Share

6. Rindu, tetapi Jengkel

Happy Reading

*****

Mematikan sambungan teleponnya, Andini mengutuk perkataan Rasya yang sungguh sangat menyakitkan. Bagaimanapun juga, lelaki itu tidak berhak mencampuri urusan rumah tangganya. Bukankah hubungan mereka sudah berakhir lama. Namun, mengapa kebencian sang lelaki masih terlihat sangat besar. Benar kata bijak, kisahnya mungkin sudah berakhir, tetapi tidak dengan cerita kenangannya.

Mencoba memejamkan mata, nyatanya Andini tak mampu terlelap dalam tidur walau seluruh tubuhnya  begitu letih dan butuh istirahat. Inderanya menatap langit-langit kamar. Tanpa sadar, perempuan itu bergumam sendirian. "Semua tindakanmu hari ini, bagaimana aku akan membalasnya?"

Menghela napas panjang, perempuan satu anak itu menghubungi sang sahabat. "Assalamualaikum. Lagi ngapain, Wi?" tanya Andini ketika panggilannya telah terangkat setelah beberapa kali deringan.

"Waalaikumsalam. Aku masih di jalan. Ada apa?"

"Nggak ada apa-apa. Cuma lagi nggak bisa tidur saja. Kok masih di jalan? Kamu nggak langsung pulang tadi?"

"Ada yang masih harus didiskusikan sama si semprul. Kenapa, sih? Masalah kafe nggak usah terlalu dipikirin banget. Kita pasti bisa menyelesaikannya, apalagi ada  Rasya yang siap membantu. Sejak dia berniat menjadi pewaralaba kita, aku mencari informasi sebanyak mungkin tentangnya. Dia berhasil mendirikan beberapa usaha dan bekerja sama dengan banyak pengusaha besar. Mungkin dengan pengaruhnya itu, kita bisa memanfaatkan peluang." 

Walau tak bisa melihat ekspresi lawan bicaranya, tetapi Andini yakin Pratiwi tengah mengkhawatirkan keadaannya dan juga kafe.

"Aku nggak mikirin masalah kafe, sih. Aku yakin kita bisa mengatasi masalah ini."

"Lalu, kenapa kamu nggak bisa tidur?"

"Rasya barusan telpon."

Tawa Pratiwi meledak. "Jadi, karena sang mantan terindah, toh. Makanya, bu bos nggak bisa tidur," ledeknya.

"Ish, nggak ada ceritanya mantan terindah. Kalau terindah nggak bakalan jadi mantan," jawab Andini. Keduanya lantas tertawa secara bersamaan.

"Kenapa kita harus terjebak dengan kisah masa lalu, sih. Jengkel aku."

"Lha, jangan-jangan kamu debat lagi sama Davit?" tebak Andini. Dari nada bicara sahabatnya, pasti telah terjadi huru-hara.

"Ya, begitulah. Cowok semprul emang. Nggak punya pendirian. Kalau memang masih ada rasa. kenapa nggak mau ngejar terang-terangan."

"Aku bisa bantu permasalahan kalian."

"Caranya?"

"Aku bakalan ngomong kalau kamu ingin diperjuangkan oleh Davit."

"Malu-maluin saja."

Sekali lagi, tawa Andini menggema. Mereka terus bercakap-cakap sampai Pratiwi mengatakan jika telah sampai rumah.

 *****

Selesai menjalankan aktivitasnya sebagai hamba yang harus menyembah Sang Pencipta, Andini langsung ke dapur setelah membangunkan putra kesayangannya.

Terbiasa sendiri menyiapkan sarapan dan juga segala keperluan si kecil di pagi hari, perempuan tersebut mulai memasak makanan favorit Bisma. Nasi goreng sosis dengan telur mata sapi. Tak lupa segelas susu cokelat hangat. Andini tersenyum melihat semua makanan yang sudah selesai dimasak. Semua telah terhidang di meja makan.

"Assalamualaikum," sapa Bisma pada Andini. Bocah kecil berusia tujuh tahun itu langsung mencium tangan sang mama dengan penuh kasih sayang.

"Waalaikumsalam. Sini, Sayang." Andini menepuk paha supaya putranya duduk di pangkuan. "Mama baru akan memanggilmu. Eh, udah datang duluan ternyata. Anak Mama pinter banget, deh." Perempuan itu mendekap putra semata wayangnya erat. Menciumi seluruh wajah si kecil seolah-olah sudah tidak bertemu sekian lama.

"Mama semalam kenapa pulang lambat?" Tatapan penuh selidik terpancar di mata Bisma.

"Ada hal yang harus diselesaikan di kafe." Andini tahu persis sifat sang putra tidak bisa dibohongi. Jadi, lebih baik dia jujur dan hal itulah yang selalu diajarkan pada Bisma.

"Adik kenapa tidur di sofa tamu? Mama padahal sudah pesen sama Mbak, nggak usah nunggu Mama pulang." Menurunkan putranya dari pangkuan. Tangan Andini sibuk mengisi piring putranya dengan nasi goreng dan telur mata sapi.

"Mbak udah ngomong, kok. Mama kan tahu, Adik nggak bisa tidur kalau Mama nggak ada. Jadi, semalam nunggu di sofa tamu sama Mbak. Nggak tahunya malah ketiduran. Mama pulang jam berapa, sih?" Bisma mulai menyuapkan nasi goreng ke mulutnya setelah membaca doa.

"Pulang jam berapa, ya?" Andini mengedipkan matanya. "Mama lupa. Pokoknya malam banget, Sayang." Dia juga memasukkan nasi goreng ke mulutnya.

"Mama, ih. Adik tanya bener-bener malah jawabannya gitu." Pura-pura merajuk dengan mengerucutkan bibir.

Andini terpaksa melepaskan tawa melihat tingkah lucu putranya. "Lupakan kejadian semalam. Sekarang, cerita sama Mama. Hari ini, apa kegiatanmu di sekolah?"

"Tidak ada yang spesial, sih. Pelajaran hari ini cuma olahraga dan mengerjakan beberapa soal di buku tugas saja. Memangnya kenapa, sih, Ma?" Si kecil tak lagi bisa menunjukkan kemarahannya. Saat ini, Bisma bahkan menatap Andini penuh kecurigaan.

"Banyak pekerjaan yang harus Mama selesaikan hari ini," kata Andini. Jeda sebentar karena dia harus membasahi kerongkongannya. "Mungkin, Mama akan meminta salah satu karyawan untuk menjemputmu nanti."

Memiringkan kepala, Bisma menatap sang mama penuh kekhawatiran. "Apa ada masalah di kafe, Ma?"

Seperti orang dewasa, Bisma seakan mengerti keadaan Andini. Bocah itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Dibiasakan hidup mandiri sejak sang papa pergi.

Andini mengangguk. "Adik tenang saja. Masalah di kafe bisa Mama dan Tante Pratiwi atasi."

"Hmm," jawab Bisma sambil terus mengunyah makanannya. "Kalau Mama sama Tante nggak bisa ngatasi masalah itu. Panggil saja Om Davit."

Andini tertawa membuat Bisma mengerutkan kening. Setiap kali sarapan ada saja kejutan yang memberi warna di kehidupan perempuan berkulit kuning langsat tersebut.

"Aku serius, lho. Mama kan selama ini  selalu sok kuat menghadapi semua masalah. Kalau aku udah gede, aku yang bakal bantu Mama menyelesaikan. Tapi, sekarang biar di bantu Om Davit saja."

"Ulu ... ulu. Anak Mama manis banget, sih," ucap Andini sambil mengusap kepala si kecil.

Pembicaraan keduanya terhenti ketika ponsel Andini berbunyi. Sebuah notifikasi pesan, masuk. Perempuan itu melirik jam dinding.

"Sayang, cepetan selesaikan sarapanmu. Mama harus berangkat ke kafe sekarang," pinta Andini panik.

"Ada apa, Ma?"

"Mama jelaskan di perjalanan nanti. Ayo cepat."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status