Happy Reading *****"Pikiranmu terlalu negatif, Din," sahut Pratiwi.Setelahnya, mereka kembali meneruskan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan pembagian laba. Sebagian akan ditransfer langsung oleh Davit karena uang yang digelapkan Mely sudah dikembalikan. "Untuk pembagian laba yang belum ditransfer akan kami kabari setelah masalah dengan Devi terselesaikan. Saya berjanji akan melakukan secepatnya," janji Davit pada semua pewaralaba. "Baiklah, kami percaya sepenuhnya pada janji yang kalian ucapkan," ucap salah satu pewaralaba."Apakah ada lagi yang ingin kalian sampaikan sebelum kami mengakhiri pertemuan kali ini?" kata Rasya. Ketika semua orang menggelengkan kepala, maka Davit pun menutup pertemuan tersebut dengan bacaan basmalah. Mengatakan bahwa mereka akan segera mengurus permasalahan Devi dengan cepat. Saat ini, semua orang sudah meninggalkan ruang meeting, hanya tersisa keempat sahabat lama."Semua masalah kafe sudah terselesaikan. Lalu, hadiah apa yang akan aku per
Happy Reading*****Sepeninggal Rasya, Andini mengumpat keras bahkan sempat akan melempar map yang ada di hadapannya jika suara tawa Davit tak terdengar."Bisa-bisanya dia ngomong seperti itu," umpat Andini. "Kamu kayak nggak kenal Rasya saja, Din. Rasya itub sudah menjadi pebisnis ulung di usia muda. Wajar jika dia bisa menjebakmu lewat kata-kata tadi." Davit masih saja tertawa mengingat wajah kemenangan sahabatnya."Terus saja bela dia," sindir Andini. Dia kembali duduk sambil memijat pelipisnya. Permintaan Rasya sungguh di luar nalar. Sedikitpun, Andini tidak pernah membayangkan jika sang mantan akan meminta hal seperti itu.Pratiwi menyentuh pundak sahabat karibnya. "Mau sampai kapan kamu menyangkal perasaan Rasya. Sudah begitu jelas, dia menginginkanmu kembali. Mau sampai kapan kamu menutup hati untuk cinta yang tulus sepertinya.""Benar kata Tiwi, Din," sahut Davit, "apa kamu nggak bisa melihat semua ketulusan Rasya. Demi bisa menjagamu dengan baik, dia bahkan mengirimkan dua p
Happy Reading*****"Ehem," ucap Andini, sengaja berdeham supaya kehadirannya diketahui oleh dua orang beda generasi yang sedang duduk santai di tengah lapangan basket. "Kenapa memberikan harapan jika kamu nggak bisa menjawab pertanyaan Bisma tadi?" tanya Andini karena tak kunjung mendapat jawaban dari bibir lelaki yang ternyata masih menghiasi hatinya. "Sejak kapan kamu datang?" Rasya menatap curiga. Walau sedikit terkejut, tetapi dia berusaha menguasai diri dengan cepat."Apa pedulimu?" Raut muka Andini berubah marah. Entah apa yang membuatnya begitu kesal. Rasa itu makin menjadi ketika Rasya malah tersenyum. Tidak mengerti sama sekali isi hatinya. Andini pun mengutuk perbuatan lelaki itu yang tidak peka sama sekali. "Tentu aku peduli karena perkataanmu tadi secara nggak langsung menuduhku. Apa kamu memiliki kebiasaan menguping pembicaraan orang lain?" Lirikan Rasya sungguh sangat menjengkelkan. Apalagi gestur tubuh yang ditunjukkan begitu mencemooh sang mantan. Andini yang tid
Happy Reading*****Bisma terbahak-bahak melihat wajah kedua orang yang disayanginya memerah karena malu. Padahal, Andini sedang marah padanya. Namun, si kecil tidak merasa takut sama sekali. "Dik, nggak boleh ngelakuin hal seperti tadi," peringat Rasya. Dia melihat kepolosan si kecil yang tidak mengetahui jika hal tersebut dilarang. Bibir Bisma maju, lalu memutar bola mata. "Memangnya kenapa nggak boleh? Orang tua teman-temanku juga sering melakukannya. Aku pernah melihat papanya Hanif nyium pipi mamanya pas mau berangkat kerja. Lalu, kenapa Papa nggak boleh melakukan hal sama?"Andini mengembuskan napas. Seketika, kemarahannya mereda. Bukan salah putra semata wayangnya jika sampai melakukan kenakalan seperti tadi. Namun, dia yang tidak memberikan pengertian bahwa hal semacam itu tidak diperbolehkan oleh agama.Menunduk sambil mengusap rambut si kecil. Andini berkata, "Mama sama Papa belum diperbolehkan bahkan dilarang melakukannya.""Masalahnya apa? Kenapa yang lain bisa, tapi Mam
Happy Reading****Lelaki yang mengenakan kemeja abu-abu itu berniat keluar terlebih dahulu, tetapi Andini segera mencegah dengan memegang pergelangan tangannya. "Aku turun dulu. Kamu sama Bisma sebaiknya di sini saja," ucap Rasya seolah dia mengetahui isi pikiran sang pujaan. "Tapi?" Ucapan Andini mendapat respon gelengan kepala. "Aku nggak akan kenapa-kenapa. Mereka nggak bisa menyentuhku. Justru yang aku khawatirkan adalah keadaanmu dan Bisma," sahut Rasya. Mengusap punggung tangan sang pujaan, Rasya menatap Andini, meyakinkan. Tak lupa, lelaki beralis tebal itu memberikan senyuman termanisnya. "Hati-hati. Aku nggak mau kamu sampai terluka oleh mereka. Sepertinya, dua orang itu bukanlah orang baik-baik. Mereka terlihat seperti preman," nasihat Andini."Bener kata Mama, Pa. Mereka preman yang bisa saja mau menculik salah satu dari kita bertiga. Seperti film-film yang pernah aku tonton," tambah Bisma. "Khayalanmu terlalu, Dik," ucap Rasya disertai senyuman. "Adik sama Mama tena
Happy Reading*****Membuka lemari yang biasa digunakan untuk menyimpan berkas-berkas penting, Andini mulai mencari sertifikat rumah yang diminta oleh Rasya tadi. Berkali-kali dia membalik dan membaca satu per satu semua berkas yang ada di sana. Namun, surat yang dicari tak ada sama sekali. Keringat mulai bermunculan di dahi si perempuan. "Kapan dia membawa surat itu? Kenapa aku sama sekali nggak sadar," gumam Andini.Berjalan gontai ke teras di mana Rasya dan dua penagih hutang tadi berada, Andini menatap Rasya sedih."Gimana? Apa surat itu masih kamu simpan?" tanya Rasya pada Andini.Si perempuan menggelengkan kepala. "Aku nggak sadar, kapan Mas Radit membawa sertifikat rumah ini," ucapnya."Bajingan," umpat Rasya, "bawa Bisma masuk. Biar aku yang menghadapi mereka.""Tapi," ucap Andini sedikit keberatan."Jangan membantah, Din. Kumohon, kali ini saja, kamu percaya," pinta Rasya dengan tatapan memohon."Kalian berdua cuma membuang-buang waktu kami. Cepat bayar atau kami akan membaw
Happy Reading****Mengendarai kendaraan roda empat tanpa tujuan, pikiran Rasya dipenuhi dengan Andini. Walau masih banyak pekerjaan di kantor, lelaki itu memilih tidak kembali. Dia berniat menenangkan diri di rumah tepi pantai miliknya. Perkataan Andini benar-benar menyakiti hati lelaki tersebut.Suara deburan ombak di teras rumah membuat hati Rasya sedikit terhibur. Tak lupa, lelaki itu menghubungi salah satu sahabat sekaligus rekan kerjanya yang memiliki rumah tak jauh dari tempat tinggalnya kini.Duduk merenung di teras rumah sambi menikmati suasana dan pemandangan di saat senja hadir, Rasya kembali teringat kata-kata sang pujaan yang begitu menyakitkan."Sudah sejauh ini aku membantunya. Apa masih belum mengerti juga jika aku sangat mencintainya. Kenapa masih terus membela om-om edan itu. Apa cintanya terlalu besar?" "Sialan kamu!!" Rasya berteriak kencang di teras rumah tepi pantainya. Meluapkan segala kekesalan hati. "Apa hebatnya lelaki itu sampai kamu tetap memaafkan bahkan
Happy Reading****Mahesa berdiri, sedikit terkejut dengan tindakan sahabatnya yang terlihat sangat terburu-buru."Jangan gegabah, Sya. Tenanglah, nggak perlu terburu-buru. Ceritakan, ada apa sebenarnya?" pinta Mahesa. Mulai khawatir dengan sikap lelaki di depannya. Terkadang, seseorang itu bisa saja bertindak bodoh karena cinta. Tidak mengejek Rasya karena Mahesa sendiri pernah mengalaminya. Demi orang yang dicintai, dia rela berbuat apa saja bahkan sampai membahayakan nyawanya. Oleh karena itulah, bapak satu anak itu tidak ingin sahabatnya mengalami apa yang pernah terjadi padanya. Walau belum tahu hal apa yang membuat Rasya sedemikian panik.Bukannya menjawab, lelaki itu malah menggerakkan jemarinya di atas layar ponsel. Keningnya berkerut dengan mata menyipit. Mahesa makin curiga melihat semua perubahan sikap Rasya di depannya.Setelah beberapa detik wajah Rasya terlihat tegang, sebuah senyuman muncul menghiasi wajahnya. Seperti mendapat air di tengah padang pasir yang tandus. Ra