Share

Berawal Dimodali, Berakhir Dinikahi
Berawal Dimodali, Berakhir Dinikahi
Penulis: pramudining

1. Pertemuan

Muka kenapa mendung gitu?" tanya seorang perempuan pada salah satu rekannya.

"Mukaku emang gini, bahagia aja terlihat muram. Kayak baru sehari kenal aja." Dia melempar tisu ke arah temannya tadi.

"Masih mikirin suamimu yang nggak jelas juntrungannya itu? Otakmu waras nggak, sih, Din? Dia sudah ninggalin kamu. Aku, sih, berharap dia mati saja supaya kamu bisa hidup bebas. Sudah dua tahun sejak dia menghilang dan ninggalin banyak hutang, kamu masih saja berharap lelaki itu kembali. Ayolah, Din! Jangan jadi cewek lemah yang nggak bisa hidup tanpa seorang suami. Ke mana perginya semangatmu yang dulu?" Sang sahabat mulai memberikan ceramah.

"Aku masih tetap bersemangat, Wi. Lagian kenapa, sih? Ngegas aja dari tadi ngomongnya," ucap Andini Prameswari menanggapi perkataan sahabatnya.

Pratiwi mendekat ke arah Andini. "Aku nggak mau lihat kamu terus-menerus mikirin dia. Sudah selama ini, tapi suamimu belum menampakkan diri. Belum lagi warisan hutang yang dibebankan olehnya. Terlalu banyak dan menyiksamu, Din."

Andini tersenyum masam kepada sahabatnya. "Aku masih kuat untuk menjalani semua ini, Wi. Aku masih punya Bisma sebagai kekuatan hidupku."

"Dah, lah. Berdebat denganmu itu nggak akan pernah menang. Ayo temui seseorang yang akan bekerja sama dan menjadi pewaralaba cabang kita yang baru." Pratiwi berjalan keluar terlebih dahulu dari ruangan Andini.

Sebuah kafe dengan konsep cepat saji merupakan usaha yang dirintis kedua sahabat itu sejak dua tahun lalu. Berbekal sisa tabungan sejak masih gadis, Andini memberanikan diri mengajak sahabatnya berwirausaha. Tak butuh waktu lama, setahun selang pembukaan pertama dari kafe tersebut, sudah ada yang menawarkan diri bergabung dan menanamkan modal untuk cabang baru mereka. Sejak enam bulan lalu, secara resmi baik Andini maupun Pratiwi meresmikan usaha mereka untuk diwaralabakan.

Di depan pintu ruang meeting  yang biasa digunakan mereka, Andini dan Pratiwi bertemu dengan salah satu rekan mereka yang dipercaya mengelola salah satu cabang kafe.

"Baru datang, Pak?" tanya Andini ramah.

"Iya, Bu. Maaf, telat," jawab si lelaki. Panggilan yang sangat formal dari keduanya terucap, sekalipun mereka sama-sama saling mengenal dan bersahabat sejak dulu.

Berbeda dengan Pratiwi, dia enggan untuk menyapa rekannya yang bernama Davit.

"Mukanya biasa saja, Bu. Benci dengan cinta itu bedanya tipis sekali, lho." Dini berbisik pada sahabatnya, meskipun lirih suaranya masih mampu ditangkap oleh Davit yang hanya berjarak beberapa langkah di depan mereka.

"Nggak perlu dilanjut! Sudah telat." Pratiwi mendahului keduanya masuk. Di dalam sudah ada beberapa perwakilan para waralaba kafe mereka. Salah satunya, seorang lelaki yang baru bergabung. "Selamat siang semuanya. Maaf, saya sedikit terlambat."

Di belakang Pratiwi, Andini dan Davit mengikuti. Keenam orang yang ada di ruangan itu memberikan hormat serta sapaan pada mereka, kecuali satu orang yang masih asyik dengan laptopnya. Fokus sang lelaki masih belum terpecah sama sekali oleh suara-suara sapaan di sekelilingnya. Andini berjalan begitu saja melewati lelaki tersebut.

"Oke, saya rasa semua orang sudah hadir di ruangan ini. Kita akan mulai rapat dengan bacaan basmalah terlebih dahulu," ucap Davit memulai. Serentak yang hadir mengikuti instruksi darinya.

Sebagai partner yang pertama kali bergabung di kafe MCD milik Pratiwi dan Andini, Davit selalu didaulat sebagai moderator dalam setiap rapat yang diadakan. Setelah pembacaan basmalah, Davit melirik seseorang yang masih asyik dengan benda mati persegi miliknya. Di dalam hati, dia mengutuk lelaki itu yang sifatnya tidak pernah berubah.

Satu dehaman keras Davit berikan pada lelaki tersebut. "Maaf, Pak Rasya. Apakah Anda mendengar suara saya?" tanyanya keras.

Merasa namanya dipanggil seseorang, lelaki yang bernama lengkap Zafir Al Rasya itu mendongakkan kepala, menatap Davit. "Tentu, saya mendengar setiap perkataan Anda, Pak. Silakan dilanjutkan!"

Pratiwi menghentikan kegiatan menyiapkan materi yang akan dipresentasikan. Sedikit ragu, dia menatap pemilik suara itu. Garis-garis pada keningnya terlihat jelas ketika bisa melihat Rasya begitu dekat di hadapannya kini. Siku kanannya mulai memberi isyarat pada sang sahabat.

"Apa, sih, Wi?" ujar Andini sedikit sebal.

"Lihat siapa yang sedang bicara tadi!" perintah Pratiwi. Demi menghormati sahabatnya, Andini pun menoleh pada lelaki yang duduk tepat di hadapan Davit.

"Astagfirullah," ucap Andini terkejut. "Kenapa dia di sini, Wi?"

"Mana aku tahu." Kedua bahu Pratiwi terangkat ke atas. "Tanyakan pada lelaki nggak waras itu nanti," tunjuknya pada Davit.

Percakapan kedua sahabat itu memancing tatapan semua yang hadir tak terkecuali lelaki yang sedang mereka bicarakan. Tak ingin menjadi pusat perhatian, Andini mengatupkan tangannya meminta maaf pada semua orang.

"Bisa kita lanjut sekarang, Bu Dini?" tanya Davit.

"Silakan, Pak."

Tak terhitung seberapa cepat jantung Andini kini bergerak setiap detiknya. Menit demi menit begitu menegangkan, apalagi saat dia harus mempresentasikan visi misi usaha yang dibangunnya. Bagaimana prosentase keuntangan yang akan didapat bagi setiap orang yang telah menggunakan dan menanamkan modal pada brand kafe miliknya. Semua keterangan itu, Andini jelaskan sedetail mungkin pada Rasya dan dua orang yang ingin bergabung.

Ketika Andini akan mengakhiri materi karena sudah tidak ada pertanyaan yang diajukan, tangan kanan Rasya terangkat ke atas. "Berapa lama Anda akan memberikan jaminan BEP pada modal yang telah kami keluarkan untuk usaha ini?"

Davit membuka matanya lebar, dia tak percaya dengan pertanyaan sahabatnya yang seperti itu. "Pak, kita tidak bisa memprediksi kapan BEP itu akan terjadi. Hanya saja, kita akan berusaha maksimal untuk dapat mencapainya secepat mungkin. Nggak sampai lima tahun, Insya Allah sudah BEP."

"Wajar saya menanyakan hal seperti itu. Kita sebagai pemilik modal butuh kepastian. Di luaran sana banyak sekali usaha franchise atau waralaba yang menjanjikan BEP bisa kita peroleh di tahun ketiga. Jika usaha Anda tidak bisa menjanjikannya, lalu untuk apa saya mengeluarkan uang." Rasya berkata seolah dia tidak mengenal orang-orang yang terlibat dalam usaha tersebut.

Benar kata bijak, uang itu tidak mengenal kata sahabat atau kerabat. Davit, Pratiwi serta Andini menyadari hal itu kini. Suara bisik-bisik para pemilik modal membawa kericuhan di ruangan tersebut. Namun, si penanya malah tersenyum mendapati kejadian ini.

"Oke. Saya sebagai pendiri dari usaha ini akan memberikan jaminan pada Anda. Saya pastikan modal Anda akan kembali dalam jangka waktu dua tahun," ucap Andini tegas.

"Yakin hal itu akan terjadi?" Rasya mencibir perkataan perempuan berjilbab tersebut.

Pratiwi berdiri, ucapan Rasya seolah merendahkan harga dirinya dan juga Andini. Bisa jadi karena mereka seorang perempuan, lalu dipandang sebelah mata oleh kaum Adam. "Saya sebagai jaminannya, Pak. Jika dalam jangka waktu yang disebutkan, modal Anda belum juga kembali. Saya akan mengembalikan seluruh uang yang telah dikeluarkan."

"Oke. Saya pegang kata-kata Anda." Masih dengan wajah yang penuh ketidakpercayaan, Rasya menatap kedua perempuan itu.

Davit merasakan aura ruang meeting  sudah tidak kondusif lagi karenanya dia segera mengambil tindakan untuk menutup pertemuan.

"Saya rasa pertemuan ini kita cukupkan sampai di sini saja. Segala hal yang berkaitan dengan prosedur selanjutnya akan kami sampaikan melalui email masing-masing. Selamat siang."

Satu per satu, mereka meninggalkan ruang meeting kecuali empat orang tersebut.

"Pertanyaanmu seperti ingin menghancurkan usaha kami, ya." Pratiwi sedikit emosi saat berkata pada Rasya.

"Menghancurkan? Aku bertanya sebagai seorang pemilik modal," jawab Rasya acuh. Dia sudah bersiap-siap akan meninggalkan ruangan, tetapi langkahnya terhenti saat mendengar perkataan Andini.

"Jika aku tahu orang yang dikatakan Davit itu adalah kamu, maka nggak akan pernah aku menerima kerja sama ini." Andini berjalan meninggalkan ketiga orang tersebut dan melewati Rasya begitu saja.

Reaksi Rasya atas perkataan Andini cukup mengejutkan semua. Dia menarik pergelangan tangan perempuan dewasa itu dengan keras. "Sepuluh tahun nggak bertemu, ternyata kamu masih tetap seorang perempuan yang angkuh. Mari kita bekerja secara profesional. Jangan libatkan perasaan dan masa lalu!"

Davit dan Pratiwi, hanya mampu menatap keduanya dengan heran. Mereka berdua saling memandang hingga siluet sang lelaki menghilang di balik pintu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status