengangkat pandangannya. “Mau tanya apa?” tanya Ana, kemudian kembali menyuap satu gulungan besar mi ke dalam mulutnya. Mata Ana mengamati Cakra yang kini menyesap minumannya.
Cakra meletakkan gelasnya dan tersenyum sebelum bertanya, “Panji itu siapa?”
Ana tersedak hebat. Ana segera meraih gelasnya dan minum dengan cepat. Setelah batuknya reda, Ana dengan takut-takut menatap Cakra, yang kini menyangga dagunya dengan salah satu tangannya. Wah, gila. Apa Cakra benar-benar punya ilmu hitam? tanya Ana dalam hati. “A-Akra tau Panji dari mana?”
Cakra tidak menjawab. Ia masih memasang senyumnya yang tampak menawan, tapi begitu menakutkan bagi Ana. “Dari mana ya?” Cakra malah balik bertanya dengan suara yang terseret.
Ana segera merasa gugup. Pasti Cakra sempat melihat pesan dari Panji. Entah mengapa, kini dirinya merasa tengah berada dalam posisi seorang wanita yang tertangkap basah berselingkuh. Ana menghindari tatapan mata Cakra. Wajahnya yang mungil tampak menampilkan ekspresi cemas. “Pa-Panji itu, teman kecil Bhu. A-Akra jangan sala—” ucapan Ana terhenti saat ia merasakan Cakra yang menyentuh sudut bibirnya dan mengusapnya lembut.
“Benarkah?” tanya Cakra. Pria itu kembali menatap Ana, sebelum melarikan matanya pada seseorang yang baru saja memasuki restoran.
“Iya, Bhu tidak berbohong,” ucap Ana berusaha meyakinkan pacarnya.
“Bhu tidak memiliki perasaan lebih pada Panji, bukan?” tanya Cakra saat seseorang yang sejak tadi ia amati, mendekat ke meja yang ditempati olehnya dan Ana.
Ana dengan polos menggeleng. “Kalau Bhu punya perasaan lebih pada Panji, itu artinya Bhu selingkuh dong. Tapi Bhu tidak selingkuh.”
Cakra tersenyum. “Pintar. Karena Bhu sudah menjadi gadis baik, maka Bhu mendapat hadiah.”
Baru saja Ana akan menanyakan apa hadiah yang akan ia terima. Hadiahnya telah datang tanpa permisi. Ana membulatkan matanya, saat Cakra mencium bibirnya. Tubuh Ana menegang. Wajahnya yang biasanya menjadi pucat pasi ketika mendapatkan ciuman bibir dari Cakra, kini tak bisa menahan diri untuk memerah. Ana malu, tapi dadanya berdetak dengan gilanya. Sepertinya otak Ana juga telah sama gilanya. Di tengah adegan romantis itu, suara seseorang yang Ana kenali bak sebuah petir di siang hari.
“Ana?”
Itu suara Panji. Kenapa Panji bisa ada di sini? Ana berusaha melepaskan ciuman Cakra, dan menjauhkan diri dari pacarnya itu. Tapi wajah Ana segera ditangkup lembut oleh Cakra. Pria itu kemudian berbisik, “Sampai kapan pun, Bhu tidak diizinkan untuk memalingkan wajah dari Akra. Kenapa? Karena Bhu pacarnya Akra.”
Dengan kepala tertunduk dalam, Ana duduk di tepi ranjang. Ia sudah sangat lelah sepulang dari restoran di mana dirinya tanpa sengaja bertemu dengan Panji. Sikap Cakra yang sejak awal aneh, semakin aneh saat Panji bergabung makan siang dengan mereka. Pada akhirnya makan siang itu menjadi sangat canggung saat Cakra dan Panji bertukar beberapa kata perkenalan dengan saling menatap tajam. Ana juga tahu, jika kedatangan Panji bukan kebetulan. Cakra ternyata melihat pesan-pesan yang dikirim oleh Panji, dan mengatur pertemuan tersebut tanpa sepengetahuan Ana.
Sudah tujuh hari Ana bebas dari cengkraman Cakra yang membuatnya sesak tiap hari. Seminggu ini, Ana memang tak pernah bertemu dengan Cakra. Begitupula dengan Cakra, pria itu juga tidak pernah mengirim pesan atau berusaha untuk menemui Ana. Di kampus pun, Ana tidak pernah melihat keberadaan Cakra atau teman-temannya. Tasha dan Kekeu juga tidak membicarakan masalah Cakra atau kekasih mereka saat bersama dengan Ana. Karena itu, desas-desus mengenai putusnya Ana dengan Cakra tersebar luas. Sampai sekarang belum ada yang berani menanyakan kebenaran kabar itu pada Ana. Ana sendiri tidak mau repot-repot mengonfirmasi masalah ini pada semua orang lain. Sudah cukup selama ini Ana menjadi pusat perhatian saat menjadi kekasih Cakra. Ana in
“Apa yang Ibu bilang? Dia memang ceroboh, Yah! Lihat, sekarang putra kita bahkan celaka karena ulahnya! Ayah tau bukan, dia juga ada di lokasi kecelakaan itu. Ibu sudah bisa membaca jalan ceritanya.” Ana menunduk dalam saat mendengar suara tajam Sintya. Wanita berdarah biru itu memang selalu terlihat anggun dan cantik disetiap langkahnya, tetapi kata-katanya selalu bisa menembus hati Ana dan meninggalkan luka menganga.“Ibu, sudah! Jangan menyalahkan Ana!” seru Bima karena menyadari tingkah Sint
Fatih menggeleng saat melihat penampilan kacau Ana. Wajahnya pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Jelas terlihat bahwa Ana kelelahan dan kurang tidur. Fatih tahu, jika Ana disibukkan dengan tugas kuliah serta merawat Cakra yang masih berada di rumah sakit. Meskipun semua itu adalah kewajiban Ana, Fatih tak tega juga melihat kondisi adiknya ini. “Istirahat saja dulu. Nanti kita ke rumah sakit bersama,” ucap Fatih saat melihat Ana meniti tangga sepulang kuliah. Ana menoleh dan mengangguk.“Bangunkan Ana setengah jam sebelum berangkat ya, Kak,” pinta Ana.
Ana hanya bisa menghela napas kesal, ia baru saja mengganti nomor ponselnya karena sudah tidak tahan dengan gangguan nomor asing yang mengaku mengetahui segala hal tentang Cakra. Tadi pagi, Ana tentu saja mengirim pesan pada semua kontak jika dirinya telah ganti nomor. Semua orang membalas dan mengatakan akan menyimpan nomor baru Ana, tetapi tidak dengan Cakra. Pria itu bahkan tidak membaca pesan Ana! Apa sekarang Cakra sudah melupakan keberadaan Ana? Kalau begitu syukurlah, pikir Ana. Itu artinya, Ana tidak perlu lagi berhubungan dengan manusia menyebalkan itu. Meskipun berpikir seperti itu, mood Ana semakin memburuk dari hari ke hari, karena ternyata Cakra tetap tak membalas pesannya.
Langit-langit kamar Ana menjadi pemandangan pertama yang ia lihat setelah bangun dari tidurnya. Ana mengucapkan syukur, saat merasakan kondisi tubuhnya yang sudah lebih baik. Ana mengedarkan pandangannya, dan terkejut saat melihat Cakra yang duduk di lantai dengan punggung yang bersandar pada sisi ranjang. Ana hanya bisa melihat satu sisi wajah Cakra, pria itu terlihat tengah dalam suasana hati yang buruk. Saat ini Ana mulai memutar otak, apa sebelumnya ia melakukan hal yang salah? Jika iya, mungkin Ana yang bertanggung jawab akan suasana hati Cakra ini. Ana mengedarkan matanya lebih jauh, dan terkejut saat melihat ponselnya telah hancur di dekat kaki Cakra. Ana bisa memastikan jika Cakra pasti telah mengetahui perihal pesan-pesan itu.
Fatih bertolak pinggang melihat tingkah adiknya yang sungguh kekanakan. Saat tahu Cakra datang menjemputnya dan berniat untuk mengantarnya ke kampus seperti biasanya, Ana malah menolak untuk ke luar menemuinya. Katakan, apa Fatih salah jika berpikir bahwa kini sikap Ana sangat kekanakan? Fatih mengembuskan napsanya lalu kembali mengetuk pintu kamar Ana dengan sabar. “Ana, kamu benar-benar tidak akan ke luar? Kamu akan terlambat jika tetap seperti ini.” Fatih tampak seperti bicara dengan pintu, ia sama sekali tidak mendapatkan sahutan apa pun dari sang pemilik kamar.Beberapa saat kemudian Ana berte
“Oma, Ana ingin pindah ke kampung saja.” Ana memeluk kedua lututnya, dan bersandar di dinding kamarnya.“Ada apa? Kenapa cucu cantik Oma menangis?” Suara wanita tua terdengar di ujung sambungan telepon.“Ana ingin pindah saja. Karen