Happy Reading*****"Iya, saya," kata seorang perempuan berjilbab yang di sebelahnya berdiri Rasya dan Dzauhari. "Apa kabar, Mbak?""Kalian kok bisa kenal sama Rasya padahal nggak pernah bertemu sama sekali?" tambah Nareswara, "ayo duduk."Walau sedikit terkejut dengan kedatangan tamu tak diundang. Nareswara tetap ramah dan menerima kedatangan Dzauhari dan Hamni. "Mbak minta tolong sama Bibi buatkan minuman untuk mereka," tambah Nareswara pada Andini. Sementara Hawa, dia diam bak patung, menjawab pertanyaan yang Hamni ajukan saja, tidak dilakukan. Tak disangka, mamanya Arvan mendekati Hamni dan memeluk. Mereka saling sapa dengan cipika-cipiki. Rasya menatap curiga pada Hamni. "Apa kabar, Mbak? Lama nggak ketemu, balik Banyuwangi nggak kabar-kabar. Tahu gitu tak jemput lho di bandara," ujar perempuan yang diketahui bernama Sarita, ibunya Arvan."Kabar baik, Rit. Maaf, ya, aku dadakan ini pulangnya. Jadi, nggak sempat kabar-kabar.""Yah, kok ibu kenal?" bisik Rasya pada Dzauhari. "B
Happy Reading*****Anggita mendekat pada Nareswara. Tangannya berusaha melepaskan cekikan di leher Hawa. "Pi, pliss jangan seperti ini. Kita bisa bicarakan semua dengan tenang. Biarkan Mami menceritakan semuanya.""Pi, benar katanya Adik. Nggak akan ada penyelesaian jika kita mengedepankan emosi," tambah Andini. Dia juga berusaha melepaskan pegangan tangan Nareswara pada leher Hawa. "Istighfar, Pi."Nareswara menghela napas. Perlahan, dia mengendurkan pegangannya pada leher sang istri. "Astagfirullah," ucapnya pelan.Sementara di seberang duduknya, Rasya dan orang tua kandungnya melihat dengan diam. Mereka tidak akan menambah kekeruhan permasalahan yang ada dengan membuka suara. "Jadi, katakan apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Mas Rasya sampai nekat akan melamar Andini yang jelas-jelas diketahui adalah adiknya," pinta Nareswara ketika Hawa terlihat jauh lebih tenang. "Berjanjilah, Papi nggak akan menceraikan Mami atau marah lagi," pinta Hawa. Sorot mata penuh ketakutan dan keput
Happy Reading*****"Sudahlah, Nak. Nggak usah tanya untuk apa beliau meminta cincin ini," ucap Hamni. Dia mulai melepas cincin yang dibelikan sang suami sebagai hadiah ulang tahun pernikahan mereka yang ke 25 waktu itu. "Ibumu benar, Nak," tambah Dzauhari. "Ayah bisa membelikan ibumu cincin yang seperti itu lagi nantinya."Walau keberatan, Rasya tetap menganggukkan kepala. Perlahan Hamni melepaskan cincin yang diminta oleh Nareswara. "Ini, Pak." Menyerahkan pada lelaki yang tengah berbaring di ranjang kesakitan itu, Hamni menampilkan senyumnya."Tolong kamu pasangkan ke hari manis Mbak Andini. Sebelum terjadi hal-hal yang nggak diinginkan, saya mau melihatnya menjadi calon menantumu.""Papi," panggil Andini dan Rasya bersamaan. Mereka juga saling tatap. Tidak menyangka sama sekali jika Nareswara punya niat seperti itu."Papi nggak tahu sampai kapan hidup. Jadi, sebelum Papi dipanggil sama Allah, Papi mau kalian saling terikat satu sama lain."Andini meletakkan jari telunjuknya ke
Happy Reading*****Niat hati ingin berduaan dan menyatakan cinta pada sang pujaan malah gagal total. Seluruh keluarga Rasya dan Andini ada di restoran itu. Tangan Nareswara bahkan sudah bertengger pada telinga kiri. "Papi itu nggak percaya kalau Mas ngomong mau jemput Andini. Pasti kayak gini hasilnya," ucap Nareswara. "Hmm, Mas," sahut Hamni."Padahal tinggal nunggu beberapa hari lagi. Masak iya sudah nggak tahan pengen berduaan," tambah Hawa. Rasya meringis sambil menggaruk kepalanya. "Kok pada tahu kalau Mas di sini, sih?""Jelas kami tahu. Ada mata-mata yang akan mengatakan perilakumu, Mas," sahut Dzauhari. "Ayah kok ikut-ikutan, sih?" Wajah ditekuk-tekuk karena kesal rencana manisnya dengan Andini gagal, Rasya memajukan bibirnya. "Makanya, Pa. Kalau punya rencana ajak-ajak Adik biar nggak gini kejadiaannya," celetuk Bisma. "Eh, kok nggak belain Papa?" Rasya menggerak-gerakkan bibir, lucu sekali tingkah sang pemimpin grup Zafir itu. Andai para karyawannya tahu, apa mungkin
Happy Reading*****Rasya sangat jengkel dengan tingkah Davit yang menyamar sebagai Andini. D jaia pun memukuli lelaki itu hingga mengaduh."Ampun ... Ampun. Adikmu tersayang yang nyuruh. Marahin dia saja," ucap Davit sambil menunjuk pada Anggita. "Ih, kok aku, sih?" sahut Anggita, "Mbak Tiwi, tuh. Dia yang ngasih ide." Menunjuk sahabat Andini yang tertawa lebar melihat ekspresi kecewa Rasya. "Sudah!" bentak Rasya, "sekarang mana istriku?""Ini," ucap Ranti dan Hawa bersamaan. Gamis putih perpaduan sutra satin dan berkata serta payet mutiara, melekat di tubuh Andini. Kerudung yang menutup dada dan menjuntai serta mahkota mutiara bertengger di kepala. Jangan lupakan make up natural yang makin menambah pesona kecantikan perempuan itu berlipat ganda. Senyum penuh kebahagian menambah kilau kecantikannya bersinar. Rasya dibuat terpukau dengan sosok wanita yang kini sedang berjalan mendekatinya. Tanpa kedip, dia terus menatap Andini. Seorang perempuan yang sudah sangat lama dicintai. Se
Muka kenapa mendung gitu?" tanya seorang perempuan pada salah satu rekannya."Mukaku emang gini, bahagia aja terlihat muram. Kayak baru sehari kenal aja." Dia melempar tisu ke arah temannya tadi."Masih mikirin suamimu yang nggak jelas juntrungannya itu? Otakmu waras nggak, sih, Din? Dia sudah ninggalin kamu. Aku, sih, berharap dia mati saja supaya kamu bisa hidup bebas. Sudah dua tahun sejak dia menghilang dan ninggalin banyak hutang, kamu masih saja berharap lelaki itu kembali. Ayolah, Din! Jangan jadi cewek lemah yang nggak bisa hidup tanpa seorang suami. Ke mana perginya semangatmu yang dulu?" Sang sahabat mulai memberikan ceramah."Aku masih tetap bersemangat, Wi. Lagian kenapa, sih? Ngegas aja dari tadi ngomongnya," ucap Andini Prameswari menanggapi perkataan sahabatnya.Pratiwi mendekat ke arah Andini. "Aku nggak mau lihat kamu terus-menerus mikirin dia. Sudah selama ini, tapi suamimu belum menampakkan diri. Belum lagi warisan hutang yang dibebankan olehnya. Terlalu banyak dan
Happy reading***Andini menghempaskan diri di sofa tunggal yang terdapat pada salah satu ruangan kafe miliknya. Dia mulai menyalakan pendingin ruangan, berharap bisa menghilangkan bara kemarahan di dalam hati. Susah payah perempuan itu menebus rasa bersalah pada lelaki yang ditemuinya tadi, tetapi semua sia-sia saat mengetahui reaksi pertemuan pertama mereka."Di sini, kamu rupanya," kata Pratiwi. Kepalanya tersembul masuk dari pintu yang terbuka sedikit."Pesankan aku jus jeruk, dong. Lagi butuh pendingin, nih," ungkap Andini. "Dah, siap. Nih." Pratiwi masuk dan menyerahkan segelas jus jeruk yang sengaja dia bawa kepada sahabatnya. Tanpa diminta, dia tahu apa yang diinginkan Andini.Di sebelah sahabatnya, Pratiwi mengamati wajah muram sang pemilik kafe. Sama seperti Andini, dia pun tak percaya akan bertemu dengan Rasya dalam suasana seperti tadi. "Wi, apa takdir hidupku memang seperti ini, ya?" Tawa sumbang terlontar dari Andini."Jangan pesimis gitu, dong. Kita nggak tahu maksud
Happy Reading*****"Dia memang anakku. Apa Mami nggak cerita soal ini?" Rasya berkata penuh percaya diri."Nggak, mungkin. Tante Hawa nggak mungkin bohong. Kamu belum menikah, bagaimana bisa punya anak?" Perempuan bernama Bonita itu membulatkan mata. "Apa harus menikah dulu untuk mendapatkan anak?" tanya Rasya dengan tampang meremehkan. "Katanya generasi milenial.""Sorry, meskipun aku hidup di jaman milenial, tapi nggak menganut free seks. Aku kecewa sama Tante Hawa." Perempuan berpakaian seksi itu segera pergi meninggalkan Rasya dalam keadaan marah."Jangan lupa bayar bill makananmu," teriak si lelaki dengan wajah ceria dan tawa keras.Lalu, dia menoleh pada si kecil. Mengangkat tangan kanannya dan melakukan tos. Dua cowok beda generasi tersebut tertawa."Terima kasih. Kamu sudah membantu Om.""Jangan lupa hadiahnya." Si kecil berbalik hendak pergi."Tunggu, kamu mau hadiah apa?" Rasya masih menyunggingkan senyuman."Hadiahnya, nanti saja. Adik pasti hubungi Om untuk menagihnya. S