Happy Reading****Mahesa berdiri, sedikit terkejut dengan tindakan sahabatnya yang terlihat sangat terburu-buru."Jangan gegabah, Sya. Tenanglah, nggak perlu terburu-buru. Ceritakan, ada apa sebenarnya?" pinta Mahesa. Mulai khawatir dengan sikap lelaki di depannya. Terkadang, seseorang itu bisa saja bertindak bodoh karena cinta. Tidak mengejek Rasya karena Mahesa sendiri pernah mengalaminya. Demi orang yang dicintai, dia rela berbuat apa saja bahkan sampai membahayakan nyawanya. Oleh karena itulah, bapak satu anak itu tidak ingin sahabatnya mengalami apa yang pernah terjadi padanya. Walau belum tahu hal apa yang membuat Rasya sedemikian panik.Bukannya menjawab, lelaki itu malah menggerakkan jemarinya di atas layar ponsel. Keningnya berkerut dengan mata menyipit. Mahesa makin curiga melihat semua perubahan sikap Rasya di depannya.Setelah beberapa detik wajah Rasya terlihat tegang, sebuah senyuman muncul menghiasi wajahnya. Seperti mendapat air di tengah padang pasir yang tandus. Ra
Happy Reading*****Tak peduli apa yang dikatakan Hawa selanjutnya, Rasya memutuskan panggilan mereka. Lalu, segera melajukan kendaraan ke arah rumah Andini. Dia harus menyelesaikan konflik sebelumnya dengan perempuan itu. Sebelum sampai di halaman rumah sang kekasih, lelaki itu menyempatkan mampir ke mini market dan toko bunga untuk memberi oleh-oleh pada sang pujaan. Hatinya kembali berbunga-bunga sejak mendapat kiriman foto dari seseorang. Melirik jam tangannya, lelaki itu bergumam, "Masih ada waktu sebelum dia tidur. Jika kebiasaannya nggak berubah, dia belum tidur jam segini. Semoga nggak telat.""Ada yang bisa dibantu, Pak?" tanya salah satu pelayan toko bunga. Senyumnya merekah ketika menyambut kedatangan Rasya."Beri saya beberapa tangkai mawar merah. Lalu, rangkai menjadi buket yang indah," pinta Rasya pada pelayan toko bunga. Di mobil, dia sudah menyiapkan sekotak cokelat favorit mamanya Bisma. Semua kebiasaan serta makanan kesukaan Andini, masih terekam indah pada memori
Happy Reading***Tanpa menoleh ke belakang, Rasya tersenyum mendengar umpatan sang pujaan. Kali ini, dia pulang dengan senyum penuh kemenangan. Yakin jika Andini akan ikut bersamanya besok. Menghubungi asisten pribadinya, Rasya menuliskan pesan supaya Adipati melaksanakan perintahnya. "Besok, kirimkan gamis pesta terbaik ke alamat rumah Andini. Pagi-pagi sekali, baju itu harus sudah ada di sana, sebelum aku berangkat memancing.""Duh, Bos. Gamis pesta yang bagus itu gimana? Aku belum pernah memesan. Lagian aku juga nggak ngerti masalah gamis dan sejenisnya," balas Adipati."Tugasmu untuk mendapatkan apa yang aku inginkan." Setelah menuliskan balasan, Rasya tersenyum puas. Dia merasakan kebahagiaan ketika bisa mengerjai Adipati. Kekesalannya pada Andini tadi, terlampiaskan sudah.Sampai di rumah, Rasya memutuskan menghubungi Bisma. Si kecil, besok harus datang ke pesta ulang tahun Hawa. "Assalamualaikum, Papa," sapa Bisma terdengar oleh indera Rasya. "Kok, belum tidur?""Nggak bisa
Happy Reading*****Bisma tertawa keras. "Makanya, jangan berdebat terus. Kalau Mama sama Papa terus kayak gini. Kapan mau berangkat ke Watu Dodol?""Adik sudah siap?" tanya Rasya memutus perdebatan dengan sang pujaan."Sudah." Memutar tubuhnya di hadapan Rasya, Bisma menjawab dengan senyuman. "Papa tuh yang belum siap. Adik sama Mama tinggal nunggu Papa ganti baju.""Papa nggak usah ganti. Gini saja, nanti sampai pantai baru ganti.""Ribet," sahut Andini sewot. "Mana kunci mobilmu.""Untuk apa?" Rasya mengerutkan kening."Ngambil baju. Kamu ganti di kamar Adik saja. Kalau di toilet umum, takutnya kotor." Rasya mengeluarkan kunci dari saku baju kokonya. Lalu, menyerahkan pada Andini. Dalam hati, dia sempat berkata bahwa perhatian Andini tidak pernah berkurang sama sekali kepadanya. Menunggu beberapa detik, Andini membawa tas ransel. "Bajumu pasti ada di dalam sini. Aku sengaja membawa semuanya.""Iya nggak masalah." Rasya berdiri. Diikuti Bisma dia masuk rumah. Beberapa menit kemud
Happy Reading*****"Kenapa nggak boleh dibuang? Aku nggak mau kamu salah paham lagi kayak kemarin. Tiba-tiba pergi tanpa ngasih penjelasan." Andini memutar bola mata, malas.Susah payah dia meneguhkan hati supaya Rasya bisa kembali mempercayai. Namun, semua berbalik saat ada kado di meja teras rumah Andini."Bawa masuk dulu," pinta Rasya, "aku tidurkan Bisma di kamar. Setelahnya, kita bicara, ya.""Nggak jelas banget sih, Bi," sahut Andini. Akan tetapi, dia tetap menuruti permintaan sang kekasih.Ketika Rasya menidurkan Bisma di kamar, Andini sedang berada di dapur. Bertemu dengan si Mbak yang tengah menyiapkan makan siang, Andini pun bertanya mengenai kotak kado di terasnya."Saya nggak tahu dari siapa, Mbak. Waktu saya tanya, katanya Mbak sudah pasti tahu pengirimnya," jelas si pembantu.Kening Andini berkerut. "Siapa, ya, Mbak? Nggak ada nama pengirimnya.""Mungkin salah satu penggemarnya Mbak." Si Mbak yang sudah lama bekerja membersihkan dan membantu tugas rumah tangga itu meng
Happy Reading*****Andini melepas genggaman tangan Rasya. Demikian juga Bisma, si kecil mundur satu langkah dan melirik sang Mama. Keduanya memilih menjaga jarak dengan sang calon pemimpin keluarga.Sadar jika dua orang yang disayangi sedang tidak baik-baik saja. Rasya mengayunkan tangan kanannya, menampar pipi perempuan yang berkata sembarangan tadi."Rasya!" bentak perempuan yang tak lain adalah Kamelia. "Demi perempuan nggak jelas ini, kamu menentang keinginan Tante Hawa."Sekali lagi, Rasya menampar Kamelia. Kali ini, lebih keras dari sebelumnya. Perempuan berpakaian seksi itu menatap nyalang penuh amarah."Sekali lagi kamu mengatakan hal buruk tentang Andini. Akan kubuat wajahmu buruk," ancam Rasya."Keterlaluan, aku nggak akan diam," ancam Kamelia. Menghentakkan kaki, dia meninggalkan Rasya."Pa," panggil Bisma. Tangannya menarik ujung kemeja Rasya. Matanya memancarkan ketakutan yang besar."Nggak usah takut. Cuma orang gila yang nggak tahu diri. Papa akan selalu menjaga kalian
Happy Reading*****Perempuan bernama Anggita itu menatap Rasya dan Davit bergantian. Lalu, kembali tertawa keras. "Mbak Andini salah paham lagi, deh.""Makanya, Dik. Nggak usah ambigu kalau kenalan," jawab Rasya. Dia meraih pergelangan sang kekasih. "Kamu salah paham, Nda. Maksud Anggita, bukan kesayangan seperti dua orang dewasa yang saling mencintai.""Lalu, kesayangan seperti apa?" tanya Andini sedikit keras. Emosinya benar-benar terpancing."Kesayangan sebagai adik kakak," sahut Davit."Anggita itu, satu-satunya adik yang aku miliki. Kamu lupa, Nda?" tambah Rasya.Andini merapatkan bibir disertai mata terpejam sebentar, lalu mengembuskan napas panjang ketika semua pikirannya begitu kekanakan."Aku kan nggak pernah ketemu sama dia, Bi," elak Andini."Assalamualaikum, Tante. Kenalkan, aku Bisma." Si kecil mengambil inisiatif, menjulurkan tangan supaya bisa salaman dengan Anggita."Lucu banget, keponakan Tante." Anggita menyambut uluran tangan Bisma. Tanpa diduga, bocah kecil itu la
Happy Reading*****Kamelia berjalan lebih cepat dari Andini dan Rasya. Setelah sampai di hadapan pasangan tersebut, perempuan itu dengan cepat memisahkan tautan jemari keduanya. "Apakah seorang perempuan bersuami pantas untuk bergandengan tangan seperti ini dengan lelaki lain?" ucap Kamelia memprovokasi Andini supaya dibenci para tamu undangan.Perempuan berpakaian seksi itu menghalau pegangan tangan kedua. Namun, tidak berhasil karena Rasya mencengkeram kuat pergelangan sang pujaan."Siapa kamu berani berkata demikian? Apa aku harus membuka semua aibmu di depan semua orang?" ancam Rasya. Matanya tajam menatap Kamelia dan Hawa secara bergantian. "Dengar!" pinta Rasya menatap semua tamu yang ada di sana. Sudah tak mungkin baginya untuk tetap diam saat harga diri sang pujaan diinjak-injak seperti sekarang."Perempuan yang sedang bersama saya ini, memang berstatus istri seorang pengusaha bernama Raditya. Tapi, lelaki itu sudah menghilang dan dinyatakan meninggal dua tahun lalu. Andi
Happy Reading*****Rasya sangat jengkel dengan tingkah Davit yang menyamar sebagai Andini. D jaia pun memukuli lelaki itu hingga mengaduh."Ampun ... Ampun. Adikmu tersayang yang nyuruh. Marahin dia saja," ucap Davit sambil menunjuk pada Anggita. "Ih, kok aku, sih?" sahut Anggita, "Mbak Tiwi, tuh. Dia yang ngasih ide." Menunjuk sahabat Andini yang tertawa lebar melihat ekspresi kecewa Rasya. "Sudah!" bentak Rasya, "sekarang mana istriku?""Ini," ucap Ranti dan Hawa bersamaan. Gamis putih perpaduan sutra satin dan berkata serta payet mutiara, melekat di tubuh Andini. Kerudung yang menutup dada dan menjuntai serta mahkota mutiara bertengger di kepala. Jangan lupakan make up natural yang makin menambah pesona kecantikan perempuan itu berlipat ganda. Senyum penuh kebahagian menambah kilau kecantikannya bersinar. Rasya dibuat terpukau dengan sosok wanita yang kini sedang berjalan mendekatinya. Tanpa kedip, dia terus menatap Andini. Seorang perempuan yang sudah sangat lama dicintai. Se
Happy Reading*****Niat hati ingin berduaan dan menyatakan cinta pada sang pujaan malah gagal total. Seluruh keluarga Rasya dan Andini ada di restoran itu. Tangan Nareswara bahkan sudah bertengger pada telinga kiri. "Papi itu nggak percaya kalau Mas ngomong mau jemput Andini. Pasti kayak gini hasilnya," ucap Nareswara. "Hmm, Mas," sahut Hamni."Padahal tinggal nunggu beberapa hari lagi. Masak iya sudah nggak tahan pengen berduaan," tambah Hawa. Rasya meringis sambil menggaruk kepalanya. "Kok pada tahu kalau Mas di sini, sih?""Jelas kami tahu. Ada mata-mata yang akan mengatakan perilakumu, Mas," sahut Dzauhari. "Ayah kok ikut-ikutan, sih?" Wajah ditekuk-tekuk karena kesal rencana manisnya dengan Andini gagal, Rasya memajukan bibirnya. "Makanya, Pa. Kalau punya rencana ajak-ajak Adik biar nggak gini kejadiaannya," celetuk Bisma. "Eh, kok nggak belain Papa?" Rasya menggerak-gerakkan bibir, lucu sekali tingkah sang pemimpin grup Zafir itu. Andai para karyawannya tahu, apa mungkin
Happy Reading*****"Sudahlah, Nak. Nggak usah tanya untuk apa beliau meminta cincin ini," ucap Hamni. Dia mulai melepas cincin yang dibelikan sang suami sebagai hadiah ulang tahun pernikahan mereka yang ke 25 waktu itu. "Ibumu benar, Nak," tambah Dzauhari. "Ayah bisa membelikan ibumu cincin yang seperti itu lagi nantinya."Walau keberatan, Rasya tetap menganggukkan kepala. Perlahan Hamni melepaskan cincin yang diminta oleh Nareswara. "Ini, Pak." Menyerahkan pada lelaki yang tengah berbaring di ranjang kesakitan itu, Hamni menampilkan senyumnya."Tolong kamu pasangkan ke hari manis Mbak Andini. Sebelum terjadi hal-hal yang nggak diinginkan, saya mau melihatnya menjadi calon menantumu.""Papi," panggil Andini dan Rasya bersamaan. Mereka juga saling tatap. Tidak menyangka sama sekali jika Nareswara punya niat seperti itu."Papi nggak tahu sampai kapan hidup. Jadi, sebelum Papi dipanggil sama Allah, Papi mau kalian saling terikat satu sama lain."Andini meletakkan jari telunjuknya ke
Happy Reading*****Anggita mendekat pada Nareswara. Tangannya berusaha melepaskan cekikan di leher Hawa. "Pi, pliss jangan seperti ini. Kita bisa bicarakan semua dengan tenang. Biarkan Mami menceritakan semuanya.""Pi, benar katanya Adik. Nggak akan ada penyelesaian jika kita mengedepankan emosi," tambah Andini. Dia juga berusaha melepaskan pegangan tangan Nareswara pada leher Hawa. "Istighfar, Pi."Nareswara menghela napas. Perlahan, dia mengendurkan pegangannya pada leher sang istri. "Astagfirullah," ucapnya pelan.Sementara di seberang duduknya, Rasya dan orang tua kandungnya melihat dengan diam. Mereka tidak akan menambah kekeruhan permasalahan yang ada dengan membuka suara. "Jadi, katakan apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Mas Rasya sampai nekat akan melamar Andini yang jelas-jelas diketahui adalah adiknya," pinta Nareswara ketika Hawa terlihat jauh lebih tenang. "Berjanjilah, Papi nggak akan menceraikan Mami atau marah lagi," pinta Hawa. Sorot mata penuh ketakutan dan keput
Happy Reading*****"Iya, saya," kata seorang perempuan berjilbab yang di sebelahnya berdiri Rasya dan Dzauhari. "Apa kabar, Mbak?""Kalian kok bisa kenal sama Rasya padahal nggak pernah bertemu sama sekali?" tambah Nareswara, "ayo duduk."Walau sedikit terkejut dengan kedatangan tamu tak diundang. Nareswara tetap ramah dan menerima kedatangan Dzauhari dan Hamni. "Mbak minta tolong sama Bibi buatkan minuman untuk mereka," tambah Nareswara pada Andini. Sementara Hawa, dia diam bak patung, menjawab pertanyaan yang Hamni ajukan saja, tidak dilakukan. Tak disangka, mamanya Arvan mendekati Hamni dan memeluk. Mereka saling sapa dengan cipika-cipiki. Rasya menatap curiga pada Hamni. "Apa kabar, Mbak? Lama nggak ketemu, balik Banyuwangi nggak kabar-kabar. Tahu gitu tak jemput lho di bandara," ujar perempuan yang diketahui bernama Sarita, ibunya Arvan."Kabar baik, Rit. Maaf, ya, aku dadakan ini pulangnya. Jadi, nggak sempat kabar-kabar.""Yah, kok ibu kenal?" bisik Rasya pada Dzauhari. "B
Happy Reading*****"Kami, cuma bisa memberikan ini untuk kebahagianmu, Nak. Kapan pun kamu meminta kami untuk menghadap Pak Nareswara dan Mbak Hawa, kami siap," ucap Hamni."Benar, Nak. Nggak perlu nunggu besok atau lusa. Sekarang pun, kita bisa kembali kalau kamu mau," tambah Dzauhari."Ayah, Ibu, sekali lagi terima kasih. Aku nggak tahu bagaimana harus membalas semua ini," ucap Rasa begitu terharu.Para pekerja yang melihat adegan mengharukan di depan mereka, tak kuasa membendung air mata. Mereka begitu terharu, setelah sekian lama kebahagiaan itu akhirnya datang pada atasan mereka. "Mungkin, besok pagi. Aku kembali ke Banyuwangi, Pak. Gimana?""Nggak masalah, Nak." Dzauhari menaikkan garis bibirnya. "Gimana kalau menggunakan perjalanan darat saja, Nak. Ibu dengar, besok penerbangan Banyuwangi-Bali ditiadakan karena cuaca memburuk," tambah Hamni."Sepertinya iya, Bu. Aku barusan dapat kabar dari Adipati. Nggak ada tiket ke sana untuk besok."Pasangan itu tersenyum. "Biar sopir
Happy Reading*****Rasya mencengkeram erat kerah kemeja lawan bicaranya. Berani sekali Arvan menghubungi Nareswara di saat dia belum bisa menjelaskan semua kebenaran dan menunjukkan bukti kebenaran yang membuatnya bisa menikahi Andini. "Dari awal, aku sudah tahu apa tujuan pertemuan ini. Jadi, aku sengaja meminta pendapat Om Nares," jelas Arvan dengan suara tercekat akibat tangan Rasya yang berada di lehernya. "Nggak usah macam-macam, Mas. Papi yang meminta Arvan. Lebih baik kamu pulang sekaran. Kita selesaikan semua masalah ini di rumah," ucap Nareswara dari ponsel milik Arvan.Rasya melepaskan tangannya, lalu mematikan sambungan yang menghubungkan Arvan dengan papinya.Melirik sang asisten, Rasya berkata, "Tiketku, apa sudah siap?""Siap, Bos. Satu jam lagi, penerbangannya," ucap Adipati. "Bagus, kamu suruh orang bawa mobilku pulang dan antar aku ke bandara."Sulung keluarga Nareswara itu langsung meninggalkan Arvan tanpa pamit. Tak perlu pulang ke rumah besar Zafir lagi dan men
Happy Reading*****"Tante, minum ini," pinta Andini sambil menyodorkan segelas air. "Mami kenapa, sih?" Kening Nareswara berkerut. "Bukankah orang yang ditanyakan Mas Rasya itu adalah salah satu pegawai di keluargamu dulu?"Hawa memilih diam sejenak sambil meminum air yang diberikan Andini. "Iya. Papi masih ingat sama mereka?" Bukannya menjawab, Hawa malah memberikan pertanyaan aneh itu."Ingat banget, Mi. Saat Papi menjemputmu di rumah Ayah waktu itu, Mbak Hamni terlihat begitu sedih melihat Mas Rasya. Mungkin dia kepikiran sama anaknya.""Memang anaknya kenapa, Pi?" tanya Rasya dan Andini bersamaan. "Sudahlah, mereka cuma mantan pegawai Kakek kalian. Nggak ada sesuatu yang istimewa," sahut Hawa."Kenapa menanyakan tentang mereka, Mas?" tanya Nareswara. Rupanya, lelaki itu masih sangat penasaran. "Apa kalian pernah bertemu sebelumnya?"Pandangan Rasya menyapu semua anggota keluarganya. Lalu, dia menjatuhkan tatapan penuh selidik pada sang Mami. "Waktu ini, Mas, nggak sengaja ketem
Happy Reading*****Ditanya dengan pertanyaan yang menyudutkan dirinya, Rasya tetap tersenyum. Sebelum sampai di rumah besar Zafir, lelaki itu sudah mengumpulkan banyak informasi tentang Arvan. Semula, sulung Nareswara itu berusaha legowo. Namun, ketika membaca slide akhir data yang dikirim Adipati, seketika perasaan tak rela muncul kembali. "Untuk apa aku mengada-ada. Semua ini nggak bakalan terjadi jika kamu menjaga perilakumu selama ini terhadap wanita. Jangan kira, aku nggak tahu sifat burukmu, Van," ancam Rasya. "Mas, duduk dulu, deh. Kamu tiba-tiba pulang nggak ngabari Papi. Ada apa sebenarnya?" Daripada mempermasalahkan keberatan si sulung, Nareswara lebih khawatir melihat Rasya. Badan yang terlihat lebih kurus dengan kumis dan jambang belum dirapikan. Biasanya, si sulung tak pernah terlihat seberantakan itu. Nareswara semakin khawatir ketika wajah pucat Rasya terlihat dengan jelas.Duduk di sebelah Nareswara, Rasya menatap sekelilingnya bergantian. Pandangan terakhir dia tu