Pagi menjelang, Ana terbangun di kamar bernuansa abu-abu gelap. Ia dengan jelas bisa mencium aroma Cakra yang membuat paru-parunya menari-nari senang. Baik, abaikan pikiran konyol Ana barusan! Sepertinya Cakra membawa Ana ke kamar pribadinya. Untunglah, karena Ana memang tidak mau tidur dengan Ely. Tenang saja, Ana juga tidak tidur dengan Cakra. Ana yakin, karena dirinya tidur tepat di tengah ranjang dan tak menemukan jejak-jejak yang menunjukkan bahwa Cakra juga tidur di ranjang tersebut. Pasti Cakra tidur di kamar kecil yang terhubung dengan kamar Cakra ini. Ana bangun dari posisinya bertepatan dengan Cakra yang ke luar dari kamar mandi. Pria itu tampaknya baru saja mandi, rambutnya saja masih terlihat basah.
“Cepat mandi,” ucap Cakra.
“Semua baju Bhu masih ada di kamar, Bhu mandi di sana saja.”
Cakra mengangguk, membiarkan Ana untuk kembali ke kamarnya dan membersihkan diri. Setelah Ana pergi, Cakra memutuskan untuk ke ruang makan. Teman-temannya sudah berkumpul di sana, bahkan ada yang telah memulai sarapan mereka dengan segelas susu maupun segelas kopi juga beberapa keping biskuit. Cakra menjawab sapaan adik tingkatnya dan mendekat pada teman-temannya. Ia tersenyum tipis saat mendengar celotehan tak bermutu Alfian, Sani dan Hidayat. Cakra sendiri tak yakin kenapa dirinya bisa bertahan berteman dengan mereka, padahal jika dipikirkan hanya Adi yang waras.
Ely datang dengan segelas kopi di tangannya, ia kemudian menawarkannya pada Cakra, “Kakak suka kopi luak, ‘kan?”
“Tidak, Akra tidak suka kopi luak. Akra lebih suka susu banana.” Sebuah suar ketus yang sangat Cakra kenali menyalip jawaban yang belum sempat ia keluarkan. Cakra melihat Ana muncul dengan jin biru langit dan sebuah jaket yang menenggelamkan tubuh mungilnya. Wajar, karena jaket itu adalah milik Cakra.
“Akra lebih suka susu banana, ‘kan?” tanya Ana dengan mata melotot pada Cakra, seakan menekankan agar Cakra membenarkan apa yang ia katakan.
Cakra hanya mengangguk. “Maaf, aku tidak bisa meminum kopi buatanmu.”
Ely berusaha tersenyum, walaupun wajahnya tampak tak bisa berbohong jika dirinya merasa kesal. Alfian yang melihat itu segera berkata, “Daripada mubajir, sini kopinya.” Alfian merebut gelas kopi dan menyesapnya.
Kini Ana dan Cakra memasuki dapur yang sepi. Ana menghangatkan susu banana untuk Cakra. Padahal Cakra sendiri tidak terlalu suka dengan susu. Hanya saja, Cakra tertarik untuk mengikuti permainan Ana tadi. Ternyata ketika Ana cemburu, kecemburuannya bertahan cukup lama. Itu menjadi hiburan sendiri untuk Cakra. “Karena Bhu, Akra jadi berbohong.” Cakra melingkaran tangannya di pundak Ana, dan menumpukan dagunya di puncak kepala Ana.
“Kenapa jadi menyalahkan Bhu?”
“Karena itu memang salah Bhu. Jadi, Bhu harus bayar denda.”
Ana menoleh dan membuat Cakra menunduk agar bisa menatap wajah manis Ana. “Bayar?”
Cakra mengangguk. “Iya, seperti ini.” Lalu Cakra mengecup singkat bibir Ana. Tentu saja Ana terkejut dengan tingkah Cakra. Apalagi ini kedua kalinya Cakra menciumnya.
Ana mengerucutkan bibirnya, merasa marah pada Cakra. Ia berniat berontak dari pelukan Cakra, tapi pacarnya lebih dulu berbisik, “Bhu, mau tambah?”
Sontak Ana menjerit, “Tidak!”
***
Godaan Cakra masih terngiang di benak Ana saat ini. Ia berusaha untuk menghindari Cakra, tapi Cakra selalu berusaha menempel setiap saat dengannya. Seperti saat ini, semua orang memainkan sebuah mini games. Entah kebetulan atau disengaja, Cakra satu tim dengan Ana. Untungnya Alfian segera mengocok ulang pembagian kelompok, yang tentunya didukung oleh Ana. Rasa malu masih dirasakan oleh Ana, sehingga dirinya tidak mau terlalu dekat dengan Cakra terlebih dahulu. Sayangnya, beberapa saat kemudian Ana menyesal telah mendukung Alfian. Karena pada akhirnya ia harus satu tim dengan Ely. Wajah Ana terlihat masam saat dirinya harus bekerja sama dengan Ely untuk menyelesaikan misi yang telah dibagikan. Sepanjang games, Ana sama sekali tak menikmati waktunya. Hingga selesai, mood Ana tidak juga membaik. Ketika waktunya makan siang, Ana memilih untuk pergi ke taman belakang. Ia kemudian berjongkok dan menatap bunga-bunga yang tumbuh di sana.
“Ana.”
Ana menoleh dan melihat Adi yang muncul dari sudut taman. “Kak Adi kenapa muncul dari sana?”
“Biasa,” jawab Adi sembari mengangkat bahunya. Ana bisa mencium sedikit aroma tembakau dari Adi, ah sepertinya Adi barusan telah merokok. Apa Adi tengah memiliki masalah? Karena Ana sendiri jarang sekali mendapati Adi merokok.
“Kenapa di sini, apa kamu tidak makan siang?”
“Tidak lapar, Kak.”
“Lalu bagaimana dengan games tadi? Apa menyenangkan?”
Ana mengerutkan keningnya tak suka, lalu menjelaskan dengan menggebu bagaimana perasaannya saat ini. Tingkah Ana yang seperti seorang adik yang mengadu pada kakaknya, membuat Adi tak bisa menahan diri untuk mengusap puncak kepala Ana. Keduanya tampak begitu akrab, dan terlibat dalam pembicaraan seru. Saking serunya, mereka bahkan tak menyadari ada dua orang yang mendekat.
“Bhu.”
Ana menoleh dan melihat Cakra yang berdiri berdampingan dengan Ely. Jika Ana menatap kesal pada kehadiran Ely, maka Cakra menatap tajam pada Adi karena tangan temannya itu masih bertengger di kepala Ana. “Bhu, ayo ikut Akra. Adi memiliki beberapa hal yang harus dibicarakan dengan Ely.”
Ana mengangguk, sedangkan Ely tampak memasang ekspresi aneh karena mendengar ucapan Cakra yang tiba-tiba. Tadi Ely mengkuti Cakra karena hanya ingin mengikutinya. Tentu saja Ely merasa aneh ketika Cakra tiba-tiba mengatakan bahwa Adi memiliki sesuatu yang ingin ia bicarakan. Adi sendiri sudah bisa menebak apa yang akan Cakra lakukan. Pada akhirnya Ely ditinggal bersama Adi. Ana masih mengekori Cakra yang kini memasuki ruang baca. Di vila ini, ruang baca adalah salah satu tempat favorit Ana. Karena di sini sangat nyaman dengan suhunya yang selalu hangat, serta buku-buku yang selalu tersedia siap untuk dibaca oleh Ana. Sayang Ana tidak bisa menenggelamkan dirinya dengan buku-buku tersebut, karena Cakra tampaknya memiliki sesuatu yang ingin dibicarakan dengan dirinya.
Setelah menunggu lama, Cakra sama sekali tak membuka suara dan memilih untuk mencari buku di rak buku. Ana mengerucutkan bibirnya. Ia memilih untuk melangkah menuju karpet dekat dinding kaca yang menampilan pemandangan kebun teh yang menghampar dengan hijaunya. Belum juga Ana sampai dan duduk dengan tenang. Ia lebih dulu melihat benda asing yang tampak terbang menuju ke arahnya disusul oleh bunyi pecahan kaca yang memekakan telinga. Ana menjerit dan berjongkok melindungi kepalanya dari pecahan kaca yang berterbangan. Cakra yang awalnya masih sibuk dengan bukunya, segera berbalik saat mendengar suara benda pecah.
Ia dikejutkan dengan pecahan dinding kaca yang berserakan di atas karpet serta bantal. Yang paling mencuri perhatiannya adalah, Ana yang masih berjongkok dengan posisi tangan yang melindungi kepalanya. Cakra segera mendekat dan meraih Ana ke dalam pelukannya. Ia bisa merasakan tubuh Ana yang bergetar hebat. “Tenang Bhu, Akra di sini,” bisik Cakra sembari mengusap punggung Ana dengan lembut. Ia kemudian menelisik latai dan melihat sebuah batu berukuran kepalan tangan pria dewasa di sudut karpet. Batu tersebut dibungkus oleh kertas dengan tulisan bertinta merah.
Beberapa saat kemudian, orang-orang bermunculan dan masuk ke dalam ruang baca. Mereka semua terkejut dengan kondisi ruangan yang kacau karena pecahan kaca yang berserakan. Cakra memberi isyarat, dan keempat teman Cakra dengan sigap memerintah semua orang untuk ke luar dari ruangan tersebut. “A-Akra … Bhu mau pulang,” ucap Ana di sela tangisannya.
Cakra mengangguk dan mengeratkan pelukannya pada tubuh Ana. Ia kemudian mencium puncak kepala Ana, sebelum menjawab, “Iya, kita pulang.”
***
Karena adanya kejadian yang tidak terduga, liburan klub futsal harus selesai lebih cepat daripada rencana awal. Kini Ana sudah nyaman di kamarnya. Untung saja, Ana tidak mendapatkan luka apa pun karena kejadian pelemparan batu itu. Sampai saat ini, Cakra belum memberitahukan siapa pelaku dari kejadian yang bisa membahayakan nyawa orang lain itu. Ana mengira, jika Cakra dan keempat temannya mungkin masih belum menemukannya. Ana tak mau memikirkan hal itu lagi, ia memilih bersiap untuk berangkat kuliah. Ia mengecek ponselnya dan mengerutkan kening saat menemukan pesan yang dikirim nomor asing. Ini aneh, apalagi setelah Ana melihat isi pesannya.
by: +6280456289343
08.10
Hai Tribhuana Halwatuzahra
Isi pesan tersebut memang hanya menyebut nama lengkap Ana. Tampak biasa saja, tapi bagi Ana ini sangat aneh. Ana tak mau memikirkannya lagi dan memilih untuk segera turun dari kamarnya, karena Cakra telah menunggu dirinya. Seperti biasanya, Cakra dan Ana berangkat bersama. Tiba di kelas, Ana mendengar kabar jika Raihan yang sempat mengaku tangannya dipatahkan oleh Cakra menghilang tanpa kabar. Sontak saja, Ana mulai berpikir aneh-aneh lagi. Tapi karena ponselnya terus berbunyi seharian karena mendapat pesan dari nomor asing, pikiran Ana segera teralihkan. Isi pesannya masih mengenai sapaan dan nama lengkap Ana yang ditulis rapi. Tanpa sadar fokus Ana tertuju pada hal itu dan melupakan kabar mengenai menghilangnya Raihan.
Ana memutuskan untuk memblokir nomor itu saat menunggu Cakra selesai bertemu dengan dosen pembimbingnya. Beberapa saat kemudian Cakra muncul dan menggandeng Ana untuk menuju parkiran. “Besok ada kegiatan apa?”
“Ada seminar di kampus lain. Memangnya kenapa?”
“Besok Akra harus kembali menemui dosen pembimbing. Apa Bhu bisa pergi sendiri?”
Ana mengangguk. “Bhu bisa berangkat dengan rombongan.”
Cakra tersenyum, ia senang Ana yang seperti ini. Penurut dan manis. Cakra kemudian mengantarkan Ana pulang. Sebelum itu, Cakra membawa Ana untuk makan di tempat kesukaan Ana. Bukan di mall, atau restoran mahal. Melainkan di pinggir jalan, surganya jajanan kaki lima. Tiba di sana, Ana khilaf dan melupakan peringatan dokter. Ia memesan enam porsi makanan yang berbeda jenisnya. Untungnya Cakra dengan tegas, melarang Ana untuk menambah pesanan. Malam itu, Cakra tampak lebih terlihat seperti mengasuh daripada tengah berkencan dengan Ana. Namun, baik Cakra maupun Ana sama-sama menikmati waktu mereka. Terlebih Cakra, karena ke depannya ia akan disibukkaan dengan skripsi dan pasti akan sulit meluangkan waktu dengan Ana.
***
Ana sibuk mencatat banyak hal selama seminar. Wajahnya yang manis tampak menggemaskan ketika tengah serius. Kepala Ana terasa pusing karena banyaknya orang yang mengikuti seminar kali ini. Wajar, karena pembicara dalam seminar sangat berpengaruh. Tidak heran jika peserta seminar datang dari berbagai kampus. Seminar selesai, Ana dan rombongan memutuskan untuk makan siang bersama terlebih dahulu sebelum pulang. Ana menyempatkan diri untuk mengirim pesan pada Cakra, bahwa seminar sudah selesai. Saat Ana akan menyimpan ponselnya kembali, sebuah pesan kebetulan masuk. Pesan dari nomor asing.
by: +6281254328765
13.10
Hai lagi, Tribhuana Halwatuzahra
Kenapa tidak membalas pesanku?
Dan kenapa, nomorku diblokir?
Ana melotot. Kenapa orang ini kembali mengiriminya pesan? Kenapa pula begitu gigih, sampai-sampai mengganti nomor demi mengirim pesan pada Ana? Ana berniat kembali memblokir nomor itu, sayangnya sebuah pesan lebih dulu datang.
by: +6281254328765
13.12
Jika aku menjadi dirimu, aku tidak akan lagi memblokir nomor ini.
Kenapa?
Karena aku bisa memberitahumu, SEMUA tentang Cakra.
13.12
SEMUANYA, Ana.
Tanpa sadar Ana meremas ponselnya. Ia baru saja akan menanggapi pesan itu, sebelum sebuah suara lembut memanggil namanya.
“Ana?”
Ana menoleh dan membulatkan matanya, melihat siapa yang barusan memanggilnya. Ternyata seorang pria tampan yang tingginya Ana perkirakan sama dengan tinggi Cakra. Pria itu menatap Ana dengan tatapan kerinduan, dan sebuah senyum lembut terpasang indah di wajahnya. Pria itu tampak familier di mata Ana. Setelah menelisik beberapa saat, sedetik kemudian Ana berseru dengan senyum cantik yang mengembang sempurna. “Panji!”
Pria itu mengangguk dan tertawa melihat tingkah Ana. “Ana masih seperti dulu, ya?”
Ana tersenyum saat membaca pesan dari Panji. Pria itu adalah teman kecilnya. Dulu, Ana dan Panji bertetangga. Sayangnya mereka tidak lagi bisa bertemu, karena keluarga Panji harus pindah saat perusahaan ayah Panji mengalami masalah finansial. Jadi, setelah itu Ana dan Panji putus kontak. Ketika pertama kali bertemu setelah sekian lama, Panji dan Ana tak membutuhkan banyak waktu untuk saling mengenali. Ana kembali tersenyum saat membaca balasan chat Panji.Ana tengah berada dalam suasana hati yang baik saat ini. Ia bahkan sampai lupa akan peringatan C
Dengan kepala tertunduk dalam, Ana duduk di tepi ranjang. Ia sudah sangat lelah sepulang dari restoran di mana dirinya tanpa sengaja bertemu dengan Panji. Sikap Cakra yang sejak awal aneh, semakin aneh saat Panji bergabung makan siang dengan mereka. Pada akhirnya makan siang itu menjadi sangat canggung saat Cakra dan Panji bertukar beberapa kata perkenalan dengan saling menatap tajam. Ana juga tahu, jika kedatangan Panji bukan kebetulan. Cakra ternyata melihat pesan-pesan yang dikirim oleh Panji, dan mengatur pertemuan tersebut tanpa sepengetahuan Ana.
Sudah tujuh hari Ana bebas dari cengkraman Cakra yang membuatnya sesak tiap hari. Seminggu ini, Ana memang tak pernah bertemu dengan Cakra. Begitupula dengan Cakra, pria itu juga tidak pernah mengirim pesan atau berusaha untuk menemui Ana. Di kampus pun, Ana tidak pernah melihat keberadaan Cakra atau teman-temannya. Tasha dan Kekeu juga tidak membicarakan masalah Cakra atau kekasih mereka saat bersama dengan Ana. Karena itu, desas-desus mengenai putusnya Ana dengan Cakra tersebar luas. Sampai sekarang belum ada yang berani menanyakan kebenaran kabar itu pada Ana. Ana sendiri tidak mau repot-repot mengonfirmasi masalah ini pada semua orang lain. Sudah cukup selama ini Ana menjadi pusat perhatian saat menjadi kekasih Cakra. Ana in
“Apa yang Ibu bilang? Dia memang ceroboh, Yah! Lihat, sekarang putra kita bahkan celaka karena ulahnya! Ayah tau bukan, dia juga ada di lokasi kecelakaan itu. Ibu sudah bisa membaca jalan ceritanya.” Ana menunduk dalam saat mendengar suara tajam Sintya. Wanita berdarah biru itu memang selalu terlihat anggun dan cantik disetiap langkahnya, tetapi kata-katanya selalu bisa menembus hati Ana dan meninggalkan luka menganga.“Ibu, sudah! Jangan menyalahkan Ana!” seru Bima karena menyadari tingkah Sint
Fatih menggeleng saat melihat penampilan kacau Ana. Wajahnya pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Jelas terlihat bahwa Ana kelelahan dan kurang tidur. Fatih tahu, jika Ana disibukkan dengan tugas kuliah serta merawat Cakra yang masih berada di rumah sakit. Meskipun semua itu adalah kewajiban Ana, Fatih tak tega juga melihat kondisi adiknya ini. “Istirahat saja dulu. Nanti kita ke rumah sakit bersama,” ucap Fatih saat melihat Ana meniti tangga sepulang kuliah. Ana menoleh dan mengangguk.“Bangunkan Ana setengah jam sebelum berangkat ya, Kak,” pinta Ana.
Ana hanya bisa menghela napas kesal, ia baru saja mengganti nomor ponselnya karena sudah tidak tahan dengan gangguan nomor asing yang mengaku mengetahui segala hal tentang Cakra. Tadi pagi, Ana tentu saja mengirim pesan pada semua kontak jika dirinya telah ganti nomor. Semua orang membalas dan mengatakan akan menyimpan nomor baru Ana, tetapi tidak dengan Cakra. Pria itu bahkan tidak membaca pesan Ana! Apa sekarang Cakra sudah melupakan keberadaan Ana? Kalau begitu syukurlah, pikir Ana. Itu artinya, Ana tidak perlu lagi berhubungan dengan manusia menyebalkan itu. Meskipun berpikir seperti itu, mood Ana semakin memburuk dari hari ke hari, karena ternyata Cakra tetap tak membalas pesannya.
Langit-langit kamar Ana menjadi pemandangan pertama yang ia lihat setelah bangun dari tidurnya. Ana mengucapkan syukur, saat merasakan kondisi tubuhnya yang sudah lebih baik. Ana mengedarkan pandangannya, dan terkejut saat melihat Cakra yang duduk di lantai dengan punggung yang bersandar pada sisi ranjang. Ana hanya bisa melihat satu sisi wajah Cakra, pria itu terlihat tengah dalam suasana hati yang buruk. Saat ini Ana mulai memutar otak, apa sebelumnya ia melakukan hal yang salah? Jika iya, mungkin Ana yang bertanggung jawab akan suasana hati Cakra ini. Ana mengedarkan matanya lebih jauh, dan terkejut saat melihat ponselnya telah hancur di dekat kaki Cakra. Ana bisa memastikan jika Cakra pasti telah mengetahui perihal pesan-pesan itu.
Fatih bertolak pinggang melihat tingkah adiknya yang sungguh kekanakan. Saat tahu Cakra datang menjemputnya dan berniat untuk mengantarnya ke kampus seperti biasanya, Ana malah menolak untuk ke luar menemuinya. Katakan, apa Fatih salah jika berpikir bahwa kini sikap Ana sangat kekanakan? Fatih mengembuskan napsanya lalu kembali mengetuk pintu kamar Ana dengan sabar. “Ana, kamu benar-benar tidak akan ke luar? Kamu akan terlambat jika tetap seperti ini.” Fatih tampak seperti bicara dengan pintu, ia sama sekali tidak mendapatkan sahutan apa pun dari sang pemilik kamar.Beberapa saat kemudian Ana berte