Happy Reading*****"Apa benar yang dikatakan, Adik, Mi?" bentak Nareswara. Tubuhnya begitu lemah sekarang. Untuk berdiri saja, lelaki itu rasanya tak sanggup. "Nggak seperti itu, Pi. Anggita pasti salah paham. Aku nggak pernah berniat membunuh siapa pun," elak Hawa."Benarkah?" tanya Anggita. Dia mengeluarkan ponsel dari tasnya. Lalu, memutar sebuah rekaman video. "Coba Papi dengarkan ini."Semua orang serius menonton rekaman video. "Hawa!" bentak Nareswara, "begitu keji hatimu. Apa yang nggak aku berikan untukmu sebagai seorang istri dan menantu di keluarga ini. Mengapa kamu masih bisa berbuat demikian?""Pi, bukan itu maksudku." Hawa segera berdiri. Mendekati Nareswara dan memegangi lututnya. "Maaf, Mami cuma ingin mempertahankan nama baik keluarga Zafir. Jika orang-orang tahu bahwa Papi punya anak haram, maka kehormatan keluarga Zafir akan tercemar.""Tutup mulutmu, Hawa," sentak Ranti, "Andini bukan anak haram. Dia terlahir dari pernikahanku dan Nares. Perkawinan kami sah di m
Happy Reading*****Nareswara berteriak memanggil sopir, sedangkan Hawa memegang kepala Anggita. Andini dan Ranti berada di bagian kaki perempuan hamil itu. Semua orang memanggil dan menepuk-nepuk pipi serta bagian tubuh lainnya untuk membangunkan Anggita."Ada apa, Pak?" tanya sopir sambil membungkukkan badan. "Siapkan mobil. Bawa Anggita ke rumah sakit." Nareswara segera membopong si bungsu. Diikuti Hawa dan lainnya di belakang. Mobil keluarga Zafir melaju dengan kecepatan tinggi, sementara Andini dan Ranti mengikuti di belakangnya. "Din, hubungi Rasya. Dia harus tahu kondisi Anggita," pinta Ranti.Sambil menyetir, Andini menghubungi Rasya. Namun, panggilannya tak juga terjawab walau sudah beberapa kali menelepon. "Ke mana dia pergi?" ucap Andini lirih. "Kenapa? Apa telponmu nggak diangkat?" Andini menggelengkan kepala. "Biar aku telpon Bisma saja," putus ibu satu anak itu setelah melirik arlojinya. "Kenapa harus Bisma. Apa nggak ganggu sekolahnya?""Sudah jam istirahat, Bu.
Happy Reading*****Ranti semakin gugup ketika ditatap semenakutkan itu oleh Hawa. Nareswara dan Andini bahkan memegangi kedua tangan wanita paruh baya tersebut. Namun, Hawa menepis kedua tangan yang menghalanginya. Seperti kerasukan, dia melangkah semakin dekat pada Ranti. Andini dan Nareswara tak lagi bisa mencegah pergerakannya. Tanpa di duga oleh kedua orang itu, Hawa menekuk lutut dan menjatuhkan diri ke lantai."Tolong maafkan semua salahku, Ran. Maaf jik selama ini aku sudah begitu menyakitimu," ucap Hawa tanpa diduga oleh Andini dan Nareswara.Dia yang selama ini begitu angkuh dan tak mau mengalah pada siapa pun. Entah mengapa, hari ini tiba-tiba bertekuk lutut di hadapan Ranti bahkan meminta maaf seperti sekarang. "Wa, apa yang kamu lakukan?" tanya Ranti. Kedua tangannya memegang tubuh nyonya Zafir. "Berdiri, Wa. Kamu nggak boleh melakukan hal begini. Ini tempat umum. Jangan sampai memalukan nama baik keluarga besar Zafir. Jika ada yang mengenalmu gimana nantinya?""Aku ngg
Happy Reading*****"Ran, tolong jelaskan," pinta Nareswara. Lelaki itu masih memeluk sang istri walau tatapannya mengarah pada sang mantan. "Putranya Anggita meninggal sesaat setelah dilahirkan. Tim medis sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi nyawa bayi itu nggak tertolong," jelas Ranti."Maafkan Mami, Pi," ucap Hawa sambil terisak. Perempuan itu mengurai pelukannya dan menatap sang suami yang sedang memejamkan mata. "Mungkin ini balasan dari perbuatan jahat Mami pada Ranti.""Wa, jangan katakan itu lagi. Aku nggak pernah bermaksud untuk membalasmu," sahut Ranti disertai gelengan kepala. "Kenapa Mami bisa ngambil kesimpulan seperti itu? Semua takdir ini sudah digariskan jauh sebelum kelahiran kita. Jadi, nggak ada yang perlu di sesali," kata Nareswara berusaha membesarkan hati istrinya."Betul, Wa. Lupakan kejadian itu. Aku jug nggak ingat sudah mengutukmu seperti itu. Maafkan aku." Penuh ketulusan, Ranti menyodorkan tangannya untuk meminta maaf."Kamu nggak salah, Ran. Aku yan
Happy Reading*****"Hati-hati, Mbak," teriak Nareswara ketika Andini tak lagi mendengarkan perkataannya. "Semoga nggak terjadi apa-apa sama Rasya," ucap Ranti. Dia masih memeluk Hawa yang terisak."Semua ini salahku. Harusnya, aku mengatakan sejak dulu. Rasya pasti sangat terluka dengan semua kenyataan ini," kata Hawa."Sebuah keputusan akan selalu mendatangkan resiko. Kita harus siap menghadapi semuanya," sahut Nareswara. Kalau boleh jujur, saat ini hatinya tengah hancur melihat penderitaan anak-anaknya. Anggita masih berjuang di ruang UGD untuk melahirkan penerus keluarga. Kini, Nareswara harus mendengar kabar buruk tentang si sulung. Walaupun tak tahu apa yang terjadi, tetapi melihat gelagat Andini yang begitu panik. Pasti sesuatu telah terjadi pada Rasya.Melajukan kendaraan dengan kecepatan penuh, Andini tak lagi memikirkan keselamatannya, dia bahkan lupa untuk menjemput sang buah hati hingga salah satu guru menginfokannya. Di tengah kepanikannya, Andini terpaksa meminta tol
Happy Reading*****Andini terpaksa memeluk Rasya erat, melingkarkan kedua tangannya ke leher si lelaki. "Jangan lakukan itu. Apa kamu nggak kasihan pada Bisma? Jika kamu melakukannya, dia pasti akan sangat terpukul. Selama ini, hanya kamu yang dia anggap sebagai papanya." Tangis Andini pecah. Davit yang semula menyangka jika hubungan keduanya akan segera mendapat restu. Kini, terlihat syok. Dia tidak pernah menyangka jika keduanya memiliki jalinan kasih yang cukup rumit.Bertahun-tahun berusaha melupakan Andini dan setelah keduanya hampir menyatu, takdir berkata lain. Sungguh miris, Davit tak sanggup membayangkan jika dirinya berada di posisi Rasya."Ras, jangan begini," sahut Davit, "apa yang dikatakan Andini benar. Apakah kamu rela membiarkan kesayanganmu itu menangis sepanjang hidupnya karena nggak bisa ketemu papanya lagi. Kamu rela, Bisma hidup di bawah asuhan Raditya yang bejat itu?"Lelaki yang terlalu banyak meminum alkohol itu mendongak, bergantian menatap Andini dan Davit.
Happy Reading*****Raditya mendorong tubuh sang istri. Tatapannya begitu tajam, menguliti Andini."Papa itu cowok apa bukan? Kenapa kelakuannya selalu menyakiti Mama. Bukankah seorang lelaki itu harus melindungi perempuan?" kata Bisma berteriak sambil mendongakkan kepala pada Raditya. "Egois. Kamu nggak tahu kejadian sebenarnya. Jangan asal nuduh. Bukankah kamu sendiri berselingkuh di belakang Andini bahkan sudah berlangsung bertahun-tahun?" tambah Pratiwi. Lalu, dia berdiri di sisi sahabatnya. "Maaf, aku terpaksa membawanya ke sini. Aku nggak mau rumahmu dihancurkan oleh lelaki nggak berguna seperti dia.""Nggak papa, Wi," sahut Andini disertai gelengan. Dia tidak menyalahkan sahabatnya yang sudah membawa Raditya ke rumah Rasya. "Heh. Kalian berdua itu sama saja. Perempuan yang suka menyodorkan tubuhnya pada lelaki kaya. Bukankah kamu juga berselingkuh dengan Davit. Nggak takut, nih, kalau istrinya Davit tahu?" ejek Raditya sengaja memprovokasi sahabat Andini.Sebuah tamparan kera
Happy Reading *****Tiga hari sudah sejak Anggita melahirkan dan hari ini, ibu muda itu diperkenankan untuk pulang. Kejadian tiga hari lalu sangat membekas di hati Andini, walau Hawa sudah menerimanya sebagai bagian dari keluarga Zafir. Namun, kehadiran Kamelia saat itu seakan menegaskan bahwa perempuan berjilbab itu tidak memiliki kesempatan lagi untuk berdekatan dengan Rasya.Hawa sudah mengumumkan secara sepihak bahwa pesta pertunangan Rasya dan Kamelia akan segera dilangsungkan setelah putrinya Anggita diperbolehkan pulang. Ikhlas, mungkin hanya satu kata itu yang harus ditanamkan si hati mamanya Bisma. Bagaimanapun dirinya dan Rasya ingin bersama, nyatanya takdir tak menyatukan keduanya. Seperti saat ini, sulung keluarga Zafir itu datang bersama Kamelia untuk menjemput kepulangan si bungsu. Anggita mentap tidak suka pada perempuan berpakaian minim di hadapannya. Apalagi melihat tangan Kamelia yang bergelayut manja pada lengan kanan Rasya."Mbak, Din," panggil Anggita pada Andi