Happy Reading
***** Mematikan sambungan teleponnya, Andini mengutuk perkataan Rasya yang sungguh sangat menyakitkan. Bagaimanapun juga, lelaki itu tidak berhak mencampuri urusan rumah tangganya. Bukankah hubungan mereka sudah berakhir lama. Namun, mengapa kebencian sang lelaki masih terlihat sangat besar. Benar kata bijak, kisahnya mungkin sudah berakhir, tetapi tidak dengan cerita kenangannya. Mencoba memejamkan mata, nyatanya Andini tak mampu terlelap dalam tidur walau seluruh tubuhnya begitu letih dan butuh istirahat. Inderanya menatap langit-langit kamar. Tanpa sadar, perempuan itu bergumam sendirian. "Semua tindakanmu hari ini, bagaimana aku akan membalasnya?" Menghela napas panjang, perempuan satu anak itu menghubungi sang sahabat. "Assalamualaikum. Lagi ngapain, Wi?" tanya Andini ketika panggilannya telah terangkat setelah beberapa kali deringan. "Waalaikumsalam. Aku masih di jalan. Ada apa?" "Nggak ada apa-apa. Cuma lagi nggak bisa tidur saja. Kok masih di jalan? Kamu nggak langsung pulang tadi?" "Ada yang masih harus didiskusikan sama si semprul. Kenapa, sih? Masalah kafe nggak usah terlalu dipikirin banget. Kita pasti bisa menyelesaikannya, apalagi ada Rasya yang siap membantu. Sejak dia berniat menjadi pewaralaba kita, aku mencari informasi sebanyak mungkin tentangnya. Dia berhasil mendirikan beberapa usaha dan bekerja sama dengan banyak pengusaha besar. Mungkin dengan pengaruhnya itu, kita bisa memanfaatkan peluang." Walau tak bisa melihat ekspresi lawan bicaranya, tetapi Andini yakin Pratiwi tengah mengkhawatirkan keadaannya dan juga kafe. "Aku nggak mikirin masalah kafe, sih. Aku yakin kita bisa mengatasi masalah ini." "Lalu, kenapa kamu nggak bisa tidur?" "Rasya barusan telpon." Tawa Pratiwi meledak. "Jadi, karena sang mantan terindah, toh. Makanya, bu bos nggak bisa tidur," ledeknya. "Ish, nggak ada ceritanya mantan terindah. Kalau terindah nggak bakalan jadi mantan," jawab Andini. Keduanya lantas tertawa secara bersamaan. "Kenapa kita harus terjebak dengan kisah masa lalu, sih. Jengkel aku." "Lha, jangan-jangan kamu debat lagi sama Davit?" tebak Andini. Dari nada bicara sahabatnya, pasti telah terjadi huru-hara. "Ya, begitulah. Cowok semprul emang. Nggak punya pendirian. Kalau memang masih ada rasa. kenapa nggak mau ngejar terang-terangan." "Aku bisa bantu permasalahan kalian." "Caranya?" "Aku bakalan ngomong kalau kamu ingin diperjuangkan oleh Davit." "Malu-maluin saja." Sekali lagi, tawa Andini menggema. Mereka terus bercakap-cakap sampai Pratiwi mengatakan jika telah sampai rumah. ***** Selesai menjalankan aktivitasnya sebagai hamba yang harus menyembah Sang Pencipta, Andini langsung ke dapur setelah membangunkan putra kesayangannya. Terbiasa sendiri menyiapkan sarapan dan juga segala keperluan si kecil di pagi hari, perempuan tersebut mulai memasak makanan favorit Bisma. Nasi goreng sosis dengan telur mata sapi. Tak lupa segelas susu cokelat hangat. Andini tersenyum melihat semua makanan yang sudah selesai dimasak. Semua telah terhidang di meja makan. "Assalamualaikum," sapa Bisma pada Andini. Bocah kecil berusia tujuh tahun itu langsung mencium tangan sang mama dengan penuh kasih sayang. "Waalaikumsalam. Sini, Sayang." Andini menepuk paha supaya putranya duduk di pangkuan. "Mama baru akan memanggilmu. Eh, udah datang duluan ternyata. Anak Mama pinter banget, deh." Perempuan itu mendekap putra semata wayangnya erat. Menciumi seluruh wajah si kecil seolah-olah sudah tidak bertemu sekian lama. "Mama semalam kenapa pulang lambat?" Tatapan penuh selidik terpancar di mata Bisma. "Ada hal yang harus diselesaikan di kafe." Andini tahu persis sifat sang putra tidak bisa dibohongi. Jadi, lebih baik dia jujur dan hal itulah yang selalu diajarkan pada Bisma. "Adik kenapa tidur di sofa tamu? Mama padahal sudah pesen sama Mbak, nggak usah nunggu Mama pulang." Menurunkan putranya dari pangkuan. Tangan Andini sibuk mengisi piring putranya dengan nasi goreng dan telur mata sapi. "Mbak udah ngomong, kok. Mama kan tahu, Adik nggak bisa tidur kalau Mama nggak ada. Jadi, semalam nunggu di sofa tamu sama Mbak. Nggak tahunya malah ketiduran. Mama pulang jam berapa, sih?" Bisma mulai menyuapkan nasi goreng ke mulutnya setelah membaca doa. "Pulang jam berapa, ya?" Andini mengedipkan matanya. "Mama lupa. Pokoknya malam banget, Sayang." Dia juga memasukkan nasi goreng ke mulutnya. "Mama, ih. Adik tanya bener-bener malah jawabannya gitu." Pura-pura merajuk dengan mengerucutkan bibir. Andini terpaksa melepaskan tawa melihat tingkah lucu putranya. "Lupakan kejadian semalam. Sekarang, cerita sama Mama. Hari ini, apa kegiatanmu di sekolah?" "Tidak ada yang spesial, sih. Pelajaran hari ini cuma olahraga dan mengerjakan beberapa soal di buku tugas saja. Memangnya kenapa, sih, Ma?" Si kecil tak lagi bisa menunjukkan kemarahannya. Saat ini, Bisma bahkan menatap Andini penuh kecurigaan. "Banyak pekerjaan yang harus Mama selesaikan hari ini," kata Andini. Jeda sebentar karena dia harus membasahi kerongkongannya. "Mungkin, Mama akan meminta salah satu karyawan untuk menjemputmu nanti." Memiringkan kepala, Bisma menatap sang mama penuh kekhawatiran. "Apa ada masalah di kafe, Ma?" Seperti orang dewasa, Bisma seakan mengerti keadaan Andini. Bocah itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Dibiasakan hidup mandiri sejak sang papa pergi. Andini mengangguk. "Adik tenang saja. Masalah di kafe bisa Mama dan Tante Pratiwi atasi." "Hmm," jawab Bisma sambil terus mengunyah makanannya. "Kalau Mama sama Tante nggak bisa ngatasi masalah itu. Panggil saja Om Davit." Andini tertawa membuat Bisma mengerutkan kening. Setiap kali sarapan ada saja kejutan yang memberi warna di kehidupan perempuan berkulit kuning langsat tersebut. "Aku serius, lho. Mama kan selama ini selalu sok kuat menghadapi semua masalah. Kalau aku udah gede, aku yang bakal bantu Mama menyelesaikan. Tapi, sekarang biar di bantu Om Davit saja." "Ulu ... ulu. Anak Mama manis banget, sih," ucap Andini sambil mengusap kepala si kecil. Pembicaraan keduanya terhenti ketika ponsel Andini berbunyi. Sebuah notifikasi pesan, masuk. Perempuan itu melirik jam dinding. "Sayang, cepetan selesaikan sarapanmu. Mama harus berangkat ke kafe sekarang," pinta Andini panik. "Ada apa, Ma?" "Mama jelaskan di perjalanan nanti. Ayo cepat."Happy Reading*****Membereskan sarapan dan segala peralatan dapur tanpa mencuci. Andini bergegas ke kamar untuk mempersiapkan diri ke kafe. Chat yang dikirimkan Rasya walau bukan tertulis secara nyata, tetapi perempuan itu tahu siapa orang yang dituju dalam surat tersebut. "Dasar. Dari dulu nggk berubah. Sukanya nyindir orang. Padahal ngomong langsung kalau aku harus datang lebih cepat ke sana, kan, bisa. Kenapa muter-muter dengan kata-kata nggak penting," gerutu ibu satu anak.yng kini sedang merapikan jilbabnya. Selesai dengan semua riasannya, Andini keluar kamar. Memanggil si kecil. "sudah siap, Dik?"Bisma menyatukan telunjuk dan jempolnya."Ayo berangkat," ajak perempuan berjilbab warna biru muda. Andini tampak bersinar dengan warna cerah yang dipakainya.Jalanan mulai macet karena jam-jam krusial. Sedikit mengumpat dalam hati ketika Rasya kembali mengiriminya pesan hinaan. "Nggak jelas banget. Dia itu kenapa, sih?" gerutu Andini di tengah fokusnya mengemudi."Mama kenapa?" ta
Happy Reading*****"Dih, ngapain aku melakukannya? Memangnya kamu siapa sampai aku harus memata-mataimu?" elak Rasya."Justru karena aku bukan siapa-siapamu, jadi dari mana kamu mendapatkan semua ini? Aku berhak tahu. Bukankah kamu sendiri yang ngomong jangan mudah percaya pada orang lain. Bisa jadi, kamu juga melakukan manipulasi data sehingga mencurigai tiga orang yang disebutkan tadi," cecar Andini. Rupanya, perempuan itu masih sangat penasaran. "Bodoh," sentak Rasya. "Mana mungkin aku melakukannya. Apa kamu nggak sadar jika aku sudah menggunakan nama besar Zafir Grup sebagai jaminan."Davit dan Pratiwi saling memandang kemudian mereka menggelengkan kepala. "Mau sampai kapan berdebat?" sela Davit ketika Andini akan melemparkan kalimat bantahan."Masalah ini, harus cepat kita selesaikan. Jadi, jangan berdebat lagi," tambah Pratiwi, "selain bukti ini, apakah kamu punya bukti kecurangan lain. Misal percakapan ketiga orang yang dicurigai ini."Beruntung, Pratiwi sudah memindahkan ke
Happy Reading*****"Yakin banget. Bukankah kamu yang selalu mengatakan padaku dulu. Setiap kali kamu minta dibuatkan kopi. Kamu akan selalu berkata takarannya," jawab Andini. Sama sekali tak gentar dengan wajah garang Rasya."Kalau begitu, coba sebutkan!" "Harus, ya?" Andini mulai jengkel. Akan melanjutkan perkataan, terdengar dering panggilan masuk di ponselnya."Ya, Sayang. Ada apa?" tanya Andini saat mengangkat ponselnya. Jelas terlihat kebahagiaan yang tidak bisa disembunyikan. Perempuan itu pamit tanpa suara pada rekan-rekannya yang lain. Jelas hal itu makin menimbulkan kecurigaan sang mantan.Lirikan Rasya begitu tajam. Mengkode sahabatnya untuk memastikan pendengaran tidak salah menangkap suara Andini tadi. "Anaknya kali. Gitu aja cemburu.""Aku nggak cemburu. Cuma memastikan kabar yang aku dapat semalam. Tapi, hari ini dia sudah memanggil sayang pada orang lain. Rancu, kan, jadinya." Mencoba menutupi kegalauan hati, lelaki berkulit kuning langsat itu mencemooh sang mantan.
Happy Reading*****"Jangan sembarangan, Rasya!" bentak Andini, "Bukankah kekasihmu adalah cewek yang ada di belakang Tante Hawa?"Perempuan yang berdiri di belakang Hawa, menunjuk dirinya sendiri. Lalu, dia tersenyum bingung sekaligus takut melihat tatapan majikannya. "Saya nggak punya hubungan apa pun dengan Pak Rasya, Bu. Bener, saya berani bersumpah," ucap si cewek. Jari tengah dan telunjuk ke atas sebagai bukti sumpahnya.Cewek itu menatap Andini tajam. "Mbak jangan asal nuduh kalau nggak ada bukti. Saya mana berani menaruh rasa pada Pak Rasya. Saya ini cuma perempuan biasa yang nggak pantas bersanding dengan beliau. Jangan fitnah, dong, Mbak. taruhannya pekerjaan saya, lho."Andini terdiam, dia bahkan tidak berani menatap siapa pun. Kepalanya tertunduk dalam menyadari semua prasangkanya salah dan bisa menyebabkan orang lain dalam masalah. Tahu persis bagaimana watak Hawa dalam menjaga pergaulan putranya, mamanya Bisma berkata, "Maaf, jika saya salah."Saat ini, Hawa masih diam d
Happy Reading*****Pulang dengan wajah kusut dan mata sembab, Andini mendapat tatapan intimidasi dari putranya. Baru juga masuk, Bisma sudah berdiri dengan kedua tangan menyilang di depan dada."Assalamualaikum, Sayang," sapa Andini. "Waalaikumussalam." Bisma masih bersedekah sementara sang Mama menghempaskan diri ke sofa. Andini menyandarkan kepalanya. Mencoba memejamkan mata sambil berharap bahwa semua yang terjadi tadi adalah mimpi."Apa masalah kafe sangat berat, Ma?" tanya Bisma setelah beberapa detik Andini memejamkan mata.Andini membuka mata ketika suara si kecil menyapa rungunya. Tersenyum pahit kala melihat wajah lugu si kecil yang selalu peka dengan keadaannya. "Nggak berat, kok, Sayang. Kenapa tanya begitu?"Menarik si kecil ke pangkuan, Andini memeluk dan meletakkan kepala ke bahu Bisma. "Sudah kayak orang dewasa saja tanyanya.""Hmm," jawab Bisma. Kedua tangan si kecil menangkup pipi Andini. "Kalau begitu, kenapa Mama nangis?""Siapa yang nangis?" Mencoba membuka mata
Happy Reading*****"Bisa-bisanya Bisma ngomong gitu, Say," kata seseorang di seberang sana.Andini menggerakkan kedua bahunya walau sang lawan bicara tidak dapat melihat apa yang dilakukannya. "Nggak tahu juga. Aku aja kaget nggak karuan. Kok, bisa dia itu ngasih saran aneh gitu."Ternyata Andini menceritakan semua yang dikatakan Bisma pada sahabat baiknya. Siapa lagi yang bisa diajak berdiskusi selain Pratiwi. Setelah sang ibu memutuskan tinggal bersama neneknya di desa asal. Sejak Andini menikah, dia hidup bersama keluarga kecil barunya."Tapi, ada benernya juga saran pangeranmu itu." Tawa Pratiwi meledak."Gila," balas Andini, "sudahlah. Aku matiin, mau berangkat dulu. Keburu bos baru kita nyindir lagi kayak kemarin."Pratiwi makin mengeraskan suara. "Tapi, enak juga punya bos disiplin seperti Rasya. Semua anak buah takut jika datang terlambat. Seperti beberapa karyawan kita. Mereka malah lebih segan pada mantanmu itu daripada kita berdua."Andini terpaksa ikut tertawa. "Beer juga
Happy Reading*****"Om sama Mama salaman dulu, deh. Biar nggak salah paham." Bisma mengambil tangan kanan keduanya, lalu menyatukannya untuk bersalaman. "Nah, gini kan lebih enak. Andai Adik tahu Om dan Mama sudah saling kenal. Adik pasti bakalan ngomong dari dulu sama Om.""Sudahlah, Sayang. Ayo pulang sekarang," ajak Andini. Sengaja mencegah perkataan aneh-aneh yang mungkin akan dikeluarkan oleh putranya. Sementara itu, Rasya malah senyum-senyum sendiri mengingat panggilan Andini tadi pada putranya. "Jadi, bocah ini kesayangan Andini. Bodohnya aku, kenapa bisa cemburu sama anaknya sendiri," ucap Rasya dalam hati."Adik mau pulang asal Mama mau ngajak Om ke rumah kita untuk makan siang." "Adik, jangan keterlaluan. Mama masih banyak pekerjaan di kafe. Adik tahu sendiri, kan, gimana beratnya masalah di kafe Mama." Andini memasang wajah sendu dan melas. Jelas hal itu dilakukan supaya Bisma tidak mengajak Rasya ke rumahnya."Mama nggak perlu khawatir. Nanti, biar adik ngomong sama Om
Happy Reading*****"Adik, jangan manggil sembarangan," protes Andini. Dia menambahkan gelengan kepala supaya sang putra tidak melewati batas."Sudahlah. Kita makan sekarang," pinta Rasya. Menuruti permintaan Bisma, lelaki itu mengambilkan ayam goreng yang dikatakan si kecil tadi.Mereka makan siang dalam diam walau sesekali Bisma masih berceloteh. Namun, Rasya dan Andini menanggapi biasa saja. Mereka berdua terlalu canggung. Selesai makan, Andini segera membereskan peralatan kotor. Meninggalkan Bisma dan Rasya yang kembali melanjutkan permainan mereka. Lima belas menit kemudian, barulah perempuan itu bergabung dengan keduanya. "Sayang, mainnya udahan dulu. Om Rasya pasti banyak kerjaan di kantornya sama seperti Mama yang harus kembali ke kafe setelah ini," ucap Andini memutus kebersamaan sang mantan dan putranya."Nggak masalah kalau dia masih mau main. Aku bisa tunda semua pekerjaan.""Nggak perlu memanjakan Bisma seperti itu. Kalau nggak ada kamu, aku yang repot."Bisma menatap m