Happy Reading*****"Mas, apa yang kamu lakukan?" kata Andini sambil menahan rasa sakit karena cekalan Raditya di lehernya semakin keras. Suara perempuan itupun terengah-engah."Mimpi kamu! Selamanya, aku nggak akan menceraikanmu.""Lepas, Mas! Sakit," pinta Andini, "apa kamu ingin membunuhku?""Jangan pernah berpikir untuk lepas dari pernikahan Iki kalau mau selamat," ancam Raditya, sekali lagi.Lalu, lelaki itu melepaskan tangannya dari leher sang istri. Andini terbatuk-batuk, rasa nyeri mulai menyerang, tetapi hal itu tak seberapa dibanding rasa sakit hatinya."Ya Allah. Lelaki seperti apa suamiku ini?" tanya Andini dalam hati. Toyota Yaris berwarna hitam yang dikendarai Raditya dan Andini mulai memasuki gang kediamannya. Komplek perumahan padat penduduk itu terlihat sepi. Namun, beberapa meter tak jauh dari rumah Andini, beberapa anak kecil sedang berdebat."Dasar anak nggak jelas," ucap salah satu dari mereka. Andini dengan jelas mendengar olok-olok mereka pada salah satu teman
Happy Reading*****"Lepaskan tanganmu!" bentak Andini setelah dia berusaha menepis cengkeraman Raditya pada pergelangan tangan Bisma. "Tutup mulutmu!" bentak Raditya tak mau kalah. "Minggir! Apa kamu juga mau aku hukum?"Suara perdebatan yang begitu keras di teras rumah Andini menyebabkan Ranti keluar."Ada apa ini?" tanya Ranti. Tatapannya terpaku pada sosok menantu yang sudah menghilang sekian tahun.Namun, keterkejutan Ranti, hanya sebentar. Setelahnya, dia menampilkan senyum termanis. Kebahagiaan menyeruak begitu tahu menantu lelakinya sudah kembali."Alhamdulillah. Kamu selamat Nak Radit. Ibu bahagia sekali. Ayo masuk," kata Ranti tanpa mempedulikan jika cucunya tengah kesakitan karena cekalan sang menantu terlalu kuat. "Tentu aku akan masuk, Bu. Minggir, aku harus menghukum Bisma," ucap Raditya."Mas, jangan keterlaluan kamu. Bisma itu masih kecil. Pikirannya belum mampu mencerna hal-hal berat seperti orang dewasa," teriak Andini berusaha mencegah perbuatan sang suami. Tangan
Happy Reading*****"Tutup mulutmu," bentak Raditya. Lelaki itu segera mematikan sambungan video. Lalu, menatap Andini penuh kemarahan. "Kalau aku nggak kembali, maka kamu akan enak-enakan bersama Rasya."Andini mendengkus, "Aku nggak seburuk prasangkamu." Membalik posisi tidurnya seperti semula, membelakangi sang suami. "Sebaiknya, kita bercerai, Mas. Aku nggak kan menghalangi njenengan bersama perempuan tadi. Tapi, sebelum itu, selesaikan semua masalah hutangmu."Terdengar suara tawa Raditya. "Hutang itu adalah tanggunganmu. Aku mengambil pinjaman untuk biaya pernikahan kita dulu."Seketika, Andini menegakkan tubuh dan menatap suaminya. "Benarkah yang kamu katakan? Kalau pinjaman itu untuk biaya pernikahan kita. Mengapa para penagih itu mengatakan jika kamu mencairkannya sekitar setahun lalu? Apakah kita menikah setahun lalu?""Aku ambil pinjaman itu untuk melunasi pinjaman sebelumnya. Apa masalahnya?""Lusa, aku akan mendaftarkan perceraian kita.""Andini," teriak Raditya bahkan t
Happy Reading*****"Ya, aku menyelidikinya," jawab Rasya.Menoleh pada lelaki yang duduk di sebelahnya, Andini menaikkan garis bibirnya. "Sejak kapan jadi kepo?""Hmm." Rasya terkikik. "Mas punya kekuasaan untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengannya. Rasa penasaran itu mencuat saat ada penagih hutang waktu itu.""Dan hasilnya?" Andini semakin tertarik mendengar penjelasan sang pujaan. "Mas harap, setelah ini kamu nggak akan tambah sedih. Anggap semua pelajaran. Susah jalan takdir kita begini," ucap Rasya sok bijak. Tatapannya tak pernah lepas dari sang kekasih."Cepatan ceritanya, ih. Bentar lagi, acara dimulai.""Nggak sabaran banget." Rasya ingin mencubit hidung kekasihnya, tetapi tangannya dengan cepat bisa ditepis."Nggak usah genit, deh. Banyak pasang mata yang mengamati.""Hmm. Susahnya pacaran sama istri orang," goda Rasya untuk mencairkan suasana. Dia tahu, Andini sangat khawatir saat ini."Aku bukan pacarmu, Bi." Andini merengut. Rasya selalu tidak bisa menempa
Happy Reading *****Ranti menatap tidak suka pada pengusaha muda yang ada di hadapannya. Entah mengapa melihat wajah itu, berbagai macam rasa mulai menyerang hatinya. Benci, marah, rindu dan entah rasa apalagi yang dimiliki."Kamu, Ibu didik menjadi perempuan baik-baik. Mengapa mencoreng nama ibu dengan melakukan semua ini. Suamimu, sedang mencari dan menunggu di rumah. Ternyata, kamu malah enak-enakan berduaan dengan lelaki lain," bentak Ranti. Wajahnya memerah dengan mata melotot sempurna. "Bu, aku nggak pergi berduaan sama Rasya. Liburan ini adalah acara kantor." Andini memegang tangan Ranti supaya perempuan paruh baya itu tidak bertindak impulsif yang menyebabkan mereka menjadi pusat perhatian."Kalau ini acara kantor, kenapa kamu nggak ngajak suamimu?""Maafkan Andini, Bu," sahut Rasya, "acara ini sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Semua pesertanya sudah mendaftar terlebih dahulu sebelum kedatangan Om Raditya. Jadi, kalau Andini nggak ngajak beliau, kemungkinan besar karena a
Happy Reading*****Berusaha sekuat tenaga merebut ponsel milik Rasya, Raditya mendapat tamparan dari Ranti. "Ibu selalu percaya bahwa kamu bisa menjaga Andini dan menjauhkannya dari Rasya. Tapi, bukan begini caranya. Mulai sekarang, kamu bukan lagi menantuku. Segera bersihkan Andini," bentak Ranti.Walau sudah berjanji pada seseorang untuk menyatukan kembali Raditya dan Andini. Namun, Ranti juga tak ingin jika putrinya diperlakukan tidak adil. Jelas perbuatan Raditya sangat bertentangan dengannya. Jika cuma sifat kasar dan mudah main tangan perempuan paruh baya itu masih menoleransinya. Video yang diperlihatkan Rasya jelas-jelas kasus asusila antara Raditya dengan perempuan lain. Ranti tak lagi bisa membiarkan semua itu. "Bu, aku bisa jelaskan. Aku melakukannya sama sekali nggak melanggar norma maupun syariat," bela Raditya. "Nggak melanggar norma bagaimana. Video itu jelas-jelas memperlihatkan kehidupanmu ketika jauh dari Andini. Orang sakit dan hilang ingatan nggak akan melakuk
Happy Reading*****"Pi, kenapa ada di sini?" tanya Rasya. "Nggak penting kenapa Papi ada di sini. Pikirkan ucapan Papi tadi. Kamu nggak boleh memisahkan sepasang suami istri demi kepentingan sendiri. Rasulallah nggak akan mengakuimu sebagai umatnya. Ingat itu!" Tatapan Nareswara begitu tajam pada si sulung. Namun, semua itu tak berlangsung lama ketika bayangan seorang perempuan tertangkap inderanya. Nareswara langsung mengerutkan kening. "Ranti? Ada hubungan apa dia dengan Andini dan Rasya? Waktu ini aku juga bertemu dengannya di rumah Andini. Mungkinkah?" tanya Nareswara dalam hati. "Papi sudah berjanji akan merestui hubunganku dengan Andini. Kenapa sekarang berkata seperti itu?" "Semua itu, karena Papi nggak tahu jika suaminya Andini masih hidup dan sudah kembali padanya. Kenapa kamu nggak menceritakan semua itu?"Ranti menggeret tangan putrinya untuk menjauh. "Sebaiknya kita pulang sekarang. Ibu nggak mau melihat semua ini. Jangan lagi, kita sudah menjadi tontonan semua karyaw
Happy Reading*****Berusaha menghilangkan kegugupannya, Nareswara mengubah posisi duduknya. Sedikit mengendurkan punggung. "Bisa jadi, tapi Papi berharap kamu nggak mengenalnya. Akan sangat sulit jika sampai kamu mengenalnya. Hubunganmu dengan Andini makin runyam, akan semakin sulit untuk mendapatkan restu mamimu.""Kenapa Papi berpikiran seperti itu? Apakah perempuan yang Papi cintai itu adalah ibunya Andini?" tebak Rasya. Dia sebenarnya tak mau menerka seperti itu, tetapi melihat tatapan papinya tadi pada Ranti. Pemikiran itu berkembang.Hanya keheningan yang menyelimuti setelah pertanyaan itu terlontar dari bibir Rasya. Nareswara tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun untuk mengungkap kebenaran 'hatinya karena rasa takut yang mendalam."Pi," panggil Rasya, "Apa karena masalah ini, Mami sangat membenci Andini?""Papi nggak tahu, Mas. Hubungan ini terlalu rumit untuk dijelaskan. Semua masih abu-abu."Obrolan mereka terhenti saat sopir mengatakan jika keduanya sudah sampai di kediama
Happy Reading*****Rasya sangat jengkel dengan tingkah Davit yang menyamar sebagai Andini. D jaia pun memukuli lelaki itu hingga mengaduh."Ampun ... Ampun. Adikmu tersayang yang nyuruh. Marahin dia saja," ucap Davit sambil menunjuk pada Anggita. "Ih, kok aku, sih?" sahut Anggita, "Mbak Tiwi, tuh. Dia yang ngasih ide." Menunjuk sahabat Andini yang tertawa lebar melihat ekspresi kecewa Rasya. "Sudah!" bentak Rasya, "sekarang mana istriku?""Ini," ucap Ranti dan Hawa bersamaan. Gamis putih perpaduan sutra satin dan berkata serta payet mutiara, melekat di tubuh Andini. Kerudung yang menutup dada dan menjuntai serta mahkota mutiara bertengger di kepala. Jangan lupakan make up natural yang makin menambah pesona kecantikan perempuan itu berlipat ganda. Senyum penuh kebahagian menambah kilau kecantikannya bersinar. Rasya dibuat terpukau dengan sosok wanita yang kini sedang berjalan mendekatinya. Tanpa kedip, dia terus menatap Andini. Seorang perempuan yang sudah sangat lama dicintai. Se
Happy Reading*****Niat hati ingin berduaan dan menyatakan cinta pada sang pujaan malah gagal total. Seluruh keluarga Rasya dan Andini ada di restoran itu. Tangan Nareswara bahkan sudah bertengger pada telinga kiri. "Papi itu nggak percaya kalau Mas ngomong mau jemput Andini. Pasti kayak gini hasilnya," ucap Nareswara. "Hmm, Mas," sahut Hamni."Padahal tinggal nunggu beberapa hari lagi. Masak iya sudah nggak tahan pengen berduaan," tambah Hawa. Rasya meringis sambil menggaruk kepalanya. "Kok pada tahu kalau Mas di sini, sih?""Jelas kami tahu. Ada mata-mata yang akan mengatakan perilakumu, Mas," sahut Dzauhari. "Ayah kok ikut-ikutan, sih?" Wajah ditekuk-tekuk karena kesal rencana manisnya dengan Andini gagal, Rasya memajukan bibirnya. "Makanya, Pa. Kalau punya rencana ajak-ajak Adik biar nggak gini kejadiaannya," celetuk Bisma. "Eh, kok nggak belain Papa?" Rasya menggerak-gerakkan bibir, lucu sekali tingkah sang pemimpin grup Zafir itu. Andai para karyawannya tahu, apa mungkin
Happy Reading*****"Sudahlah, Nak. Nggak usah tanya untuk apa beliau meminta cincin ini," ucap Hamni. Dia mulai melepas cincin yang dibelikan sang suami sebagai hadiah ulang tahun pernikahan mereka yang ke 25 waktu itu. "Ibumu benar, Nak," tambah Dzauhari. "Ayah bisa membelikan ibumu cincin yang seperti itu lagi nantinya."Walau keberatan, Rasya tetap menganggukkan kepala. Perlahan Hamni melepaskan cincin yang diminta oleh Nareswara. "Ini, Pak." Menyerahkan pada lelaki yang tengah berbaring di ranjang kesakitan itu, Hamni menampilkan senyumnya."Tolong kamu pasangkan ke hari manis Mbak Andini. Sebelum terjadi hal-hal yang nggak diinginkan, saya mau melihatnya menjadi calon menantumu.""Papi," panggil Andini dan Rasya bersamaan. Mereka juga saling tatap. Tidak menyangka sama sekali jika Nareswara punya niat seperti itu."Papi nggak tahu sampai kapan hidup. Jadi, sebelum Papi dipanggil sama Allah, Papi mau kalian saling terikat satu sama lain."Andini meletakkan jari telunjuknya ke
Happy Reading*****Anggita mendekat pada Nareswara. Tangannya berusaha melepaskan cekikan di leher Hawa. "Pi, pliss jangan seperti ini. Kita bisa bicarakan semua dengan tenang. Biarkan Mami menceritakan semuanya.""Pi, benar katanya Adik. Nggak akan ada penyelesaian jika kita mengedepankan emosi," tambah Andini. Dia juga berusaha melepaskan pegangan tangan Nareswara pada leher Hawa. "Istighfar, Pi."Nareswara menghela napas. Perlahan, dia mengendurkan pegangannya pada leher sang istri. "Astagfirullah," ucapnya pelan.Sementara di seberang duduknya, Rasya dan orang tua kandungnya melihat dengan diam. Mereka tidak akan menambah kekeruhan permasalahan yang ada dengan membuka suara. "Jadi, katakan apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Mas Rasya sampai nekat akan melamar Andini yang jelas-jelas diketahui adalah adiknya," pinta Nareswara ketika Hawa terlihat jauh lebih tenang. "Berjanjilah, Papi nggak akan menceraikan Mami atau marah lagi," pinta Hawa. Sorot mata penuh ketakutan dan keput
Happy Reading*****"Iya, saya," kata seorang perempuan berjilbab yang di sebelahnya berdiri Rasya dan Dzauhari. "Apa kabar, Mbak?""Kalian kok bisa kenal sama Rasya padahal nggak pernah bertemu sama sekali?" tambah Nareswara, "ayo duduk."Walau sedikit terkejut dengan kedatangan tamu tak diundang. Nareswara tetap ramah dan menerima kedatangan Dzauhari dan Hamni. "Mbak minta tolong sama Bibi buatkan minuman untuk mereka," tambah Nareswara pada Andini. Sementara Hawa, dia diam bak patung, menjawab pertanyaan yang Hamni ajukan saja, tidak dilakukan. Tak disangka, mamanya Arvan mendekati Hamni dan memeluk. Mereka saling sapa dengan cipika-cipiki. Rasya menatap curiga pada Hamni. "Apa kabar, Mbak? Lama nggak ketemu, balik Banyuwangi nggak kabar-kabar. Tahu gitu tak jemput lho di bandara," ujar perempuan yang diketahui bernama Sarita, ibunya Arvan."Kabar baik, Rit. Maaf, ya, aku dadakan ini pulangnya. Jadi, nggak sempat kabar-kabar.""Yah, kok ibu kenal?" bisik Rasya pada Dzauhari. "B
Happy Reading*****"Kami, cuma bisa memberikan ini untuk kebahagianmu, Nak. Kapan pun kamu meminta kami untuk menghadap Pak Nareswara dan Mbak Hawa, kami siap," ucap Hamni."Benar, Nak. Nggak perlu nunggu besok atau lusa. Sekarang pun, kita bisa kembali kalau kamu mau," tambah Dzauhari."Ayah, Ibu, sekali lagi terima kasih. Aku nggak tahu bagaimana harus membalas semua ini," ucap Rasa begitu terharu.Para pekerja yang melihat adegan mengharukan di depan mereka, tak kuasa membendung air mata. Mereka begitu terharu, setelah sekian lama kebahagiaan itu akhirnya datang pada atasan mereka. "Mungkin, besok pagi. Aku kembali ke Banyuwangi, Pak. Gimana?""Nggak masalah, Nak." Dzauhari menaikkan garis bibirnya. "Gimana kalau menggunakan perjalanan darat saja, Nak. Ibu dengar, besok penerbangan Banyuwangi-Bali ditiadakan karena cuaca memburuk," tambah Hamni."Sepertinya iya, Bu. Aku barusan dapat kabar dari Adipati. Nggak ada tiket ke sana untuk besok."Pasangan itu tersenyum. "Biar sopir
Happy Reading*****Rasya mencengkeram erat kerah kemeja lawan bicaranya. Berani sekali Arvan menghubungi Nareswara di saat dia belum bisa menjelaskan semua kebenaran dan menunjukkan bukti kebenaran yang membuatnya bisa menikahi Andini. "Dari awal, aku sudah tahu apa tujuan pertemuan ini. Jadi, aku sengaja meminta pendapat Om Nares," jelas Arvan dengan suara tercekat akibat tangan Rasya yang berada di lehernya. "Nggak usah macam-macam, Mas. Papi yang meminta Arvan. Lebih baik kamu pulang sekaran. Kita selesaikan semua masalah ini di rumah," ucap Nareswara dari ponsel milik Arvan.Rasya melepaskan tangannya, lalu mematikan sambungan yang menghubungkan Arvan dengan papinya.Melirik sang asisten, Rasya berkata, "Tiketku, apa sudah siap?""Siap, Bos. Satu jam lagi, penerbangannya," ucap Adipati. "Bagus, kamu suruh orang bawa mobilku pulang dan antar aku ke bandara."Sulung keluarga Nareswara itu langsung meninggalkan Arvan tanpa pamit. Tak perlu pulang ke rumah besar Zafir lagi dan men
Happy Reading*****"Tante, minum ini," pinta Andini sambil menyodorkan segelas air. "Mami kenapa, sih?" Kening Nareswara berkerut. "Bukankah orang yang ditanyakan Mas Rasya itu adalah salah satu pegawai di keluargamu dulu?"Hawa memilih diam sejenak sambil meminum air yang diberikan Andini. "Iya. Papi masih ingat sama mereka?" Bukannya menjawab, Hawa malah memberikan pertanyaan aneh itu."Ingat banget, Mi. Saat Papi menjemputmu di rumah Ayah waktu itu, Mbak Hamni terlihat begitu sedih melihat Mas Rasya. Mungkin dia kepikiran sama anaknya.""Memang anaknya kenapa, Pi?" tanya Rasya dan Andini bersamaan. "Sudahlah, mereka cuma mantan pegawai Kakek kalian. Nggak ada sesuatu yang istimewa," sahut Hawa."Kenapa menanyakan tentang mereka, Mas?" tanya Nareswara. Rupanya, lelaki itu masih sangat penasaran. "Apa kalian pernah bertemu sebelumnya?"Pandangan Rasya menyapu semua anggota keluarganya. Lalu, dia menjatuhkan tatapan penuh selidik pada sang Mami. "Waktu ini, Mas, nggak sengaja ketem
Happy Reading*****Ditanya dengan pertanyaan yang menyudutkan dirinya, Rasya tetap tersenyum. Sebelum sampai di rumah besar Zafir, lelaki itu sudah mengumpulkan banyak informasi tentang Arvan. Semula, sulung Nareswara itu berusaha legowo. Namun, ketika membaca slide akhir data yang dikirim Adipati, seketika perasaan tak rela muncul kembali. "Untuk apa aku mengada-ada. Semua ini nggak bakalan terjadi jika kamu menjaga perilakumu selama ini terhadap wanita. Jangan kira, aku nggak tahu sifat burukmu, Van," ancam Rasya. "Mas, duduk dulu, deh. Kamu tiba-tiba pulang nggak ngabari Papi. Ada apa sebenarnya?" Daripada mempermasalahkan keberatan si sulung, Nareswara lebih khawatir melihat Rasya. Badan yang terlihat lebih kurus dengan kumis dan jambang belum dirapikan. Biasanya, si sulung tak pernah terlihat seberantakan itu. Nareswara semakin khawatir ketika wajah pucat Rasya terlihat dengan jelas.Duduk di sebelah Nareswara, Rasya menatap sekelilingnya bergantian. Pandangan terakhir dia tu