Happy Reading*****Perempuan bernama Anggita itu menatap Rasya dan Davit bergantian. Lalu, kembali tertawa keras. "Mbak Andini salah paham lagi, deh.""Makanya, Dik. Nggak usah ambigu kalau kenalan," jawab Rasya. Dia meraih pergelangan sang kekasih. "Kamu salah paham, Nda. Maksud Anggita, bukan kesayangan seperti dua orang dewasa yang saling mencintai.""Lalu, kesayangan seperti apa?" tanya Andini sedikit keras. Emosinya benar-benar terpancing."Kesayangan sebagai adik kakak," sahut Davit."Anggita itu, satu-satunya adik yang aku miliki. Kamu lupa, Nda?" tambah Rasya.Andini merapatkan bibir disertai mata terpejam sebentar, lalu mengembuskan napas panjang ketika semua pikirannya begitu kekanakan."Aku kan nggak pernah ketemu sama dia, Bi," elak Andini."Assalamualaikum, Tante. Kenalkan, aku Bisma." Si kecil mengambil inisiatif, menjulurkan tangan supaya bisa salaman dengan Anggita."Lucu banget, keponakan Tante." Anggita menyambut uluran tangan Bisma. Tanpa diduga, bocah kecil itu la
Happy Reading*****Kamelia berjalan lebih cepat dari Andini dan Rasya. Setelah sampai di hadapan pasangan tersebut, perempuan itu dengan cepat memisahkan tautan jemari keduanya. "Apakah seorang perempuan bersuami pantas untuk bergandengan tangan seperti ini dengan lelaki lain?" ucap Kamelia memprovokasi Andini supaya dibenci para tamu undangan.Perempuan berpakaian seksi itu menghalau pegangan tangan kedua. Namun, tidak berhasil karena Rasya mencengkeram kuat pergelangan sang pujaan."Siapa kamu berani berkata demikian? Apa aku harus membuka semua aibmu di depan semua orang?" ancam Rasya. Matanya tajam menatap Kamelia dan Hawa secara bergantian. "Dengar!" pinta Rasya menatap semua tamu yang ada di sana. Sudah tak mungkin baginya untuk tetap diam saat harga diri sang pujaan diinjak-injak seperti sekarang."Perempuan yang sedang bersama saya ini, memang berstatus istri seorang pengusaha bernama Raditya. Tapi, lelaki itu sudah menghilang dan dinyatakan meninggal dua tahun lalu. Andi
Happy Reading*****Andini memegang lengan Rasya dengan gemetar. Selama berhubungan dengan lelaki itu, tak sekalipun Nareswara pernah ikut campur bahkan dia belum pernah bertemu sama sekali."Bi, gimana ini?" Wajah yang memucat dengan berbagai pikiran yang muncul. Andini menatap penuh kekhawatiran pada sang pujaan."Tenang saja, Papi itu orangnya nggak menakutkan seperti yang kamu bayangkan." Menjulurkan tangan supaya sang pujaan segera menemui Nareswara."Papi itu penyayang, Mbak. Nggak usah khawatir, lebih menakutkan Mami, kok," tambah Anggita."Adik, nggak boleh gitu sama Mami." Walau nada suaranya memberi peringatan pada si bungsu, tetapi bibir Rasya tertarik ke atas."Hmm. Mas tertawa pasti membenarkan ucapanku tadi." Anggita pun tersenyum. Pratiwi juga ikut tersenyum gara-gara dua saudara itu. "Sudah-sudah. Ayo kita ketemu Papi. Nanti, baru lanjut." Sebelum menggerakkan kakinya, Rasya melirik Pratiwi. "Tolong, temani jagoanku kalau dia sudah selesai mainnya.""Siap, Bos." Prati
Happy Reading*****Nareswara mendelik, menatap sng istri yang seperti kesurupan roh jahat. Dia mengenal Hawa adalah wanita yang lemah lembut. Oleh karena itulah, dulu Nareswara menyetujui perjodohan dengannya walau sebagian hatinya masih terisi nama perempuan lain."Kenapa kamu jadi pemberontak?" ucap Nareswara. Amarahnya mulai terpancing.Andini mengusap pundak Rasya supaya tidak menyela percakapan orang tuanya."Papi akan menyesal jika merestui hubungan mereka berdua." Menghentakkan kakinya, Hawa keluar lebih dulu dari ruang kerja sang suami."Mas, menyetujui syarat yang Papi katakan tadi. Mulai saat ini juga, Mas, bakalan kerja keras untuk mendapatkan omzet yang Papi minta." Rasya pun berniat melanjutkan langkahnya."Papi tunggu kabar baiknya."*****Sepeninggal putranya, Nareswara memijat pelipis, kepalanya terasa berdenyut nyeri. "Sebaiknya, aku keluar. Mencari udara segar. Lagian, pesta ini sudah di-handle Hawa."Berjalan ke halaman samping, di mana banyak terdapat mainan anak-
Happy Reading*****"Apa sih, Bi. Kenapa harus marah-marah? Dia itu mamimu, lho," protes Andini. Sedikit kecewa karena Rasya berkata kasar."Ma, dengarkan Papa. Mungkin, Papa lebih tahu sifat Eyang. Makanya, melarang Mama bertemu berduaan dengannya." Bisma menimpali perkataan sang papa. Entahlah, di hatinya juga ada rasa takut. Tatapan Hawa kemarin malam jelas-jelas menunjukkan kebencian. "Adik nggak usah ikut-ikut. Lagian ini urusan Mama sama maminya Papa." Sorot mata tajam dengan kalimat tak terbantahkan. Andini jelas tidak suka dengan sikap putranya tadi."Apa yang dikatakan Bisma benar. Kalau kamu mau ketemu Mami, aku harus ikut. Titik." Rasya berdiri. Keinginannya untuk sarapan pagi dengan keluarga kecilnya, mendadak hilang. Apalagi, Adipati datang membawa kabar jika Mahesa sudah berada di kantornya."Tapi, Bi," ucap Andini, enggan menuruti permintaan sang kekasih. "Nggak ada tapi, Nda. Belajar nurut apa kataku. Sebentar lagi, kita akan menikah." Rasya berkata dengan serius. "
Happy Reading*****Hawa berdiri, berniat pergi meninggalkan Andini dan Rasya. Namun, niatnya tertunda karena si sulung sudah memegang pergelangan tangannya. "Sebaiknya, Mami katakan dulu alasannya nggak merestui hubungan kami dan mengatakan hal seperti tadi."Menepis pegangannya putranya, Hawa menatap Andini dan Rasya bergantian. "Pokoknya, selamanya kalian nggak akan pernah bisa menikah. Bahkan semesta pun nggak mengijinkan kalian bersatu. Jangan menentang kehendak alam," ujarnya keras. Tak perlu penjelasan panjang lagi, Hawa meninggalkan keduanya. Andini menyandarkan punggungnya. Kepalanya begitu pening mendengar perkataan perempuan paruh baya tadi. Sementara itu, Rasya juga terpaku. Kalimat pamungkas yang Hawa keluarkan sungguh di luar dugaannya. Sebegitu bencinya dia pada Andini. Mengapa? Apa alasannya? Semua pertanyaan itu terkumpul di otak kecil Rasya.Rasya menepuk pelan pundak sang kekasih. "Kita pasti bisa menikah. Nggak usah terlalu mikirin perkataan Mami tadi. Aku akan
Happy Reading*****Andini meluruh ke lantai, apalagi mendengar perkataan sang ibu setelahnya. "Ibu nggak setuju kalau kamu menjalin hubungan dengan keluarga itu," ucap perempuan yang telah melahirkan Andini."Tapi, kenapa, Bu?" "Nggak usah banyak tanya, Din. Ibu nggak suka kalau kamu dekat lagi sama Rasya. Apa nggak ingat kejadian lima belas tahun lalu?" kata Ranti."Apa Tante Hawa pernah menghubungi ibu?"Sambungan terputus sepihak."Bu ... Bu, jelaskan dulu!" Sekalipun Andini berteriak, Ranti tidak akan mendengar apa pun lagi."Kenapa semua orang nggak merestui hubungan ini? Apa benar semesta memang nggak mengijinkan kami bersatu? Tapi, kenapa? Ya Allah, apa kami nggak berhak bahagia?"Pertanyaan-pertanyaan itu muncul seiring air mata si perempuan yang jatuh tanpa disadari. *****Sesuai janjinya pada sang Papi, Rasya kembali meneruskan pekerjaannya. Membuat terobosan serta promosi yang menarik supaya usaha grup Zafir meningkat sehingga tantangan Nareswara bisa segera terwujud.
Happy Reading*****Rasya membungkam mulutnya rapat-rapat. Segera pergi ketika langkah kaki Hawa semakin mendekati pintu. Dia tidak ingin orang tuanya tahu jika semua perdebatan mereka telah didengar olehnya. "Ada apa denganku dan Andini?" tanya Rasya dalam hati. Dia sudah berada di ruangannya sendiri dan berniat untuk menghubungi sang pujaan. Namun, ponsel Andini selalu sibuk. Hati Rasya makin nggak karuan. Pikiran-pikiran negatif mulai bermunculan dan puncaknya adalah ketakutan tidak bisa menikahi wanita pujaannya. *****Sampai di stasiun kereta yang tak jauh dari tempat tinggalnya, Andini masuk peron untuk mencari Ranti. "Dini sudah di peron, Bu. Njenengan ada di mana?" tulis Andini pada Ranti. Pesan itu dikirimkan secepatnya ketika sampai di stasiun. Beberapa detik kemudian, sang ibu sudah membalas. "Tunggu, ibu masih di kamar mandi."Mencoba tenang, Andini duduk di bangku tunggu. Sesekali mengecek ponsel, barulah tersadar jika kekasihnya melakukan panggilan beberapa kali, te