Muka kenapa mendung gitu?" tanya seorang perempuan pada salah satu rekannya.
"Mukaku emang gini, bahagia aja terlihat muram. Kayak baru sehari kenal aja." Dia melempar tisu ke arah temannya tadi. "Masih mikirin suamimu yang nggak jelas juntrungannya itu? Otakmu waras nggak, sih, Din? Dia sudah ninggalin kamu. Aku, sih, berharap dia mati saja supaya kamu bisa hidup bebas. Sudah dua tahun sejak dia menghilang dan ninggalin banyak hutang, kamu masih saja berharap lelaki itu kembali. Ayolah, Din! Jangan jadi cewek lemah yang nggak bisa hidup tanpa seorang suami. Ke mana perginya semangatmu yang dulu?" Sang sahabat mulai memberikan ceramah. "Aku masih tetap bersemangat, Wi. Lagian kenapa, sih? Ngegas aja dari tadi ngomongnya," ucap Andini Prameswari menanggapi perkataan sahabatnya. Pratiwi mendekat ke arah Andini. "Aku nggak mau lihat kamu terus-menerus mikirin dia. Sudah selama ini, tapi suamimu belum menampakkan diri. Belum lagi warisan hutang yang dibebankan olehnya. Terlalu banyak dan menyiksamu, Din." Andini tersenyum masam kepada sahabatnya. "Aku masih kuat untuk menjalani semua ini, Wi. Aku masih punya Bisma sebagai kekuatan hidupku." "Dah, lah. Berdebat denganmu itu nggak akan pernah menang. Ayo temui seseorang yang akan bekerja sama dan menjadi pewaralaba cabang kita yang baru." Pratiwi berjalan keluar terlebih dahulu dari ruangan Andini. Sebuah kafe dengan konsep cepat saji merupakan usaha yang dirintis kedua sahabat itu sejak dua tahun lalu. Berbekal sisa tabungan sejak masih gadis, Andini memberanikan diri mengajak sahabatnya berwirausaha. Tak butuh waktu lama, setahun selang pembukaan pertama dari kafe tersebut, sudah ada yang menawarkan diri bergabung dan menanamkan modal untuk cabang baru mereka. Sejak enam bulan lalu, secara resmi baik Andini maupun Pratiwi meresmikan usaha mereka untuk diwaralabakan. Di depan pintu ruang meeting yang biasa digunakan mereka, Andini dan Pratiwi bertemu dengan salah satu rekan mereka yang dipercaya mengelola salah satu cabang kafe. "Baru datang, Pak?" tanya Andini ramah. "Iya, Bu. Maaf, telat," jawab si lelaki. Panggilan yang sangat formal dari keduanya terucap, sekalipun mereka sama-sama saling mengenal dan bersahabat sejak dulu. Berbeda dengan Pratiwi, dia enggan untuk menyapa rekannya yang bernama Davit. "Mukanya biasa saja, Bu. Benci dengan cinta itu bedanya tipis sekali, lho." Dini berbisik pada sahabatnya, meskipun lirih suaranya masih mampu ditangkap oleh Davit yang hanya berjarak beberapa langkah di depan mereka. "Nggak perlu dilanjut! Sudah telat." Pratiwi mendahului keduanya masuk. Di dalam sudah ada beberapa perwakilan para waralaba kafe mereka. Salah satunya, seorang lelaki yang baru bergabung. "Selamat siang semuanya. Maaf, saya sedikit terlambat." Di belakang Pratiwi, Andini dan Davit mengikuti. Keenam orang yang ada di ruangan itu memberikan hormat serta sapaan pada mereka, kecuali satu orang yang masih asyik dengan laptopnya. Fokus sang lelaki masih belum terpecah sama sekali oleh suara-suara sapaan di sekelilingnya. Andini berjalan begitu saja melewati lelaki tersebut. "Oke, saya rasa semua orang sudah hadir di ruangan ini. Kita akan mulai rapat dengan bacaan basmalah terlebih dahulu," ucap Davit memulai. Serentak yang hadir mengikuti instruksi darinya. Sebagai partner yang pertama kali bergabung di kafe MCD milik Pratiwi dan Andini, Davit selalu didaulat sebagai moderator dalam setiap rapat yang diadakan. Setelah pembacaan basmalah, Davit melirik seseorang yang masih asyik dengan benda mati persegi miliknya. Di dalam hati, dia mengutuk lelaki itu yang sifatnya tidak pernah berubah. Satu dehaman keras Davit berikan pada lelaki tersebut. "Maaf, Pak Rasya. Apakah Anda mendengar suara saya?" tanyanya keras. Merasa namanya dipanggil seseorang, lelaki yang bernama lengkap Zafir Al Rasya itu mendongakkan kepala, menatap Davit. "Tentu, saya mendengar setiap perkataan Anda, Pak. Silakan dilanjutkan!" Pratiwi menghentikan kegiatan menyiapkan materi yang akan dipresentasikan. Sedikit ragu, dia menatap pemilik suara itu. Garis-garis pada keningnya terlihat jelas ketika bisa melihat Rasya begitu dekat di hadapannya kini. Siku kanannya mulai memberi isyarat pada sang sahabat. "Apa, sih, Wi?" ujar Andini sedikit sebal. "Lihat siapa yang sedang bicara tadi!" perintah Pratiwi. Demi menghormati sahabatnya, Andini pun menoleh pada lelaki yang duduk tepat di hadapan Davit. "Astagfirullah," ucap Andini terkejut. "Kenapa dia di sini, Wi?" "Mana aku tahu." Kedua bahu Pratiwi terangkat ke atas. "Tanyakan pada lelaki nggak waras itu nanti," tunjuknya pada Davit. Percakapan kedua sahabat itu memancing tatapan semua yang hadir tak terkecuali lelaki yang sedang mereka bicarakan. Tak ingin menjadi pusat perhatian, Andini mengatupkan tangannya meminta maaf pada semua orang. "Bisa kita lanjut sekarang, Bu Dini?" tanya Davit. "Silakan, Pak." Tak terhitung seberapa cepat jantung Andini kini bergerak setiap detiknya. Menit demi menit begitu menegangkan, apalagi saat dia harus mempresentasikan visi misi usaha yang dibangunnya. Bagaimana prosentase keuntangan yang akan didapat bagi setiap orang yang telah menggunakan dan menanamkan modal pada brand kafe miliknya. Semua keterangan itu, Andini jelaskan sedetail mungkin pada Rasya dan dua orang yang ingin bergabung. Ketika Andini akan mengakhiri materi karena sudah tidak ada pertanyaan yang diajukan, tangan kanan Rasya terangkat ke atas. "Berapa lama Anda akan memberikan jaminan BEP pada modal yang telah kami keluarkan untuk usaha ini?" Davit membuka matanya lebar, dia tak percaya dengan pertanyaan sahabatnya yang seperti itu. "Pak, kita tidak bisa memprediksi kapan BEP itu akan terjadi. Hanya saja, kita akan berusaha maksimal untuk dapat mencapainya secepat mungkin. Nggak sampai lima tahun, Insya Allah sudah BEP." "Wajar saya menanyakan hal seperti itu. Kita sebagai pemilik modal butuh kepastian. Di luaran sana banyak sekali usaha franchise atau waralaba yang menjanjikan BEP bisa kita peroleh di tahun ketiga. Jika usaha Anda tidak bisa menjanjikannya, lalu untuk apa saya mengeluarkan uang." Rasya berkata seolah dia tidak mengenal orang-orang yang terlibat dalam usaha tersebut. Benar kata bijak, uang itu tidak mengenal kata sahabat atau kerabat. Davit, Pratiwi serta Andini menyadari hal itu kini. Suara bisik-bisik para pemilik modal membawa kericuhan di ruangan tersebut. Namun, si penanya malah tersenyum mendapati kejadian ini. "Oke. Saya sebagai pendiri dari usaha ini akan memberikan jaminan pada Anda. Saya pastikan modal Anda akan kembali dalam jangka waktu dua tahun," ucap Andini tegas. "Yakin hal itu akan terjadi?" Rasya mencibir perkataan perempuan berjilbab tersebut. Pratiwi berdiri, ucapan Rasya seolah merendahkan harga dirinya dan juga Andini. Bisa jadi karena mereka seorang perempuan, lalu dipandang sebelah mata oleh kaum Adam. "Saya sebagai jaminannya, Pak. Jika dalam jangka waktu yang disebutkan, modal Anda belum juga kembali. Saya akan mengembalikan seluruh uang yang telah dikeluarkan." "Oke. Saya pegang kata-kata Anda." Masih dengan wajah yang penuh ketidakpercayaan, Rasya menatap kedua perempuan itu. Davit merasakan aura ruang meeting sudah tidak kondusif lagi karenanya dia segera mengambil tindakan untuk menutup pertemuan. "Saya rasa pertemuan ini kita cukupkan sampai di sini saja. Segala hal yang berkaitan dengan prosedur selanjutnya akan kami sampaikan melalui email masing-masing. Selamat siang." Satu per satu, mereka meninggalkan ruang meeting kecuali empat orang tersebut. "Pertanyaanmu seperti ingin menghancurkan usaha kami, ya." Pratiwi sedikit emosi saat berkata pada Rasya. "Menghancurkan? Aku bertanya sebagai seorang pemilik modal," jawab Rasya acuh. Dia sudah bersiap-siap akan meninggalkan ruangan, tetapi langkahnya terhenti saat mendengar perkataan Andini. "Jika aku tahu orang yang dikatakan Davit itu adalah kamu, maka nggak akan pernah aku menerima kerja sama ini." Andini berjalan meninggalkan ketiga orang tersebut dan melewati Rasya begitu saja. Reaksi Rasya atas perkataan Andini cukup mengejutkan semua. Dia menarik pergelangan tangan perempuan dewasa itu dengan keras. "Sepuluh tahun nggak bertemu, ternyata kamu masih tetap seorang perempuan yang angkuh. Mari kita bekerja secara profesional. Jangan libatkan perasaan dan masa lalu!" Davit dan Pratiwi, hanya mampu menatap keduanya dengan heran. Mereka berdua saling memandang hingga siluet sang lelaki menghilang di balik pintu.Happy reading***Andini menghempaskan diri di sofa tunggal yang terdapat pada salah satu ruangan kafe miliknya. Dia mulai menyalakan pendingin ruangan, berharap bisa menghilangkan bara kemarahan di dalam hati. Susah payah perempuan itu menebus rasa bersalah pada lelaki yang ditemuinya tadi, tetapi semua sia-sia saat mengetahui reaksi pertemuan pertama mereka."Di sini, kamu rupanya," kata Pratiwi. Kepalanya tersembul masuk dari pintu yang terbuka sedikit."Pesankan aku jus jeruk, dong. Lagi butuh pendingin, nih," ungkap Andini. "Dah, siap. Nih." Pratiwi masuk dan menyerahkan segelas jus jeruk yang sengaja dia bawa kepada sahabatnya. Tanpa diminta, dia tahu apa yang diinginkan Andini.Di sebelah sahabatnya, Pratiwi mengamati wajah muram sang pemilik kafe. Sama seperti Andini, dia pun tak percaya akan bertemu dengan Rasya dalam suasana seperti tadi. "Wi, apa takdir hidupku memang seperti ini, ya?" Tawa sumbang terlontar dari Andini."Jangan pesimis gitu, dong. Kita nggak tahu maksud
Happy Reading*****"Dia memang anakku. Apa Mami nggak cerita soal ini?" Rasya berkata penuh percaya diri."Nggak, mungkin. Tante Hawa nggak mungkin bohong. Kamu belum menikah, bagaimana bisa punya anak?" Perempuan bernama Bonita itu membulatkan mata. "Apa harus menikah dulu untuk mendapatkan anak?" tanya Rasya dengan tampang meremehkan. "Katanya generasi milenial.""Sorry, meskipun aku hidup di jaman milenial, tapi nggak menganut free seks. Aku kecewa sama Tante Hawa." Perempuan berpakaian seksi itu segera pergi meninggalkan Rasya dalam keadaan marah."Jangan lupa bayar bill makananmu," teriak si lelaki dengan wajah ceria dan tawa keras.Lalu, dia menoleh pada si kecil. Mengangkat tangan kanannya dan melakukan tos. Dua cowok beda generasi tersebut tertawa."Terima kasih. Kamu sudah membantu Om.""Jangan lupa hadiahnya." Si kecil berbalik hendak pergi."Tunggu, kamu mau hadiah apa?" Rasya masih menyunggingkan senyuman."Hadiahnya, nanti saja. Adik pasti hubungi Om untuk menagihnya. S
Happy Reading*****Melirik dengan tatapan membunuh, Andini memberanikan diri memegang pergelangan kanan Rasya."Jika kedatanganmu, hanya menambah bebanku saja. Silakan pergi dari ruangan ini," kata Dini, lirih. "Aku nggak punya waktu membahas hal yang nggak penting. Untuk apa kamu mengancam para pewaralaba seperti tadi."Perempuan itu berbisik ketika mengatakannya tidak ingin ada gosip yang semakin menambah citra negatif diri dan usahanya. Rasya segera membalik cekalan di pergelangan tangannya. Kini, dialah yang memegang kendali atas Andini."Mari kita selesaikan bersama. Aku tahu siapa dalang di balik semua ini," kata Rasya mengejutkan wanitanya sekali lagi. "Jangan mengada-ada. Aku dan tim lainnya saja belum bisa menemukan siapa yang telah melakukan penggelapan. Aku hargai niat baikmu, tapi jangan bertindak gegabah," balas Andini. "Tolong percaya padaku. Setidaknya, lakukan ini demi usaha yang telah kamu rintis." Perkataannya tegas. Tidak ada satu pun kalimat yang menyinggung ten
Happy Reading*****Menghempaskan tubuh ke sofa setelah berperang melawan rasa jengkel terhadap sang mantan. Andini memijat pelipisnya ringan. "Sialan, aku kira dia benar-benar akan menolongku. Ternyata cuma mencari celah untuk menghina."Andini memejamkan mata sebentar, sebelum memutuskan pulang. Teringat kenangan dua belas tahun silam. Di mana dirinya dan Rasya adalah dua pasang anak muda yang saling mencintai. "Untuk apa aku mengingat semua itu, dia pasti sudah bahagia dengan kekasihnya," gumam Andini.Pintu ruangannya terbuka, wajah Pratiwi terlihat. "Mau nginep di sini atau gimana?"Membuka mata, langsung menegakkan duduk. "Jam berapa sekarang?""Sudah hampir jam sepuluh.""Astagfirullah. Aku pulang sekarang," ucap Andini, "Bisma aku tinggalkan sama si Mbak. Aku ngomong akan pulang jam tujuh tadi, tapi sekarang sudah sangat terlambat. Kasihan mbaknya.""Ya, sudah sana pulang. Aku juga mau pulang." Andini memeluk sahabatnya sebelum pulang. Lalu, melirik Davit yang ternyata sudah
Happy Reading*****Mematikan sambungan teleponnya, Andini mengutuk perkataan Rasya yang sungguh sangat menyakitkan. Bagaimanapun juga, lelaki itu tidak berhak mencampuri urusan rumah tangganya. Bukankah hubungan mereka sudah berakhir lama. Namun, mengapa kebencian sang lelaki masih terlihat sangat besar. Benar kata bijak, kisahnya mungkin sudah berakhir, tetapi tidak dengan cerita kenangannya.Mencoba memejamkan mata, nyatanya Andini tak mampu terlelap dalam tidur walau seluruh tubuhnya begitu letih dan butuh istirahat. Inderanya menatap langit-langit kamar. Tanpa sadar, perempuan itu bergumam sendirian. "Semua tindakanmu hari ini, bagaimana aku akan membalasnya?" Menghela napas panjang, perempuan satu anak itu menghubungi sang sahabat. "Assalamualaikum. Lagi ngapain, Wi?" tanya Andini ketika panggilannya telah terangkat setelah beberapa kali deringan."Waalaikumsalam. Aku masih di jalan. Ada apa?" "Nggak ada apa-apa. Cuma lagi nggak bisa tidur saja. Kok masih di jalan? Kamu nggak
Happy Reading*****Membereskan sarapan dan segala peralatan dapur tanpa mencuci. Andini bergegas ke kamar untuk mempersiapkan diri ke kafe. Chat yang dikirimkan Rasya walau bukan tertulis secara nyata, tetapi perempuan itu tahu siapa orang yang dituju dalam surat tersebut. "Dasar. Dari dulu nggk berubah. Sukanya nyindir orang. Padahal ngomong langsung kalau aku harus datang lebih cepat ke sana, kan, bisa. Kenapa muter-muter dengan kata-kata nggak penting," gerutu ibu satu anak.yng kini sedang merapikan jilbabnya. Selesai dengan semua riasannya, Andini keluar kamar. Memanggil si kecil. "sudah siap, Dik?"Bisma menyatukan telunjuk dan jempolnya."Ayo berangkat," ajak perempuan berjilbab warna biru muda. Andini tampak bersinar dengan warna cerah yang dipakainya.Jalanan mulai macet karena jam-jam krusial. Sedikit mengumpat dalam hati ketika Rasya kembali mengiriminya pesan hinaan. "Nggak jelas banget. Dia itu kenapa, sih?" gerutu Andini di tengah fokusnya mengemudi."Mama kenapa?" ta
Happy Reading*****"Dih, ngapain aku melakukannya? Memangnya kamu siapa sampai aku harus memata-mataimu?" elak Rasya."Justru karena aku bukan siapa-siapamu, jadi dari mana kamu mendapatkan semua ini? Aku berhak tahu. Bukankah kamu sendiri yang ngomong jangan mudah percaya pada orang lain. Bisa jadi, kamu juga melakukan manipulasi data sehingga mencurigai tiga orang yang disebutkan tadi," cecar Andini. Rupanya, perempuan itu masih sangat penasaran. "Bodoh," sentak Rasya. "Mana mungkin aku melakukannya. Apa kamu nggak sadar jika aku sudah menggunakan nama besar Zafir Grup sebagai jaminan."Davit dan Pratiwi saling memandang kemudian mereka menggelengkan kepala. "Mau sampai kapan berdebat?" sela Davit ketika Andini akan melemparkan kalimat bantahan."Masalah ini, harus cepat kita selesaikan. Jadi, jangan berdebat lagi," tambah Pratiwi, "selain bukti ini, apakah kamu punya bukti kecurangan lain. Misal percakapan ketiga orang yang dicurigai ini."Beruntung, Pratiwi sudah memindahkan ke
Happy Reading*****"Yakin banget. Bukankah kamu yang selalu mengatakan padaku dulu. Setiap kali kamu minta dibuatkan kopi. Kamu akan selalu berkata takarannya," jawab Andini. Sama sekali tak gentar dengan wajah garang Rasya."Kalau begitu, coba sebutkan!" "Harus, ya?" Andini mulai jengkel. Akan melanjutkan perkataan, terdengar dering panggilan masuk di ponselnya."Ya, Sayang. Ada apa?" tanya Andini saat mengangkat ponselnya. Jelas terlihat kebahagiaan yang tidak bisa disembunyikan. Perempuan itu pamit tanpa suara pada rekan-rekannya yang lain. Jelas hal itu makin menimbulkan kecurigaan sang mantan.Lirikan Rasya begitu tajam. Mengkode sahabatnya untuk memastikan pendengaran tidak salah menangkap suara Andini tadi. "Anaknya kali. Gitu aja cemburu.""Aku nggak cemburu. Cuma memastikan kabar yang aku dapat semalam. Tapi, hari ini dia sudah memanggil sayang pada orang lain. Rancu, kan, jadinya." Mencoba menutupi kegalauan hati, lelaki berkulit kuning langsat itu mencemooh sang mantan.