Happy Reading
***** Melirik dengan tatapan membunuh, Andini memberanikan diri memegang pergelangan kanan Rasya. "Jika kedatanganmu, hanya menambah bebanku saja. Silakan pergi dari ruangan ini," kata Dini, lirih. "Aku nggak punya waktu membahas hal yang nggak penting. Untuk apa kamu mengancam para pewaralaba seperti tadi." Perempuan itu berbisik ketika mengatakannya tidak ingin ada gosip yang semakin menambah citra negatif diri dan usahanya. Rasya segera membalik cekalan di pergelangan tangannya. Kini, dialah yang memegang kendali atas Andini. "Mari kita selesaikan bersama. Aku tahu siapa dalang di balik semua ini," kata Rasya mengejutkan wanitanya sekali lagi. "Jangan mengada-ada. Aku dan tim lainnya saja belum bisa menemukan siapa yang telah melakukan penggelapan. Aku hargai niat baikmu, tapi jangan bertindak gegabah," balas Andini. "Tolong percaya padaku. Setidaknya, lakukan ini demi usaha yang telah kamu rintis." Perkataannya tegas. Tidak ada satu pun kalimat yang menyinggung tentang masalah pribadi keduanya. Rasya tak peduli dengan perkataan wanita yang masih merajai hatinya itu. Dia berdiri dan menatap semua orang yang hadir. "Selamat sore, perkenalkan saya Zafir Al-Rasya. Tentu sebagian di sini banyak yang mengenal saya. Wajah saya tentunya nggak asing bukan? Saya nggak tahu siapa yang telah korupsi di manajemen MCD kafe. Namun, dari hasil pengamatan yang telah saya lakukan, ada pemalsuan rekening koran serta bukti transfer pembagian laba. Sebentar lagi, akan saya tunjukkan bagaimana cara kerja orang ini, sehingga uang yang belum di transfer olehnya bisa terbaca sudah terkirim oleh Bu Andini sehingga menyebabkan saldo rekening beliau berkurang." Rasya mengeluarkan laptop yang di tenteng di sebelah kiri, sementara tangan kanannya masih betah menggenggam tangan Andini. Seakan lupa bahwa perempuan yang tengah diperlakukan seperti itu adalah wanita bersuami. Davit dan Pratiwi bengong, keduanya saling pandang dengan pemikiran masing-masing. Segala yang dilakukan lelaki itu membuat mereka heran. Bagaimana bisa Rasya mengetahui masalah tersebut begitu mudah. Manajemen MCD saja sudah kewalahan mencari letak kesalahan pembagian laba tersebut. Rasya malah dengan mudahnya mendeskripsikan apa yang terjadi seolah dialah yang berada dan mengelola manajemen kafe. Penjelasan demi penjelasan sudah diberikan oleh Rasya yang membuat sebagian orang terdiam. Semua pertanyaan dan keraguan dari para pewaralaba dilahap habis. Rasya menjawab semuanya berdasarkan fakta dan bukti. Selesai dengan segala pertanyaan dari para pewaralaba, lelaki itu kemudian diam dan menatap seluruh orang yang ada di sana. Mengamati satu per satu wajah yang terlihat mencurigakan. Seolah tahu siapa orang yang ada di belakang masalah yang terjadi sekarang, sang lelaki mendekatkan wajahnya pada sang pujaan. "Siapa pemegang keuangan di kafemu?" tanya Rasya sedikit berbisik. Andini tersenyum canggung, telah berburuk sangka pada sang mantan karena sikapnya tadi. Setelahnya, perempuan itu menunjuk seorang lelaki yang duduk di sebelah kiri Davit. "Siapa perempuan yang di sebelah Tiwi?" lanjut Rasya. Rasa penasarannya semakin tinggi. "Dia asistenku." Andini mulai merasa risih ketika beberapa pasang mata melirik ke arah tangannya yang digenggam oleh Rasya. Demi menghindari fitnah dan gosip, si perempuan berusaha melepaskan pegangan tangan tersebut. Rasya sempat menatap tidak suka. "Ingat, aku adalah perempuan bersuami. Jangan libatkan perasaan dan masa lalu," ucap Andini seolah mengulang kalimat yang sempat dilontarkan Rasya tadi padi. "Oke. Aku ingin bicara setelah meeting ini." Setelah itu Rasya beralih menatap semua orang. "Saya akan membantu mengaudit keuangan MCD kafe. Seminggu lagi, kita adakan meeting dan membahas bagaimana langkah selanjutnya. Jika terbukti ada pihak intern MCD yang melakukan kecurangan, maka saya akan melaporkan pada pihak berwajib. Tapi, jika memang keuntungan yang diperoleh selama ini nihil, tolong beri kami kesempatan untuk meningkatkan penjualan sehingga kafe tiap-tiap cabang tetap berjalan. Beri kami kepercayaan sekali lagi. Jika tahun kedua masih belum diperoleh laba yang sangat menguntung, kalian bisa memutus hubungan kerja sama." Rasya berkata seolah-olah dia terlibat dalam manajemen kafe. Padahal kenyataannya, dia hanyalah seseorang yang baru akan bergabung dengan MCD. Baik Andini maupun Pratiwi tidak ada yang mengucapkan kalimat sanggahan atau bantahan. Davit sendiri langsung mengangguk. Dia begitu percaya jika sahabatnya sudah turun tangan dan berkata demikian. Maka, Rasya pasti akan menyelesaikan semua masalah itu sampai ke akar-akarnya. Semua terdiam, tetapi beberapa saat kemudian ada salah satu dari mereka yang mengangkat tangan. Lelaki berkumis tebal dengan perut sedikit buncit itu menatap Andini dan semua orang yang ada di sebelahnya. "Ya, silakan, Pak," kata Davit karena dia yang melihat orang tersebut mengangkat tangan pertama kali. "Apa jaminan bagi kami bahwa pihak MCD tidak akan lari dari tanggung jawab mereka? Selama ini kami sudah sangat dirugikan. Jika cuma omongan, tentu kami semua bisa melakukannya. Kami tidak butuh janji, tapi bukti nyata,"ucap lelaki tersebut. "Benar," ucap yang lain. "Saya juga butuh jaminan untuk masalah ini. Tentunya, kami berinvestasi pada kafe MCD karena melihat banyaknya peluang serta tertarik pada visi misi perusahaan yang dipaparkan di awal dulu. Tapi, kenyataannya kami sekarang tidak mendapatkan hasil apa pun. Investasi tersebut seperti investasi bodong." "Saya bahkan telah menggunakan uang tabungan pendidikan anak saya saat bergabung di kafe MCD, tapi nggak dapat apa-apa. Padahal pihak manajemen memberikan janji yang cukup menggiurkan. Kalau tahu begini, saya tidak akan pernah bergabung. Merugikan saja," tambah seorang perempuan paruh baya bergamis hitam. Andini dan pihak manajemen MCD kembali dibuat panik setelah tadi sedikit tenang akibat bantuan Rasya. "Bagaimana ini, Din," tanya Pratiwi. Andini terdiam, dia tidak boleh gegabah saat menjawab perkataan orang-orang tadi. Salah kalimat saja, para pewaralaba pasti akan menyerangnya kembali. Namun, untuk memberikan jaminan, tentu dia belum berani. Andini belum menemukan sumber masalah. Apa yang dikatakan Rasya adalah gambaran umum alur dugaan penggelapan pembagian hasil MCD. Melihat kebingungan dari sang pujaan, hati Rasya terasa diiris-iris. Dia merasakan dilema, apalagi perkataan Andini yang memberinya peringatan tadi. Namun, rasa cinta yang belum hilang di hati telah membuatnya mengambil keputusan. Rasya berdiri dan menatap semua orang sekali lagi. "Di awal, saya sudah mengatakan. Jika ada yang berani menghancurkan MCD, maka akan berhadapan dengan grup Zafir. Jika kalian semua masih meragukan apa yang saya katakan tadi, maka gunakan saya sebagai jaminannya. Tentu Anda semua yang ada di sini mengenal nama keluarga Zafir dan segala usaha yang dimiliki." kata Rasya tanpa berunding terlebih dahulu dengan Dini. Dia kembali menatap semua orang. "Apakah kalian semua masih meragukannya?" tantang Rasya. "Baiklah, kami menunggu semua hasil terbaik seminggu lagi. Mohon jangan mengecewakan kepercayaan kami sebagai penanam modal," ucap lelaki yang pertama kali berkata tadi. "Saya rasa, pertemuan kali ini cukup sampai di sini. Kita akan bertemu kembali seminggu kemudian," ucap Rasya mendahului keputusan para petinggi MCD. Semua orang membubarkan diri kecuali manajemen MCD. Setelah Rasya menginstruksikan beberapa perintah pada semua karyawan Andini, mereka meninggalkan ruang meeting juga. Kini, hanya tinggal empat orang yang saling mengenal dekat. Rasya melirik Andini tajam. "Jika tidak sanggup menghadapi situasi seperti ini, sebaiknya kamu diam di rumah. Menunggu suami pulang kerja dan menjaga anak-anak," sindirnya kasar. Pratiwi yang mendengar ucapan menghina Rasya, emosinya naik. "Jika bantuanmu, hanya untuk menghina Andini. Sebaiknya kamu batalkan saja." Andini merotasi bola matanya. "Aku sudah curiga. Niatmu nggak tulus," ucapnya pada sang mantan. "Sudah tahu nggak mampu, masih saja sombong." Rasya segera membereskan laptop dan meninggalkan ruang meeting. "Sekali lagi, jangan libatkan masa lalu kita," teriak Andini, jengkel.Happy Reading*****Menghempaskan tubuh ke sofa setelah berperang melawan rasa jengkel terhadap sang mantan. Andini memijat pelipisnya ringan. "Sialan, aku kira dia benar-benar akan menolongku. Ternyata cuma mencari celah untuk menghina."Andini memejamkan mata sebentar, sebelum memutuskan pulang. Teringat kenangan dua belas tahun silam. Di mana dirinya dan Rasya adalah dua pasang anak muda yang saling mencintai. "Untuk apa aku mengingat semua itu, dia pasti sudah bahagia dengan kekasihnya," gumam Andini.Pintu ruangannya terbuka, wajah Pratiwi terlihat. "Mau nginep di sini atau gimana?"Membuka mata, langsung menegakkan duduk. "Jam berapa sekarang?""Sudah hampir jam sepuluh.""Astagfirullah. Aku pulang sekarang," ucap Andini, "Bisma aku tinggalkan sama si Mbak. Aku ngomong akan pulang jam tujuh tadi, tapi sekarang sudah sangat terlambat. Kasihan mbaknya.""Ya, sudah sana pulang. Aku juga mau pulang." Andini memeluk sahabatnya sebelum pulang. Lalu, melirik Davit yang ternyata sudah
Happy Reading*****Mematikan sambungan teleponnya, Andini mengutuk perkataan Rasya yang sungguh sangat menyakitkan. Bagaimanapun juga, lelaki itu tidak berhak mencampuri urusan rumah tangganya. Bukankah hubungan mereka sudah berakhir lama. Namun, mengapa kebencian sang lelaki masih terlihat sangat besar. Benar kata bijak, kisahnya mungkin sudah berakhir, tetapi tidak dengan cerita kenangannya.Mencoba memejamkan mata, nyatanya Andini tak mampu terlelap dalam tidur walau seluruh tubuhnya begitu letih dan butuh istirahat. Inderanya menatap langit-langit kamar. Tanpa sadar, perempuan itu bergumam sendirian. "Semua tindakanmu hari ini, bagaimana aku akan membalasnya?" Menghela napas panjang, perempuan satu anak itu menghubungi sang sahabat. "Assalamualaikum. Lagi ngapain, Wi?" tanya Andini ketika panggilannya telah terangkat setelah beberapa kali deringan."Waalaikumsalam. Aku masih di jalan. Ada apa?" "Nggak ada apa-apa. Cuma lagi nggak bisa tidur saja. Kok masih di jalan? Kamu nggak
Happy Reading*****Membereskan sarapan dan segala peralatan dapur tanpa mencuci. Andini bergegas ke kamar untuk mempersiapkan diri ke kafe. Chat yang dikirimkan Rasya walau bukan tertulis secara nyata, tetapi perempuan itu tahu siapa orang yang dituju dalam surat tersebut. "Dasar. Dari dulu nggk berubah. Sukanya nyindir orang. Padahal ngomong langsung kalau aku harus datang lebih cepat ke sana, kan, bisa. Kenapa muter-muter dengan kata-kata nggak penting," gerutu ibu satu anak.yng kini sedang merapikan jilbabnya. Selesai dengan semua riasannya, Andini keluar kamar. Memanggil si kecil. "sudah siap, Dik?"Bisma menyatukan telunjuk dan jempolnya."Ayo berangkat," ajak perempuan berjilbab warna biru muda. Andini tampak bersinar dengan warna cerah yang dipakainya.Jalanan mulai macet karena jam-jam krusial. Sedikit mengumpat dalam hati ketika Rasya kembali mengiriminya pesan hinaan. "Nggak jelas banget. Dia itu kenapa, sih?" gerutu Andini di tengah fokusnya mengemudi."Mama kenapa?" ta
Happy Reading*****"Dih, ngapain aku melakukannya? Memangnya kamu siapa sampai aku harus memata-mataimu?" elak Rasya."Justru karena aku bukan siapa-siapamu, jadi dari mana kamu mendapatkan semua ini? Aku berhak tahu. Bukankah kamu sendiri yang ngomong jangan mudah percaya pada orang lain. Bisa jadi, kamu juga melakukan manipulasi data sehingga mencurigai tiga orang yang disebutkan tadi," cecar Andini. Rupanya, perempuan itu masih sangat penasaran. "Bodoh," sentak Rasya. "Mana mungkin aku melakukannya. Apa kamu nggak sadar jika aku sudah menggunakan nama besar Zafir Grup sebagai jaminan."Davit dan Pratiwi saling memandang kemudian mereka menggelengkan kepala. "Mau sampai kapan berdebat?" sela Davit ketika Andini akan melemparkan kalimat bantahan."Masalah ini, harus cepat kita selesaikan. Jadi, jangan berdebat lagi," tambah Pratiwi, "selain bukti ini, apakah kamu punya bukti kecurangan lain. Misal percakapan ketiga orang yang dicurigai ini."Beruntung, Pratiwi sudah memindahkan ke
Happy Reading*****"Yakin banget. Bukankah kamu yang selalu mengatakan padaku dulu. Setiap kali kamu minta dibuatkan kopi. Kamu akan selalu berkata takarannya," jawab Andini. Sama sekali tak gentar dengan wajah garang Rasya."Kalau begitu, coba sebutkan!" "Harus, ya?" Andini mulai jengkel. Akan melanjutkan perkataan, terdengar dering panggilan masuk di ponselnya."Ya, Sayang. Ada apa?" tanya Andini saat mengangkat ponselnya. Jelas terlihat kebahagiaan yang tidak bisa disembunyikan. Perempuan itu pamit tanpa suara pada rekan-rekannya yang lain. Jelas hal itu makin menimbulkan kecurigaan sang mantan.Lirikan Rasya begitu tajam. Mengkode sahabatnya untuk memastikan pendengaran tidak salah menangkap suara Andini tadi. "Anaknya kali. Gitu aja cemburu.""Aku nggak cemburu. Cuma memastikan kabar yang aku dapat semalam. Tapi, hari ini dia sudah memanggil sayang pada orang lain. Rancu, kan, jadinya." Mencoba menutupi kegalauan hati, lelaki berkulit kuning langsat itu mencemooh sang mantan.
Happy Reading*****"Jangan sembarangan, Rasya!" bentak Andini, "Bukankah kekasihmu adalah cewek yang ada di belakang Tante Hawa?"Perempuan yang berdiri di belakang Hawa, menunjuk dirinya sendiri. Lalu, dia tersenyum bingung sekaligus takut melihat tatapan majikannya. "Saya nggak punya hubungan apa pun dengan Pak Rasya, Bu. Bener, saya berani bersumpah," ucap si cewek. Jari tengah dan telunjuk ke atas sebagai bukti sumpahnya.Cewek itu menatap Andini tajam. "Mbak jangan asal nuduh kalau nggak ada bukti. Saya mana berani menaruh rasa pada Pak Rasya. Saya ini cuma perempuan biasa yang nggak pantas bersanding dengan beliau. Jangan fitnah, dong, Mbak. taruhannya pekerjaan saya, lho."Andini terdiam, dia bahkan tidak berani menatap siapa pun. Kepalanya tertunduk dalam menyadari semua prasangkanya salah dan bisa menyebabkan orang lain dalam masalah. Tahu persis bagaimana watak Hawa dalam menjaga pergaulan putranya, mamanya Bisma berkata, "Maaf, jika saya salah."Saat ini, Hawa masih diam d
Happy Reading*****Pulang dengan wajah kusut dan mata sembab, Andini mendapat tatapan intimidasi dari putranya. Baru juga masuk, Bisma sudah berdiri dengan kedua tangan menyilang di depan dada."Assalamualaikum, Sayang," sapa Andini. "Waalaikumussalam." Bisma masih bersedekah sementara sang Mama menghempaskan diri ke sofa. Andini menyandarkan kepalanya. Mencoba memejamkan mata sambil berharap bahwa semua yang terjadi tadi adalah mimpi."Apa masalah kafe sangat berat, Ma?" tanya Bisma setelah beberapa detik Andini memejamkan mata.Andini membuka mata ketika suara si kecil menyapa rungunya. Tersenyum pahit kala melihat wajah lugu si kecil yang selalu peka dengan keadaannya. "Nggak berat, kok, Sayang. Kenapa tanya begitu?"Menarik si kecil ke pangkuan, Andini memeluk dan meletakkan kepala ke bahu Bisma. "Sudah kayak orang dewasa saja tanyanya.""Hmm," jawab Bisma. Kedua tangan si kecil menangkup pipi Andini. "Kalau begitu, kenapa Mama nangis?""Siapa yang nangis?" Mencoba membuka mata
Happy Reading*****"Bisa-bisanya Bisma ngomong gitu, Say," kata seseorang di seberang sana.Andini menggerakkan kedua bahunya walau sang lawan bicara tidak dapat melihat apa yang dilakukannya. "Nggak tahu juga. Aku aja kaget nggak karuan. Kok, bisa dia itu ngasih saran aneh gitu."Ternyata Andini menceritakan semua yang dikatakan Bisma pada sahabat baiknya. Siapa lagi yang bisa diajak berdiskusi selain Pratiwi. Setelah sang ibu memutuskan tinggal bersama neneknya di desa asal. Sejak Andini menikah, dia hidup bersama keluarga kecil barunya."Tapi, ada benernya juga saran pangeranmu itu." Tawa Pratiwi meledak."Gila," balas Andini, "sudahlah. Aku matiin, mau berangkat dulu. Keburu bos baru kita nyindir lagi kayak kemarin."Pratiwi makin mengeraskan suara. "Tapi, enak juga punya bos disiplin seperti Rasya. Semua anak buah takut jika datang terlambat. Seperti beberapa karyawan kita. Mereka malah lebih segan pada mantanmu itu daripada kita berdua."Andini terpaksa ikut tertawa. "Beer juga