Kelopak mata Ana terasa berat untuk dibuka, ini pasti gara-gara tangisannya tadi malam. Ana duduk di tepi ranjang. Ingatannya kembali pada malam tadi. Rasa sakit hatinya masih jelas terasa hingga saat ini. Meskipun Ana menerima Cakra sebagai pacarnya atas permintaan opa serta omanya. Ana tetap merasa sakit dengan semua yang diucapkan oleh Cakra. Ini juga salah Ana. Kenapa dirinya menerima Cakra lima tahun yang lalu? Memang, saat itu Ana berpikir jika Cakra memang tidak sebaik yang dikatakan oleh opa dan omanya, Ana akan meminta putus. Sayangnya kenyataan tidak semudah yang dibayangkan oleh Ana. Selama lima tahun ini, Ana sudah lebih dari cukup mengenal Cakra. Kendali dalam hubungan ini ada di tangan Cakra, dan Ana hanya perlu menurut. Jika boleh jujur, Ana merasa tertekan dengan semua ini.
Hati Ana benar-benar terganggu karena perkataan Cakra semalam. Ia marah karena merasa menjadi objek yang dipermainkan oleh Cakra. Lebih marah lagi, saat tak tahu harus melampiaskan amarahnya pada siapa. Karena jika Ana melampiaskan amarahnya pada Cakra, ia tak akan merasa puas, Cakra akan membalikkan kata-katanya. Lebih tepatnya, Ana merasa takut untuk melampiaskan kemarahannya pada Cakra. Ana tak bisa membaca pikiran dan isi hati Cakra, pacarnya itu selalu melakukan apa pun yang ia mau, semua itu selalu saja membuat Ana tak berkutik. Seperti saat ini, Ana yakin setelah terlalu lelah menangis dan tertidur di kamar Cakra, ia pasti membawa Ana pulang. Ana bangkit dan masuk ke kamar mandi, ia memilih membersihkan diri terlebih dahulu sebelum kembali memikirkan langkah apa yang harus ia ambil.
Lima menit kemudian Ana telah tampil dengan celana training panjang dan kaos polos, rambutnya yang lebat diikat rendah. Ana akan berangkat ke kampus nanti siang untuk mengerjakan tugas kelompok, karena itulah untuk sekarang ia memilih membangun suasana hatinya dengan menonton beberapa video. Ana duduk di meja belajar dan membuka laptopnya. Begitu layar hidup, Ana terkejut bukan main saat melihat video seseorang yang begitu ia idolakan mengucapkan beberapa kata dalam bahasa korea. Perkataannya itu dengan mudah dipahami oleh Ana, karena Ana memang bisa berbahasa Korea. Ana menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Ini sangat mengharukan baginya. Tangis Ana pecah saat sebuah telapak tangan besar bertengger di puncak kepalanya. Ana mendongak dan menatap Cakra yang menampilkan ekspresi biasa saja, padahal Ana merasa jika apa yang telah Cakra lakukan adalah hal yang luar biasa.
Bagaimana tidak? Cakra dengan mudahnya membuat aktor sekelas Lee Dong Wook mengucapkan rangkaian kata-kata manis yang khusus ditujukan untuk Ana. Lenyap sudah semua kemarahan yang bercokol di hati Ana. Ana memang tipe gadis yang mudah merasa emosional tapi semudah itu pula melupakan semua perasaannya. Buktinya saja, kini Ana yang semula berniat untuk mencaci, berubah berniat mengucapkan terima kasih yang tulus pada pacarnya itu.
Cakra sendiri menatap layar laptop Ana dan berkata, “Sepertinya, Bhu harus cek kondisi mata. Bukankah Akra lebih tampan daripada Lee Min Ho?”
Siapa pun, tolong tenggelamkan Cakra!
***
“Kenapa harus repot berkumpul seperti ini?”
Ana yang semula tengah mengoreksi bahan yang akan dijadikan sebagai materi tugas kelompok segera mengangkat pandangannya. Ana menatap datar pada seorang pemuda berekspresi kesal yang duduk di hadapannya.
“Raihan, ini tugas kelompok, tentu saja kita harus berkumpul untuk mengerjakannya bersama.”
Ana melirik pada Tasha, gadis berambut kemerahan yang juga menjadi anggota kelompoknya. “Iya, kerjakan saja tugasnya!” timpal gadis lainnya yang bernama Kekeu.
Benar, kini Ana tengah berada di kampus. Lebih tepatnya di kelas kosong yang mereka pinjam untuk mengerjakan tugas. Anggota kelompok terdiri dari empat orang, dan Ana menjadi ketua kelompok. Hanya saja, sejak awal Ana merasa tidak puas dengan pengaturan kelompok ini. Untuk Tasha dan Kekeu, Ana masih bisa mengajak mereka untuk bekerja sama, tetapi Raihan? Mahasiswa yang baru pindah ke kampus Ana selama satu bulan itu, sungguh menyebalkan. Ia tidak mau berusaha, tetapi menginginkan hasil yang memuaskan. Memangnya ia pikir ini kampus milik nenek moyangnya hingga bisa bersikap seenaknya?
“Raihan, kita sudah berbagi tugas dengan adil. Maka kerjakan tugasmu! Kita berkumpul, agar bisa saling membantu dan mengoreksi hasil kerja kita,” ucap Ana serius. Ia benar-benar tidak suka jika nilainya jadi buruk, karena tingkah Raihan ini.
“Di sini lo yang paling pinter, kenapa enggak lo aja yang ngerjain semuanya. Terus, kirim hasil kerja lo sama kita-kita. Itu lebih efisien. Presentasi pasti sukses.” Raihan memainkan alisnya, dan menunjuk Ana.
“Tidak. Ini kerja kelompok, maka kerjakan bersama. Jika tidak sanggup, aku akan menghapus namamu dari kelompok ini. Kamu bisa mencari kelompok yang mau menerapkan idemu itu.”
Tasha dan Kekeu saling memandang, Ana memang tidak pernah main-main dalam mengerjakan tugas, hingga nilainya pun selalu di atas rata-rata. Keduanya sudah tahu dan jelas senang saat mendengar pengaturan kelompok yang membuat mereka satu kelompok dengan Ana. Kenapa? Karena mereka semua dijamin mendapatkan nilai bagus karena satu kelompok dengan Ana.
“Kasar sekali, tapi gue suka,” ucap Raihan lalu menyangga dagunya dengan salah satu tangannya dan menatap Ana dengan lekat. Ana mengerutkan kening. Merasa tak nyaman saat Raihan menatapnya dengan kerlingan penuh goda. Tasha dan Kekeu sendiri berdehem. Ayolah, meskipun Raihan suka bersikap seenaknya, pemuda itu tetap sangat menarik dengan wajahnya yang tampan dan rambutnya yang berwarna cokelat alami.
“Jangan berbicara yang aneh-aneh, ayo cepat kerjakan. Aku ingin segera pulang,” ucap Ana lalu kembali menunduk menatap bukunya. Tasha dan Kekeu sontak menggoda Ana. Bukan sebuah rahasia, jika Ana menjalin kasih dengan kakak tingkat yang sangat terkenal. Keduanya mengira, jika Ana pasti telah memiliki janji dengan Cakra. Ana diam-diam merutuki dirinya sendiri dalam hati, mengingat reaksinya tadi pagi pada Cakra.
Padahal Ana sudah bersiap untuk mengeraskan hati dan kembali meminta putus pada Cakra. Sayangnya, Cakra lebih dahulu menyerang kelemahannya. Ya, Ana sangat lemah hati jika di hadapkan pada apa pun yang berhubungan dengan idolanya. Sontak Ana kehilangan proyektil, dan bersikap manis karena mendapatkan hadiah berupa video ucapan dari Lee Dong Wook. Silakan hujat Ana, tapi inilah Ana, bucin sejati sang aktor yang memerankan Malaikat Maut di salah satu drama korea.
Karena kesibukannya mengerjakan tugas, Ana tak sadar jika selama berjam-jam Raihan mengawasi setiap gerak-geriknya. Hingga kerja kelompok itu selesai, Ana masih belum menyadari jika Raihan telah tertarik padanya. Tasha dan Kekeu hanya bisa menggeleng melihat Raihan terus berusaha menarik perhatian Ana ketika mereka ke luar dari kelas.
“Lepas!” Ana menepis tangan Raihan yang terus mencoba merangkul bahunya. Raihan tak peduli akan penolakan Ana dan terus mengganggu Ana. Tasha dan Kekeu juga mulai merasa tak nyaman. Karena mereka tahu, Cakra sangat tidak suka jika ada pria lain yang berkontak fisik dengan pacar manisnya itu. Tasha dan Kekeu sudah pegal untuk memperingatkan Raihan, bahwa tindakannya ini akan membawa bencana.
Baik Tasha dan Kekeu hanya bisa berdoa agar Cakra tak melihat kejadian ini, Cakra mungkin bisa marah besar. Walaupun sampai saat ini pun, seluruh penghuni kampus belum pernah melihat Cakra yang meledakkan amarahnya. Sayangnya, doa kedua gadis itu tak terkabul, karena ketika mereka menyusuri lorong kampus, Cakra datang dari arah berlawanan. Tasha dan Kekeu menahan napas saat melihat ekspresi tak senang di wajah Cakra, sedangkan Ana masih sibuk menepis tangan Raihan yang kini malah memainkan ikat rambut Ana.
“Bhu,” panggil Cakra lembut, salah satu tangannya terulur meminta Ana agar mendekat padanya. Tasha dan Kekeu berpegangan tangan, dan saling meremas tangan mereka. Keduanya merasa meleleh hanya karena mendengar suara lembut Cakra yang memanggil kekasihnya. Sungguh manis!
Meskipun hati kecil Ana masih ingin segera putus dengan Cakra, ia merasa sangat tertolong dengan kehadiran kekasihnya saat ini. Tanpa pikir panjang, Ana berlari untuk meraih tangan Cakra. Hal itu membuat Raihan yang sejak tadi memainkan ikat rambut Ana, tanpa sengaja menarik ikatan tersebut dan membuat rambut hitam bergelombang Ana terurai begitu saja. Ana mendesah tak rela saat rambut tebalnya menjadi berantakan dan mengembang. Cakra meraih tangan Ana, lalu tangan lainnya ia gunakan untuk merapikan rambut kekasihnya dengan lembut. Tasha dan Kekeu kompak menahan jeritan mereka saat melihat interaksi manis Cakra dan Ana yang sungguh menyejukkan mata, sedangkan Raihan menyipitkan matanya tak suka pada Cakra.
“Tugasnya sudah selesai?” tanya Cakra.
“Belum. Tadi kami membagi tugas dan mengerjakan sebisa kami. Nanti malam kami akan begadang untuk menyelesaikannya,” jawab Ana sembari mencepol rambutnya.
Cakra mengerutkan kening. Ia tak suka saat mendengar Ana akan begadang nanti malam, ditambah dengan pemandangan tengkuk Ana yang bersih terlihat dengan jelas. Cakra menoleh pada ketiga rekan Ana. “Kami pulang duluan.”
Cakra menarik Ana untuk melangkah, tapi beberapa saat kemudian ia kembali menoleh pada Raihan dan berkata, “Hati-hati dengan tanganmu, bisa-bisa tanganmu patah karena mendarat di tempat yang salah!”
Raihan yang mendapatkan peringatan, malah tersenyum sinis dan memasang ekspresi arogan. Cakra yang melihat itu, hanya memasang ekspresi datar. Ia menoleh pada Ana, lalu menarik kekasihnya itu pergi setelah melepas cepolan rambut Ana. Sepanjang perjalanan menuju mobil, Ana sibuk merapikan rambut bergelombangnya yang selalu saja mengembang ketika dilepaskan dari ikatannya. Cakra yang telah duduk di kursi kemudi, mengamati Ana yang masih sibuk mencoba mengepang rambutnya. Cakra memakaikan sabuk pengaman pada Ana, setelah itu Cakra sibuk dengan kemudinya. Ia melirik saat mendengar desahan lega dari Ana. Rupaya rambut Ana telah dikepang rapi, dan menyisakan beberapa anak rambut yang membingkai pipi tembam Ana.
“Oma dan Opa mau pergi ke kampung? Aku ditinggal sendiri lagi?” tanpa sadar Ana menyuarakan isi hatinya saat membaca pesan dari omanya.
Cakra masih memasang ekspresi datarnya saat melihat Ana mengerucutkan bibirnya, tetapi jika dilihat lebih teliti sudut bibir Cakra berkedut. Cakra mengerutkan kening, saat Ana tak kembali bersuara. Ketika Cakra melirik, Ana tampak sangat fokus menatap layar ponselnya dan mengetik dengan begitu lihai. Cakra masih bungkam dan menghentikan mobilnya di area parkir restoran cepat saji. “Ayo turun,” ajak Cakra lalu turun terlebih dahulu. Ana tak menjawab, tetapi ia menuruti perintah Cakra. Ia turun dengan mata yang masih fokus dengan layar ponselnya. Cakra berdecak saat melihat Ana melangkah tanpa melihat jalan.
Cakra masuk lebih dahulu ke dalam restoran, dan beberapa saat kemudian ia mendengar suara mengaduh di belakangnya. Cakra menoleh, dan melihat Ana yang mengusap keningnya. Mata bulat Ana tampak berkaca-kaca, diiringi bibirnya yang meringis kesakitan. Cakra mendengkus sembari membukakan pintu restoran untuk Ana. “Jalan yang benar! Jangan menatap ponsel terus, Bhu!” perintah Cakra, lalu menarik Ana agar duduk di meja yang kosong.
“Mau makan apa?” tanya Cakra.
“Bhu mau kentang goreng dan minumnya air putih saja,” jawab Ana. Tampaknya gadis itu mengundurkan niatnya untuk kembali meminta putus dari Cakra, alasannya masih mengenai video yang ia lihat tadi pagi. Cakra bangkit dan memesan. Tak berapa lama, ia kembali dengan sebuah nampan di tangannya. Ana masih sibuk dengan ponselnya, saat Cakra menyuruh Ana agar segera makan. Cakra sendiri langsung menggigit chicken wings pesanannya dengan lahap, tapi kegiatannya terhenti saat Ana masih saja sibuk dengan ponselnya.
“Bhu,” panggil Cakra.
“Ah, iya?” jawab Ana lalu meletakkan ponselnya di atas meja. Gadis itu kemudian berlari untuk mencuci tangan sebelum makan. Sementara itu, Cakra meraih ponsel Ana. Ia membuka chat yang baru saja masuk. Kening Cakra mengerut saat membaca rentetan pesan di chat room antara Ana dan Ryan.
Ana kembali, dan entah mengapa merasa cemas saat Cakra tengah memegang ponselnya. Ana takut jika Cakra tengah membaca chat dari Raihan. Sejak tadi, Ana memang sibuk untuk membalas pesan-pesan dari Raihan. Hei, Ana tidak selingkuh! Ana hanya membalas pesan Raihan yang berisi pertanyaan berkaitan dengan tugas, memang sering kali Raihan melemparkan godaan dan ajakan untuk jalan bersama. Demi Lee Dong Wook si suami idaman, Ana tak meladeni godaan Raihan!
“Jadi, sejak tadi Bhu mengabaikan Akra karena ini?” tanya Cakra seusai membaca semua pesan Ana.
“B-Bhu hanya membalas pesan yang berkaitan dengan tugas saja,” jawab Ana sembari memainkan kakinya cemas.
“Menurutku dia lebih banyak mengatakan omong kosong daripada menanyakan tugas,” tukas Cakra lalu mengetuk-ngetuk ujung ponsel Ana di meja.
“Bhu ti—Akra!” Ana memekik terkejut saat ponselnya ditenggelamkan begitu saja di gelas soda milik Cakra. Oh Tuhan! Ana meminta Cakra yang ditenggelamkan, bukan ponsel kesayangannya! Ana meradang, dan menangis dalam hati. Menangisi nasibnya yang buruk karena memiliki pacar seperti Cakra.
Karena Cakra harus membantu Bima di kantor, pagi ini Ana berangkat ke kampus sendirian. Begitu masuk kelas, Ana melihat teman-temannya berkumpul dan membicarakan hal serius. Karena posisi mereka yang memunggungi pintu, mereka tidak tahu jika kini Ana sudah tiba. Ana juga memilih untuk melangkah perlahan agar tak mengganggu pembicaraan mereka.“Tangan
“Benar, tidak apa-apa Kakak tinggal?” tanya Fatih.Ini hari kedua Fatih di Indonesia, dan sayangnya ia harus meninggalkan adiknya yang sakit, untuk segera kembali bertugas di rumah sakit. Di hari pertamanya ini, Fatih sudah memiliki jadwal operasi yang harus ia tangani. Ia merasa sangat bersalah jika harus meninggalkan Ana dalam kondisi seperti ini. “Kakak telepon Cakra ya, dia pasti mau menemanimu selama Kakak bertugas,” bujuk Fatih untuk kesekian kalinya. Jika saja Ana mau dir
“Rumah sakit?” gumam Ana dalam hati saat sadar dari tidur panjangnya. Ana melirik jarum infus yang menancap di tangan kanannya. Ia benci jarum suntik, ia benci infus. Ia benci apa pun yang berkaitan dengan rumah sakit, kecuali kakaknya tentunya. Hal ini bukan tanpa alasan. Dulu, saat Ana masih duduk di bangku sekolah dasar, Ana harus dirawat di rumah sakit selama beberapa bulan karena penyakit tifus. Karena itu, Ana tidak suka dengan rumah sakit. Itu juga yang menjadi alasan Fatih untuk menjadi seorang dokter. I
Setelah pertemuan dengan kedua orang tua Cakra, Ana tidak bisa kembali meminta putus pada Cakra. Ayolah, meskipun dirinya memang ingin putus dengan Cakra, Ana tidak mungkin bertindak gila dengan memaksa putus, sementara ada satu nyawa yang dipertaruhkan dalam hal itu. Ana belum siap menjadi tersangka pembunuhan, dan sampai kapan pun dirinya tidak akan pernah siap. Jadi, pada akhirnya Ana masih menyandang status menjadi kekasih Cakra. Tentu saja hal ini membuat Ana merasa bingung. Apalagi akhir-akhir ini Cakra bersikap sangat manis padanya, sikap otoriternya telah berkurang drastis. Sikapnya seakan-akan tengah memohon maaf tanpa mau mengutarakannya dengan lebih jelas.
Pagi menjelang, Ana terbangun di kamar bernuansa abu-abu gelap. Ia dengan jelas bisa mencium aroma Cakra yang membuat paru-parunya menari-nari senang. Baik, abaikan pikiran konyol Ana barusan! Sepertinya Cakra membawa Ana ke kamar pribadinya. Untunglah, karena Ana memang tidak mau tidur dengan Ely. Tenang saja, Ana juga tidak tidur dengan Cakra. Ana yakin, karena dirinya tidur tepat di tengah ranjang dan tak menemukan jejak-jejak yang menunjukkan bahwa Cakra juga tidur di ranjang tersebut. Pasti Cakra tidur di kamar kecil yang terhubung dengan kamar Cakra ini. Ana bangun dari posisinya bertepatan dengan Cakra yang ke luar dari kamar mandi. Pria itu tampaknya baru saja mandi, rambutnya saja masih terlihat basah.
Ana tersenyum saat membaca pesan dari Panji. Pria itu adalah teman kecilnya. Dulu, Ana dan Panji bertetangga. Sayangnya mereka tidak lagi bisa bertemu, karena keluarga Panji harus pindah saat perusahaan ayah Panji mengalami masalah finansial. Jadi, setelah itu Ana dan Panji putus kontak. Ketika pertama kali bertemu setelah sekian lama, Panji dan Ana tak membutuhkan banyak waktu untuk saling mengenali. Ana kembali tersenyum saat membaca balasan chat Panji.Ana tengah berada dalam suasana hati yang baik saat ini. Ia bahkan sampai lupa akan peringatan C
Dengan kepala tertunduk dalam, Ana duduk di tepi ranjang. Ia sudah sangat lelah sepulang dari restoran di mana dirinya tanpa sengaja bertemu dengan Panji. Sikap Cakra yang sejak awal aneh, semakin aneh saat Panji bergabung makan siang dengan mereka. Pada akhirnya makan siang itu menjadi sangat canggung saat Cakra dan Panji bertukar beberapa kata perkenalan dengan saling menatap tajam. Ana juga tahu, jika kedatangan Panji bukan kebetulan. Cakra ternyata melihat pesan-pesan yang dikirim oleh Panji, dan mengatur pertemuan tersebut tanpa sepengetahuan Ana.
Sudah tujuh hari Ana bebas dari cengkraman Cakra yang membuatnya sesak tiap hari. Seminggu ini, Ana memang tak pernah bertemu dengan Cakra. Begitupula dengan Cakra, pria itu juga tidak pernah mengirim pesan atau berusaha untuk menemui Ana. Di kampus pun, Ana tidak pernah melihat keberadaan Cakra atau teman-temannya. Tasha dan Kekeu juga tidak membicarakan masalah Cakra atau kekasih mereka saat bersama dengan Ana. Karena itu, desas-desus mengenai putusnya Ana dengan Cakra tersebar luas. Sampai sekarang belum ada yang berani menanyakan kebenaran kabar itu pada Ana. Ana sendiri tidak mau repot-repot mengonfirmasi masalah ini pada semua orang lain. Sudah cukup selama ini Ana menjadi pusat perhatian saat menjadi kekasih Cakra. Ana in