Happy Reading *****Tiga hari sudah sejak Anggita melahirkan dan hari ini, ibu muda itu diperkenankan untuk pulang. Kejadian tiga hari lalu sangat membekas di hati Andini, walau Hawa sudah menerimanya sebagai bagian dari keluarga Zafir. Namun, kehadiran Kamelia saat itu seakan menegaskan bahwa perempuan berjilbab itu tidak memiliki kesempatan lagi untuk berdekatan dengan Rasya.Hawa sudah mengumumkan secara sepihak bahwa pesta pertunangan Rasya dan Kamelia akan segera dilangsungkan setelah putrinya Anggita diperbolehkan pulang. Ikhlas, mungkin hanya satu kata itu yang harus ditanamkan si hati mamanya Bisma. Bagaimanapun dirinya dan Rasya ingin bersama, nyatanya takdir tak menyatukan keduanya. Seperti saat ini, sulung keluarga Zafir itu datang bersama Kamelia untuk menjemput kepulangan si bungsu. Anggita mentap tidak suka pada perempuan berpakaian minim di hadapannya. Apalagi melihat tangan Kamelia yang bergelayut manja pada lengan kanan Rasya."Mbak, Din," panggil Anggita pada Andi
Happy Reading*****Wajah-wajah tegang tampak pada semua orang yang ada di meja makan tersebut. Nareswara diam, tetapi tangannya segera merogoh saku. Mengeluarkan benda pipih miliknya. Beberapa detik kemudian, suaranya terdengar menyapa seseorang di seberang sana. "Masalah apa yang ada di pabrik baru kita? Kenapa aku baru mendengarnya dari Rasya saat ini?" tanya Nareswara pada lawan bicaranya.Di sebelah duduknya, Rasya mendengarkan penuh ketenangan. Dia sudah mempersiapkan semua itu. Sengaja menciptakan masalah di pabrik baru milik keluarganya demi menghindari pertemuan dengan Andini setiap hari. Rasya tak sekuat itu untuk tetap menganggap Andini sebagai adiknya. "Masalah biasa yang sering terjadi pada setiap pabrik baru, Pi. Wandra sedikit kesulitan menanganinya. Mungkin karena dia tidak terbiasa dan belum pernah hidup di Bali.""Baiklah, kamu boleh pergi ke Bali. Cuma pas tanggal pertunangan yang sudah disepakati kamu harus pulang, Mas.""Pi, kenapa terburu-buru. Masih ada banyak
Happy Reading*****Suara tawa Nareswara menggema. Bagaimana tidak tertawa, perkataan putra sahabatnya itu benar-benar di luar nalar. Jika beberapa orang pengunjung restoran itu cuma menatap Nareswara dan Andini penuh kecurigaan, tetapi Arvan malah langsung menuduh."Kok malah ketawa, Om? Njenengan nggak beneran punya hubungan khusus sama Andini, kan? Jangan ya, Om. Kasihanilah yang muda dan jomblo seperti aku ini," ucap Arvan. Wajah dan nada bicaranya sangat menggelitik hati Nareswara."Van ... Van. Dari dulu, sikap jenakamu itu nggak berubah padahal umur sudah hampir 35 tahun," jawab Nareswara disertai gelengan kepala dan senyuman. "Dih, masih 2 tahun lagi, deh, Om. Aku nggak setua itu, ya." Arvan bahkan memajukan bibirnya. Persis anak kecil yan sedang merajuk. Andini menangkupkan tangan pada bibirnya sendiri. "Nggak usah ngejek, Din," sindir Arvan ketika melihat tawa perempuan di depannya yang sengaja ditahan."Hmm, padahal aku nggak ngomong apa-apa, lho," sahut Andini, "Memang
Happy Reading****"Sabar dulu, Bu, Pak. Kenapa harus melakukan tes DNA?" tanya Wandra mencoba mendinginkan perasaan sahabatnya."Selama ini kami berdua berusaha untuk mencari keberadaannya. Dia benar-benar putra kami yang telah diambil paksa oleh keluarga Hawa," ucap perempuan paruh baya itu dengan wajah sendu.Rasya duduk bersandar di sofa dengan mata terpejam menahan rasa sakit kepala. Semua peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini sungguh sangat memusingkan kepalanya. Harusnya, dia bahagia ketika mendengar bahwa ternyata dirinya bukan anak kandung Nareswara. Jika benar apa yang disampaikan pasangan di depannya, bukankah impiannya untuk bersatu dengan Andini bisa terwujud nantinya. Namun, semua itu tak lantas membuatnya bahagia. Ada nyeri yang tak bisa tergambarkan ketika lelaki paruh baya tersebut bertanya nama dan menceritakan apa yang baru saja keduanya sampaikan."Maafkan Ayah atas ketidakberdayaan tiga puluh tahun silam. Demi hutang budi dan kemiskinan kami terpaksa menyerahkan
Happy Reading*****"Maaf, Bu. Aku nggak bisa jelaskan sekarang. Tiga atau empat hari lagi, aku balik. Semoga kita mendapat jalan keluar terbaik. Permisi," pamit Rasya pada Hamni dan Dzauhari. Meski belum bisa menerima kenyataan tentang pasangan yang ada di depannya, Rasya tetap menghormati dua orang tersebut. Sebelum meninggalkan rumah sakit, lelaki itu masih sempat mengalami keduanya penuh hormat. "Hati-hati, Nak. Apa pun masalah yang sedang kamu alami sekarang, jangan terburu-buru. Selalu hati-hati di jalan. Doa ibu menyertai," bisik Hamni. Perempuan paruh baya itu bahkan sempat mencium puncak kepala Rasya."Iya, Bu," jawab Rasya. Berdua bersama Wandra, Rasya meninggalkan pasangan tersebut. "Ceritakan padaku, ada apa denganmu? Bukankah kedatanganmu ke sini untuk menghindari pertemuan dengan Andini setiap hari. Lalu, kenapa sekarang malah pengen pulang. Belum juga genap dua bulan kamu di sini," kata Wandra setelah mereka berdua ada di mobil."Aku nggak bisa lihat dia sama lelaki
Happy Reading*****Ditanya dengan pertanyaan yang menyudutkan dirinya, Rasya tetap tersenyum. Sebelum sampai di rumah besar Zafir, lelaki itu sudah mengumpulkan banyak informasi tentang Arvan. Semula, sulung Nareswara itu berusaha legowo. Namun, ketika membaca slide akhir data yang dikirim Adipati, seketika perasaan tak rela muncul kembali. "Untuk apa aku mengada-ada. Semua ini nggak bakalan terjadi jika kamu menjaga perilakumu selama ini terhadap wanita. Jangan kira, aku nggak tahu sifat burukmu, Van," ancam Rasya. "Mas, duduk dulu, deh. Kamu tiba-tiba pulang nggak ngabari Papi. Ada apa sebenarnya?" Daripada mempermasalahkan keberatan si sulung, Nareswara lebih khawatir melihat Rasya. Badan yang terlihat lebih kurus dengan kumis dan jambang belum dirapikan. Biasanya, si sulung tak pernah terlihat seberantakan itu. Nareswara semakin khawatir ketika wajah pucat Rasya terlihat dengan jelas.Duduk di sebelah Nareswara, Rasya menatap sekelilingnya bergantian. Pandangan terakhir dia tu
Happy Reading*****"Tante, minum ini," pinta Andini sambil menyodorkan segelas air. "Mami kenapa, sih?" Kening Nareswara berkerut. "Bukankah orang yang ditanyakan Mas Rasya itu adalah salah satu pegawai di keluargamu dulu?"Hawa memilih diam sejenak sambil meminum air yang diberikan Andini. "Iya. Papi masih ingat sama mereka?" Bukannya menjawab, Hawa malah memberikan pertanyaan aneh itu."Ingat banget, Mi. Saat Papi menjemputmu di rumah Ayah waktu itu, Mbak Hamni terlihat begitu sedih melihat Mas Rasya. Mungkin dia kepikiran sama anaknya.""Memang anaknya kenapa, Pi?" tanya Rasya dan Andini bersamaan. "Sudahlah, mereka cuma mantan pegawai Kakek kalian. Nggak ada sesuatu yang istimewa," sahut Hawa."Kenapa menanyakan tentang mereka, Mas?" tanya Nareswara. Rupanya, lelaki itu masih sangat penasaran. "Apa kalian pernah bertemu sebelumnya?"Pandangan Rasya menyapu semua anggota keluarganya. Lalu, dia menjatuhkan tatapan penuh selidik pada sang Mami. "Waktu ini, Mas, nggak sengaja ketem
Happy Reading*****Rasya mencengkeram erat kerah kemeja lawan bicaranya. Berani sekali Arvan menghubungi Nareswara di saat dia belum bisa menjelaskan semua kebenaran dan menunjukkan bukti kebenaran yang membuatnya bisa menikahi Andini. "Dari awal, aku sudah tahu apa tujuan pertemuan ini. Jadi, aku sengaja meminta pendapat Om Nares," jelas Arvan dengan suara tercekat akibat tangan Rasya yang berada di lehernya. "Nggak usah macam-macam, Mas. Papi yang meminta Arvan. Lebih baik kamu pulang sekaran. Kita selesaikan semua masalah ini di rumah," ucap Nareswara dari ponsel milik Arvan.Rasya melepaskan tangannya, lalu mematikan sambungan yang menghubungkan Arvan dengan papinya.Melirik sang asisten, Rasya berkata, "Tiketku, apa sudah siap?""Siap, Bos. Satu jam lagi, penerbangannya," ucap Adipati. "Bagus, kamu suruh orang bawa mobilku pulang dan antar aku ke bandara."Sulung keluarga Nareswara itu langsung meninggalkan Arvan tanpa pamit. Tak perlu pulang ke rumah besar Zafir lagi dan men