Happy Reading
***** Membereskan sarapan dan segala peralatan dapur tanpa mencuci. Andini bergegas ke kamar untuk mempersiapkan diri ke kafe. Chat yang dikirimkan Rasya walau bukan tertulis secara nyata, tetapi perempuan itu tahu siapa orang yang dituju dalam surat tersebut. "Dasar. Dari dulu nggk berubah. Sukanya nyindir orang. Padahal ngomong langsung kalau aku harus datang lebih cepat ke sana, kan, bisa. Kenapa muter-muter dengan kata-kata nggak penting," gerutu ibu satu anak.yng kini sedang merapikan jilbabnya. Selesai dengan semua riasannya, Andini keluar kamar. Memanggil si kecil. "sudah siap, Dik?" Bisma menyatukan telunjuk dan jempolnya. "Ayo berangkat," ajak perempuan berjilbab warna biru muda. Andini tampak bersinar dengan warna cerah yang dipakainya. Jalanan mulai macet karena jam-jam krusial. Sedikit mengumpat dalam hati ketika Rasya kembali mengiriminya pesan hinaan. "Nggak jelas banget. Dia itu kenapa, sih?" gerutu Andini di tengah fokusnya mengemudi. "Mama kenapa?" tanya Bisma. Menoleh penuh kekhawatiran pada perempuan yang sedang menyetir di sebelahnya. "Masalah kafe, Dik. Mama sudah ditunggu tim untuk membahas masalah yang terjadi." "Harusnya, kalau Mama nggak usah nganter aku sekolah. Langsung berangkat ke kafe saja." Andini mengumpat dalam hati, menyalahkan Rasya yang tidak mau mengerti kondisinya hingga membuat sang putra berkata demikian. Namun, sisi hati yang lain cukup bersyukur telah memiliki seorang anak yang begitu pengertian. "Nggak papa, Sayang. Sebentar lagi, juga sudah sampai." Andini memberikan kode supaya si kecil melihat ke depan. Menghentikan kendaraan di depan pintu gerbang sekolah si kecil, Andini menjulurkan tangan kanannya. "Mama nggak bisa menemanimu masuk." "Nggak papa, Ma. Menyelesaikan masalah kafe jauh lebih penting. Adik masuk dulu, ya." Menganggukkan kepala, tak terasa air mata Andini menetes. Bagaimana anak usia tujuh tahun bisa memiliki pemikiran yang begitu dewasa. "Maafkan Mama, Sayang. Kamu dipaksa dewasa sebelum waktunya," ucap Andini sebelum menjalankan mobilnya meninggalkan sekolah Bisma. Melangkah ke ruangannya dengan perasaan jengkel, Andini langsung melihat Rasya, Davit dan Pratiwi. Ketiganya sedang fokus dengan benda pipih persegi di hadapan masing-masing. Wajah-wajah tegang terlihat. "Sepertinya pemimpin kalian tidur nyenyak semalam, sampai-sampai datang terlambat," sindir Rasya ketika melihat wajah terkejut sang pujaan hati. Andini memutar bola mata malas. Semua perkataan itu sudah ada dalam benaknya sejak tadi mengingat semua chat yang dikirimkan. "Nggak perlu nyindir." Duduk di sebelah Pratiwi, Andini langsung menyalakan laptop yang selalu dibawa ke mana pun dia pergi. "Apa yang kita bahas sekarang." Davit menyenggol lengan sang sahabat. "Emang enak nggak digape," bisiknya. Wajah pemimpin Zafir grup tampak kusut setelah mendengar jawaban Andini. Padahal dia ingin jawabab sang mantan lebih panjang sehingga bisa membuka obrolan. Rasya rindu pembahasan yang melibatkan banyak percakapan dengan perempuan yang masih menempati tahta tertinggi di hatinya. Namun, apaah daya. Umpan yang dilempar tidak ditangkap secara baik oleh mangsanya. Mungkin, waktunya kurang tepat juga, mengingat kafe yang dikelola Andini sedang bermasalah. "Buka laporan rugi laba cabang yang bermasalah. Aku mencurigai salah satu dari asisten kalian berdua, tapi manajer keuangan juga aku curigai," jawab Rasya, "tolong tunjukkan bukti transfer yang mereka laporkan pada kalian sewaktu tanggal pembagian laba." Rasya menatap sang mantan dan kedua rekannya bergantian. "Mereka itu cukup profesional dan kompeten di bidangnya. Mana mungkin menyelewengkan uang perusahaan," jawab Andini, "Jangan asal nuduh kalau nggak ada bukti." Ibu satu anak itu terlihat sedikit kesal. Pasalnya, asisten yang kini berkerja dengan Andini adalah salah satu karyawan lama. Dia bekerja sejak mamanya Bisma itu baru merintis usaha kafe cepat sajinya. "Kompeten di bidangnya bukan berarti mereka royal dan setia pada perusahaan. Sama halnya dengan hubungan kekasih, meskipun sudah terjalin selama bertahun-tahun bukankah bisa putus karena perselingkuhan. Semua kemungkinan bisa terjadi dalam pekerjaan. Jika ingin sukses kesampingkan perasaan," kata Rasya keras. Davit dan Pratiwi melongo, dua orang didekatnya itu jika sudah berdebat tidak akan ada yang mau mengalah. Baik Rasya maupun Andini pasti akan mempertahankan apa yang menjadi keyakinan masing-masing. Merasa tak ada yang membuka suara, Rasya melanjutkan perkataannya. "Masalah hubungan hati saja masih rawan perselingkuhan apalagi cuma kontrak kerja yang tidak ada ikatan batin sama sekali." "Ehem." Davit sengaja batuk untuk menjeda kalimat sindiran yang akan dikeluarkan Rasya selanjutnya. Jika dibiarkan sahabatnya itu pasti mencerca Andini dengan perkataan yang sangat menyakitkan. "Lebih baik fokus. Jangan keluar jalur hingga membawa masalah pribadi pada pembahasan kita." Tatapan Davit tajam, memberi peringatan pada Rasya. "Aku cuma mengungkap fakta. Bukan begitu Ibu Andini? Apa pun bisa terjadi di dunia ini. Jadi, jangan pernah memberikan kepercayaan secara membabi buta pada seseorang jika nggak mau tersakiti dengan pengkhianatannya." Walau tersenyum saat mengatakannya, Rasya jelas-jelas telah menargetkan Andini. "Ucapanmu jelas sindiran padaku," sinis Andini, "kembali ke topik. Apa indikasi kecurigaanmu pada mereka? Nggak usah panjang lebar memaparkan hal yang nggak perlu." Tawa lelaki berjas navy itu menggema. Senyum manis yang dulu selalu Andini rindukan kini terlihat kembali. "Bagus kalau kamu sadar." Rasya mengembuskan napas panjang sebelum memaparkan apa yang ada dalam pikirannya. "Jadi begini, aku melihat salah satu dari ketiga orang ini melakukan manipulasi laporan keuangan pada pewaralaba. Coba kalian lihat perbedaan yang sangat mencolok pada bukti transfer berikut." Rasya menyodorkan laptopnya yang berisi bukti-bukti transfer laba rugi pada setiap pewaralaba. "Dari mana kamu mendapatkan bukti-bukti transfer ini? Semua ini bersifat rahasia dan tak seorang pun bisa mengakses kecuali orang-orang tertentu," ucap Andini. Pratiwi juga sedikit heran dengan data-data yang dimiliki Rasya. "Apa kamu yang memberikan semua informasi ini padanya?" tanyanya pada Davit. "Tanpa perlu aku memberikan semua informasi ini, Rasya sudah lebih dulu memilikinya. Sangat mudah baginya mendapatkan bukti-bukti itu. Bukankah dia sudah berjanji akan membantu kita. Jadi, mari kita percayai apa yang dia sampaikan," jelas Davit. "Apa kamu memata-mataiku?" tanya Andini.Happy Reading*****"Dih, ngapain aku melakukannya? Memangnya kamu siapa sampai aku harus memata-mataimu?" elak Rasya."Justru karena aku bukan siapa-siapamu, jadi dari mana kamu mendapatkan semua ini? Aku berhak tahu. Bukankah kamu sendiri yang ngomong jangan mudah percaya pada orang lain. Bisa jadi, kamu juga melakukan manipulasi data sehingga mencurigai tiga orang yang disebutkan tadi," cecar Andini. Rupanya, perempuan itu masih sangat penasaran. "Bodoh," sentak Rasya. "Mana mungkin aku melakukannya. Apa kamu nggak sadar jika aku sudah menggunakan nama besar Zafir Grup sebagai jaminan."Davit dan Pratiwi saling memandang kemudian mereka menggelengkan kepala. "Mau sampai kapan berdebat?" sela Davit ketika Andini akan melemparkan kalimat bantahan."Masalah ini, harus cepat kita selesaikan. Jadi, jangan berdebat lagi," tambah Pratiwi, "selain bukti ini, apakah kamu punya bukti kecurangan lain. Misal percakapan ketiga orang yang dicurigai ini."Beruntung, Pratiwi sudah memindahkan ke
Happy Reading*****"Yakin banget. Bukankah kamu yang selalu mengatakan padaku dulu. Setiap kali kamu minta dibuatkan kopi. Kamu akan selalu berkata takarannya," jawab Andini. Sama sekali tak gentar dengan wajah garang Rasya."Kalau begitu, coba sebutkan!" "Harus, ya?" Andini mulai jengkel. Akan melanjutkan perkataan, terdengar dering panggilan masuk di ponselnya."Ya, Sayang. Ada apa?" tanya Andini saat mengangkat ponselnya. Jelas terlihat kebahagiaan yang tidak bisa disembunyikan. Perempuan itu pamit tanpa suara pada rekan-rekannya yang lain. Jelas hal itu makin menimbulkan kecurigaan sang mantan.Lirikan Rasya begitu tajam. Mengkode sahabatnya untuk memastikan pendengaran tidak salah menangkap suara Andini tadi. "Anaknya kali. Gitu aja cemburu.""Aku nggak cemburu. Cuma memastikan kabar yang aku dapat semalam. Tapi, hari ini dia sudah memanggil sayang pada orang lain. Rancu, kan, jadinya." Mencoba menutupi kegalauan hati, lelaki berkulit kuning langsat itu mencemooh sang mantan.
Happy Reading*****"Jangan sembarangan, Rasya!" bentak Andini, "Bukankah kekasihmu adalah cewek yang ada di belakang Tante Hawa?"Perempuan yang berdiri di belakang Hawa, menunjuk dirinya sendiri. Lalu, dia tersenyum bingung sekaligus takut melihat tatapan majikannya. "Saya nggak punya hubungan apa pun dengan Pak Rasya, Bu. Bener, saya berani bersumpah," ucap si cewek. Jari tengah dan telunjuk ke atas sebagai bukti sumpahnya.Cewek itu menatap Andini tajam. "Mbak jangan asal nuduh kalau nggak ada bukti. Saya mana berani menaruh rasa pada Pak Rasya. Saya ini cuma perempuan biasa yang nggak pantas bersanding dengan beliau. Jangan fitnah, dong, Mbak. taruhannya pekerjaan saya, lho."Andini terdiam, dia bahkan tidak berani menatap siapa pun. Kepalanya tertunduk dalam menyadari semua prasangkanya salah dan bisa menyebabkan orang lain dalam masalah. Tahu persis bagaimana watak Hawa dalam menjaga pergaulan putranya, mamanya Bisma berkata, "Maaf, jika saya salah."Saat ini, Hawa masih diam d
Happy Reading*****Pulang dengan wajah kusut dan mata sembab, Andini mendapat tatapan intimidasi dari putranya. Baru juga masuk, Bisma sudah berdiri dengan kedua tangan menyilang di depan dada."Assalamualaikum, Sayang," sapa Andini. "Waalaikumussalam." Bisma masih bersedekah sementara sang Mama menghempaskan diri ke sofa. Andini menyandarkan kepalanya. Mencoba memejamkan mata sambil berharap bahwa semua yang terjadi tadi adalah mimpi."Apa masalah kafe sangat berat, Ma?" tanya Bisma setelah beberapa detik Andini memejamkan mata.Andini membuka mata ketika suara si kecil menyapa rungunya. Tersenyum pahit kala melihat wajah lugu si kecil yang selalu peka dengan keadaannya. "Nggak berat, kok, Sayang. Kenapa tanya begitu?"Menarik si kecil ke pangkuan, Andini memeluk dan meletakkan kepala ke bahu Bisma. "Sudah kayak orang dewasa saja tanyanya.""Hmm," jawab Bisma. Kedua tangan si kecil menangkup pipi Andini. "Kalau begitu, kenapa Mama nangis?""Siapa yang nangis?" Mencoba membuka mata
Happy Reading*****"Bisa-bisanya Bisma ngomong gitu, Say," kata seseorang di seberang sana.Andini menggerakkan kedua bahunya walau sang lawan bicara tidak dapat melihat apa yang dilakukannya. "Nggak tahu juga. Aku aja kaget nggak karuan. Kok, bisa dia itu ngasih saran aneh gitu."Ternyata Andini menceritakan semua yang dikatakan Bisma pada sahabat baiknya. Siapa lagi yang bisa diajak berdiskusi selain Pratiwi. Setelah sang ibu memutuskan tinggal bersama neneknya di desa asal. Sejak Andini menikah, dia hidup bersama keluarga kecil barunya."Tapi, ada benernya juga saran pangeranmu itu." Tawa Pratiwi meledak."Gila," balas Andini, "sudahlah. Aku matiin, mau berangkat dulu. Keburu bos baru kita nyindir lagi kayak kemarin."Pratiwi makin mengeraskan suara. "Tapi, enak juga punya bos disiplin seperti Rasya. Semua anak buah takut jika datang terlambat. Seperti beberapa karyawan kita. Mereka malah lebih segan pada mantanmu itu daripada kita berdua."Andini terpaksa ikut tertawa. "Beer juga
Happy Reading*****"Om sama Mama salaman dulu, deh. Biar nggak salah paham." Bisma mengambil tangan kanan keduanya, lalu menyatukannya untuk bersalaman. "Nah, gini kan lebih enak. Andai Adik tahu Om dan Mama sudah saling kenal. Adik pasti bakalan ngomong dari dulu sama Om.""Sudahlah, Sayang. Ayo pulang sekarang," ajak Andini. Sengaja mencegah perkataan aneh-aneh yang mungkin akan dikeluarkan oleh putranya. Sementara itu, Rasya malah senyum-senyum sendiri mengingat panggilan Andini tadi pada putranya. "Jadi, bocah ini kesayangan Andini. Bodohnya aku, kenapa bisa cemburu sama anaknya sendiri," ucap Rasya dalam hati."Adik mau pulang asal Mama mau ngajak Om ke rumah kita untuk makan siang." "Adik, jangan keterlaluan. Mama masih banyak pekerjaan di kafe. Adik tahu sendiri, kan, gimana beratnya masalah di kafe Mama." Andini memasang wajah sendu dan melas. Jelas hal itu dilakukan supaya Bisma tidak mengajak Rasya ke rumahnya."Mama nggak perlu khawatir. Nanti, biar adik ngomong sama Om
Happy Reading*****"Adik, jangan manggil sembarangan," protes Andini. Dia menambahkan gelengan kepala supaya sang putra tidak melewati batas."Sudahlah. Kita makan sekarang," pinta Rasya. Menuruti permintaan Bisma, lelaki itu mengambilkan ayam goreng yang dikatakan si kecil tadi.Mereka makan siang dalam diam walau sesekali Bisma masih berceloteh. Namun, Rasya dan Andini menanggapi biasa saja. Mereka berdua terlalu canggung. Selesai makan, Andini segera membereskan peralatan kotor. Meninggalkan Bisma dan Rasya yang kembali melanjutkan permainan mereka. Lima belas menit kemudian, barulah perempuan itu bergabung dengan keduanya. "Sayang, mainnya udahan dulu. Om Rasya pasti banyak kerjaan di kantornya sama seperti Mama yang harus kembali ke kafe setelah ini," ucap Andini memutus kebersamaan sang mantan dan putranya."Nggak masalah kalau dia masih mau main. Aku bisa tunda semua pekerjaan.""Nggak perlu memanjakan Bisma seperti itu. Kalau nggak ada kamu, aku yang repot."Bisma menatap m
Happy Reading*****"Nggak mungkin Mami ngasih tahu wanita sepertinya. Kamu lupa kejadian beberapa tahun lalu?" ucap Rasya setelah meluapkan emosinya. "Nggak lupa, Pak. Cuma, segala kemungkinan bisa saja terjadi mengingat Ibu Hawa sangat gencar mencarikan istri untuk Anda.""Sudahlah. Keluar sana, merusak suasana bahagia saja." Adipati segera berbalik arah, tetapi sebelum mencapai pintu, dia sempat menyampaikan beberapa kata sindiran pada si bos. "Aku mendengarnya, Di. Mau aku kirim ke luar Jawa?""Maaf ... maaf," jawab Adipati. Buru-buru meralat perkataannya. "Tapi, kenyataan lho, Pak. Orang jatuh cinta itu menjadi bodoh dan lupa segalanya.""Sekali lagi, kamu ulangi. Sekarang juga, aku nyari tiket buat melemparmu ke cabang luar Jawa."Adipati tak berani membantah perkataan si bos lagi. Dia segera keluar dari ruangan menakutkan tersebut. Namun, tawanya seketika terhenti kala melihat wajah wanita yang diusirnya tadi."Tolong katakan pada bosmu itu. Aku membawa hal penting yang haru