Happy Reading*****"Apa sih, Bi. Kenapa harus marah-marah? Dia itu mamimu, lho," protes Andini. Sedikit kecewa karena Rasya berkata kasar."Ma, dengarkan Papa. Mungkin, Papa lebih tahu sifat Eyang. Makanya, melarang Mama bertemu berduaan dengannya." Bisma menimpali perkataan sang papa. Entahlah, di hatinya juga ada rasa takut. Tatapan Hawa kemarin malam jelas-jelas menunjukkan kebencian. "Adik nggak usah ikut-ikut. Lagian ini urusan Mama sama maminya Papa." Sorot mata tajam dengan kalimat tak terbantahkan. Andini jelas tidak suka dengan sikap putranya tadi."Apa yang dikatakan Bisma benar. Kalau kamu mau ketemu Mami, aku harus ikut. Titik." Rasya berdiri. Keinginannya untuk sarapan pagi dengan keluarga kecilnya, mendadak hilang. Apalagi, Adipati datang membawa kabar jika Mahesa sudah berada di kantornya."Tapi, Bi," ucap Andini, enggan menuruti permintaan sang kekasih. "Nggak ada tapi, Nda. Belajar nurut apa kataku. Sebentar lagi, kita akan menikah." Rasya berkata dengan serius. "
Happy Reading*****Hawa berdiri, berniat pergi meninggalkan Andini dan Rasya. Namun, niatnya tertunda karena si sulung sudah memegang pergelangan tangannya. "Sebaiknya, Mami katakan dulu alasannya nggak merestui hubungan kami dan mengatakan hal seperti tadi."Menepis pegangannya putranya, Hawa menatap Andini dan Rasya bergantian. "Pokoknya, selamanya kalian nggak akan pernah bisa menikah. Bahkan semesta pun nggak mengijinkan kalian bersatu. Jangan menentang kehendak alam," ujarnya keras. Tak perlu penjelasan panjang lagi, Hawa meninggalkan keduanya. Andini menyandarkan punggungnya. Kepalanya begitu pening mendengar perkataan perempuan paruh baya tadi. Sementara itu, Rasya juga terpaku. Kalimat pamungkas yang Hawa keluarkan sungguh di luar dugaannya. Sebegitu bencinya dia pada Andini. Mengapa? Apa alasannya? Semua pertanyaan itu terkumpul di otak kecil Rasya.Rasya menepuk pelan pundak sang kekasih. "Kita pasti bisa menikah. Nggak usah terlalu mikirin perkataan Mami tadi. Aku akan
Happy Reading*****Andini meluruh ke lantai, apalagi mendengar perkataan sang ibu setelahnya. "Ibu nggak setuju kalau kamu menjalin hubungan dengan keluarga itu," ucap perempuan yang telah melahirkan Andini."Tapi, kenapa, Bu?" "Nggak usah banyak tanya, Din. Ibu nggak suka kalau kamu dekat lagi sama Rasya. Apa nggak ingat kejadian lima belas tahun lalu?" kata Ranti."Apa Tante Hawa pernah menghubungi ibu?"Sambungan terputus sepihak."Bu ... Bu, jelaskan dulu!" Sekalipun Andini berteriak, Ranti tidak akan mendengar apa pun lagi."Kenapa semua orang nggak merestui hubungan ini? Apa benar semesta memang nggak mengijinkan kami bersatu? Tapi, kenapa? Ya Allah, apa kami nggak berhak bahagia?"Pertanyaan-pertanyaan itu muncul seiring air mata si perempuan yang jatuh tanpa disadari. *****Sesuai janjinya pada sang Papi, Rasya kembali meneruskan pekerjaannya. Membuat terobosan serta promosi yang menarik supaya usaha grup Zafir meningkat sehingga tantangan Nareswara bisa segera terwujud.
Happy Reading*****Rasya membungkam mulutnya rapat-rapat. Segera pergi ketika langkah kaki Hawa semakin mendekati pintu. Dia tidak ingin orang tuanya tahu jika semua perdebatan mereka telah didengar olehnya. "Ada apa denganku dan Andini?" tanya Rasya dalam hati. Dia sudah berada di ruangannya sendiri dan berniat untuk menghubungi sang pujaan. Namun, ponsel Andini selalu sibuk. Hati Rasya makin nggak karuan. Pikiran-pikiran negatif mulai bermunculan dan puncaknya adalah ketakutan tidak bisa menikahi wanita pujaannya. *****Sampai di stasiun kereta yang tak jauh dari tempat tinggalnya, Andini masuk peron untuk mencari Ranti. "Dini sudah di peron, Bu. Njenengan ada di mana?" tulis Andini pada Ranti. Pesan itu dikirimkan secepatnya ketika sampai di stasiun. Beberapa detik kemudian, sang ibu sudah membalas. "Tunggu, ibu masih di kamar mandi."Mencoba tenang, Andini duduk di bangku tunggu. Sesekali mengecek ponsel, barulah tersadar jika kekasihnya melakukan panggilan beberapa kali, te
Happy Reading*****Rasya langsung berdiri, mengambil tangan kanan perempuan di hadapannya. Lalu, tanpa mendengar kalimat yang dikeluarkan Ranti, sulung Nareswara itu mencium punggung tangan perempuan yang telah melahirkan sang pujaan, sepenuh hati."Ibu kapan datang?" tanya Rasya mencoba mengabaikan kalimat menyakitkan yang dilontarkan Ranti tadi.Perempuan paruh baya dengan gamis batik itu menatap tajam Rasya. "Nggak perlu sok akrab dan baik. Mendingan kamu pulang sekarang sebelum mamimu datang dan marah-marah nggak jelas."Tersenyum getir, Rasya menyodorkan paper bag yang dibawa sejak tadi. "Ini ada makanan kesukaan ibu. Walau mungkin rasanya nggak seenak aslinya, tapi menurut saya gado-gado ini mirip sama punya Bu Jamilah.""Sudah dibilang nggak usah sok baik," bentak Ranti. Dia juga menepis paper bag yang dibawa Rasya. "Pulang sana!" Bukan cuma membentak sulung Nareswara, Ranti juga menggeret tangan Andini untuk masuk. Kemarahannya tak lagi bisa ditutupi."Ibu!" bentak Andini ta
Happy Reading*****Seseorang yang tengah marah itu memegang kedua bahu wanita paruh baya di hadapannya. "Ran, aku Nares. Apa kamu nggak ingat sama sekali tentang aku?"Sekuat tenaga Ranti berusaha melepaskan diri dari cengkerama lelaki yang tak lain adalah papinya Rasya. "Tolong pergi dari sini. Niat Anda sungguh nggak baik. Saya sudah mengatakan, saya nggak kenal. Kenapa masih maksa. Jika Anda terus seperti ini, saya akan benar-benar berteriak supaya semua orang mendengar dan mengetahui niat buruk Anda."Sadar akan kesalahannya, Nareswara melepaskan cekalan tangannya pada bahu Ranti. Ingatan kecelakaan beberapa tahun silam membuatnya berpikir. "Mungkinkah, dia nggak ingat apa pun setelah kecelakaan waktu itu?" tanyanya dalam hati.Bergegas masuk rumah, Ranti menutup pintu dengan keras. Lalu, badannya meluruh di lantai. Berusaha menahan suara tangisan agar tak terdengar siapa pun.Nareswara menatap kepergian Ranti dengan nanar. Segera mengambil ponsel dan menghubungi seseorang yang d
Happy Reading*****"Bagus kalau kamu menampakkan diri sekarang," ucap Rasya. Dia sudah menantikan pertemuannya dengan lelaki di hadapannya."Bi," panggil Andini."Nggak perlu khawatir, Nda. Bukankah jauh lebih baik jika dia muncul. Sekarang, ucapkan talak pada Andini agar aku bisa segera menikahinya."Menatap tajam lelaki berkulit gelap dengan kumis tipis di hadapannya, Rasya sama sekali tidak takut dengan Raditya."Rasya! Jangan kurang ajar kamu!" bentak Hawa."Mami kenapa malah membelanya? Sejak kapan Mami mengenal lelaki ini?"Andini tak mampu berkata apa pun juga. Perasaannya campur aduk. Antara senang dan sedih tentunya semua karena kehadiran lelaki yang sudah tak diharapkannya itu.Hampir tiga tahun menghilang dengan status kematian yang tak jelas. Tiba-tiba Raditya muncul di saat Andini sudah menerima kehadiran Rasya. Permainan takdir seperti apa yang sedang dia jalani saat ini?"Apa pantas seorang pewaris dari keluarga Zafir berhubungan dengan perempuan yang sudah bersuami?"
Happy Reading*****"Mas, apa yang kamu lakukan?" kata Andini sambil menahan rasa sakit karena cekalan Raditya di lehernya semakin keras. Suara perempuan itupun terengah-engah."Mimpi kamu! Selamanya, aku nggak akan menceraikanmu.""Lepas, Mas! Sakit," pinta Andini, "apa kamu ingin membunuhku?""Jangan pernah berpikir untuk lepas dari pernikahan Iki kalau mau selamat," ancam Raditya, sekali lagi.Lalu, lelaki itu melepaskan tangannya dari leher sang istri. Andini terbatuk-batuk, rasa nyeri mulai menyerang, tetapi hal itu tak seberapa dibanding rasa sakit hatinya."Ya Allah. Lelaki seperti apa suamiku ini?" tanya Andini dalam hati. Toyota Yaris berwarna hitam yang dikendarai Raditya dan Andini mulai memasuki gang kediamannya. Komplek perumahan padat penduduk itu terlihat sepi. Namun, beberapa meter tak jauh dari rumah Andini, beberapa anak kecil sedang berdebat."Dasar anak nggak jelas," ucap salah satu dari mereka. Andini dengan jelas mendengar olok-olok mereka pada salah satu teman