Dengan kepala tertunduk dalam, Ana duduk di tepi ranjang. Ia sudah sangat lelah sepulang dari restoran di mana dirinya tanpa sengaja bertemu dengan Panji. Sikap Cakra yang sejak awal aneh, semakin aneh saat Panji bergabung makan siang dengan mereka. Pada akhirnya makan siang itu menjadi sangat canggung saat Cakra dan Panji bertukar beberapa kata perkenalan dengan saling menatap tajam. Ana juga tahu, jika kedatangan Panji bukan kebetulan. Cakra ternyata melihat pesan-pesan yang dikirim oleh Panji, dan mengatur pertemuan tersebut tanpa sepengetahuan Ana.
Intinya, Ana ingin sekali cepat tidur. Hanya saja begitu tiba di rumah, Ana malah mendapatkan ceramah panjang dari Fatih. Ternyata kakaknya itu, tahu masalah di mana dirinya sempat bertukar pesan dengan Panji. “Ana, kamu tidak mendengar apa kata Kakak?”
“Ana dengar. Jangan berteriak seperti itu,” ucap Ana kesal. Apa Fatih tidak tahu jika kini dirinya tengah sangat lelah? Bahkan sejak tadi siang, Ana belum sempat makan lagi. Perutnya kini terdengar berdemo ingin diisi.
“Lalu apa yang kamu lakukan? Kamu bertukar pesan dengan pria lain, sedangkan kamu tidak mengatakan apa-apa pada pacarmu. Apa kamu tidak berpikir? Kejadian ini mungkin saja membuat Cakra tersinggung, dan berpikir jika kamu tengah selingkuh darinya!”
“Kakak lihat sendiri bukan, meskipun Ana tidak mengatakannya pun Cakra tetap akan mengetahuinya. Kakak juga pada akhirnya akan tahu. Lagi pula, tingkahku ini tidak seberapa. Aku tidak selingkuh. Cakra bahkan pernah melakukan hal yang lebih parah, dia berciuman dengan wanita lain.”
Fatih mengembuskan napasnya. “Kakak tahu masalah itu juga. Setelah membawamu ke rumah sakit, Cakra menjelaskan bahwa kau telah salah paham. Ketika Cakra membantunya saat terjatuh, wanita itu yang malah mencium Cakra. Jadi, jelas Cakra tak bersalah dalam hal itu. Jangan melihat suatu hal dari satu sisi, Ana!”
Ana meremas seprai. “Apa Kakak tahu? Sampai saat ini, Cakra tidak pernah menjelaskan apa pun mengenai kejadian itu pada Ana. Untuk beberapa alasan, Ana mencoba untuk mengerti akan kebungkaman Cakra. Tapi Ana tak habis pikir, kenapa dia malah menjelaskan secara rinci pada Kakak? Memangnya yang menjadi pacarnya siapa? Dia lebih terlihat seperti pacar Kakak daripada Ana. Dia memilih menjelaskan semua itu pada Kakak, dan membuatku tenggelam dalam kemarahan karena ketidaktahuanku.”
Fatih mengedipkan matanya bingung, saat Ana lebih fokus pada hal lain. Sepertinya barusan Fatih salah bicara. Fatih tak lagi bisa bicara, karena Ana lebih dahulu mendorongnya untuk ke luar dari kamar. Fatih memilih kembali ke kamarnya sendiri, karena dirinya juga butuh istirahat. Fatih tahu jika Ana membutuhkan waktu untuk sendiri karena Ana pasti tengah merasa kesal karena tak lagi bisa bertemu dengan teman semasa kecilnya.
Ana kini berbaring tengkurap di ranjangnya. Rasa marah dan kesal yang ia rasakan pada Cakra muncul kembali. Kejadian di mana Cakra yang berciuman dengan Ely terbayang di kepalanya. Siapa pun pasti akan salah paham jika melihat kejadian itu. Lalu kenapa Cakra tak pernah menjelaskan apa pun padanya? Kenapa selalu harus Ana yang menurut dan menjelaskan? Ana terisak. Ia kesal, sangat kesal. Ana merasa kesal pada dirinya yang tidak bisa melakukan apa pun. Karena itu, Cakra dengan leluasa mengatur hidupnya dan melakukan apa pun sesukanya. Hal yang paling membuat Ana merasa kesal, apa yang tadi Cakra katakan pada Panji. Cakra mengatakan untuk tidak lagi menghubungi atau menemui Ana.
Ana ingin menepis perkataan Cakra itu, tetapi otak dan bibir Ana tidak singkron. Sampai akhir, Ana tampak seperti patung di sana. Sekarang, Ana hanya bisa menangis. Ayolah, siapa yang tidak sedih jika harus kembali dipisahkan dengan teman lama? Di tengah kesedihan Ana itu, ia mendengar dering ponselnya. Tanda jika ada pesan masuk. Ana tak beranjak. Ia mengira jika itu adalah pesan-pesan yang dikirimkan oleh Cakra. Untuk sekarang, Ana sama sekali tak mau berhubungan dengan Cakra. Ana jelas masih marah dengan semua tingkah sesuka hati Cakra.
Tanpa sadar, Ana yang menangis jatuh tertidur karena merasa terlalu lelah. Tidurnya tak terasa nyenyak karena mimpi buruk yang terus mengganggunya, memaksa dirinya untuk terjaga saat dini hari. Ana mengusap wajahnya kasar, dan meraih ponselnya untuk mengecek jam. Ana tidak tertarik membuka pesan yang dikirim Cakra, ia memilih untuk membuka pesan dari Panji.
Panji
20.19
Ana, sepertinya pacarmu tidak suka kalau kita saling mengirim pesan atau jalan bersama. Jadi, aku harap Ana kembali bisa menjaga diri seperti dulu. Maaf, aku tidak bisa berbalas pesan sesering sebelumnya.
Ana meremas ponselnya. Jelas, ia merasa sedih. Jika saling mengirim pesan saja sulit, apalagi bertemu? Padahal baru saja Ana bertemu dengan Panji setelah sekian lama. Kenapa pula Panji begitu menuruti perkataan Cakra? Ini sangat menyedihkan sekaligus menjengkelkan. Tapi fokus Ana teralihkan pada puluhan pesan yang dikirim oleh nomor asing, yang padahal beberapa hari ini sudah berhenti mengiriminya pesan.
by: +6281254328765
20.20
Ana pasti sedih
20.22
Jangan terlalu sedih
20.23
Inikan bukan kali pertama, kamu diperlakukan seperti ini oleh Cakra
20.25
Ah pasti karena ini berkaitan dengan Panji, jadi Ana lebih merasa sedih.
20.26
Dulu, teman-teman lelakimu juga mendapatkan perlakuan yang sama.
Ana tidak memiliki teman lelaki sejak menjadi pacar Cakra bukan?
20.27
Dan sepertinya, sekarang Panji juga sudah dipastikan akan dijauhkan oleh Cakra.
20.28
Sayang sekali
Pasti Ana sangat sedih.
Apa Ana ingin kuhibur?
Mungkin dengan mengetahui rahasia dari Cakra?
Ana merasakan tangannya bergetar. Ia merasa takut. Bayangkan saja, orang asing yang kemarin sempat mengaku tahu segala hal mengenai Cakra, tiba-tiba kembali mengiriminya pesan. Padahal Ana sudah pernah memblokir nomornya. Ana tidak mau masalahnya bertambah banyak. Meskipun dirinya merasa penasaran siapa dan apa yang diketahui oleh pengirim pesan ini, tetapi semua itu tertutupi oleh rasa takutnya. Pada akhirnya, Ana kembali memblokir nomor tersebut. Seelah meletakkan ponselnya, ia memilih untuk memejamkan matanya kembali. Sayangnya, sampai matahari terbit Ana sama sekali tak bisa tidur. Itu membuat kepalanya menjadi pening bukan main. Tentu saja, itu yang Ana dapatkan ketika kekurangan jam tidur.
Ana segera bangun dan mandi air dingin untuk mengusir rasa kantuk. Selesai, Ana memilih untuk berangkat kuliah lebih pagi. Karena jika berangkat seperti biasanya, Ana pasti bertemu dengan Cakra yang datang menjemputnya. Untuk saat ini, Ana ingin menghindari Cakra. Begitu turun dari kamarnya, Ana tak menemukan Fatih sama sekali. Sepertinya, kakaknya itu telah kembali ke rumah sakit untuk menjalankan tugas. Karena perutnya yang meronta tak terkendali, Ana memutuskan untuk mengambil beberapa lembar roti tawar yang dilumuri susu kental manis. Begitu Ana masuk ke dapur, ia terkejut saat melihat Cakra yang berdiri di hadapan pintu kulkas yang terbuka. Pria itu tetap memesona seperti biasanya. Mood Ana semakin memburuk saat melihat pesona Cakra itu.
Cakra menoleh saat merasakan kehadiran Ana. “Pagi, Bhu,” sapa Cakra seolah dirinya tak melakukan kesalahan apa pun.
Itu benar-benar membuat Ana marah. Apa semalam perkataannya tak didengar oleh Cakra? Padahal saat Cakra mengantar Ana pulang, Ana sudah mengatakan untuk menjaga jarak lebih dulu. Karena Ana sedang merasa marah dengan tingkah Cakra. Lalu sekarang? Cakra dengan leluasa masuk ke dalam rumahnya dan bersikap seolah dirinya tak memiliki kesalahan apa pun. Kedepannya, Ana harus memastikan Fatih untuk tak sembarangan memberikan kunci rumah pada orang asing.
“Kenapa di sini?”
Cakra mengangkat alisnya saat mendengar pertanyaan Ana. Tapi Cakra tak menjawab dan malah membawa sekotak susu rasa pisang dari lemari pendingin. Ana tak mau melihat Cakra yang kini berubah bak artis iklan susu kemasan, ia berbalik dan berniat berangkat kuliah sendiri. Ana tak peduli jika harus meninggalkan Cakra di rumahnya.
“Bhu masih marah?” tanya Cakra saat Ana sudah berbalik memunggunginya.
Ana menipiskan bibirnya dan berbalik untuk meluapkan semua kegundahannya. “Akra masih bertanya seperti itu? Apa Bhu tidak terlihat seperti orang yang sedang marah?”
“Tidak. Daripada terlihat marah, Bhu lebih terlihat menggemaskan.”
Ana menganga. Rupanya Cakra benar-benar menganggapnya sebagai lelucon. “Apa Akra menganggap Bhu sebagai lelucon?”
Pertanyaan Ana hanya mengudara tanpa mendapatkan sebuah balasan. Pada akhirnya Ana kembali bertanya dengan suara yang hampir meninggi, “Sebenarnya hubungan kita ini apa?!”
“Bukankah sudah jelas? Kita pacaran—”
“Tidak, bukan kita. Tapi hanya Akra yang merasa bahwa kita masih terhubung oleh status itu. Bhu sama sekali tidak pernah merasa jika Bhu adalah pacar Akra. Kenapa? Karena Akra selalu bersikap seenaknya. Akra mengambil keputusan tanpa bertanya pada Bhu, padahal itu berkaitan dengan hidup Bhu sendiri. Akra juga tidak pernah menjelaskan apa pun. Contohnya saja kejadian ciuman di labirin. Sampai sekarang, Akra belum menjelaskannya pada Bhu, ‘kan? Akra malah menjelaskan kronologinya pada Kak Fatih. Lalu sekarang, Akra melarang Panji untuk menemui bahkan menghubungi Bhu. Jadi, Bhu ini apa? Apa Bhu ini tawanan?”
Cakra mendengarkan dengan tenang. Ia tak jadi menyesap susu rasa pisang yang sempat ia tuang, ia kini memilih menatap Ana tepat pada matanya. “Awalnya bukan, tapi sekarang iya. Aku menawanmu. Kau tawanan yang tidak akan pernah kulepas. Aku akan menjelaskan, disaat aku memang perlu menjelaskan. Kejadian di labirin itu sudah selesai. Jadi, aku tidak perlu menjelaskannya lagi.”
Ana terkekeh miris, mendengar ucapan Cakra. “Baik, kita anggap masalah itu memang telah benar-benar selesai. Tapi bagaimana dengan masalah Panji? Kenapa Akra memintanya menjauhi Bhu? Apa Akra tau, Panji mengatakan bahwa kami tidak akan bisa seperti semula lagi. Padahal kami baru bertemu setelah sekian lama.”
Kini tinggal Cakra yang tertawa. “Kalian hanya bertemu dan bersama ketika masih kecil. Hubungan kalian tak sehebat itu. Jadi jangan melebih-lebihkan, Bhu.”
Ana menggeleng. “Di sini bukan Bhu yang melebih-lebihkan, tapi Akra. Akra yang selalu melebih-lebihkan!”
Napas Ana memburu saat tangisnya tak lagi tertahan. Ana harus mengatakan semuanya hari ini. “Sudah sejak lama, aku bertanya-tanya. Apa hatiku memang menginginkan status ini? Apa aku bahagia dengan hubungan ini? Tapi hati kecilku berbisik, jika aku bahkan tidak mengenal kekasihku sendiri dengan jelas. Jadi, bagaimana aku bisa merasa bahagia? Semua ini terlalu membingungkan dan melelahkan bagiku. Jadi, mari kita break saja.”
Cakra terdiam. “Baik. Aku berikan waktu untukmu sendiri, tapi ini untuk sementara. Karena ingat Bhu, tidak akan ada kata putus sebelum aku menyetujuinya.”
Cakra kemudian melangkah dan menghentikan kakinya saat berada dua langkah di hadapan Ana. Tak ada ekspresi berarti di wajah Cakra. “Aku bukan orang yang sabar, jika kukatakan untuk menjauh darinya maka menjauhlah. Aku tidak mau milikku diincar oleh orang lain. Jangan melawan kata-kataku, atau kau bisa bayangkan apa yang akan kulakukan nantinya.”
Setelah itu, Cakra melangkah melewati Ana. Meninggalkan gadis mungil yang kini menekan bibirnya kuat, menahan luapan emosi yang siap meledak kapan saja. Kenapa Cakra selalu memberikan ancaman? Apa Cakra benar-benar menganggapnya sebagai seorang tawanan? Keputusan Ana untuk meminta break dari Cakra adalah sesuatu yang tepat. Ana harus mencari jalan ke luar dari semua masalah ini.
Sudah tujuh hari Ana bebas dari cengkraman Cakra yang membuatnya sesak tiap hari. Seminggu ini, Ana memang tak pernah bertemu dengan Cakra. Begitupula dengan Cakra, pria itu juga tidak pernah mengirim pesan atau berusaha untuk menemui Ana. Di kampus pun, Ana tidak pernah melihat keberadaan Cakra atau teman-temannya. Tasha dan Kekeu juga tidak membicarakan masalah Cakra atau kekasih mereka saat bersama dengan Ana. Karena itu, desas-desus mengenai putusnya Ana dengan Cakra tersebar luas. Sampai sekarang belum ada yang berani menanyakan kebenaran kabar itu pada Ana. Ana sendiri tidak mau repot-repot mengonfirmasi masalah ini pada semua orang lain. Sudah cukup selama ini Ana menjadi pusat perhatian saat menjadi kekasih Cakra. Ana in
“Apa yang Ibu bilang? Dia memang ceroboh, Yah! Lihat, sekarang putra kita bahkan celaka karena ulahnya! Ayah tau bukan, dia juga ada di lokasi kecelakaan itu. Ibu sudah bisa membaca jalan ceritanya.” Ana menunduk dalam saat mendengar suara tajam Sintya. Wanita berdarah biru itu memang selalu terlihat anggun dan cantik disetiap langkahnya, tetapi kata-katanya selalu bisa menembus hati Ana dan meninggalkan luka menganga.“Ibu, sudah! Jangan menyalahkan Ana!” seru Bima karena menyadari tingkah Sint
Fatih menggeleng saat melihat penampilan kacau Ana. Wajahnya pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Jelas terlihat bahwa Ana kelelahan dan kurang tidur. Fatih tahu, jika Ana disibukkan dengan tugas kuliah serta merawat Cakra yang masih berada di rumah sakit. Meskipun semua itu adalah kewajiban Ana, Fatih tak tega juga melihat kondisi adiknya ini. “Istirahat saja dulu. Nanti kita ke rumah sakit bersama,” ucap Fatih saat melihat Ana meniti tangga sepulang kuliah. Ana menoleh dan mengangguk.“Bangunkan Ana setengah jam sebelum berangkat ya, Kak,” pinta Ana.
Ana hanya bisa menghela napas kesal, ia baru saja mengganti nomor ponselnya karena sudah tidak tahan dengan gangguan nomor asing yang mengaku mengetahui segala hal tentang Cakra. Tadi pagi, Ana tentu saja mengirim pesan pada semua kontak jika dirinya telah ganti nomor. Semua orang membalas dan mengatakan akan menyimpan nomor baru Ana, tetapi tidak dengan Cakra. Pria itu bahkan tidak membaca pesan Ana! Apa sekarang Cakra sudah melupakan keberadaan Ana? Kalau begitu syukurlah, pikir Ana. Itu artinya, Ana tidak perlu lagi berhubungan dengan manusia menyebalkan itu. Meskipun berpikir seperti itu, mood Ana semakin memburuk dari hari ke hari, karena ternyata Cakra tetap tak membalas pesannya.
Langit-langit kamar Ana menjadi pemandangan pertama yang ia lihat setelah bangun dari tidurnya. Ana mengucapkan syukur, saat merasakan kondisi tubuhnya yang sudah lebih baik. Ana mengedarkan pandangannya, dan terkejut saat melihat Cakra yang duduk di lantai dengan punggung yang bersandar pada sisi ranjang. Ana hanya bisa melihat satu sisi wajah Cakra, pria itu terlihat tengah dalam suasana hati yang buruk. Saat ini Ana mulai memutar otak, apa sebelumnya ia melakukan hal yang salah? Jika iya, mungkin Ana yang bertanggung jawab akan suasana hati Cakra ini. Ana mengedarkan matanya lebih jauh, dan terkejut saat melihat ponselnya telah hancur di dekat kaki Cakra. Ana bisa memastikan jika Cakra pasti telah mengetahui perihal pesan-pesan itu.
Fatih bertolak pinggang melihat tingkah adiknya yang sungguh kekanakan. Saat tahu Cakra datang menjemputnya dan berniat untuk mengantarnya ke kampus seperti biasanya, Ana malah menolak untuk ke luar menemuinya. Katakan, apa Fatih salah jika berpikir bahwa kini sikap Ana sangat kekanakan? Fatih mengembuskan napsanya lalu kembali mengetuk pintu kamar Ana dengan sabar. “Ana, kamu benar-benar tidak akan ke luar? Kamu akan terlambat jika tetap seperti ini.” Fatih tampak seperti bicara dengan pintu, ia sama sekali tidak mendapatkan sahutan apa pun dari sang pemilik kamar.Beberapa saat kemudian Ana berte
“Oma, Ana ingin pindah ke kampung saja.” Ana memeluk kedua lututnya, dan bersandar di dinding kamarnya.“Ada apa? Kenapa cucu cantik Oma menangis?” Suara wanita tua terdengar di ujung sambungan telepon.“Ana ingin pindah saja. Karen
“Akhirnya selesai!” Tasha bersorak gembira. Ana juga tak kalah senangnya dengan Tasha, karena mereka baru saja menyelesaikan ujian terakhir mereka.“Untuk merayakan kebebasan kita, bagaimana kalau kita nonton?” tanya Kekeu.“Kebetulan aku juga sedang ingin nonton,” jawab Tasha.
Ana masih dalam mode merajuk. Mungkin ini periode meajuk Ana yang paling lama karena berhasil bertahan hampir dua tiga minggu. Cakra bahkan sudah kehabisan cara untuk membujuk Ana. ketika meminta bantuan pada Bima, dan yang lainnya, Cakra harus menahan kesal karena jawaban mereka semua.Dengan kompak mereka semua berkata, “Maaf, kami tidak mau ikut campur dalam masalah rumah tangga kalian. Jadi, bujuk istrimu sendiri.”
Satu, dua, hingga tiga buah sayap ayam bumbu kecap disantap Ana dengan lahapnya. Lulu yang menemani hanya bisa tersenyum melihat nafsu makan ibu hamil satu ini. “Nyonya ingin tambah?”Ana menggeleng lalu meletakkan tulang, sebelum meminum es teh yang sudah tersedia. “Terima kasih, aku sudah kenyang. Tapi bisakah kamu menuangkan es tehnya lagi? Kenapa hari ini terasa sangat panas?” keluh Ana sembari menyeka keringat di keningnya.
Enam Bulan KemudianKediaman Abinaya tampak ramai dengan para tamu yang semuanya mengenakan pakaian adat jawa yang anggun. Tamu-tamu tersebut terdiri dari keluarga besar Abinaya, keluarga besar Ana, teman-teman Ana serta Cakra, dan beberapa keluarga rekan bisnis. Mereka semua hadir memenuhi undanga
Waktu berlalu, dan kini Ana sudah kembali pada kesehariannya sebagai mahasiswi di perguruan tinggi Majaraya. Dengan statusnya sebagai istri dari Cakradana Abinaya, tugas Ana saat ini bertambah menjadi dua kali lipat. Karena selain harus mengerjakan tugas kuliah, Ana juga harus mengerjakan tugas seorang istri. Memang terasa sangat melelahkan, tapi Ana tidak mau mengeluh. Ini tugasnya, dan Ana menikmatinya.Ana membereskan buku-bukunya saat kelas berakhir. Ditemani Tasha dan Kekeu, Ana melangkah menuju kantin. Tadi pagi Ana tidak sempat sarapan dan memilih untuk membawa sarapannya sebagai bekal makan siang. Jadi ketika tiba di kantin, bukannya memesan makan
“Menantu Ayah tidur?” bisik Bima dan terus mencoba mengintip wajah menantunya yang kini pulas dalam tidurnya.Kini Cakra memang tengah menggendong Ana yang tampak nyaman tidur menempel di punggung lebar Cakra. Keduanya baru saja tiba di kediaman Abinaya. Karena Cakra Ana pulang mendadak serta sampai di rumah ketika hampir tengah malam, jadi tidak banyak yang menyambut kepulangan mereka. Hanya ada Bima, Sintya serta Lili yang menyambut.Sintya mendesah. “Kenapa pulang
“Yah sayang sekali. Padahal aku bersusah payah untuk menyembuyikan semuanya. Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah ketahuan.”Mata Ana membulat. Perkataan Cakra barusan, sudah lebih dari cukup sebagai pengakuan dari Cakra. Ana menatap Cakra dengan tatapan tak percaya. Sebenarnya manakah Cakra yang asli? Dan siapakah yang sebenarnya menjadi suaminya? Meskipun begitu banyak pertanyaan yang bercokol dalam kepalanya, Ana tak bisa menyuarakan satu pun pertanyaannya.
“Buang saja. Terlalu lama menyimpan sampah hanya akan menghasilkan bau busuk dan mengundang lalat yang mengganggu.”Ana mencoba untuk membuka kelopak matanya yang terasa melekat begitu erat. Begitu terbuka, tanpa bisa ditahan Ana segera mengerang merasakan pegal yang memeluk sekujur tubuhnya. Entah mengapa, Ana merasa jika tadi malam Cakra lebih menuntut dalam meminta haknya. Bahkan untuk menggerakkan jarinya saja Ana tidak sanggup, ini lebih parah daripada pengalaman pertamanya.
“Akra bilang tidak, tetap tidak.”Ana mengerucutkan bibirnya, dan melempar bikini yang ia pegang. “Lalu kenapa Akra mengajak Bhu ke pantai? Mending kita tetap di tenda dan tidur seharian.”“Seharian kemarin kita sudah menghabiskan waktu di tenda itu, tapi setidaknya kita harus ke pantai jika datang ke Bali. Hanya saja, Akra tidak mengizinkan Bhu mengenakan bikini. Ini tempat umum!”
“Akra, kamu di mana sih? Kita harus berangkat sekarang juga.” Ana menghentikan langkah kakinya. Ia sudah begitu lelah mengelilingi rumah luas milik Cakra, untuk mencari suaminya yang tiba-tiba menghilang saat dirinya bangun di pagi hari.Suasana hati Ana yang masih buruk karena perkataan Panji, semakin memburuk karena menghilangnya Cakra. Seharusnya Ana tadi malam menolak untuk langsung pulang ke rumah Cakra, karena jika di hotel Ana pasti tidak akan dipaksa bangun pagi hanya untuk mengejar jadwal penerbangan pagi.