Happy Reading*****"Jangan sembarangan, Rasya!" bentak Andini, "Bukankah kekasihmu adalah cewek yang ada di belakang Tante Hawa?"Perempuan yang berdiri di belakang Hawa, menunjuk dirinya sendiri. Lalu, dia tersenyum bingung sekaligus takut melihat tatapan majikannya. "Saya nggak punya hubungan apa pun dengan Pak Rasya, Bu. Bener, saya berani bersumpah," ucap si cewek. Jari tengah dan telunjuk ke atas sebagai bukti sumpahnya.Cewek itu menatap Andini tajam. "Mbak jangan asal nuduh kalau nggak ada bukti. Saya mana berani menaruh rasa pada Pak Rasya. Saya ini cuma perempuan biasa yang nggak pantas bersanding dengan beliau. Jangan fitnah, dong, Mbak. taruhannya pekerjaan saya, lho."Andini terdiam, dia bahkan tidak berani menatap siapa pun. Kepalanya tertunduk dalam menyadari semua prasangkanya salah dan bisa menyebabkan orang lain dalam masalah. Tahu persis bagaimana watak Hawa dalam menjaga pergaulan putranya, mamanya Bisma berkata, "Maaf, jika saya salah."Saat ini, Hawa masih diam d
Happy Reading*****Pulang dengan wajah kusut dan mata sembab, Andini mendapat tatapan intimidasi dari putranya. Baru juga masuk, Bisma sudah berdiri dengan kedua tangan menyilang di depan dada."Assalamualaikum, Sayang," sapa Andini. "Waalaikumussalam." Bisma masih bersedekah sementara sang Mama menghempaskan diri ke sofa. Andini menyandarkan kepalanya. Mencoba memejamkan mata sambil berharap bahwa semua yang terjadi tadi adalah mimpi."Apa masalah kafe sangat berat, Ma?" tanya Bisma setelah beberapa detik Andini memejamkan mata.Andini membuka mata ketika suara si kecil menyapa rungunya. Tersenyum pahit kala melihat wajah lugu si kecil yang selalu peka dengan keadaannya. "Nggak berat, kok, Sayang. Kenapa tanya begitu?"Menarik si kecil ke pangkuan, Andini memeluk dan meletakkan kepala ke bahu Bisma. "Sudah kayak orang dewasa saja tanyanya.""Hmm," jawab Bisma. Kedua tangan si kecil menangkup pipi Andini. "Kalau begitu, kenapa Mama nangis?""Siapa yang nangis?" Mencoba membuka mata
Happy Reading*****"Bisa-bisanya Bisma ngomong gitu, Say," kata seseorang di seberang sana.Andini menggerakkan kedua bahunya walau sang lawan bicara tidak dapat melihat apa yang dilakukannya. "Nggak tahu juga. Aku aja kaget nggak karuan. Kok, bisa dia itu ngasih saran aneh gitu."Ternyata Andini menceritakan semua yang dikatakan Bisma pada sahabat baiknya. Siapa lagi yang bisa diajak berdiskusi selain Pratiwi. Setelah sang ibu memutuskan tinggal bersama neneknya di desa asal. Sejak Andini menikah, dia hidup bersama keluarga kecil barunya."Tapi, ada benernya juga saran pangeranmu itu." Tawa Pratiwi meledak."Gila," balas Andini, "sudahlah. Aku matiin, mau berangkat dulu. Keburu bos baru kita nyindir lagi kayak kemarin."Pratiwi makin mengeraskan suara. "Tapi, enak juga punya bos disiplin seperti Rasya. Semua anak buah takut jika datang terlambat. Seperti beberapa karyawan kita. Mereka malah lebih segan pada mantanmu itu daripada kita berdua."Andini terpaksa ikut tertawa. "Beer juga
Happy Reading*****"Om sama Mama salaman dulu, deh. Biar nggak salah paham." Bisma mengambil tangan kanan keduanya, lalu menyatukannya untuk bersalaman. "Nah, gini kan lebih enak. Andai Adik tahu Om dan Mama sudah saling kenal. Adik pasti bakalan ngomong dari dulu sama Om.""Sudahlah, Sayang. Ayo pulang sekarang," ajak Andini. Sengaja mencegah perkataan aneh-aneh yang mungkin akan dikeluarkan oleh putranya. Sementara itu, Rasya malah senyum-senyum sendiri mengingat panggilan Andini tadi pada putranya. "Jadi, bocah ini kesayangan Andini. Bodohnya aku, kenapa bisa cemburu sama anaknya sendiri," ucap Rasya dalam hati."Adik mau pulang asal Mama mau ngajak Om ke rumah kita untuk makan siang." "Adik, jangan keterlaluan. Mama masih banyak pekerjaan di kafe. Adik tahu sendiri, kan, gimana beratnya masalah di kafe Mama." Andini memasang wajah sendu dan melas. Jelas hal itu dilakukan supaya Bisma tidak mengajak Rasya ke rumahnya."Mama nggak perlu khawatir. Nanti, biar adik ngomong sama Om
Happy Reading*****"Adik, jangan manggil sembarangan," protes Andini. Dia menambahkan gelengan kepala supaya sang putra tidak melewati batas."Sudahlah. Kita makan sekarang," pinta Rasya. Menuruti permintaan Bisma, lelaki itu mengambilkan ayam goreng yang dikatakan si kecil tadi.Mereka makan siang dalam diam walau sesekali Bisma masih berceloteh. Namun, Rasya dan Andini menanggapi biasa saja. Mereka berdua terlalu canggung. Selesai makan, Andini segera membereskan peralatan kotor. Meninggalkan Bisma dan Rasya yang kembali melanjutkan permainan mereka. Lima belas menit kemudian, barulah perempuan itu bergabung dengan keduanya. "Sayang, mainnya udahan dulu. Om Rasya pasti banyak kerjaan di kantornya sama seperti Mama yang harus kembali ke kafe setelah ini," ucap Andini memutus kebersamaan sang mantan dan putranya."Nggak masalah kalau dia masih mau main. Aku bisa tunda semua pekerjaan.""Nggak perlu memanjakan Bisma seperti itu. Kalau nggak ada kamu, aku yang repot."Bisma menatap m
Happy Reading*****"Nggak mungkin Mami ngasih tahu wanita sepertinya. Kamu lupa kejadian beberapa tahun lalu?" ucap Rasya setelah meluapkan emosinya. "Nggak lupa, Pak. Cuma, segala kemungkinan bisa saja terjadi mengingat Ibu Hawa sangat gencar mencarikan istri untuk Anda.""Sudahlah. Keluar sana, merusak suasana bahagia saja." Adipati segera berbalik arah, tetapi sebelum mencapai pintu, dia sempat menyampaikan beberapa kata sindiran pada si bos. "Aku mendengarnya, Di. Mau aku kirim ke luar Jawa?""Maaf ... maaf," jawab Adipati. Buru-buru meralat perkataannya. "Tapi, kenyataan lho, Pak. Orang jatuh cinta itu menjadi bodoh dan lupa segalanya.""Sekali lagi, kamu ulangi. Sekarang juga, aku nyari tiket buat melemparmu ke cabang luar Jawa."Adipati tak berani membantah perkataan si bos lagi. Dia segera keluar dari ruangan menakutkan tersebut. Namun, tawanya seketika terhenti kala melihat wajah wanita yang diusirnya tadi."Tolong katakan pada bosmu itu. Aku membawa hal penting yang haru
Happy Reading*****Andini mengerutkan keningnya. "Sudah lama mereka ngikutin kamu, Dik?""Nggak lama, Ma. Pas aku istirahat, baru lihat dua orang itu yang terus ngelihatin. Sampai aku pulang, mereka selalu berada di belakang Adik," cerita Bisma. Andini mengeluarkan ponsel. Dia mencoba menghubungi sahabat baiknya. "Wi, kamu bisa datang ke rumah, nggak?""Malam ini?" tanya Pratiwi setelah menjawab salam sahabatnya. "Iya sekarang. Ada yang mencurigakan. Aku takut seseorang ingin mencelakai Bisma. Bisa jadi, ini ada kaitannya dengan masalah kafe. Bukankah Rasya sempat mencurigai beberapa orang." Andini mulai menjelaskan panjang lebar tentang masalah yang dihadapinya sekarang."Aku telpon Davit. Kalau cuma kita yang mengatasi masalah ini, kemungkinan nggak akan sanggup.""Terserah, aku tunggu di rumah. Aku benar-benar takut.""Apa perlu aku telpon Rasya juga?""Nggak usah," jawab Andini cepat. Hening sejenak. Lalu, suara Pratiwi kembali terdengar. "Apa kamu marahan lagi sama dia. Kalia
Happy Reading*****"Din, gimana ceritanya Bisma ketemu sama Pak Radit?" bisik Pratiwi. Andini menggerakkan bahu, tidak mengerti."Dik, kamu yakin mereka suruhan papamu? Bukan orang lain?" tanya Davit heran. "Iya, yakin, Om.""Aku barusan telpon Papa," ucap Bisma meyakinkan semua orang."Tapi, tadi?" kata Davit heran."Memangnya kamu punya nomor telpon papamu, Dik?" tanya Andini."Sejak kapan papamu ditemukan keberadaannya, Dik?" tambah Pratiwi. Perempuan itu bahkan mendekati si kecil, menempelkan telapak tangannya pada kening. "Nggak panas. Berarti dia nggak ngigau.""Ish, Tante Tiwi keterlaluan," protes Bisma, "aku nggak mengigau. Beneran kok orang yang berada di luar itu suruhan Papa." Ketiga orang dewasa di dekat Bisma membuka mulut, matanya juga terbuka sempurna. Mereka terlalu terkejut mendengar penuturan bocah tujuh tahun itu."Kenapa Mama dan yang lain nggak percaya, sih?" Bisma memajukan bibirnya. "Bukannya kami nggak percaya, Sayang," kata Pratiwi, menghibur. "Papamu suda