Happy Reading*****"Pi, kenapa ada di sini?" tanya Rasya. "Nggak penting kenapa Papi ada di sini. Pikirkan ucapan Papi tadi. Kamu nggak boleh memisahkan sepasang suami istri demi kepentingan sendiri. Rasulallah nggak akan mengakuimu sebagai umatnya. Ingat itu!" Tatapan Nareswara begitu tajam pada si sulung. Namun, semua itu tak berlangsung lama ketika bayangan seorang perempuan tertangkap inderanya. Nareswara langsung mengerutkan kening. "Ranti? Ada hubungan apa dia dengan Andini dan Rasya? Waktu ini aku juga bertemu dengannya di rumah Andini. Mungkinkah?" tanya Nareswara dalam hati. "Papi sudah berjanji akan merestui hubunganku dengan Andini. Kenapa sekarang berkata seperti itu?" "Semua itu, karena Papi nggak tahu jika suaminya Andini masih hidup dan sudah kembali padanya. Kenapa kamu nggak menceritakan semua itu?"Ranti menggeret tangan putrinya untuk menjauh. "Sebaiknya kita pulang sekarang. Ibu nggak mau melihat semua ini. Jangan lagi, kita sudah menjadi tontonan semua karyaw
Happy Reading*****Berusaha menghilangkan kegugupannya, Nareswara mengubah posisi duduknya. Sedikit mengendurkan punggung. "Bisa jadi, tapi Papi berharap kamu nggak mengenalnya. Akan sangat sulit jika sampai kamu mengenalnya. Hubunganmu dengan Andini makin runyam, akan semakin sulit untuk mendapatkan restu mamimu.""Kenapa Papi berpikiran seperti itu? Apakah perempuan yang Papi cintai itu adalah ibunya Andini?" tebak Rasya. Dia sebenarnya tak mau menerka seperti itu, tetapi melihat tatapan papinya tadi pada Ranti. Pemikiran itu berkembang.Hanya keheningan yang menyelimuti setelah pertanyaan itu terlontar dari bibir Rasya. Nareswara tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun untuk mengungkap kebenaran 'hatinya karena rasa takut yang mendalam."Pi," panggil Rasya, "Apa karena masalah ini, Mami sangat membenci Andini?""Papi nggak tahu, Mas. Hubungan ini terlalu rumit untuk dijelaskan. Semua masih abu-abu."Obrolan mereka terhenti saat sopir mengatakan jika keduanya sudah sampai di kediama
Happy Reading*****Andini tak percaya dengan penglihatannya. Beberapa kali mengucek mata, dia tetap melihat foto pernikahan itu dengan orang yang sama. "Apa ini? Kenapa Ibu bisa seperti ini?" gumam Andini. Semakin lama menatap foto itu, dia semakin penasaran apa yang terjadi di masa lalu. "Mungkinkah Ibu adalah orang ketiga sehingga Tante Hawa nggak pernah bisa merestui hubunganku dengan Rasya?" Semua pertanyaan itu muncul di kepala ibu satu anak.Membuka lembaran album selanjutnya, kelopak mata Andini makin membulat sempurna. "Ya Allah. Kenapa bisa seperti ini?"Pintu yang terbuka memudahkan perempuan itu mendengar langkah kaki seseorang. Andini segera meletakkan album foto itu ke tempat semula. Segera pergi meninggalkan kamar Ranti. Namun, langkahnya terhenti ketika senyum si kecil terlihat di depan pintu kamar."Lho, Mama kok bisa ada di sini?" "Mama nyariin Nenek. Masuk rumah sepi banget, nggak ada orang. Adik mau ngapain ke kamar Nenek?" Andini membungkuk hendak mencium pipi
Happy Reading*****Andini membulatkan mata secara sempurna. Tak pernah tahu kapan ibunya masuk kamar dan mendengar semua percakapannya dengan Raditya. "Lelaki nggak berguna. Ternyata kamu sama saja seperti yang lain. Pergi sana! Kamu nggak pantas berada di rumah ini," usir Ranti. Suaranya meninggi dengan luapan emosi."Bu," panggil Andini."Maafkan Ibu, Din. Selama ini, Ibu mengira dia adalah lelaki baik yang mencintaimu, tapi melihat semua video dan perkataan busuknya barusan. Ibu, mencabut semua ucapan dan perkiraan baik itu. Kenapa kamu tega mengkhianati kepercayaan Ibu?" Ranti memelankan suara, kelopak matanya mulai digenangi air yang siap turun kapan pun juga. Memegang pipinya yang kembali terasa sakit akibat tamparan, Raditya tersenyum. Terlihat sekali jika lelaki itu tengah meremehkan dua perempuan di depannya. "Aku nggak akan mengkhianati siapa pun selama orang itu memberikan uang," balas Raditya atas ucapan sang mertua. "Bagus. Jadi, niatmu dulu menikahi Andini karena ua
Happy Reading*****"Dik, ceritakan kenapa sama kita?" pinta Andini ketika mereka berdua sudah ada di mobil.Tatapan aneh terlihat jelas di mata sang ibu hamil. Mengeluarkan botol minuman di dalam tas. Anggita tak langsung menjawab pertanyaan Andini, dia malah menuntaskan dahaga yang sejak tadi menyerang. "Aku mendengar obrolan Mami di telpon dengan seseorang," ucapnya."Lalu, apa hubungannya dengan kita? Kenapa juga kamu minta antar Mbak ke rumah sakit?" Andini menggelengkan kepala. Makin tak mengerti dengan jawaban perempuan hamil di sebelahnya."Kita harus melakukan pemeriksaan. Aku curiga kita ...?" Perkataan Anggita terjeda karena ada panggilan masuk dari ponselnya. "Siapa?" tanya Andini. Dia begitu cemas melihat Anggita seperti orang bingung dan panik. Entah apa yang dialami perempuan hamil itu."Mas.""Angkat saja." "Nggak usah, Mbak. Pokoknya, aku nggak akan mengangkat panggilan dari orang rumah." Melirik Anggita, Andini makin menyipitkan mata. "Dik, kamu ini sebenarnya ke
Happy Reading*****Hawa begitu tak sabar untuk masuk ke rumah Andini. Saat ini, sopir yang dimintanya untuk mengantar ke rumah ibu satu anak itu baru berada di depan pintu pagar. Sang sopir masih sibuk membunyikan klakson agar sang pemilik mau membukakn pintu, tetapi Hawa sudah lebih dulun turun."Bapak tunggu di sini saja, saya mau masuk sendiri," suruh Hawa. Wajahnya tegang dengan keringat mulai bercucuran padahal sang sopir sudah menyalakan pendingan di mobil. Namun, semua itu tak berpengaruh karena sang majikan tengah mengalami kekalutan."Baik, Bu," sahut sang sopir.Langkah perempuan paruh baya yang memakai hels itu begitu cepat. Serpertinya, dia terburu-buru."Ranti! Keluar kamu," teriak Hawa di depan pintu masuk rumah Andini. Tangannya juga sibuk memencet bel.Dari dalam, Ranti yang mendengar suara bel tanpa henti mulai menggerutu. Pasalnya, saat ini wanita paruh baya itu tengah menghitung keseluruhan aset yang dimiliki serta tabungannya. Semua itu dilakukan untuk memberikan
Happy Reading*****Andini maju, mendekati ibunya. "Bu, ada apa sebenarnya? Apa maksud Tante Hawa tadi?""Ran, ceritakan! Jangan diam saja," tambah Nareswara. Lelaki itu mulai meninggikan suaranya.Rasya dan Anggita cuma bisa menatap adegan di depannya. Keduanya memilih bungkam dan menunggu penjelasan dari para orang tua. Walau Anggita sudah mengetahui hal ini sejak Hawa menelepon seseorang tadi. Namun, perempuan hamil itu tak menyangka jika maminya berani mengungkap kebenaran yang telah disembunyikan. "Ceritakan saja, Ran. Nggak perlu lagi kita tutupi semuanya. Namanya bangkai, suatu saat pasti akan tercium juga. Aku nggak mau disebut sebagai perempuan jahat karena memisahkan mereka berdua," ucap Hawa seolah-olah Ranti adalah orang yang paling bersalah saat ini.Nareswara beralih menatap Hawa. "Pasti semua ini rencanamu untuk memisahkan Andini dan Rasya," katanya, "Mi, apa yang terjadi antara Papi dan Ranti sudah berakhir lama. Sejak Papi sudah menjatuhkan talak, kami sudah nggak p
Happy Reading*****"Apa benar yang dikatakan, Adik, Mi?" bentak Nareswara. Tubuhnya begitu lemah sekarang. Untuk berdiri saja, lelaki itu rasanya tak sanggup. "Nggak seperti itu, Pi. Anggita pasti salah paham. Aku nggak pernah berniat membunuh siapa pun," elak Hawa."Benarkah?" tanya Anggita. Dia mengeluarkan ponsel dari tasnya. Lalu, memutar sebuah rekaman video. "Coba Papi dengarkan ini."Semua orang serius menonton rekaman video. "Hawa!" bentak Nareswara, "begitu keji hatimu. Apa yang nggak aku berikan untukmu sebagai seorang istri dan menantu di keluarga ini. Mengapa kamu masih bisa berbuat demikian?""Pi, bukan itu maksudku." Hawa segera berdiri. Mendekati Nareswara dan memegangi lututnya. "Maaf, Mami cuma ingin mempertahankan nama baik keluarga Zafir. Jika orang-orang tahu bahwa Papi punya anak haram, maka kehormatan keluarga Zafir akan tercemar.""Tutup mulutmu, Hawa," sentak Ranti, "Andini bukan anak haram. Dia terlahir dari pernikahanku dan Nares. Perkawinan kami sah di m
Happy Reading*****Rasya sangat jengkel dengan tingkah Davit yang menyamar sebagai Andini. D jaia pun memukuli lelaki itu hingga mengaduh."Ampun ... Ampun. Adikmu tersayang yang nyuruh. Marahin dia saja," ucap Davit sambil menunjuk pada Anggita. "Ih, kok aku, sih?" sahut Anggita, "Mbak Tiwi, tuh. Dia yang ngasih ide." Menunjuk sahabat Andini yang tertawa lebar melihat ekspresi kecewa Rasya. "Sudah!" bentak Rasya, "sekarang mana istriku?""Ini," ucap Ranti dan Hawa bersamaan. Gamis putih perpaduan sutra satin dan berkata serta payet mutiara, melekat di tubuh Andini. Kerudung yang menutup dada dan menjuntai serta mahkota mutiara bertengger di kepala. Jangan lupakan make up natural yang makin menambah pesona kecantikan perempuan itu berlipat ganda. Senyum penuh kebahagian menambah kilau kecantikannya bersinar. Rasya dibuat terpukau dengan sosok wanita yang kini sedang berjalan mendekatinya. Tanpa kedip, dia terus menatap Andini. Seorang perempuan yang sudah sangat lama dicintai. Se
Happy Reading*****Niat hati ingin berduaan dan menyatakan cinta pada sang pujaan malah gagal total. Seluruh keluarga Rasya dan Andini ada di restoran itu. Tangan Nareswara bahkan sudah bertengger pada telinga kiri. "Papi itu nggak percaya kalau Mas ngomong mau jemput Andini. Pasti kayak gini hasilnya," ucap Nareswara. "Hmm, Mas," sahut Hamni."Padahal tinggal nunggu beberapa hari lagi. Masak iya sudah nggak tahan pengen berduaan," tambah Hawa. Rasya meringis sambil menggaruk kepalanya. "Kok pada tahu kalau Mas di sini, sih?""Jelas kami tahu. Ada mata-mata yang akan mengatakan perilakumu, Mas," sahut Dzauhari. "Ayah kok ikut-ikutan, sih?" Wajah ditekuk-tekuk karena kesal rencana manisnya dengan Andini gagal, Rasya memajukan bibirnya. "Makanya, Pa. Kalau punya rencana ajak-ajak Adik biar nggak gini kejadiaannya," celetuk Bisma. "Eh, kok nggak belain Papa?" Rasya menggerak-gerakkan bibir, lucu sekali tingkah sang pemimpin grup Zafir itu. Andai para karyawannya tahu, apa mungkin
Happy Reading*****"Sudahlah, Nak. Nggak usah tanya untuk apa beliau meminta cincin ini," ucap Hamni. Dia mulai melepas cincin yang dibelikan sang suami sebagai hadiah ulang tahun pernikahan mereka yang ke 25 waktu itu. "Ibumu benar, Nak," tambah Dzauhari. "Ayah bisa membelikan ibumu cincin yang seperti itu lagi nantinya."Walau keberatan, Rasya tetap menganggukkan kepala. Perlahan Hamni melepaskan cincin yang diminta oleh Nareswara. "Ini, Pak." Menyerahkan pada lelaki yang tengah berbaring di ranjang kesakitan itu, Hamni menampilkan senyumnya."Tolong kamu pasangkan ke hari manis Mbak Andini. Sebelum terjadi hal-hal yang nggak diinginkan, saya mau melihatnya menjadi calon menantumu.""Papi," panggil Andini dan Rasya bersamaan. Mereka juga saling tatap. Tidak menyangka sama sekali jika Nareswara punya niat seperti itu."Papi nggak tahu sampai kapan hidup. Jadi, sebelum Papi dipanggil sama Allah, Papi mau kalian saling terikat satu sama lain."Andini meletakkan jari telunjuknya ke
Happy Reading*****Anggita mendekat pada Nareswara. Tangannya berusaha melepaskan cekikan di leher Hawa. "Pi, pliss jangan seperti ini. Kita bisa bicarakan semua dengan tenang. Biarkan Mami menceritakan semuanya.""Pi, benar katanya Adik. Nggak akan ada penyelesaian jika kita mengedepankan emosi," tambah Andini. Dia juga berusaha melepaskan pegangan tangan Nareswara pada leher Hawa. "Istighfar, Pi."Nareswara menghela napas. Perlahan, dia mengendurkan pegangannya pada leher sang istri. "Astagfirullah," ucapnya pelan.Sementara di seberang duduknya, Rasya dan orang tua kandungnya melihat dengan diam. Mereka tidak akan menambah kekeruhan permasalahan yang ada dengan membuka suara. "Jadi, katakan apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Mas Rasya sampai nekat akan melamar Andini yang jelas-jelas diketahui adalah adiknya," pinta Nareswara ketika Hawa terlihat jauh lebih tenang. "Berjanjilah, Papi nggak akan menceraikan Mami atau marah lagi," pinta Hawa. Sorot mata penuh ketakutan dan keput
Happy Reading*****"Iya, saya," kata seorang perempuan berjilbab yang di sebelahnya berdiri Rasya dan Dzauhari. "Apa kabar, Mbak?""Kalian kok bisa kenal sama Rasya padahal nggak pernah bertemu sama sekali?" tambah Nareswara, "ayo duduk."Walau sedikit terkejut dengan kedatangan tamu tak diundang. Nareswara tetap ramah dan menerima kedatangan Dzauhari dan Hamni. "Mbak minta tolong sama Bibi buatkan minuman untuk mereka," tambah Nareswara pada Andini. Sementara Hawa, dia diam bak patung, menjawab pertanyaan yang Hamni ajukan saja, tidak dilakukan. Tak disangka, mamanya Arvan mendekati Hamni dan memeluk. Mereka saling sapa dengan cipika-cipiki. Rasya menatap curiga pada Hamni. "Apa kabar, Mbak? Lama nggak ketemu, balik Banyuwangi nggak kabar-kabar. Tahu gitu tak jemput lho di bandara," ujar perempuan yang diketahui bernama Sarita, ibunya Arvan."Kabar baik, Rit. Maaf, ya, aku dadakan ini pulangnya. Jadi, nggak sempat kabar-kabar.""Yah, kok ibu kenal?" bisik Rasya pada Dzauhari. "B
Happy Reading*****"Kami, cuma bisa memberikan ini untuk kebahagianmu, Nak. Kapan pun kamu meminta kami untuk menghadap Pak Nareswara dan Mbak Hawa, kami siap," ucap Hamni."Benar, Nak. Nggak perlu nunggu besok atau lusa. Sekarang pun, kita bisa kembali kalau kamu mau," tambah Dzauhari."Ayah, Ibu, sekali lagi terima kasih. Aku nggak tahu bagaimana harus membalas semua ini," ucap Rasa begitu terharu.Para pekerja yang melihat adegan mengharukan di depan mereka, tak kuasa membendung air mata. Mereka begitu terharu, setelah sekian lama kebahagiaan itu akhirnya datang pada atasan mereka. "Mungkin, besok pagi. Aku kembali ke Banyuwangi, Pak. Gimana?""Nggak masalah, Nak." Dzauhari menaikkan garis bibirnya. "Gimana kalau menggunakan perjalanan darat saja, Nak. Ibu dengar, besok penerbangan Banyuwangi-Bali ditiadakan karena cuaca memburuk," tambah Hamni."Sepertinya iya, Bu. Aku barusan dapat kabar dari Adipati. Nggak ada tiket ke sana untuk besok."Pasangan itu tersenyum. "Biar sopir
Happy Reading*****Rasya mencengkeram erat kerah kemeja lawan bicaranya. Berani sekali Arvan menghubungi Nareswara di saat dia belum bisa menjelaskan semua kebenaran dan menunjukkan bukti kebenaran yang membuatnya bisa menikahi Andini. "Dari awal, aku sudah tahu apa tujuan pertemuan ini. Jadi, aku sengaja meminta pendapat Om Nares," jelas Arvan dengan suara tercekat akibat tangan Rasya yang berada di lehernya. "Nggak usah macam-macam, Mas. Papi yang meminta Arvan. Lebih baik kamu pulang sekaran. Kita selesaikan semua masalah ini di rumah," ucap Nareswara dari ponsel milik Arvan.Rasya melepaskan tangannya, lalu mematikan sambungan yang menghubungkan Arvan dengan papinya.Melirik sang asisten, Rasya berkata, "Tiketku, apa sudah siap?""Siap, Bos. Satu jam lagi, penerbangannya," ucap Adipati. "Bagus, kamu suruh orang bawa mobilku pulang dan antar aku ke bandara."Sulung keluarga Nareswara itu langsung meninggalkan Arvan tanpa pamit. Tak perlu pulang ke rumah besar Zafir lagi dan men
Happy Reading*****"Tante, minum ini," pinta Andini sambil menyodorkan segelas air. "Mami kenapa, sih?" Kening Nareswara berkerut. "Bukankah orang yang ditanyakan Mas Rasya itu adalah salah satu pegawai di keluargamu dulu?"Hawa memilih diam sejenak sambil meminum air yang diberikan Andini. "Iya. Papi masih ingat sama mereka?" Bukannya menjawab, Hawa malah memberikan pertanyaan aneh itu."Ingat banget, Mi. Saat Papi menjemputmu di rumah Ayah waktu itu, Mbak Hamni terlihat begitu sedih melihat Mas Rasya. Mungkin dia kepikiran sama anaknya.""Memang anaknya kenapa, Pi?" tanya Rasya dan Andini bersamaan. "Sudahlah, mereka cuma mantan pegawai Kakek kalian. Nggak ada sesuatu yang istimewa," sahut Hawa."Kenapa menanyakan tentang mereka, Mas?" tanya Nareswara. Rupanya, lelaki itu masih sangat penasaran. "Apa kalian pernah bertemu sebelumnya?"Pandangan Rasya menyapu semua anggota keluarganya. Lalu, dia menjatuhkan tatapan penuh selidik pada sang Mami. "Waktu ini, Mas, nggak sengaja ketem
Happy Reading*****Ditanya dengan pertanyaan yang menyudutkan dirinya, Rasya tetap tersenyum. Sebelum sampai di rumah besar Zafir, lelaki itu sudah mengumpulkan banyak informasi tentang Arvan. Semula, sulung Nareswara itu berusaha legowo. Namun, ketika membaca slide akhir data yang dikirim Adipati, seketika perasaan tak rela muncul kembali. "Untuk apa aku mengada-ada. Semua ini nggak bakalan terjadi jika kamu menjaga perilakumu selama ini terhadap wanita. Jangan kira, aku nggak tahu sifat burukmu, Van," ancam Rasya. "Mas, duduk dulu, deh. Kamu tiba-tiba pulang nggak ngabari Papi. Ada apa sebenarnya?" Daripada mempermasalahkan keberatan si sulung, Nareswara lebih khawatir melihat Rasya. Badan yang terlihat lebih kurus dengan kumis dan jambang belum dirapikan. Biasanya, si sulung tak pernah terlihat seberantakan itu. Nareswara semakin khawatir ketika wajah pucat Rasya terlihat dengan jelas.Duduk di sebelah Nareswara, Rasya menatap sekelilingnya bergantian. Pandangan terakhir dia tu