Share

3. Masalah Besar

Happy Reading

*****

"Dia memang anakku. Apa Mami nggak cerita soal ini?" Rasya berkata penuh percaya diri.

"Nggak, mungkin. Tante Hawa nggak mungkin bohong. Kamu belum menikah, bagaimana bisa punya anak?" Perempuan bernama Bonita itu membulatkan mata.

"Apa harus menikah dulu untuk mendapatkan anak?" tanya Rasya dengan tampang meremehkan. "Katanya generasi milenial."

"Sorry, meskipun aku hidup di jaman milenial, tapi nggak menganut free seks. Aku kecewa sama Tante Hawa." Perempuan berpakaian seksi itu segera pergi meninggalkan Rasya dalam keadaan marah.

"Jangan lupa bayar bill makananmu," teriak si lelaki dengan wajah ceria dan tawa keras.

Lalu, dia menoleh pada si kecil. Mengangkat tangan kanannya dan melakukan tos. Dua cowok beda generasi tersebut tertawa.

"Terima kasih. Kamu sudah membantu Om."

"Jangan lupa hadiahnya." Si kecil berbalik hendak pergi.

"Tunggu, kamu mau hadiah apa?" Rasya masih menyunggingkan senyuman.

"Hadiahnya, nanti saja. Adik pasti hubungi Om untuk menagihnya. Sekarang, adik harus kembali ke tempat tadi. Mama pasti nyariin." Lalu, si kecil menyerahkan dua kartu yang dipakai jaminan tadi.

"Tunggu," cegah lelaki berbadan atletis dengan tinggi 173 cm.

"Kenapa lagi, Om? Adik sudah terlalu lama ninggalin Mama." Bibir si kecil mulai maju.

"Boleh tahu namamu?"

"Bisma. Sudah, ya, Om. Bye." Melambaikan tangan sambil berlari kecil.

Rasya tersenyum dengan tingkah si bocah, tetapi bersyukur akhirnya bisa keluar dari kencan menyesatkan. Baru saja akan melangkahkan kaki meninggalkan mall tersebut, ponselnya berdering sangat nyaring. Tahu dari sang mami, Rasya sengaja mengabaikan panggilan tersebut dan meninggalkan mall untuk kembali ke kantor.

*****

"Adik dari mana? Mama sudah dari tadi nyariin," ucap seseorang yang tak lain adalah Andini. "Sudah dibilang, jangan main jauh-jauh."

"Maaf, Ma. Adik tadi kebelet pipis."

"Di toilet antri, ya?"

Si kecil mengangguk, dalam hati sempat memohon ampun karena sudah membohongi orang yang paling disayang. 

"Ya, sudah. Ayo pulang."

Sepanjang perjalanan menuju rumah, si kecil tampak sibuk dengan ponselnya. Andini melirik dengan rasa penasaran, pasalnya Bisma jarang sekali bermain ponsel ketika mereka bersama.

"Tumben adik main HP terus. Ada apa?" Andini kembali fokus menyetir.

Belum sampai rumah,  ponsel Andini berdering nyaring. "Tumben, Tiwi nelpon jam segini."

"Ada apa, Wi?"

"Gawat, kamu harus secepatnya balik resto," ucap Pratiwi di seberang sana.

"Ada apa? Jangan buat aku panik."

"Din, ini benar-benar gawat. Tolong secepatnya datang." Napas Pratiwi terdengar memburu. Andini mulai panik karena tak biasanya sang sahabat berperilaku demikian. 

"Oke, setelah mengantar Bisma, aku akan segera ke resto." 

Panggilan terputus, Andini mempercepat laju kendaraan supaya lekas sampai rumah. Menurunkan si kecil dan mengatakan pada asisten rumah tangga bahwa dia harus kembali ke resto dengan cepat. 

"Bi, tolong jaga adik. Saya harus ke resto lagi," ucap Andini. Dia menyerahkan selembar uang lima puluh ribu. "Jika saya pulang agak telat, tolong jangan pulang dulu."

"Baik, Bu."

Setelah mengucap beberapa kata pada putranya, Andini kembali melajukan kendaraan roda empatnya, kembali ke resto. Tak sampai sepuluh menit, Andini sudah berhasil memarkirkan kendaraannya. Langsung mencari Pratiwi karena pikirannya kacau sejak mendapat telepon tadi.

Di sisi lain, ketika Rasya baru sampai di kantor. Sang asisten sudah memberikan kabar tidak menyenangkan. Sebuah pesan dari Adipati terlihat. 

"Bapak lagi di mana? Ada kabar buruk dengan kafe MCD. Sepertinya kita tidak bisa menanamkan modal dan meneruskan kerja sama dengan mereka," tulis sang asisten yang belum mengetahui jika atasannya sudah duduk di singgasana kebesaran.

Malas mengetikkan balasan, Rasya menghubungi sang asisten. "Kabar buruk apa yang kamu maksud? Kalau ngasih info jangan setengah-setengah, dong," sentaknya ketika panggilan terangkat.

"Baca semua chat saya, Bos. Maka, akan tahu kabar buruk itu."

"Kelamaan kalau aku baca semua chat-mu itu. Sekarang, ceritakan ada apa?" Rasya benar-benar seorang atasan yang mendominasi. Aetiap ucapannya tak terbantahkan.

Mau tak mau, asistennya mulai menjalaskan, "Sebagian para pewaralaba yang sudah tergabung sejak setahun lalu, komplain. Mereka mempertanyakan kinerja manajemen pusat. Kabar yang berembus mengatakan bahwa uang bagi hasil tidak pernah dibayarkan. Jadi, mereka mempengaruhi sebagian pewaralaba yang baru bergabung. Semua bukti masalah tersebut sudah ditangan para pewaralaba."

"Sialan. Bagaimana semua itu menimpa kafe MCD. Aku tahu bagaimana karakter Andini. Dia nggak mungkin seperti itu. Kepercayaan serta dedikasinya untuk pekerjaan sangatlah tinggi. Jangan termakan gosip murahan. Cari tahu siapa yang mengembuskan kabar miring tersebut. Merusak citra usaha yang baru dirintis Andini saja."

"Pak, dengarkan dulu. Semua bukti sudah dikantongi oleh pihak pewaralaba. Bahkan saya mendapat salinan semua bukti tersebut yang dikirim lewat email perusahaan. Saya harap Bapak tidak gegabah."

"Gegabah bagaimana, semua orang yang ada di dalam manajemen MCD aku kenal mereka dengan baik. Nggak ada tindakan korupsi seperti itu. Selidiki segera siapa yang menaikkan kabar ini untuk merusak nama Andini. Aku akan cari tahu lewat Davit."

Setelah mematikan sambungan telepon Adipati, Rasya segera menghubungi Davit. Namun, sialnya lelaki itu tidak mengangkat bahkan beberapa detik kemudian ponsel sang sahabat bernada sibuk.

"Sial ... sial. Kenapa harus ada tragedi seperti ini," umpat Rasya keras.

Mendapat persetujuan seperti itu, secepat kilat Rasya melesakkan kendaraan menuju kafe MCD pusat.

Kurang dari lima belas menit, lelaki itu sudah berada di pelataran kafe. Banyak mobil mewah yang terparkir di sana. Suasana kafe juga ramai pengunjung. Rasya melangkahkan kaki menuju lantai tiga. Pasti di sana sedang ada rapat besar seperti cerita Adipati.

"Di mana Ibu Andini?" tanya Rasya pada resepsionis yang menjaga lantai itu.

"Apa Bapak salah satu pewaralaba kafe kami?"

"Iya."

"Silakan di ruangan meeting, Pak. Beberapa sudah datang sejak tadi untuk bertemu Ibu."

Tanpa membuang waktu lagi, Rasya melangkah ke ruangan yang ditunjukkan, membuka pintu tanpa mengetuk membuat semua orang yang ada di sana menoleh. Dia tidak peduli, fokusnya kini hanya Andini yang tak terlihat ada di ruangan tersebut.

"Apa kamu juga akan membatalkan kerja sama kita tanpa mendengarkan penjelasan?" tanya Pratiwi tidak suka.

"Aku, hanya mengkhawatirkan Andini bukan yang lainnya. Di mana dia sekarang?" tanya Rasya dengan wajah tegas tak ingin dibantah atau dicegah siapa pun.

"Aku di sini. Ada apa? Apa kamu juga ingin memojokkan aku seperti mereka semua?" Mata sayu dan dipenuhi kabut membuat Rasya tahu jika wanitanya tidak baik-baik saja.

Perempuan itu baru saja terlihat oleh Rasya.

"Nggak usah negatif thinking."

"Kenyataan, di meeting tadi saja kamu menentang visi misi yang aku paparkan."

"Terserah." Rasya duduk di barisan para pewaralaba dan menatap semua yang hadir dengan tatapan marah.

"Siapa yang berani mengatakan bahwa pihak MCD nggak menjalankan tanggung jawab pembagian saham? Silakan berhadapan dengan grup Zafir."

"Rasya, apa yang kamu katakan," ucap Andini keras.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status