Happy Reading
***** "Dia memang anakku. Apa Mami nggak cerita soal ini?" Rasya berkata penuh percaya diri. "Nggak, mungkin. Tante Hawa nggak mungkin bohong. Kamu belum menikah, bagaimana bisa punya anak?" Perempuan bernama Bonita itu membulatkan mata. "Apa harus menikah dulu untuk mendapatkan anak?" tanya Rasya dengan tampang meremehkan. "Katanya generasi milenial." "Sorry, meskipun aku hidup di jaman milenial, tapi nggak menganut free seks. Aku kecewa sama Tante Hawa." Perempuan berpakaian seksi itu segera pergi meninggalkan Rasya dalam keadaan marah. "Jangan lupa bayar bill makananmu," teriak si lelaki dengan wajah ceria dan tawa keras. Lalu, dia menoleh pada si kecil. Mengangkat tangan kanannya dan melakukan tos. Dua cowok beda generasi tersebut tertawa. "Terima kasih. Kamu sudah membantu Om." "Jangan lupa hadiahnya." Si kecil berbalik hendak pergi. "Tunggu, kamu mau hadiah apa?" Rasya masih menyunggingkan senyuman. "Hadiahnya, nanti saja. Adik pasti hubungi Om untuk menagihnya. Sekarang, adik harus kembali ke tempat tadi. Mama pasti nyariin." Lalu, si kecil menyerahkan dua kartu yang dipakai jaminan tadi. "Tunggu," cegah lelaki berbadan atletis dengan tinggi 173 cm. "Kenapa lagi, Om? Adik sudah terlalu lama ninggalin Mama." Bibir si kecil mulai maju. "Boleh tahu namamu?" "Bisma. Sudah, ya, Om. Bye." Melambaikan tangan sambil berlari kecil. Rasya tersenyum dengan tingkah si bocah, tetapi bersyukur akhirnya bisa keluar dari kencan menyesatkan. Baru saja akan melangkahkan kaki meninggalkan mall tersebut, ponselnya berdering sangat nyaring. Tahu dari sang mami, Rasya sengaja mengabaikan panggilan tersebut dan meninggalkan mall untuk kembali ke kantor. ***** "Adik dari mana? Mama sudah dari tadi nyariin," ucap seseorang yang tak lain adalah Andini. "Sudah dibilang, jangan main jauh-jauh." "Maaf, Ma. Adik tadi kebelet pipis." "Di toilet antri, ya?" Si kecil mengangguk, dalam hati sempat memohon ampun karena sudah membohongi orang yang paling disayang. "Ya, sudah. Ayo pulang." Sepanjang perjalanan menuju rumah, si kecil tampak sibuk dengan ponselnya. Andini melirik dengan rasa penasaran, pasalnya Bisma jarang sekali bermain ponsel ketika mereka bersama. "Tumben adik main HP terus. Ada apa?" Andini kembali fokus menyetir. Belum sampai rumah, ponsel Andini berdering nyaring. "Tumben, Tiwi nelpon jam segini." "Ada apa, Wi?" "Gawat, kamu harus secepatnya balik resto," ucap Pratiwi di seberang sana. "Ada apa? Jangan buat aku panik." "Din, ini benar-benar gawat. Tolong secepatnya datang." Napas Pratiwi terdengar memburu. Andini mulai panik karena tak biasanya sang sahabat berperilaku demikian. "Oke, setelah mengantar Bisma, aku akan segera ke resto." Panggilan terputus, Andini mempercepat laju kendaraan supaya lekas sampai rumah. Menurunkan si kecil dan mengatakan pada asisten rumah tangga bahwa dia harus kembali ke resto dengan cepat. "Bi, tolong jaga adik. Saya harus ke resto lagi," ucap Andini. Dia menyerahkan selembar uang lima puluh ribu. "Jika saya pulang agak telat, tolong jangan pulang dulu." "Baik, Bu." Setelah mengucap beberapa kata pada putranya, Andini kembali melajukan kendaraan roda empatnya, kembali ke resto. Tak sampai sepuluh menit, Andini sudah berhasil memarkirkan kendaraannya. Langsung mencari Pratiwi karena pikirannya kacau sejak mendapat telepon tadi. Di sisi lain, ketika Rasya baru sampai di kantor. Sang asisten sudah memberikan kabar tidak menyenangkan. Sebuah pesan dari Adipati terlihat. "Bapak lagi di mana? Ada kabar buruk dengan kafe MCD. Sepertinya kita tidak bisa menanamkan modal dan meneruskan kerja sama dengan mereka," tulis sang asisten yang belum mengetahui jika atasannya sudah duduk di singgasana kebesaran. Malas mengetikkan balasan, Rasya menghubungi sang asisten. "Kabar buruk apa yang kamu maksud? Kalau ngasih info jangan setengah-setengah, dong," sentaknya ketika panggilan terangkat. "Baca semua chat saya, Bos. Maka, akan tahu kabar buruk itu." "Kelamaan kalau aku baca semua chat-mu itu. Sekarang, ceritakan ada apa?" Rasya benar-benar seorang atasan yang mendominasi. Aetiap ucapannya tak terbantahkan. Mau tak mau, asistennya mulai menjalaskan, "Sebagian para pewaralaba yang sudah tergabung sejak setahun lalu, komplain. Mereka mempertanyakan kinerja manajemen pusat. Kabar yang berembus mengatakan bahwa uang bagi hasil tidak pernah dibayarkan. Jadi, mereka mempengaruhi sebagian pewaralaba yang baru bergabung. Semua bukti masalah tersebut sudah ditangan para pewaralaba." "Sialan. Bagaimana semua itu menimpa kafe MCD. Aku tahu bagaimana karakter Andini. Dia nggak mungkin seperti itu. Kepercayaan serta dedikasinya untuk pekerjaan sangatlah tinggi. Jangan termakan gosip murahan. Cari tahu siapa yang mengembuskan kabar miring tersebut. Merusak citra usaha yang baru dirintis Andini saja." "Pak, dengarkan dulu. Semua bukti sudah dikantongi oleh pihak pewaralaba. Bahkan saya mendapat salinan semua bukti tersebut yang dikirim lewat email perusahaan. Saya harap Bapak tidak gegabah." "Gegabah bagaimana, semua orang yang ada di dalam manajemen MCD aku kenal mereka dengan baik. Nggak ada tindakan korupsi seperti itu. Selidiki segera siapa yang menaikkan kabar ini untuk merusak nama Andini. Aku akan cari tahu lewat Davit." Setelah mematikan sambungan telepon Adipati, Rasya segera menghubungi Davit. Namun, sialnya lelaki itu tidak mengangkat bahkan beberapa detik kemudian ponsel sang sahabat bernada sibuk. "Sial ... sial. Kenapa harus ada tragedi seperti ini," umpat Rasya keras. Mendapat persetujuan seperti itu, secepat kilat Rasya melesakkan kendaraan menuju kafe MCD pusat. Kurang dari lima belas menit, lelaki itu sudah berada di pelataran kafe. Banyak mobil mewah yang terparkir di sana. Suasana kafe juga ramai pengunjung. Rasya melangkahkan kaki menuju lantai tiga. Pasti di sana sedang ada rapat besar seperti cerita Adipati. "Di mana Ibu Andini?" tanya Rasya pada resepsionis yang menjaga lantai itu. "Apa Bapak salah satu pewaralaba kafe kami?" "Iya." "Silakan di ruangan meeting, Pak. Beberapa sudah datang sejak tadi untuk bertemu Ibu." Tanpa membuang waktu lagi, Rasya melangkah ke ruangan yang ditunjukkan, membuka pintu tanpa mengetuk membuat semua orang yang ada di sana menoleh. Dia tidak peduli, fokusnya kini hanya Andini yang tak terlihat ada di ruangan tersebut. "Apa kamu juga akan membatalkan kerja sama kita tanpa mendengarkan penjelasan?" tanya Pratiwi tidak suka. "Aku, hanya mengkhawatirkan Andini bukan yang lainnya. Di mana dia sekarang?" tanya Rasya dengan wajah tegas tak ingin dibantah atau dicegah siapa pun. "Aku di sini. Ada apa? Apa kamu juga ingin memojokkan aku seperti mereka semua?" Mata sayu dan dipenuhi kabut membuat Rasya tahu jika wanitanya tidak baik-baik saja. Perempuan itu baru saja terlihat oleh Rasya. "Nggak usah negatif thinking." "Kenyataan, di meeting tadi saja kamu menentang visi misi yang aku paparkan." "Terserah." Rasya duduk di barisan para pewaralaba dan menatap semua yang hadir dengan tatapan marah. "Siapa yang berani mengatakan bahwa pihak MCD nggak menjalankan tanggung jawab pembagian saham? Silakan berhadapan dengan grup Zafir." "Rasya, apa yang kamu katakan," ucap Andini keras.Happy Reading*****Melirik dengan tatapan membunuh, Andini memberanikan diri memegang pergelangan kanan Rasya."Jika kedatanganmu, hanya menambah bebanku saja. Silakan pergi dari ruangan ini," kata Dini, lirih. "Aku nggak punya waktu membahas hal yang nggak penting. Untuk apa kamu mengancam para pewaralaba seperti tadi."Perempuan itu berbisik ketika mengatakannya tidak ingin ada gosip yang semakin menambah citra negatif diri dan usahanya. Rasya segera membalik cekalan di pergelangan tangannya. Kini, dialah yang memegang kendali atas Andini."Mari kita selesaikan bersama. Aku tahu siapa dalang di balik semua ini," kata Rasya mengejutkan wanitanya sekali lagi. "Jangan mengada-ada. Aku dan tim lainnya saja belum bisa menemukan siapa yang telah melakukan penggelapan. Aku hargai niat baikmu, tapi jangan bertindak gegabah," balas Andini. "Tolong percaya padaku. Setidaknya, lakukan ini demi usaha yang telah kamu rintis." Perkataannya tegas. Tidak ada satu pun kalimat yang menyinggung ten
Happy Reading*****Menghempaskan tubuh ke sofa setelah berperang melawan rasa jengkel terhadap sang mantan. Andini memijat pelipisnya ringan. "Sialan, aku kira dia benar-benar akan menolongku. Ternyata cuma mencari celah untuk menghina."Andini memejamkan mata sebentar, sebelum memutuskan pulang. Teringat kenangan dua belas tahun silam. Di mana dirinya dan Rasya adalah dua pasang anak muda yang saling mencintai. "Untuk apa aku mengingat semua itu, dia pasti sudah bahagia dengan kekasihnya," gumam Andini.Pintu ruangannya terbuka, wajah Pratiwi terlihat. "Mau nginep di sini atau gimana?"Membuka mata, langsung menegakkan duduk. "Jam berapa sekarang?""Sudah hampir jam sepuluh.""Astagfirullah. Aku pulang sekarang," ucap Andini, "Bisma aku tinggalkan sama si Mbak. Aku ngomong akan pulang jam tujuh tadi, tapi sekarang sudah sangat terlambat. Kasihan mbaknya.""Ya, sudah sana pulang. Aku juga mau pulang." Andini memeluk sahabatnya sebelum pulang. Lalu, melirik Davit yang ternyata sudah
Happy Reading*****Mematikan sambungan teleponnya, Andini mengutuk perkataan Rasya yang sungguh sangat menyakitkan. Bagaimanapun juga, lelaki itu tidak berhak mencampuri urusan rumah tangganya. Bukankah hubungan mereka sudah berakhir lama. Namun, mengapa kebencian sang lelaki masih terlihat sangat besar. Benar kata bijak, kisahnya mungkin sudah berakhir, tetapi tidak dengan cerita kenangannya.Mencoba memejamkan mata, nyatanya Andini tak mampu terlelap dalam tidur walau seluruh tubuhnya begitu letih dan butuh istirahat. Inderanya menatap langit-langit kamar. Tanpa sadar, perempuan itu bergumam sendirian. "Semua tindakanmu hari ini, bagaimana aku akan membalasnya?" Menghela napas panjang, perempuan satu anak itu menghubungi sang sahabat. "Assalamualaikum. Lagi ngapain, Wi?" tanya Andini ketika panggilannya telah terangkat setelah beberapa kali deringan."Waalaikumsalam. Aku masih di jalan. Ada apa?" "Nggak ada apa-apa. Cuma lagi nggak bisa tidur saja. Kok masih di jalan? Kamu nggak
Happy Reading*****Membereskan sarapan dan segala peralatan dapur tanpa mencuci. Andini bergegas ke kamar untuk mempersiapkan diri ke kafe. Chat yang dikirimkan Rasya walau bukan tertulis secara nyata, tetapi perempuan itu tahu siapa orang yang dituju dalam surat tersebut. "Dasar. Dari dulu nggk berubah. Sukanya nyindir orang. Padahal ngomong langsung kalau aku harus datang lebih cepat ke sana, kan, bisa. Kenapa muter-muter dengan kata-kata nggak penting," gerutu ibu satu anak.yng kini sedang merapikan jilbabnya. Selesai dengan semua riasannya, Andini keluar kamar. Memanggil si kecil. "sudah siap, Dik?"Bisma menyatukan telunjuk dan jempolnya."Ayo berangkat," ajak perempuan berjilbab warna biru muda. Andini tampak bersinar dengan warna cerah yang dipakainya.Jalanan mulai macet karena jam-jam krusial. Sedikit mengumpat dalam hati ketika Rasya kembali mengiriminya pesan hinaan. "Nggak jelas banget. Dia itu kenapa, sih?" gerutu Andini di tengah fokusnya mengemudi."Mama kenapa?" ta
Happy Reading*****"Dih, ngapain aku melakukannya? Memangnya kamu siapa sampai aku harus memata-mataimu?" elak Rasya."Justru karena aku bukan siapa-siapamu, jadi dari mana kamu mendapatkan semua ini? Aku berhak tahu. Bukankah kamu sendiri yang ngomong jangan mudah percaya pada orang lain. Bisa jadi, kamu juga melakukan manipulasi data sehingga mencurigai tiga orang yang disebutkan tadi," cecar Andini. Rupanya, perempuan itu masih sangat penasaran. "Bodoh," sentak Rasya. "Mana mungkin aku melakukannya. Apa kamu nggak sadar jika aku sudah menggunakan nama besar Zafir Grup sebagai jaminan."Davit dan Pratiwi saling memandang kemudian mereka menggelengkan kepala. "Mau sampai kapan berdebat?" sela Davit ketika Andini akan melemparkan kalimat bantahan."Masalah ini, harus cepat kita selesaikan. Jadi, jangan berdebat lagi," tambah Pratiwi, "selain bukti ini, apakah kamu punya bukti kecurangan lain. Misal percakapan ketiga orang yang dicurigai ini."Beruntung, Pratiwi sudah memindahkan ke
Happy Reading*****"Yakin banget. Bukankah kamu yang selalu mengatakan padaku dulu. Setiap kali kamu minta dibuatkan kopi. Kamu akan selalu berkata takarannya," jawab Andini. Sama sekali tak gentar dengan wajah garang Rasya."Kalau begitu, coba sebutkan!" "Harus, ya?" Andini mulai jengkel. Akan melanjutkan perkataan, terdengar dering panggilan masuk di ponselnya."Ya, Sayang. Ada apa?" tanya Andini saat mengangkat ponselnya. Jelas terlihat kebahagiaan yang tidak bisa disembunyikan. Perempuan itu pamit tanpa suara pada rekan-rekannya yang lain. Jelas hal itu makin menimbulkan kecurigaan sang mantan.Lirikan Rasya begitu tajam. Mengkode sahabatnya untuk memastikan pendengaran tidak salah menangkap suara Andini tadi. "Anaknya kali. Gitu aja cemburu.""Aku nggak cemburu. Cuma memastikan kabar yang aku dapat semalam. Tapi, hari ini dia sudah memanggil sayang pada orang lain. Rancu, kan, jadinya." Mencoba menutupi kegalauan hati, lelaki berkulit kuning langsat itu mencemooh sang mantan.
Happy Reading*****"Jangan sembarangan, Rasya!" bentak Andini, "Bukankah kekasihmu adalah cewek yang ada di belakang Tante Hawa?"Perempuan yang berdiri di belakang Hawa, menunjuk dirinya sendiri. Lalu, dia tersenyum bingung sekaligus takut melihat tatapan majikannya. "Saya nggak punya hubungan apa pun dengan Pak Rasya, Bu. Bener, saya berani bersumpah," ucap si cewek. Jari tengah dan telunjuk ke atas sebagai bukti sumpahnya.Cewek itu menatap Andini tajam. "Mbak jangan asal nuduh kalau nggak ada bukti. Saya mana berani menaruh rasa pada Pak Rasya. Saya ini cuma perempuan biasa yang nggak pantas bersanding dengan beliau. Jangan fitnah, dong, Mbak. taruhannya pekerjaan saya, lho."Andini terdiam, dia bahkan tidak berani menatap siapa pun. Kepalanya tertunduk dalam menyadari semua prasangkanya salah dan bisa menyebabkan orang lain dalam masalah. Tahu persis bagaimana watak Hawa dalam menjaga pergaulan putranya, mamanya Bisma berkata, "Maaf, jika saya salah."Saat ini, Hawa masih diam d
Happy Reading*****Pulang dengan wajah kusut dan mata sembab, Andini mendapat tatapan intimidasi dari putranya. Baru juga masuk, Bisma sudah berdiri dengan kedua tangan menyilang di depan dada."Assalamualaikum, Sayang," sapa Andini. "Waalaikumussalam." Bisma masih bersedekah sementara sang Mama menghempaskan diri ke sofa. Andini menyandarkan kepalanya. Mencoba memejamkan mata sambil berharap bahwa semua yang terjadi tadi adalah mimpi."Apa masalah kafe sangat berat, Ma?" tanya Bisma setelah beberapa detik Andini memejamkan mata.Andini membuka mata ketika suara si kecil menyapa rungunya. Tersenyum pahit kala melihat wajah lugu si kecil yang selalu peka dengan keadaannya. "Nggak berat, kok, Sayang. Kenapa tanya begitu?"Menarik si kecil ke pangkuan, Andini memeluk dan meletakkan kepala ke bahu Bisma. "Sudah kayak orang dewasa saja tanyanya.""Hmm," jawab Bisma. Kedua tangan si kecil menangkup pipi Andini. "Kalau begitu, kenapa Mama nangis?""Siapa yang nangis?" Mencoba membuka mata