“Benar, tidak apa-apa Kakak tinggal?” tanya Fatih.
Ini hari kedua Fatih di Indonesia, dan sayangnya ia harus meninggalkan adiknya yang sakit, untuk segera kembali bertugas di rumah sakit. Di hari pertamanya ini, Fatih sudah memiliki jadwal operasi yang harus ia tangani. Ia merasa sangat bersalah jika harus meninggalkan Ana dalam kondisi seperti ini. “Kakak telepon Cakra ya, dia pasti mau menemanimu selama Kakak bertugas,” bujuk Fatih untuk kesekian kalinya. Jika saja Ana mau dirawat di rumah sakit, maka Fatih tak akan secemas ini.
“Tidak mau. Ana mau sendiri saja. Lagian sekarang Ana sudah punya ponsel lagi, jika ada apa-apa Ana pasti telepon Kakak. Jadi, jangan bilang Cakra! Ana tidak mau bertemu dia.”
Fatih mengerutkan keningnya. “Kalian bertengkar, lagi?”
Ana menggeleng, ia memilih merubah posisi tidurnya menjadi memunggungi Fatih sebelum mengangkat selimut agar menutup kepalanya. Fatih menghela napas, ia menunduk dan mencium kepala Ana yang ditutupi selimut. “Kakak berangkat dulu.”
Ana hanya berdehem pelan dan berniat untuk kembali tidur. Meskipun demamnya sudah turun, Ana belum merasa lebih baik dari sebelumnya. Beberapa saat kemudian, Ana kembali terlelap. Tepat saat itu pula, ada pesan masuk yang ia terima.
***
Ana tersentak saat merasakan sesuatu bergetar dalam genggaman tangannya. Ana membuka matanya yang terasa panas, sepertinya demam Ana kembali. Ia berusaha untuk duduk bersandar di dinding dan menatap layar ponselnya yang membayang. Rupanya Fatih menelepon. Ana mengangkat telepon tersebut dan menjawab perkataan Fatih sekenanya. Karena Fatih tak memiliki banyak waktu, sambungan telepon itu segera terputus setelah Fatih mengingatkan Ana untuk makan siang dan meminum obat. Kini Ana membuka pesan dari nomor tanpa nama. Hanya membaca isinya saja, Ana sudah tahu pasti siapa pengirimya. Itu, Cakra. Bagaimana bisa Cakra tahu nomornya, sedangkan nomor Ana ini adalah nomor baru? Kepala Ana kembali berdenyut hebat.
Ana merasa jika dirinya benar-benar tak bisa lagi menjadi pacar Cakra. Ia merasa dihantui dengan pikiran bahwa suatu saat nanti, apa yang terjadi pada Raihan akan terjadi pada orang terdekat Ana. Atau yang lebih parah, Ana sendiri yang akan menjadi korban kekejaman Cakra. Dulu Ana memang yakin jika Cakra tidak akan pernah melukainya, tapi sekarang berbeda. Cakra yang sekarang berbeda dengan Cakra yang dikenal Ana selama lima tahun belakangan. Seakan-akan, Ana memang sama sekali tak mengenali Cakra. Ana kembali melirik layar ponselnya. Di mana pesan Cakra terpampang jelas di sana. “Karena Bhu sedang sakit, maka istirahatlah. Tidak perlu datang ke rumah Akra hanya untuk menghadiri pesta. Nanti malam, Akra akan datang.”
Ana mengerutkan kening. Mungkin saja, Fatih yang memberitahu Cakra mengenai kondisi serta nomor barunya. Karena selain oma serta opanya, kakaknya itu juga sangat mendukung hubungan Ana dan Cakra. Bahkan dalam banyak kondisi, Ana merasa jika Fatih adalah kakak dari Cakra, bukan dirinya. Kenapa? Karena meskipun Fatih sangat menyayangi Ana, ia selalu saja berdiri di pihak Cakra dan membela pria itu. Ana mengeratkan genggamannya pada ponselnya yang masih menampilkan pesan dari Cakra.
“Tapi maaf Akra, Bhu harus datang.”
Ana sudah lelah dengan hubungan ini dan Ana rasa sudah saatnya ia untuk berbicara serius dengan Cakra. Berusaha berbicara dari hati ke hati. Jika perlu, Ana akan memohon untuk dilepaskan dari status yang membuatnya sesak ini.
***
Pandangan Ana membayang. Siang ini terasa sangat terik, saking teriknya Ana bahkan berkeringat deras saat tiba di rumah megah Cakra. Suhu tubuh Ana semakin meninggi dari waktu ke waktu. Seorang pelayan yang memang telah sangat mengenal Ana, tampak cemas saat melihat wajah Ana yang pucat pasi. “Sebaiknya Nona istirahat dulu. Kamar khusus yang disediakan Tuan untuk Nona, bisa digunakan sekarang juga karena saya secara pribadi ditugaskan untuk merapikan kamar tersebut tiap pagi,” ucap Lili—si pelayan.
Ana menggeleng dan tersenyum. “Akra di mana?” tanya Ana sembari memegang tepi meja di dekatnya. Kini kepala Ana terasa berputar. Kenapa sakit Ana terasa semakin parah saja? Padahal Ana telah meminum obat.
“Tuan Cakra dan teman-temannya ada di taman samping. Mereka sedang bersiap untuk memainkan sesuatu, tapi sepertinya sekarang mereka tengah berenang terlebih dahulu.”
Ana mengangguk. Ia mengucapkan terima kasih, sebelum melangkah dengan sedikit terhuyung. Ana menolak tawaran Lili yang ingin memapahnya. Alhasil butuh banyak waktu hingga Ana tiba area taman samping. Taman itu terhubung langsung dengan area kolam renang indoor. Sebenarnya ada dua kolam renang, yang satu beratap sedangkan yang satunya tidak. Keduanya hanya dipisahkan oleh dinding kaca serta lantai kayu. Pening Ana semakin parah saat mendengar jerit tawa rekan-rekan satu klub Cakra. Sangat ramai di sini. Bahkan Ana bisa melihat gadis-gadis memakai bikini, yang ia yakini adalah kekasih dari para anggota klub. Ana terkejut saat seseorang menepuk pundaknya pelan.
“Ana di sini?”
Ana menoleh dan melihat Adi, teman Cakra yang paling waras menurutnya. “Kak Adi lihat Akra?” tanya Ana. Ia memang memanggil keempat sahabat Cakra dengan embel-embel kakak, sedangkan Cakra tidak. Itu semua karena perintah Cakra sendiri. Cakra lebih suka Ana memanggilnya dengan nama sayang, Akra. Wajah Adi tampak sedikit berubah, dan itu luput dari pengamatan Ana. Alfian, Sani, serta Hidayat yang awalnya tengah menjaili adik tingkat mereka, segera menghentikan kegiatan mereka dan mendekat pada Adi yang memberikan kode bahaya.
“Yo, Bhu-Bhu punyanya Akra ada di sini!” seru Alfian.
“Widih, Ana makin demplon aja,” timpal Sani.
“Sani, kedemplonan Ana cuma milik Cakra. Hati-hati dengan tikungan tajam, salah belok bisa celaka,” nasehat Hidayat. Ana mengurut pelipisnya. Tiga pria yang baru saja datang itu, hanya memuntahkan kata-kata sampah. Adi yang paling peka segera menahan tubuh Ana yang terhuyung. Sontak, pria itu terkejut saat merasakan suhu tubuh Ana yang terlampau tinggi.
“Kamu demam setinggi ini? Seharusnya kamu istirahat saja di rumah.”
Ana menarik tangannya dengan kasar, dan menggeleng. “Di mana Cakra? Ana ingin menemuinya.”
Adi dan ketiga temannya saling bertukar pandang, berdiskusi melalui pandangan mata. Akhirnya Adi menghela napas dan berkata, “Tunggu di dalam saja ya, Cakra dan Ely tengah menyiapkan rute untuk games nanti sore.”
“Antarkan Ana ke sana. Ana hanya ingin berbicara sebentar dengan Cakra.”
Keempat pemuda itu tampak sangat cemas saat mendengar perkataan Ana. Kali ini, Ana dengan jelas menangkap semua kecemasan itu. Ada yang mereka sembunyikan darinya, dan Ana harus mencaritahu hal itu. “Antarkan!” sentak Ana, yang kemudian diiyakan oleh Adi. Ana menepis bantuan Adi yang semula akan memapahnya. Keduanya kemudian melangkah bersisian menuju tempat di mana orang yang ingin ditemui Ana berada. Ana sendiri baru tahu, jika halaman rumah Cakra lebih luas dari perkiraannya. Bahkan Ana juga baru tahu, jika ada sebuah labirin di salah satu sudutnya.
“Sepertinya mereka tengah berada di tengah labirin. Aku dengar, harta karun yang menjadi hadiah games akan disimpan di sana. Mau masuk, atau tunggu mereka ke luar saja?” tanya Adi.
“Aku ingin masuk, tapi sepertinya akan memakan banyak waktu hingga mencapai titik di mana mereka berada,” jawab Ana.
“Karena aku dan Cakra yang membuat rancangannya. Jadi, aku tahu dengan detail arah yang benar. Ayo!”
Ana mengangguk dan mengikuti langkah Adi. Keduanya berjalan cukup lama, berbelok beberapa kali dan menyusuri jalan setapak di antara dinding rumput tinggi. Ana mengatur napasnya yang memberat. Cuaca semakin terasa panas, makin lama sinar matahari semakin terik menyengat. Ana berdoa agar segera sampai di tujuan.
“Kita sampai,” ucap Adi.
Ana menghela napas lega. Ia akan melangkah maju, namun tangannya ditahan Adi. “Ana, jadilah dewasa. Jangan menyimpulkan sesuatu dengan tergesa-gesa,” bisik Adi sebelum melangkah menjauh.
Ana mengangkat bahunya tak acuh, lalu melangkah menuju pusat labirin. Ada sebuah gazebo tinggi dari kayu yang terlihat indah dibangun di tengah labirin, pohon-pohon berukuran sedang ditanam mengelilingi gazebo itu. Ana mengedarkan pandangan, dan tak menemukan keberadaan Cakra maupun Ely di sini. Pening Ana semakin menjadi. Ia memilih untuk melangkah mendekati gazebo, ia ingin beristirahat di sana untuk sementara waktu. Sayangnya, Ana melihat sesatu yang sangat mengejutkan. Hingga membuat langkah terhuyungnya terhenti. Dada Ana tiba-tiba terasa sesak. Saking sesaknya, Ana bahkan kesulitan untuk bernapas.
Coba katakan apa reaksi Ana sangat berlebihan, jika saat ini ia melihat pria yang masih berstatus sebagai pacarnya tengah berciuman dengan wanita lain? Ayolah, siapa pun pasti akan bereaksi keras jika dalam posisi Ana. Cakra dan Ely masih asyik dengan kegiatan mereka. Posisi keduanya tampak sangat intim, dengan Cakra yang duduk di tangga Gazebo dan Ely yang duduk di pangkuan Cakra. Tampak seperti sepasang kekasih yang mesra.
“Akra?” bisik Ana. Suaranya memang lembut dan kecil, tapi angin membantunya hingga dua orang yang sebelumnya masih menautkan bibir segera memisahkan diri. Cakra yang melihat kekasih manisnya berdiri kaku, segera mendorong Ely agar turun dari pangkuannya. Lalu dengan langkah pasti mendekat pada Ana, kekasihnya.
“Bhu, kenapa di sini?” tanya Cakra sembari mengulurkan tanganya untuk menyentuh pipi Ana, tapi Ana segera menghindar dengan mundur beberapa langkah.
“Kenapa di sini? Apa Bhu tidak boleh berada di sini?” Ana melirik Ely yang berdiri di anak tangga terakhir yang tampak menundukkan kepalanya, terlihat begitu merasa bersalah.
“Bhu tau, bukan itu yang Akra maksudkan.”
Ana menggeleng dan tertawa miris. “Akra sudah bosan dengan Bhu, bukan? Akra sudah menemukan gadis lain yang lebih menarik. Maaf karena telah mengganggu kegiatan menyenangkan kalian.”
“Bhu,” Cakra mencoba mendekat, tapi gerakan tangan Ana mengisyaratkan agar Cakra berhenti.
“Bhu sudah tidak tahan, Bhu lelah. Semua ini terasa menyiksa,” ucap Ana dalam isak tangisnya. Ana sendiri tidak tahu mengapa dirinya menangis. Harusnya ia senang karena menemukan alasan kuat agar putus dari Cakra. Di tengah situasi tegang itu, tiba-tiba pandangan Ana berbayang. Ana mencoba menguatkan diri, ia tak boleh sampai kehilangan kesadaran. Ini waktu yang sangat tepat, dan Ana harus memanfaatkannya dengan sebaik mungkin.
Sayangnya, situasi memang tidak pernah berpihak pada Ana. “Akra, mari kita pu …,” ucapan Ana tidak selesai, karena sang empunya lebih dahulu jatuh tak sadarkan diri. Untungnya Cakra yang memang telah menyadari kondisi Ana yang tengah jauh dari kata baik, telah bersiap. Ia segera menangkap tubuh Ana yang melemas, dan terhuyung sebelum ditangkap oleh Cakra. Wajah Cakra segera menggelap saat merasakan suhu tubuh Ana yang kelewat tinggi.
“Bhu, dalam kondisi sakit pun kau tetap berusaha membangkang. Sekarang istirahatlah,” ucap Cakra lalu menanamkan sebuah kecupan di puncak kepala Ana, sebelum menggendong kekasihnya itu pergi. Ely yang melihat semua itu hanya mematung beberapa saat, sebelum mengikuti Cakra yang telah menjauh.
“Rumah sakit?” gumam Ana dalam hati saat sadar dari tidur panjangnya. Ana melirik jarum infus yang menancap di tangan kanannya. Ia benci jarum suntik, ia benci infus. Ia benci apa pun yang berkaitan dengan rumah sakit, kecuali kakaknya tentunya. Hal ini bukan tanpa alasan. Dulu, saat Ana masih duduk di bangku sekolah dasar, Ana harus dirawat di rumah sakit selama beberapa bulan karena penyakit tifus. Karena itu, Ana tidak suka dengan rumah sakit. Itu juga yang menjadi alasan Fatih untuk menjadi seorang dokter. I
Setelah pertemuan dengan kedua orang tua Cakra, Ana tidak bisa kembali meminta putus pada Cakra. Ayolah, meskipun dirinya memang ingin putus dengan Cakra, Ana tidak mungkin bertindak gila dengan memaksa putus, sementara ada satu nyawa yang dipertaruhkan dalam hal itu. Ana belum siap menjadi tersangka pembunuhan, dan sampai kapan pun dirinya tidak akan pernah siap. Jadi, pada akhirnya Ana masih menyandang status menjadi kekasih Cakra. Tentu saja hal ini membuat Ana merasa bingung. Apalagi akhir-akhir ini Cakra bersikap sangat manis padanya, sikap otoriternya telah berkurang drastis. Sikapnya seakan-akan tengah memohon maaf tanpa mau mengutarakannya dengan lebih jelas.
Pagi menjelang, Ana terbangun di kamar bernuansa abu-abu gelap. Ia dengan jelas bisa mencium aroma Cakra yang membuat paru-parunya menari-nari senang. Baik, abaikan pikiran konyol Ana barusan! Sepertinya Cakra membawa Ana ke kamar pribadinya. Untunglah, karena Ana memang tidak mau tidur dengan Ely. Tenang saja, Ana juga tidak tidur dengan Cakra. Ana yakin, karena dirinya tidur tepat di tengah ranjang dan tak menemukan jejak-jejak yang menunjukkan bahwa Cakra juga tidur di ranjang tersebut. Pasti Cakra tidur di kamar kecil yang terhubung dengan kamar Cakra ini. Ana bangun dari posisinya bertepatan dengan Cakra yang ke luar dari kamar mandi. Pria itu tampaknya baru saja mandi, rambutnya saja masih terlihat basah.
Ana tersenyum saat membaca pesan dari Panji. Pria itu adalah teman kecilnya. Dulu, Ana dan Panji bertetangga. Sayangnya mereka tidak lagi bisa bertemu, karena keluarga Panji harus pindah saat perusahaan ayah Panji mengalami masalah finansial. Jadi, setelah itu Ana dan Panji putus kontak. Ketika pertama kali bertemu setelah sekian lama, Panji dan Ana tak membutuhkan banyak waktu untuk saling mengenali. Ana kembali tersenyum saat membaca balasan chat Panji.Ana tengah berada dalam suasana hati yang baik saat ini. Ia bahkan sampai lupa akan peringatan C
Dengan kepala tertunduk dalam, Ana duduk di tepi ranjang. Ia sudah sangat lelah sepulang dari restoran di mana dirinya tanpa sengaja bertemu dengan Panji. Sikap Cakra yang sejak awal aneh, semakin aneh saat Panji bergabung makan siang dengan mereka. Pada akhirnya makan siang itu menjadi sangat canggung saat Cakra dan Panji bertukar beberapa kata perkenalan dengan saling menatap tajam. Ana juga tahu, jika kedatangan Panji bukan kebetulan. Cakra ternyata melihat pesan-pesan yang dikirim oleh Panji, dan mengatur pertemuan tersebut tanpa sepengetahuan Ana.
Sudah tujuh hari Ana bebas dari cengkraman Cakra yang membuatnya sesak tiap hari. Seminggu ini, Ana memang tak pernah bertemu dengan Cakra. Begitupula dengan Cakra, pria itu juga tidak pernah mengirim pesan atau berusaha untuk menemui Ana. Di kampus pun, Ana tidak pernah melihat keberadaan Cakra atau teman-temannya. Tasha dan Kekeu juga tidak membicarakan masalah Cakra atau kekasih mereka saat bersama dengan Ana. Karena itu, desas-desus mengenai putusnya Ana dengan Cakra tersebar luas. Sampai sekarang belum ada yang berani menanyakan kebenaran kabar itu pada Ana. Ana sendiri tidak mau repot-repot mengonfirmasi masalah ini pada semua orang lain. Sudah cukup selama ini Ana menjadi pusat perhatian saat menjadi kekasih Cakra. Ana in
“Apa yang Ibu bilang? Dia memang ceroboh, Yah! Lihat, sekarang putra kita bahkan celaka karena ulahnya! Ayah tau bukan, dia juga ada di lokasi kecelakaan itu. Ibu sudah bisa membaca jalan ceritanya.” Ana menunduk dalam saat mendengar suara tajam Sintya. Wanita berdarah biru itu memang selalu terlihat anggun dan cantik disetiap langkahnya, tetapi kata-katanya selalu bisa menembus hati Ana dan meninggalkan luka menganga.“Ibu, sudah! Jangan menyalahkan Ana!” seru Bima karena menyadari tingkah Sint
Fatih menggeleng saat melihat penampilan kacau Ana. Wajahnya pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Jelas terlihat bahwa Ana kelelahan dan kurang tidur. Fatih tahu, jika Ana disibukkan dengan tugas kuliah serta merawat Cakra yang masih berada di rumah sakit. Meskipun semua itu adalah kewajiban Ana, Fatih tak tega juga melihat kondisi adiknya ini. “Istirahat saja dulu. Nanti kita ke rumah sakit bersama,” ucap Fatih saat melihat Ana meniti tangga sepulang kuliah. Ana menoleh dan mengangguk.“Bangunkan Ana setengah jam sebelum berangkat ya, Kak,” pinta Ana.
Ana masih dalam mode merajuk. Mungkin ini periode meajuk Ana yang paling lama karena berhasil bertahan hampir dua tiga minggu. Cakra bahkan sudah kehabisan cara untuk membujuk Ana. ketika meminta bantuan pada Bima, dan yang lainnya, Cakra harus menahan kesal karena jawaban mereka semua.Dengan kompak mereka semua berkata, “Maaf, kami tidak mau ikut campur dalam masalah rumah tangga kalian. Jadi, bujuk istrimu sendiri.”
Satu, dua, hingga tiga buah sayap ayam bumbu kecap disantap Ana dengan lahapnya. Lulu yang menemani hanya bisa tersenyum melihat nafsu makan ibu hamil satu ini. “Nyonya ingin tambah?”Ana menggeleng lalu meletakkan tulang, sebelum meminum es teh yang sudah tersedia. “Terima kasih, aku sudah kenyang. Tapi bisakah kamu menuangkan es tehnya lagi? Kenapa hari ini terasa sangat panas?” keluh Ana sembari menyeka keringat di keningnya.
Enam Bulan KemudianKediaman Abinaya tampak ramai dengan para tamu yang semuanya mengenakan pakaian adat jawa yang anggun. Tamu-tamu tersebut terdiri dari keluarga besar Abinaya, keluarga besar Ana, teman-teman Ana serta Cakra, dan beberapa keluarga rekan bisnis. Mereka semua hadir memenuhi undanga
Waktu berlalu, dan kini Ana sudah kembali pada kesehariannya sebagai mahasiswi di perguruan tinggi Majaraya. Dengan statusnya sebagai istri dari Cakradana Abinaya, tugas Ana saat ini bertambah menjadi dua kali lipat. Karena selain harus mengerjakan tugas kuliah, Ana juga harus mengerjakan tugas seorang istri. Memang terasa sangat melelahkan, tapi Ana tidak mau mengeluh. Ini tugasnya, dan Ana menikmatinya.Ana membereskan buku-bukunya saat kelas berakhir. Ditemani Tasha dan Kekeu, Ana melangkah menuju kantin. Tadi pagi Ana tidak sempat sarapan dan memilih untuk membawa sarapannya sebagai bekal makan siang. Jadi ketika tiba di kantin, bukannya memesan makan
“Menantu Ayah tidur?” bisik Bima dan terus mencoba mengintip wajah menantunya yang kini pulas dalam tidurnya.Kini Cakra memang tengah menggendong Ana yang tampak nyaman tidur menempel di punggung lebar Cakra. Keduanya baru saja tiba di kediaman Abinaya. Karena Cakra Ana pulang mendadak serta sampai di rumah ketika hampir tengah malam, jadi tidak banyak yang menyambut kepulangan mereka. Hanya ada Bima, Sintya serta Lili yang menyambut.Sintya mendesah. “Kenapa pulang
“Yah sayang sekali. Padahal aku bersusah payah untuk menyembuyikan semuanya. Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah ketahuan.”Mata Ana membulat. Perkataan Cakra barusan, sudah lebih dari cukup sebagai pengakuan dari Cakra. Ana menatap Cakra dengan tatapan tak percaya. Sebenarnya manakah Cakra yang asli? Dan siapakah yang sebenarnya menjadi suaminya? Meskipun begitu banyak pertanyaan yang bercokol dalam kepalanya, Ana tak bisa menyuarakan satu pun pertanyaannya.
“Buang saja. Terlalu lama menyimpan sampah hanya akan menghasilkan bau busuk dan mengundang lalat yang mengganggu.”Ana mencoba untuk membuka kelopak matanya yang terasa melekat begitu erat. Begitu terbuka, tanpa bisa ditahan Ana segera mengerang merasakan pegal yang memeluk sekujur tubuhnya. Entah mengapa, Ana merasa jika tadi malam Cakra lebih menuntut dalam meminta haknya. Bahkan untuk menggerakkan jarinya saja Ana tidak sanggup, ini lebih parah daripada pengalaman pertamanya.
“Akra bilang tidak, tetap tidak.”Ana mengerucutkan bibirnya, dan melempar bikini yang ia pegang. “Lalu kenapa Akra mengajak Bhu ke pantai? Mending kita tetap di tenda dan tidur seharian.”“Seharian kemarin kita sudah menghabiskan waktu di tenda itu, tapi setidaknya kita harus ke pantai jika datang ke Bali. Hanya saja, Akra tidak mengizinkan Bhu mengenakan bikini. Ini tempat umum!”
“Akra, kamu di mana sih? Kita harus berangkat sekarang juga.” Ana menghentikan langkah kakinya. Ia sudah begitu lelah mengelilingi rumah luas milik Cakra, untuk mencari suaminya yang tiba-tiba menghilang saat dirinya bangun di pagi hari.Suasana hati Ana yang masih buruk karena perkataan Panji, semakin memburuk karena menghilangnya Cakra. Seharusnya Ana tadi malam menolak untuk langsung pulang ke rumah Cakra, karena jika di hotel Ana pasti tidak akan dipaksa bangun pagi hanya untuk mengejar jadwal penerbangan pagi.