Happy Reading*****Andini mengerutkan keningnya. "Sudah lama mereka ngikutin kamu, Dik?""Nggak lama, Ma. Pas aku istirahat, baru lihat dua orang itu yang terus ngelihatin. Sampai aku pulang, mereka selalu berada di belakang Adik," cerita Bisma. Andini mengeluarkan ponsel. Dia mencoba menghubungi sahabat baiknya. "Wi, kamu bisa datang ke rumah, nggak?""Malam ini?" tanya Pratiwi setelah menjawab salam sahabatnya. "Iya sekarang. Ada yang mencurigakan. Aku takut seseorang ingin mencelakai Bisma. Bisa jadi, ini ada kaitannya dengan masalah kafe. Bukankah Rasya sempat mencurigai beberapa orang." Andini mulai menjelaskan panjang lebar tentang masalah yang dihadapinya sekarang."Aku telpon Davit. Kalau cuma kita yang mengatasi masalah ini, kemungkinan nggak akan sanggup.""Terserah, aku tunggu di rumah. Aku benar-benar takut.""Apa perlu aku telpon Rasya juga?""Nggak usah," jawab Andini cepat. Hening sejenak. Lalu, suara Pratiwi kembali terdengar. "Apa kamu marahan lagi sama dia. Kalia
Happy Reading*****"Din, gimana ceritanya Bisma ketemu sama Pak Radit?" bisik Pratiwi. Andini menggerakkan bahu, tidak mengerti."Dik, kamu yakin mereka suruhan papamu? Bukan orang lain?" tanya Davit heran. "Iya, yakin, Om.""Aku barusan telpon Papa," ucap Bisma meyakinkan semua orang."Tapi, tadi?" kata Davit heran."Memangnya kamu punya nomor telpon papamu, Dik?" tanya Andini."Sejak kapan papamu ditemukan keberadaannya, Dik?" tambah Pratiwi. Perempuan itu bahkan mendekati si kecil, menempelkan telapak tangannya pada kening. "Nggak panas. Berarti dia nggak ngigau.""Ish, Tante Tiwi keterlaluan," protes Bisma, "aku nggak mengigau. Beneran kok orang yang berada di luar itu suruhan Papa." Ketiga orang dewasa di dekat Bisma membuka mulut, matanya juga terbuka sempurna. Mereka terlalu terkejut mendengar penuturan bocah tujuh tahun itu."Kenapa Mama dan yang lain nggak percaya, sih?" Bisma memajukan bibirnya. "Bukannya kami nggak percaya, Sayang," kata Pratiwi, menghibur. "Papamu suda
Happy Reading*****"Apakah semua bukti tadi belum cukup untuk membuktikan kesalahan kalian berdua," kata Rasya."Cuma screenshot apa bisa membuktikan keasliannya? Nyatanya, saya memang nggak pernah mendapat transfer uang pembagian laba," ucap salah satu orang yang memberikan modal di kafe Andini."Benar itu," tambah lainnya."Coba perhatikan baik-baik," pinta Davit, "pada berkas fotokopi yang sudah dibagikan dengan jelas terlihat jika angka laporan keuangan dimanipulasi. Bandingkan dengan yang ada di layar. Kalau masalah screenshot bukti transfer yang sudah dikeluarkan oleh Ibu Andini maupun Ibu Pratiwi, saya memiliki rekening korannya."Davit menunjukkan rekening koran dari kafe MCD. "Apakah rekening koran yang saya tunjukkan ini palsu?" tanyanya. Semua orang terdiam, mereka meneliti keaslian dari kertas yang ditunjukkan David. Andini berdiri dengan menunjukkan ponselnya."Jadi, setiap bulan, setelah melaporkan bahwa uang pembagian laba sudah dikeluarkan dengan bukti transfer pals
Happy Reading *****"Pikiranmu terlalu negatif, Din," sahut Pratiwi.Setelahnya, mereka kembali meneruskan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan pembagian laba. Sebagian akan ditransfer langsung oleh Davit karena uang yang digelapkan Mely sudah dikembalikan. "Untuk pembagian laba yang belum ditransfer akan kami kabari setelah masalah dengan Devi terselesaikan. Saya berjanji akan melakukan secepatnya," janji Davit pada semua pewaralaba. "Baiklah, kami percaya sepenuhnya pada janji yang kalian ucapkan," ucap salah satu pewaralaba."Apakah ada lagi yang ingin kalian sampaikan sebelum kami mengakhiri pertemuan kali ini?" kata Rasya. Ketika semua orang menggelengkan kepala, maka Davit pun menutup pertemuan tersebut dengan bacaan basmalah. Mengatakan bahwa mereka akan segera mengurus permasalahan Devi dengan cepat. Saat ini, semua orang sudah meninggalkan ruang meeting, hanya tersisa keempat sahabat lama."Semua masalah kafe sudah terselesaikan. Lalu, hadiah apa yang akan aku per
Happy Reading*****Sepeninggal Rasya, Andini mengumpat keras bahkan sempat akan melempar map yang ada di hadapannya jika suara tawa Davit tak terdengar."Bisa-bisanya dia ngomong seperti itu," umpat Andini. "Kamu kayak nggak kenal Rasya saja, Din. Rasya itub sudah menjadi pebisnis ulung di usia muda. Wajar jika dia bisa menjebakmu lewat kata-kata tadi." Davit masih saja tertawa mengingat wajah kemenangan sahabatnya."Terus saja bela dia," sindir Andini. Dia kembali duduk sambil memijat pelipisnya. Permintaan Rasya sungguh di luar nalar. Sedikitpun, Andini tidak pernah membayangkan jika sang mantan akan meminta hal seperti itu.Pratiwi menyentuh pundak sahabat karibnya. "Mau sampai kapan kamu menyangkal perasaan Rasya. Sudah begitu jelas, dia menginginkanmu kembali. Mau sampai kapan kamu menutup hati untuk cinta yang tulus sepertinya.""Benar kata Tiwi, Din," sahut Davit, "apa kamu nggak bisa melihat semua ketulusan Rasya. Demi bisa menjagamu dengan baik, dia bahkan mengirimkan dua p
Happy Reading*****"Ehem," ucap Andini, sengaja berdeham supaya kehadirannya diketahui oleh dua orang beda generasi yang sedang duduk santai di tengah lapangan basket. "Kenapa memberikan harapan jika kamu nggak bisa menjawab pertanyaan Bisma tadi?" tanya Andini karena tak kunjung mendapat jawaban dari bibir lelaki yang ternyata masih menghiasi hatinya. "Sejak kapan kamu datang?" Rasya menatap curiga. Walau sedikit terkejut, tetapi dia berusaha menguasai diri dengan cepat."Apa pedulimu?" Raut muka Andini berubah marah. Entah apa yang membuatnya begitu kesal. Rasa itu makin menjadi ketika Rasya malah tersenyum. Tidak mengerti sama sekali isi hatinya. Andini pun mengutuk perbuatan lelaki itu yang tidak peka sama sekali. "Tentu aku peduli karena perkataanmu tadi secara nggak langsung menuduhku. Apa kamu memiliki kebiasaan menguping pembicaraan orang lain?" Lirikan Rasya sungguh sangat menjengkelkan. Apalagi gestur tubuh yang ditunjukkan begitu mencemooh sang mantan. Andini yang tid
Happy Reading*****Bisma terbahak-bahak melihat wajah kedua orang yang disayanginya memerah karena malu. Padahal, Andini sedang marah padanya. Namun, si kecil tidak merasa takut sama sekali. "Dik, nggak boleh ngelakuin hal seperti tadi," peringat Rasya. Dia melihat kepolosan si kecil yang tidak mengetahui jika hal tersebut dilarang. Bibir Bisma maju, lalu memutar bola mata. "Memangnya kenapa nggak boleh? Orang tua teman-temanku juga sering melakukannya. Aku pernah melihat papanya Hanif nyium pipi mamanya pas mau berangkat kerja. Lalu, kenapa Papa nggak boleh melakukan hal sama?"Andini mengembuskan napas. Seketika, kemarahannya mereda. Bukan salah putra semata wayangnya jika sampai melakukan kenakalan seperti tadi. Namun, dia yang tidak memberikan pengertian bahwa hal semacam itu tidak diperbolehkan oleh agama.Menunduk sambil mengusap rambut si kecil. Andini berkata, "Mama sama Papa belum diperbolehkan bahkan dilarang melakukannya.""Masalahnya apa? Kenapa yang lain bisa, tapi Mam
Happy Reading****Lelaki yang mengenakan kemeja abu-abu itu berniat keluar terlebih dahulu, tetapi Andini segera mencegah dengan memegang pergelangan tangannya. "Aku turun dulu. Kamu sama Bisma sebaiknya di sini saja," ucap Rasya seolah dia mengetahui isi pikiran sang pujaan. "Tapi?" Ucapan Andini mendapat respon gelengan kepala. "Aku nggak akan kenapa-kenapa. Mereka nggak bisa menyentuhku. Justru yang aku khawatirkan adalah keadaanmu dan Bisma," sahut Rasya. Mengusap punggung tangan sang pujaan, Rasya menatap Andini, meyakinkan. Tak lupa, lelaki beralis tebal itu memberikan senyuman termanisnya. "Hati-hati. Aku nggak mau kamu sampai terluka oleh mereka. Sepertinya, dua orang itu bukanlah orang baik-baik. Mereka terlihat seperti preman," nasihat Andini."Bener kata Mama, Pa. Mereka preman yang bisa saja mau menculik salah satu dari kita bertiga. Seperti film-film yang pernah aku tonton," tambah Bisma. "Khayalanmu terlalu, Dik," ucap Rasya disertai senyuman. "Adik sama Mama tena