“Rumah sakit?” gumam Ana dalam hati saat sadar dari tidur panjangnya. Ana melirik jarum infus yang menancap di tangan kanannya. Ia benci jarum suntik, ia benci infus. Ia benci apa pun yang berkaitan dengan rumah sakit, kecuali kakaknya tentunya. Hal ini bukan tanpa alasan. Dulu, saat Ana masih duduk di bangku sekolah dasar, Ana harus dirawat di rumah sakit selama beberapa bulan karena penyakit tifus. Karena itu, Ana tidak suka dengan rumah sakit. Itu juga yang menjadi alasan Fatih untuk menjadi seorang dokter. Ia tak mau lagi melihat adiknya terbaring sakit. Sayangnya, kali ini Fatih kecolongan. Adiknya kembali jatuh sakit karena dirinya yang kurang memperhatikan.
Fatih yang semula tidur dalam posisi duduk segera bangun dan mendekati Ana yang telah sadar. “Apa masih pusing?” tanya Fatih.
Ana menggeleng. “Sudah tidak. Kenapa Ana dibawa ke rumah sakit? Padahal Ana tidak apa-apa, hanya sedikit pusing dan demam.”
Fatih memijat pelipisnya. “Tekanan darahmu melebihi batas normal. Ditambah dengan gejala tifus yang kambuh, kondisimu jauh dari kata baik-baik saja, Ana.”
Ana mengerutkan keningnya. Sejak kapan dirinya memiliki penyakit darah tinggi? Oh Tuhan, ia masih muda dan telah memiliki riwayat penyakit itu? Mulai saat ini, Ana harus lebih memperhatikan pola hidupnya. Lengah sedikit saja, Ana pasti akan dalam kondisi bahaya. “Untung saja Cakra membawamu ke sini tepat waktu,” lanjut Fatih.
Ana menegang. Fatih melepaskan jarum infus, karena Ana sudah tidak memerlukannya lagi. Kondisi Ana memang telah membaik, karena Fatih sengaja memberikan infus nutrisi dan obat tidur yang memaksa Ana beristirahat selama sehari semalam. Ana sendiri terdiam kaku saat kilasan ingatan mulai berdatangan mengisi benaknya. Seketika rasa sesak kembali menghantam dadanya. Ia benci Cakra! Benci! “Ana sudah putus dengannya. Jangan sebut nama dia lagi, karena Ana membencinya,” ucap Ana ketus.
Fatih hanya melirik sekilas lalu berkomentar, “Kakak tahu, Cakra sendiri yang mengatakannya. Kamu meminta putus padanya karena kesalahpahaman, bukan? Sebentar lagi Cakra datang, kalian harus membincarakannya. Ana, jangan membuat dirimu sendiri menyesal karena melepaskan pria seperti Cakra.”
Ana menggeleng. “Dia brengsek! Ana benci dia! Ana tidak mau bertemu Cakra!” pekik Ana dengan suara serak. Napasnya memburu karena luapan amarah yang meletup-letup. Ia sungguh marah, karena Fatih menganggap Cakra adalah pria sempurna yang tidak patut untuk disia-siakan olehnya.
“Ana—”
“Bhu,” suara khas Cakra memotong ucapan Fatih. Pria itu baru saja masuk ke ruang rawat Ana. Ia membawa keranjang buah berisi melon dan kelengkeng—buah kesukaan Ana—lalu melangkah mendekat pada ranjang rawat.
Ana bangkit lalu melempar bantal pada Cakra. “Pergi! Aku tidak mau melihatmu lagi!” jerit Ana. Bayangan Cakra yang tengah berciuman dengan Ely memenuhi kepala Ana, membuat gadis berambut tebal itu semakin meradang karenanya. Amukan Ana semakin menjadi, untung saja Fatih telah melepas jarum infusnya sehingga Ana tidak terluka.
“Aku akan memberikan waktu untuk kalian,” ucap Fatih lalu melangkah pergi dan menutup pintu dengan rapat. Ruang rawat itu menjadi hening. Ana yang masih menolak kehadiran Cakra, segera berbaring dan memunggungi pria tampan itu. Cakra sendiri hanya mengehela napas dan duduk di kursi dekat ranjang, untuk mulai mengupas melon serta kelengkeng kesukaan Ana.
Ana sendiri mencoba tidur kembali. Sayangnya Ana terlampau jengah, apalagi saat Cakra dengan lembut menyentuh tangannya dan berkata, “Bhu, makan dulu melonnya.”
Ana sontak berbalik dan menepis garpu yang diberikan Cakra. “Jangan memanggilku seperti itu!”
“Kenapa Bhu semarah ini? Apa Akra melakukan kesalahan?” tanya Cakra dengan suara lembut, ia bahkan memanggil dirinya sendiri dengan nama Akra. Hal yang semakin sering terjadi akhir-akhir ini, terasa aneh karena Cakra sebelumnya sangat jarang bertingkah seperti itu, tapi Ana tak menyadarinya dan fokus pada hal lain. Tepatnya fokus pada pertanyaan Cakra yang sukses memantik sumbu amarah Ana.
“Ya! Kau mematahkan tangan orang lain, dan tak merasa bersalah sama sekali! Kau bertindak seakan-akan semua ini adalah hal yang wajar! Yang paling parah, kau—kau—” teriakan Ana tersendat. Tanpa sadar air mata Ana menetes begitu saja, saat dirinya mengingat ciuman Cakra dan Ely. Perasaan sesak dan amarah yang menggumpal dalam dadanya seakan-akan siap meledakkan Ana kapan saja. Ana memeluk lututnya dan menenggelamkan wajahnya sendiri di sana. Ana sendiri tidak tahu, mengapa dirinya bisa seperti ini. Mengapa Ana bisa sekecewa dan semarah ini? Ana sendiri bingung, karena ini kali pertama Ana merasakan hal aneh semacam ini.
Cakra yang melihat Ana bergetar hebat dalam tangisnya, tak bisa menahan diri lagi. Pria itu naik ke atas ranjang, lalu merengkuh tubuh mungil Ana. Rambut hitam Ana yang lebat dan bergelombang, tampak mengembang seperti rambut singa jantan. Cakra mengelusnya lembut sembari berbisik, “Bhu marah karena Ely menempelkan bibirnya pada bibir Akra?”
Ana berontak dan berusaha melepaskan diri dari kungkungan Cakra. Dalam hati Ana memaki Cakra saat pria itu menyebutkan ciuman sebagai kegiatan menempelkan bibir. Tidak salah memang, tetapi Ana semakin marah karena kesal mendengar perkataan Cakra. Mungkin karena Cakra berbicara seolah-olah hal itu adalah kejadian sepele. Cakra sama sekali tak mengendurkan pelukannya. Ana mendongak dan melotot pada Cakra. “Lepas!” Ana sudah tak lagi menangis, hanya saja jejak-jejak air mata masih tampak jelas di kedua pipinya yang bulat.
“Tidak mau. Bhu sangat empuk untuk dipeluk.”
“Lepas! Peluk saja wanita itu, aku bukan siapa-siapamu lagi. Kita sudah pu—” Ana menghentikan perkataannya saat Cakra mengecup bibirnya singkat.
“Sial—” umpatan Ana kembali terpotong saat Cakra kembali mengecup bibirnya.
Ana berontak dan mengelap bibirnya yang barusan dicium Cakra. “Jangan mencium bibirku! Menjijikan!”
Cakra tersenyum tipis saat melihat Ana yang sibuk berontak dan memuntahkan berbagai macam kata kebencian padanya dan Ely. Cakra kemudian mencium kening Ana dan berkata, “Ah, Bhu cemburu?”
“Aku tidak cemburu! Kau bukan siapa-siapaku lagi!”
“Akra masih pacarnya Bhu.”
“Tidak!” tolak Ana.
“Iya.” Cakra tidak mau kalah.
“Tidak!” pekik Ana.
“Oke, tidak.” Tiba-tiba Cakra mengalah.
“Iya!” Ana mengedipkan matanya saat merasa mengatakan sesuatu yang salah. Apalagi melihat Cakra yang kini menyunggingkan senyum kemenangan. Sial, Ana masuk jebakan.
“Keputusan terakhir, kita masih pacaran,” putus Cakra, setelah berhasil menjebak Ana.
“Tidak mau, tidak mau! Aku tidak mau!”
Cakra berbaring dan membawa Ana untuk terbaring di atas tubuhnya. “Bhu, jangan keras kepala. Kita masih pacaran, titik. Sekarang, mari tidur. Akra sangat lelah.” Cakra kemudian memejamkan matanya, dengan tangan yang masih memeluk Ana yang berada di atas tubuhnya. Ana sendiri tidak mau kalah. Ia benci Cakra. Benci karena Cakra tidak terlihat bersalah, padahal sudah jelas jika dirinya melakukan banyak kesalahan. Hal yang paling Ana benci adalah, fakta bahwa Cakra tidak berusaha menjelaskan, apalagi meminta maaf padanya.
“Bhu, jangan terlalu marah. Akra masih milik Bhu,” ucap Cakra dengan mata yang terpejam.
Ana menjerit kesal, “Mati saja sana!” Lalu menggigit dada Cakra dengan kuat.
***
Ana menepis tangan Cakra yang merangkul bahunya dengan lembut. Tiga hari dirawat di rumah sakit lebih dari cukup untuk membuatnya kembali sehat. Karena Fatih yang masih bertugas di instalasi gawat darurat, Ana harus diantar Cakra saat pulang. Sepanjang jalan, Ana terus menekuk wajahnya kesal dan memilih menatap pemandangan melalui jendela. Menyadari sesuatu yang aneh, Ana menegakkan punggungnya dan menoleh pada Cakra. “Ini bukan jalan ke rumah,” ucap Ana.
“Kata siapa? Ini jalan ke rumah, lebih tepatnya rumahku,” ucap Cakra lalu memasang senyum tipis.
Ana memukul-mukul kursi penumpang sembari berteriak, “Aku ingin pulang! Kenapa malah membawaku ke rumahmu?!”
“Bhu, jangan menggunakan ‘aku-kamu’! Berbicaralah seperti biasanya!” Cakra malah tampak fokus pada hal lain, dan membuat Ana semakin kesal.
“Lagi pula, Akra membawa Bhu ke rumah bukan tanpa alasan. Bhu ingin kita putus bukan? Maka, Bhu harus berbicara dengan Ayah.”
Ana mengerutkan keningnya. “Memangnya kenapa harus bicara dengan Om Bima? Aku pacaran denganmu, bukan dengan beliau.”
Cakra menyeringai saat mendengar Ana yang bahkan telah mengganti panggilan Bima, dari ayah menjadi om. “Ayah sangat menyukai Bhu sebagai calon menantunya. Jadi, Bhu yang harus mengatakan keinginan putus itu pada Ayah. Jika Ayah mengizinkan, maka kita lakukan sesuai keinginan Bhu.”
Ana mengerucutkan bibirnya. Ia hampir lupa satu fakta penting. Keluarga Cakra dan keluarga Ana memang terlibat dalam kerja sama bisnis, jadi ayah Cakra memang telah kenal dan akrab dengan opa serta oma Ana. Hal yang Ana sesali, Ana tidak mengetahui fakta itu lebih dulu. Ana juga tak menyadari keganjilan bagaimana keluarganya bisa cepat akrab dengan Cakra. Jika saja ia tahu alasan sebenarnya dibalik itu, ia tak akan mau menjadi pacar Cakra, karena pada akhirnya semua menjadi serumit ini.
Tak lama, mobil Cakra tiba di rumahnya. Ana tidak menunggu Cakra membantunya membuka pintu, ia segera turun dan mengatakan agar Cakra segera membawanya kepada ayah dan ibunya. Cakra hanya terkekeh pelan, lalu memimpin jalan. Entah mengapa, Ana merasakan firasat buruk. Ana hanya bisa berdoa, semoga saja Tuhan melancarkan niatnya. Ana dan Cakra memasuki ruangan sejuk yang Ana tahu sebagai ruang keluarga. Ana melihat sepasang paruh baya duduk nyaman di sofa. Meskipun duduk berdekatan, keduanya tampak tak akrab. Seakan ada dinding tipis yang menghalangi keduanya. Sepertinya pasangan paruh baya itu tengah terlibat perselisihan. Cakra menghela Ana agar mendekat ke pasangan paruh baya, yang tak lain adalah orang tua Cakra.
Bima yang pertama kali menyadari kedatangan keduanya. “Wah lihatlah, mantu Ayah datang! Ayo duduk, sudah lama Ayah tidak melihat Ana. Bagaimana kabar Ana? Maaf, Ayah dan Ibu belum sempat menjengukmu.”
Jangan merasa heran. Bima memang sangat menyayangi pacar anaknya itu. Saking sayangnya Bima pada Ana, Bima bahkan sudah menganggap Ana sebagai menantunya dan mengharapkan Ana segera hamil cucunya. Gila memang, tetapi mau bagaimana lagi? Untungnya, Bima hanya bersikap seperti itu pada Ana. Karena sebelumnya, Cakra juga pernah dekat dengan gadis lain, tetapi Bima tak pernah bereaksi seantusias ini. Sikap Bima ini berbanding terbalik dengan istrinya, Sintya. Wanita cantik itu tampak memasang wajah dingin namun kesan lembut keibuan masih terlihat jelas di sana. Sintya tak mau repot-repot menyapa Ana, dan memilih menyesap teh melati kesukaannya. Melihat reaksi keduanya, Ana hanya bisa menelan ludahnya.
“Tidak apa-apa, sekarang Ana sudah baik-baik saja. Om dan Tante sendiri, bagaimana kabarnya?” jawab Ana lalu duduk di sofa yang sama dengan Cakra, tapi ia dengan sebisa mungkin memberikan jarak aman dengan pria itu.
“Om?” beo Bima. Matanya meredup. Ia tak suka saat dirinya tak lagi mendapatkan panggilan ayah dari Ana. Ekspresi wanita yang duduk di samping Bima, juga tampak memburuk. Hanya saja Sintya tidak berniat untuk berkomentar dan memilih memberikan isyarat agar pelayan menyiapkan dua cangkir teh yang baru.
“Kenapa Ana memanggil Ayah seperti itu?” tanya Bima.
Ana tersenyum canggung. Kakinya mulai bergerak-gerak, tanda jika dirinya tengah merasa cemas. Cakra yang duduk di samping Ana, segera mengambil alih. “Ayah, Ibu, ada yang ingin dibicarakan oleh Bhu,” ucap Cakra, lalu bersandar nyaman. Ia tampak santai, berbeda dengan Ana yang merasa cemas.
“Apa yang mau Ana bicarakan?”
Ana meremas tangannya lalu menatap Bima tepat di matanya. “Om, Tante … Ana dan Cakra sudah putus.”
Bima tampak sangat terkejut. Berbeda dengan Sintya yang tampak santai, lebih tepatnya terlihat bahagia karena kabar tersebut. Mood Sintya mulai membaik karenanya. “Karena itu, kedatangan Ana hari ini untuk mengatakan hal ini pada Om dan—”
Ana tak bisa melanjutkan perkataannya saat melihat Bima yang memegangi dadanya. Wajah tampan di usia senjanya, tampak menampilkan ekspresi kesakitan. Ana bangkit karena cemas. Para pelayan yang kebetulan bertugas menyajikan teh dan kudapan juga tampak panik. Sintya yang awalnya bersikap dingin, tak bisa menahan diri untuk menyentuh tangan Bima sembari meminta seorang pelayan membawa obat milik Bima. Ana tampak merasa bersalah. Ia lupa jika Bima memiliki riwayat penyakit jantung. Lebih tepatnya, Ana tidak menyangka perkataannya itu bisa memantik kambuhnya penyakit jantung Bima.
Tentu saja Ana merasa bersalah karenanya. Apalagi ketika Sintya melirik tajam padanya dan berkata, “Lihat, apa yang telah kau lakukan! Penyakit jantung suamiku sampai kambuh karena tingkahmu. Ini alasan mengapa aku tidak pernah suka kau menjalin hubungan serius dengan putraku.”
Tubuh Ana bergetar. Kakinya melemas dan hampir membuatnya meluruh, untung saja Cakra dengan sigap bangkit dari duduknya lalu merangkul pinggang Ana. Sintya memang tidak berteriak atau menjerit, ia hanya berbicara dengan suara lembut namun beracun. Khas seorang darah biru yang arogan. Ibu Cakra memang memiliki darah bangsawan yang mengalir kental dalam tubuhnya. Itu alasan mengapa ia sangat tidak suka pada Ana yang ceroboh dan ekspresif. Ana juga sejak dulu tidak pernah bisa akrab dengan Sintya, karena menurutnya Sintya itu sangat kejam. Ana bisa dibilang sangat jarang mau ditinggalkan atau berbicara empat mata dengan Sintya. Cakra melirik wajah Ana yang mulai memucat, ia yakin jika pacarnya itu tengah ketakutan akan tuduhan ibunya.
Kondisi Bima membaik, tetapi ia masih tampak lemas dan bersandar dibantu oleh Sintya. Bima kemudian angkat bicara, “Apa Ana senang melihat Ayah seperti ini?”
Ana sontak menggeleng dengan cepat. “Ti-tidak mungkin, Ayah.” Saking paniknya Ana, ia kembali memanggil Bima dengan sebutan ayah.
“Kalau begitu, jangan putus dengan Cakra. Atau Ayah akan kembali jatuh sakit,” ucap Bima.
Ana tampak tak setuju. “Ta-tapi—” ucapan Ana segera terpotong oleh suara lembut Sintya yang terkesan tajam.
“Ikuti apa kata suamiku, jangan membuat masalah lagi!”
Tubuh Ana semakin bergetar saat mendapat tatapan maut dari Sintya. Cakra yang menyadari hal itu segera berkata, “Ayah, Ibu, aku harus mengantar Bhu pulang. Kondisi Bhu masih belum stabil.”
Ana pun menurut saat dituntun oleh Cakra. Keduanya melangkah bersisian hingga Ana yang masih syok, tak menyadari jika Cakra telah menoleh dan bertukar pandang dengan Bima yang tengah memeluk Sintya yang tengah menangis karena terkejut karena kondisi suaminya tadi. Kedua pria tampan berbeda generasi itu, secara bersamaan memasang seringai yang tampak mirip. Seringai pertanda kemenangan.
Setelah pertemuan dengan kedua orang tua Cakra, Ana tidak bisa kembali meminta putus pada Cakra. Ayolah, meskipun dirinya memang ingin putus dengan Cakra, Ana tidak mungkin bertindak gila dengan memaksa putus, sementara ada satu nyawa yang dipertaruhkan dalam hal itu. Ana belum siap menjadi tersangka pembunuhan, dan sampai kapan pun dirinya tidak akan pernah siap. Jadi, pada akhirnya Ana masih menyandang status menjadi kekasih Cakra. Tentu saja hal ini membuat Ana merasa bingung. Apalagi akhir-akhir ini Cakra bersikap sangat manis padanya, sikap otoriternya telah berkurang drastis. Sikapnya seakan-akan tengah memohon maaf tanpa mau mengutarakannya dengan lebih jelas.
Pagi menjelang, Ana terbangun di kamar bernuansa abu-abu gelap. Ia dengan jelas bisa mencium aroma Cakra yang membuat paru-parunya menari-nari senang. Baik, abaikan pikiran konyol Ana barusan! Sepertinya Cakra membawa Ana ke kamar pribadinya. Untunglah, karena Ana memang tidak mau tidur dengan Ely. Tenang saja, Ana juga tidak tidur dengan Cakra. Ana yakin, karena dirinya tidur tepat di tengah ranjang dan tak menemukan jejak-jejak yang menunjukkan bahwa Cakra juga tidur di ranjang tersebut. Pasti Cakra tidur di kamar kecil yang terhubung dengan kamar Cakra ini. Ana bangun dari posisinya bertepatan dengan Cakra yang ke luar dari kamar mandi. Pria itu tampaknya baru saja mandi, rambutnya saja masih terlihat basah.
Ana tersenyum saat membaca pesan dari Panji. Pria itu adalah teman kecilnya. Dulu, Ana dan Panji bertetangga. Sayangnya mereka tidak lagi bisa bertemu, karena keluarga Panji harus pindah saat perusahaan ayah Panji mengalami masalah finansial. Jadi, setelah itu Ana dan Panji putus kontak. Ketika pertama kali bertemu setelah sekian lama, Panji dan Ana tak membutuhkan banyak waktu untuk saling mengenali. Ana kembali tersenyum saat membaca balasan chat Panji.Ana tengah berada dalam suasana hati yang baik saat ini. Ia bahkan sampai lupa akan peringatan C
Dengan kepala tertunduk dalam, Ana duduk di tepi ranjang. Ia sudah sangat lelah sepulang dari restoran di mana dirinya tanpa sengaja bertemu dengan Panji. Sikap Cakra yang sejak awal aneh, semakin aneh saat Panji bergabung makan siang dengan mereka. Pada akhirnya makan siang itu menjadi sangat canggung saat Cakra dan Panji bertukar beberapa kata perkenalan dengan saling menatap tajam. Ana juga tahu, jika kedatangan Panji bukan kebetulan. Cakra ternyata melihat pesan-pesan yang dikirim oleh Panji, dan mengatur pertemuan tersebut tanpa sepengetahuan Ana.
Sudah tujuh hari Ana bebas dari cengkraman Cakra yang membuatnya sesak tiap hari. Seminggu ini, Ana memang tak pernah bertemu dengan Cakra. Begitupula dengan Cakra, pria itu juga tidak pernah mengirim pesan atau berusaha untuk menemui Ana. Di kampus pun, Ana tidak pernah melihat keberadaan Cakra atau teman-temannya. Tasha dan Kekeu juga tidak membicarakan masalah Cakra atau kekasih mereka saat bersama dengan Ana. Karena itu, desas-desus mengenai putusnya Ana dengan Cakra tersebar luas. Sampai sekarang belum ada yang berani menanyakan kebenaran kabar itu pada Ana. Ana sendiri tidak mau repot-repot mengonfirmasi masalah ini pada semua orang lain. Sudah cukup selama ini Ana menjadi pusat perhatian saat menjadi kekasih Cakra. Ana in
“Apa yang Ibu bilang? Dia memang ceroboh, Yah! Lihat, sekarang putra kita bahkan celaka karena ulahnya! Ayah tau bukan, dia juga ada di lokasi kecelakaan itu. Ibu sudah bisa membaca jalan ceritanya.” Ana menunduk dalam saat mendengar suara tajam Sintya. Wanita berdarah biru itu memang selalu terlihat anggun dan cantik disetiap langkahnya, tetapi kata-katanya selalu bisa menembus hati Ana dan meninggalkan luka menganga.“Ibu, sudah! Jangan menyalahkan Ana!” seru Bima karena menyadari tingkah Sint
Fatih menggeleng saat melihat penampilan kacau Ana. Wajahnya pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Jelas terlihat bahwa Ana kelelahan dan kurang tidur. Fatih tahu, jika Ana disibukkan dengan tugas kuliah serta merawat Cakra yang masih berada di rumah sakit. Meskipun semua itu adalah kewajiban Ana, Fatih tak tega juga melihat kondisi adiknya ini. “Istirahat saja dulu. Nanti kita ke rumah sakit bersama,” ucap Fatih saat melihat Ana meniti tangga sepulang kuliah. Ana menoleh dan mengangguk.“Bangunkan Ana setengah jam sebelum berangkat ya, Kak,” pinta Ana.
Ana hanya bisa menghela napas kesal, ia baru saja mengganti nomor ponselnya karena sudah tidak tahan dengan gangguan nomor asing yang mengaku mengetahui segala hal tentang Cakra. Tadi pagi, Ana tentu saja mengirim pesan pada semua kontak jika dirinya telah ganti nomor. Semua orang membalas dan mengatakan akan menyimpan nomor baru Ana, tetapi tidak dengan Cakra. Pria itu bahkan tidak membaca pesan Ana! Apa sekarang Cakra sudah melupakan keberadaan Ana? Kalau begitu syukurlah, pikir Ana. Itu artinya, Ana tidak perlu lagi berhubungan dengan manusia menyebalkan itu. Meskipun berpikir seperti itu, mood Ana semakin memburuk dari hari ke hari, karena ternyata Cakra tetap tak membalas pesannya.