Happy Reading*****Pulang dengan wajah kusut dan mata sembab, Andini mendapat tatapan intimidasi dari putranya. Baru juga masuk, Bisma sudah berdiri dengan kedua tangan menyilang di depan dada."Assalamualaikum, Sayang," sapa Andini. "Waalaikumussalam." Bisma masih bersedekah sementara sang Mama menghempaskan diri ke sofa. Andini menyandarkan kepalanya. Mencoba memejamkan mata sambil berharap bahwa semua yang terjadi tadi adalah mimpi."Apa masalah kafe sangat berat, Ma?" tanya Bisma setelah beberapa detik Andini memejamkan mata.Andini membuka mata ketika suara si kecil menyapa rungunya. Tersenyum pahit kala melihat wajah lugu si kecil yang selalu peka dengan keadaannya. "Nggak berat, kok, Sayang. Kenapa tanya begitu?"Menarik si kecil ke pangkuan, Andini memeluk dan meletakkan kepala ke bahu Bisma. "Sudah kayak orang dewasa saja tanyanya.""Hmm," jawab Bisma. Kedua tangan si kecil menangkup pipi Andini. "Kalau begitu, kenapa Mama nangis?""Siapa yang nangis?" Mencoba membuka mata
Happy Reading*****"Bisa-bisanya Bisma ngomong gitu, Say," kata seseorang di seberang sana.Andini menggerakkan kedua bahunya walau sang lawan bicara tidak dapat melihat apa yang dilakukannya. "Nggak tahu juga. Aku aja kaget nggak karuan. Kok, bisa dia itu ngasih saran aneh gitu."Ternyata Andini menceritakan semua yang dikatakan Bisma pada sahabat baiknya. Siapa lagi yang bisa diajak berdiskusi selain Pratiwi. Setelah sang ibu memutuskan tinggal bersama neneknya di desa asal. Sejak Andini menikah, dia hidup bersama keluarga kecil barunya."Tapi, ada benernya juga saran pangeranmu itu." Tawa Pratiwi meledak."Gila," balas Andini, "sudahlah. Aku matiin, mau berangkat dulu. Keburu bos baru kita nyindir lagi kayak kemarin."Pratiwi makin mengeraskan suara. "Tapi, enak juga punya bos disiplin seperti Rasya. Semua anak buah takut jika datang terlambat. Seperti beberapa karyawan kita. Mereka malah lebih segan pada mantanmu itu daripada kita berdua."Andini terpaksa ikut tertawa. "Beer juga
Happy Reading*****"Om sama Mama salaman dulu, deh. Biar nggak salah paham." Bisma mengambil tangan kanan keduanya, lalu menyatukannya untuk bersalaman. "Nah, gini kan lebih enak. Andai Adik tahu Om dan Mama sudah saling kenal. Adik pasti bakalan ngomong dari dulu sama Om.""Sudahlah, Sayang. Ayo pulang sekarang," ajak Andini. Sengaja mencegah perkataan aneh-aneh yang mungkin akan dikeluarkan oleh putranya. Sementara itu, Rasya malah senyum-senyum sendiri mengingat panggilan Andini tadi pada putranya. "Jadi, bocah ini kesayangan Andini. Bodohnya aku, kenapa bisa cemburu sama anaknya sendiri," ucap Rasya dalam hati."Adik mau pulang asal Mama mau ngajak Om ke rumah kita untuk makan siang." "Adik, jangan keterlaluan. Mama masih banyak pekerjaan di kafe. Adik tahu sendiri, kan, gimana beratnya masalah di kafe Mama." Andini memasang wajah sendu dan melas. Jelas hal itu dilakukan supaya Bisma tidak mengajak Rasya ke rumahnya."Mama nggak perlu khawatir. Nanti, biar adik ngomong sama Om
Happy Reading*****"Adik, jangan manggil sembarangan," protes Andini. Dia menambahkan gelengan kepala supaya sang putra tidak melewati batas."Sudahlah. Kita makan sekarang," pinta Rasya. Menuruti permintaan Bisma, lelaki itu mengambilkan ayam goreng yang dikatakan si kecil tadi.Mereka makan siang dalam diam walau sesekali Bisma masih berceloteh. Namun, Rasya dan Andini menanggapi biasa saja. Mereka berdua terlalu canggung. Selesai makan, Andini segera membereskan peralatan kotor. Meninggalkan Bisma dan Rasya yang kembali melanjutkan permainan mereka. Lima belas menit kemudian, barulah perempuan itu bergabung dengan keduanya. "Sayang, mainnya udahan dulu. Om Rasya pasti banyak kerjaan di kantornya sama seperti Mama yang harus kembali ke kafe setelah ini," ucap Andini memutus kebersamaan sang mantan dan putranya."Nggak masalah kalau dia masih mau main. Aku bisa tunda semua pekerjaan.""Nggak perlu memanjakan Bisma seperti itu. Kalau nggak ada kamu, aku yang repot."Bisma menatap m
Happy Reading*****"Nggak mungkin Mami ngasih tahu wanita sepertinya. Kamu lupa kejadian beberapa tahun lalu?" ucap Rasya setelah meluapkan emosinya. "Nggak lupa, Pak. Cuma, segala kemungkinan bisa saja terjadi mengingat Ibu Hawa sangat gencar mencarikan istri untuk Anda.""Sudahlah. Keluar sana, merusak suasana bahagia saja." Adipati segera berbalik arah, tetapi sebelum mencapai pintu, dia sempat menyampaikan beberapa kata sindiran pada si bos. "Aku mendengarnya, Di. Mau aku kirim ke luar Jawa?""Maaf ... maaf," jawab Adipati. Buru-buru meralat perkataannya. "Tapi, kenyataan lho, Pak. Orang jatuh cinta itu menjadi bodoh dan lupa segalanya.""Sekali lagi, kamu ulangi. Sekarang juga, aku nyari tiket buat melemparmu ke cabang luar Jawa."Adipati tak berani membantah perkataan si bos lagi. Dia segera keluar dari ruangan menakutkan tersebut. Namun, tawanya seketika terhenti kala melihat wajah wanita yang diusirnya tadi."Tolong katakan pada bosmu itu. Aku membawa hal penting yang haru
Happy Reading*****Andini mengerutkan keningnya. "Sudah lama mereka ngikutin kamu, Dik?""Nggak lama, Ma. Pas aku istirahat, baru lihat dua orang itu yang terus ngelihatin. Sampai aku pulang, mereka selalu berada di belakang Adik," cerita Bisma. Andini mengeluarkan ponsel. Dia mencoba menghubungi sahabat baiknya. "Wi, kamu bisa datang ke rumah, nggak?""Malam ini?" tanya Pratiwi setelah menjawab salam sahabatnya. "Iya sekarang. Ada yang mencurigakan. Aku takut seseorang ingin mencelakai Bisma. Bisa jadi, ini ada kaitannya dengan masalah kafe. Bukankah Rasya sempat mencurigai beberapa orang." Andini mulai menjelaskan panjang lebar tentang masalah yang dihadapinya sekarang."Aku telpon Davit. Kalau cuma kita yang mengatasi masalah ini, kemungkinan nggak akan sanggup.""Terserah, aku tunggu di rumah. Aku benar-benar takut.""Apa perlu aku telpon Rasya juga?""Nggak usah," jawab Andini cepat. Hening sejenak. Lalu, suara Pratiwi kembali terdengar. "Apa kamu marahan lagi sama dia. Kalia
Happy Reading*****"Din, gimana ceritanya Bisma ketemu sama Pak Radit?" bisik Pratiwi. Andini menggerakkan bahu, tidak mengerti."Dik, kamu yakin mereka suruhan papamu? Bukan orang lain?" tanya Davit heran. "Iya, yakin, Om.""Aku barusan telpon Papa," ucap Bisma meyakinkan semua orang."Tapi, tadi?" kata Davit heran."Memangnya kamu punya nomor telpon papamu, Dik?" tanya Andini."Sejak kapan papamu ditemukan keberadaannya, Dik?" tambah Pratiwi. Perempuan itu bahkan mendekati si kecil, menempelkan telapak tangannya pada kening. "Nggak panas. Berarti dia nggak ngigau.""Ish, Tante Tiwi keterlaluan," protes Bisma, "aku nggak mengigau. Beneran kok orang yang berada di luar itu suruhan Papa." Ketiga orang dewasa di dekat Bisma membuka mulut, matanya juga terbuka sempurna. Mereka terlalu terkejut mendengar penuturan bocah tujuh tahun itu."Kenapa Mama dan yang lain nggak percaya, sih?" Bisma memajukan bibirnya. "Bukannya kami nggak percaya, Sayang," kata Pratiwi, menghibur. "Papamu suda
Happy Reading*****"Apakah semua bukti tadi belum cukup untuk membuktikan kesalahan kalian berdua," kata Rasya."Cuma screenshot apa bisa membuktikan keasliannya? Nyatanya, saya memang nggak pernah mendapat transfer uang pembagian laba," ucap salah satu orang yang memberikan modal di kafe Andini."Benar itu," tambah lainnya."Coba perhatikan baik-baik," pinta Davit, "pada berkas fotokopi yang sudah dibagikan dengan jelas terlihat jika angka laporan keuangan dimanipulasi. Bandingkan dengan yang ada di layar. Kalau masalah screenshot bukti transfer yang sudah dikeluarkan oleh Ibu Andini maupun Ibu Pratiwi, saya memiliki rekening korannya."Davit menunjukkan rekening koran dari kafe MCD. "Apakah rekening koran yang saya tunjukkan ini palsu?" tanyanya. Semua orang terdiam, mereka meneliti keaslian dari kertas yang ditunjukkan David. Andini berdiri dengan menunjukkan ponselnya."Jadi, setiap bulan, setelah melaporkan bahwa uang pembagian laba sudah dikeluarkan dengan bukti transfer pals
Happy Reading*****Rasya sangat jengkel dengan tingkah Davit yang menyamar sebagai Andini. D jaia pun memukuli lelaki itu hingga mengaduh."Ampun ... Ampun. Adikmu tersayang yang nyuruh. Marahin dia saja," ucap Davit sambil menunjuk pada Anggita. "Ih, kok aku, sih?" sahut Anggita, "Mbak Tiwi, tuh. Dia yang ngasih ide." Menunjuk sahabat Andini yang tertawa lebar melihat ekspresi kecewa Rasya. "Sudah!" bentak Rasya, "sekarang mana istriku?""Ini," ucap Ranti dan Hawa bersamaan. Gamis putih perpaduan sutra satin dan berkata serta payet mutiara, melekat di tubuh Andini. Kerudung yang menutup dada dan menjuntai serta mahkota mutiara bertengger di kepala. Jangan lupakan make up natural yang makin menambah pesona kecantikan perempuan itu berlipat ganda. Senyum penuh kebahagian menambah kilau kecantikannya bersinar. Rasya dibuat terpukau dengan sosok wanita yang kini sedang berjalan mendekatinya. Tanpa kedip, dia terus menatap Andini. Seorang perempuan yang sudah sangat lama dicintai. Se
Happy Reading*****Niat hati ingin berduaan dan menyatakan cinta pada sang pujaan malah gagal total. Seluruh keluarga Rasya dan Andini ada di restoran itu. Tangan Nareswara bahkan sudah bertengger pada telinga kiri. "Papi itu nggak percaya kalau Mas ngomong mau jemput Andini. Pasti kayak gini hasilnya," ucap Nareswara. "Hmm, Mas," sahut Hamni."Padahal tinggal nunggu beberapa hari lagi. Masak iya sudah nggak tahan pengen berduaan," tambah Hawa. Rasya meringis sambil menggaruk kepalanya. "Kok pada tahu kalau Mas di sini, sih?""Jelas kami tahu. Ada mata-mata yang akan mengatakan perilakumu, Mas," sahut Dzauhari. "Ayah kok ikut-ikutan, sih?" Wajah ditekuk-tekuk karena kesal rencana manisnya dengan Andini gagal, Rasya memajukan bibirnya. "Makanya, Pa. Kalau punya rencana ajak-ajak Adik biar nggak gini kejadiaannya," celetuk Bisma. "Eh, kok nggak belain Papa?" Rasya menggerak-gerakkan bibir, lucu sekali tingkah sang pemimpin grup Zafir itu. Andai para karyawannya tahu, apa mungkin
Happy Reading*****"Sudahlah, Nak. Nggak usah tanya untuk apa beliau meminta cincin ini," ucap Hamni. Dia mulai melepas cincin yang dibelikan sang suami sebagai hadiah ulang tahun pernikahan mereka yang ke 25 waktu itu. "Ibumu benar, Nak," tambah Dzauhari. "Ayah bisa membelikan ibumu cincin yang seperti itu lagi nantinya."Walau keberatan, Rasya tetap menganggukkan kepala. Perlahan Hamni melepaskan cincin yang diminta oleh Nareswara. "Ini, Pak." Menyerahkan pada lelaki yang tengah berbaring di ranjang kesakitan itu, Hamni menampilkan senyumnya."Tolong kamu pasangkan ke hari manis Mbak Andini. Sebelum terjadi hal-hal yang nggak diinginkan, saya mau melihatnya menjadi calon menantumu.""Papi," panggil Andini dan Rasya bersamaan. Mereka juga saling tatap. Tidak menyangka sama sekali jika Nareswara punya niat seperti itu."Papi nggak tahu sampai kapan hidup. Jadi, sebelum Papi dipanggil sama Allah, Papi mau kalian saling terikat satu sama lain."Andini meletakkan jari telunjuknya ke
Happy Reading*****Anggita mendekat pada Nareswara. Tangannya berusaha melepaskan cekikan di leher Hawa. "Pi, pliss jangan seperti ini. Kita bisa bicarakan semua dengan tenang. Biarkan Mami menceritakan semuanya.""Pi, benar katanya Adik. Nggak akan ada penyelesaian jika kita mengedepankan emosi," tambah Andini. Dia juga berusaha melepaskan pegangan tangan Nareswara pada leher Hawa. "Istighfar, Pi."Nareswara menghela napas. Perlahan, dia mengendurkan pegangannya pada leher sang istri. "Astagfirullah," ucapnya pelan.Sementara di seberang duduknya, Rasya dan orang tua kandungnya melihat dengan diam. Mereka tidak akan menambah kekeruhan permasalahan yang ada dengan membuka suara. "Jadi, katakan apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Mas Rasya sampai nekat akan melamar Andini yang jelas-jelas diketahui adalah adiknya," pinta Nareswara ketika Hawa terlihat jauh lebih tenang. "Berjanjilah, Papi nggak akan menceraikan Mami atau marah lagi," pinta Hawa. Sorot mata penuh ketakutan dan keput
Happy Reading*****"Iya, saya," kata seorang perempuan berjilbab yang di sebelahnya berdiri Rasya dan Dzauhari. "Apa kabar, Mbak?""Kalian kok bisa kenal sama Rasya padahal nggak pernah bertemu sama sekali?" tambah Nareswara, "ayo duduk."Walau sedikit terkejut dengan kedatangan tamu tak diundang. Nareswara tetap ramah dan menerima kedatangan Dzauhari dan Hamni. "Mbak minta tolong sama Bibi buatkan minuman untuk mereka," tambah Nareswara pada Andini. Sementara Hawa, dia diam bak patung, menjawab pertanyaan yang Hamni ajukan saja, tidak dilakukan. Tak disangka, mamanya Arvan mendekati Hamni dan memeluk. Mereka saling sapa dengan cipika-cipiki. Rasya menatap curiga pada Hamni. "Apa kabar, Mbak? Lama nggak ketemu, balik Banyuwangi nggak kabar-kabar. Tahu gitu tak jemput lho di bandara," ujar perempuan yang diketahui bernama Sarita, ibunya Arvan."Kabar baik, Rit. Maaf, ya, aku dadakan ini pulangnya. Jadi, nggak sempat kabar-kabar.""Yah, kok ibu kenal?" bisik Rasya pada Dzauhari. "B
Happy Reading*****"Kami, cuma bisa memberikan ini untuk kebahagianmu, Nak. Kapan pun kamu meminta kami untuk menghadap Pak Nareswara dan Mbak Hawa, kami siap," ucap Hamni."Benar, Nak. Nggak perlu nunggu besok atau lusa. Sekarang pun, kita bisa kembali kalau kamu mau," tambah Dzauhari."Ayah, Ibu, sekali lagi terima kasih. Aku nggak tahu bagaimana harus membalas semua ini," ucap Rasa begitu terharu.Para pekerja yang melihat adegan mengharukan di depan mereka, tak kuasa membendung air mata. Mereka begitu terharu, setelah sekian lama kebahagiaan itu akhirnya datang pada atasan mereka. "Mungkin, besok pagi. Aku kembali ke Banyuwangi, Pak. Gimana?""Nggak masalah, Nak." Dzauhari menaikkan garis bibirnya. "Gimana kalau menggunakan perjalanan darat saja, Nak. Ibu dengar, besok penerbangan Banyuwangi-Bali ditiadakan karena cuaca memburuk," tambah Hamni."Sepertinya iya, Bu. Aku barusan dapat kabar dari Adipati. Nggak ada tiket ke sana untuk besok."Pasangan itu tersenyum. "Biar sopir
Happy Reading*****Rasya mencengkeram erat kerah kemeja lawan bicaranya. Berani sekali Arvan menghubungi Nareswara di saat dia belum bisa menjelaskan semua kebenaran dan menunjukkan bukti kebenaran yang membuatnya bisa menikahi Andini. "Dari awal, aku sudah tahu apa tujuan pertemuan ini. Jadi, aku sengaja meminta pendapat Om Nares," jelas Arvan dengan suara tercekat akibat tangan Rasya yang berada di lehernya. "Nggak usah macam-macam, Mas. Papi yang meminta Arvan. Lebih baik kamu pulang sekaran. Kita selesaikan semua masalah ini di rumah," ucap Nareswara dari ponsel milik Arvan.Rasya melepaskan tangannya, lalu mematikan sambungan yang menghubungkan Arvan dengan papinya.Melirik sang asisten, Rasya berkata, "Tiketku, apa sudah siap?""Siap, Bos. Satu jam lagi, penerbangannya," ucap Adipati. "Bagus, kamu suruh orang bawa mobilku pulang dan antar aku ke bandara."Sulung keluarga Nareswara itu langsung meninggalkan Arvan tanpa pamit. Tak perlu pulang ke rumah besar Zafir lagi dan men
Happy Reading*****"Tante, minum ini," pinta Andini sambil menyodorkan segelas air. "Mami kenapa, sih?" Kening Nareswara berkerut. "Bukankah orang yang ditanyakan Mas Rasya itu adalah salah satu pegawai di keluargamu dulu?"Hawa memilih diam sejenak sambil meminum air yang diberikan Andini. "Iya. Papi masih ingat sama mereka?" Bukannya menjawab, Hawa malah memberikan pertanyaan aneh itu."Ingat banget, Mi. Saat Papi menjemputmu di rumah Ayah waktu itu, Mbak Hamni terlihat begitu sedih melihat Mas Rasya. Mungkin dia kepikiran sama anaknya.""Memang anaknya kenapa, Pi?" tanya Rasya dan Andini bersamaan. "Sudahlah, mereka cuma mantan pegawai Kakek kalian. Nggak ada sesuatu yang istimewa," sahut Hawa."Kenapa menanyakan tentang mereka, Mas?" tanya Nareswara. Rupanya, lelaki itu masih sangat penasaran. "Apa kalian pernah bertemu sebelumnya?"Pandangan Rasya menyapu semua anggota keluarganya. Lalu, dia menjatuhkan tatapan penuh selidik pada sang Mami. "Waktu ini, Mas, nggak sengaja ketem
Happy Reading*****Ditanya dengan pertanyaan yang menyudutkan dirinya, Rasya tetap tersenyum. Sebelum sampai di rumah besar Zafir, lelaki itu sudah mengumpulkan banyak informasi tentang Arvan. Semula, sulung Nareswara itu berusaha legowo. Namun, ketika membaca slide akhir data yang dikirim Adipati, seketika perasaan tak rela muncul kembali. "Untuk apa aku mengada-ada. Semua ini nggak bakalan terjadi jika kamu menjaga perilakumu selama ini terhadap wanita. Jangan kira, aku nggak tahu sifat burukmu, Van," ancam Rasya. "Mas, duduk dulu, deh. Kamu tiba-tiba pulang nggak ngabari Papi. Ada apa sebenarnya?" Daripada mempermasalahkan keberatan si sulung, Nareswara lebih khawatir melihat Rasya. Badan yang terlihat lebih kurus dengan kumis dan jambang belum dirapikan. Biasanya, si sulung tak pernah terlihat seberantakan itu. Nareswara semakin khawatir ketika wajah pucat Rasya terlihat dengan jelas.Duduk di sebelah Nareswara, Rasya menatap sekelilingnya bergantian. Pandangan terakhir dia tu