Happy Reading
***** Menghempaskan tubuh ke sofa setelah berperang melawan rasa jengkel terhadap sang mantan. Andini memijat pelipisnya ringan. "Sialan, aku kira dia benar-benar akan menolongku. Ternyata cuma mencari celah untuk menghina." Andini memejamkan mata sebentar, sebelum memutuskan pulang. Teringat kenangan dua belas tahun silam. Di mana dirinya dan Rasya adalah dua pasang anak muda yang saling mencintai. "Untuk apa aku mengingat semua itu, dia pasti sudah bahagia dengan kekasihnya," gumam Andini. Pintu ruangannya terbuka, wajah Pratiwi terlihat. "Mau nginep di sini atau gimana?" Membuka mata, langsung menegakkan duduk. "Jam berapa sekarang?" "Sudah hampir jam sepuluh." "Astagfirullah. Aku pulang sekarang," ucap Andini, "Bisma aku tinggalkan sama si Mbak. Aku ngomong akan pulang jam tujuh tadi, tapi sekarang sudah sangat terlambat. Kasihan mbaknya." "Ya, sudah sana pulang. Aku juga mau pulang." Andini memeluk sahabatnya sebelum pulang. Lalu, melirik Davit yang ternyata sudah berdiri di belakang Pratiwi. "Pak, nitip Ibu Pratiwi." Mengedipkan sebelah mata, menggoda keduanya. Pratiwi melempar tisu ke wajah Andini. "Pergi sana!" usirnya. Perjalanan yang biasanya cuma memakan waktu sepuluh menit, kini ditempuh lima menit oleh Andini. Setelah memarkir kendaraannya, dia segera masuk dan alangkah terkejutnya ketika mendapati Bisma tertidur di sofa ruang tamu. "Assalamualaikum," ucap Andini pelan. "Waaalikumsalam. Ibu baru pulang?" tanya perempuan yang usianya dua tahun lebih tua dari Andini. "Maaf, Mbak. Tak kira nggak sampai malam, tapi ternyata masalah di kantor terlalu rumit. Jadi, baru bisa pulang jam segini." "Nggak papa, Bu. Karena ibu sudah datang, jadi saya mau pulang sekarang. Sudah ditunggu suami." "Iya, Mbak." Sepulangnya si Mbak, Andini langsung membopong putranya ke kamar. "Maaf, Sayang. Mama nggak bisa memberikan banyak waktu untuk bersamamu," ucap Andini lirih sambil menggotong si buah hati ke kamar. Menidurkan buah hatinya dengan hati-hati. Saat itulah foto pernikahannya dengan sang suami terlihat. "Apa njenengan nggak rindu dengan celotehan Bisma, Pa? Sudah selama ini, tapi keberadaanmu belum juga mampu aku temukan." Andini meneteskan air mata ketika mengingat sang suami. Tak ingin larut dalam kesedihan, perempuan itu keluar. Selesai membersihkan diri, Andini kembali melanjutkan pekerjaan. Mengecek keseluruhan laporan keuangan cabang selama beberapa bulan ke belakang. Di tempat lain, sepulang dari kafenya Andini. Rasya kembali ke kantor. Begitulah kehidupan lelaki itu setiap hari. Gila kerja sampai tidak memperhatikan kondisinya sendiri. "Setelah ini, apakah ada meeting lagi?" tanya Rasya pada asistennya. "Ada meeting dengan Pak Mahesa lima belas menit lagi." "Kalau begitu, ayo berangkat sekarang." Adipati mengangguk. Menjadi asisten Rasya selama hampir lima tahun. Dia cukup paham performa sang atasan, tidak akan membatalkan meeting yang sudah dijadwal walau hari sudah malam. Tepat jam yang sudah disepakati, Mahesa datang. Beberapa menit membahas kerja sama mereka, pikiran Rasya malah terpusat pada Andini. "Ada apa denganku? Kenapa wajah sedihnya terlihat jelas." Rasya ingin cepat-cepat menyelesaikan meeting kali. Pikirannya benar-benar kacau. "Sepertinya kamu punya masalah, Ras?" tanya Mahesa memecah lamunan sang pengusaha muda. "Sorry, Sa. Aku sedikit kurang fokus. Kayaknya pembahasan kita lanjut besok, saja." Rasya mengusap pelipisnya sebentar. "Oke. Nggak masalah buatku. Sebentar lagi, istriku juga datang." Mahesa merapikan berkas dan beberapa peralatan kerjanya termasuk laptop. "Mikirin apa, sih, Ras? Ada masalah di percetakan atau hotel?" "Bukan keduanya, masalah pribadi. Aku pamit, deh. Besok kita sambung lagi." Rasya menjulurkan tangan sebelum pergi meninggalkan sahabat sekaligus rekan kerjanya. "Hati-hati dengan hatimu. Mulailah membuka diri. Nggak ada salahnya menerima perempuan baru meski belum kamu cintai. Belajarlah dari kisah cintaku. Kamu sudah terlalu lama terjebak dengan Andini." "Oke. Terima kasih sarannya. Aku permisi." Rasya tersenyum. "Sekarang, kita ke mana, Pak?" tanya Adipati. "Pulang atau kantor?" "Pulang saja." Tak ada perkataan lagi membuat Adipati bersorak dalam hati. Apalagi ketika melirik arlojinya masih menunjukkan pukul setengah sebelas. Hari ini adalah rekor pulang tercepat sejak menjabat sebagai asistennya Rasya. Sebelum turun dan masuk rumah, Rasya berkata, "Cari tahu tentang kehidupan seluruh manajemen kafe MCD terutama Andini dan asistennya. Kalau perlu kamu selidiki juga hubungan pribadi orang-orang tersebut. Satu jam lagi aku mau laporan lengkap tentang mereka semua." Jika bukan bosnya, tentu Adipati ingin sekali memukul wajah Rasya. Sempat bahagia karena pulang lebih cepat, ternyata Rasya malah memberi tugas yang cukup berat. "Baik, Pak." Rasya masuk, tetapi tidak langsung ke kamar seperti biasa. Lelaki itu bergerak ke ruang kerja. Belum ada satu jam, lelaki itu sudah gelisah karena sang asisten tak kunjung memberinya kabar. Akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi sang asisten terlebih dahulu. "Maaf, Pak. Laporan yang masuk belum selesai semua," jawab Adipati ketika si bos bertanya tentang tugas yang diberikan tadi. "Sementara, laporkan tentang Andini dulu. Lainnya bisa menyusul nanti." "Baik." Adipati mulai mengatakan segala hal tentang Andini. Dia juga mengirimkan salinan seluruh laporan terkait perempuan satu anak itu. Beberapa menit mendengarkan laporan Adipati, mata Rasya membelalak. Memukul meja dengan sangat keras. "Oke. Terus selidiki semua orang yang ada di manajemen MCD. Besok pagi, aku mau laporan lengkapnya." Mematikan sambungan pada sang asisten, lalu menghubungi Davit. "Kamu bodoh apa bagaimana, sih, Vit?" kata Rasya melampiaskan kemarahan pada sahabatnya. Davit yang masih berada di kantornya, mengumpat keras ketika kalimat hinaan keluar dari mulut Rasya. "Kamu yang bodoh. Nggak tahu ada masalah apa, tiba-tiba marah." Rasya berdecak di seberang sana. "Sorry, aku tekejut mendengar kabar tentang Andini dan pernikahannya." "Sialan. Ternyata semua karena masalah itu. Apa maumu jika sudah tahu tentang penikahannya?" Terdengar suara tawa Rasya. "Jadi, apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa om-om gila daun muda itu bisa menghilang tanpa jejak?" "Kurang tahu, Ras. Sepertinya, lelaki itu sengaja menciptakan plote hole dalam kehidupan pernikahannya dengan Andini. Dari cerita Tiwi, Pak Raditya itu mendapat tugas dinas keluar kota di pulau. Nah, bis rombongannya tergelincir, tapi katanya nggak ada korban saat itu. Anehnya, si om-om itu malah menghilang tanpa jejak bahkan meninggalkan hutang yang begitu banyak pada Andini." "Kasihan kesayanganku. Kenapa kamu nggak pernah menceritakan ini, Dav." "Kamu amnesia apa gimana? Jejak keberadaanmu saja baru aku ketahui setahun ini. Kukira, setelah sukses kamu lupa sama ayangmu itu." "Oke. Terima kasih atas infonya. Aku ingin menemui Dini langsung." Setelah terdengar salam dari seberang, Rasya menutup teleponnya. Setelahnya, lelaki itu menghubungi Andini. "Siapa ini?" tanya Andini. Profil yang dipakai oleh sang penelepon tidak asing walau belum tersimpan di kontaknya. "Menurutmu, siapa aku?" "Maaf, kalau cuma iseng. Saya tutup telponnya." Tawa Rasya menguar. "Apa kamu nggak mengenali suaraku?" "Berhenti bermain-main. Aku sudah bersuami dan nggak pantas menerima telpon dari lelaki lain." "Suami mana yang kamu maksud?" Suara Rasya begitu tegas, menggertak Andini supaya wanita itu tidak berbohong lagi tentang keadaan rumah tangganya. "Aku tahu. Aku pernah menyakitimu di masa lalu, tolong lupakan semua. Aku benar-benar minta maaf. Mari kita jalani hidup masing-masing. Aku sudah cukup bahagia dengan pernikahanku sekarang." "Jangan menjadi bodoh karena cinta, Din. Raditya jelas-jelas sudah meninggalkanmu saat ini. Kamu bukanlah wanita bersuami sekarang." "Rasya. Jangan keterlaluan!"Happy Reading*****Mematikan sambungan teleponnya, Andini mengutuk perkataan Rasya yang sungguh sangat menyakitkan. Bagaimanapun juga, lelaki itu tidak berhak mencampuri urusan rumah tangganya. Bukankah hubungan mereka sudah berakhir lama. Namun, mengapa kebencian sang lelaki masih terlihat sangat besar. Benar kata bijak, kisahnya mungkin sudah berakhir, tetapi tidak dengan cerita kenangannya.Mencoba memejamkan mata, nyatanya Andini tak mampu terlelap dalam tidur walau seluruh tubuhnya begitu letih dan butuh istirahat. Inderanya menatap langit-langit kamar. Tanpa sadar, perempuan itu bergumam sendirian. "Semua tindakanmu hari ini, bagaimana aku akan membalasnya?" Menghela napas panjang, perempuan satu anak itu menghubungi sang sahabat. "Assalamualaikum. Lagi ngapain, Wi?" tanya Andini ketika panggilannya telah terangkat setelah beberapa kali deringan."Waalaikumsalam. Aku masih di jalan. Ada apa?" "Nggak ada apa-apa. Cuma lagi nggak bisa tidur saja. Kok masih di jalan? Kamu nggak
Happy Reading*****Membereskan sarapan dan segala peralatan dapur tanpa mencuci. Andini bergegas ke kamar untuk mempersiapkan diri ke kafe. Chat yang dikirimkan Rasya walau bukan tertulis secara nyata, tetapi perempuan itu tahu siapa orang yang dituju dalam surat tersebut. "Dasar. Dari dulu nggk berubah. Sukanya nyindir orang. Padahal ngomong langsung kalau aku harus datang lebih cepat ke sana, kan, bisa. Kenapa muter-muter dengan kata-kata nggak penting," gerutu ibu satu anak.yng kini sedang merapikan jilbabnya. Selesai dengan semua riasannya, Andini keluar kamar. Memanggil si kecil. "sudah siap, Dik?"Bisma menyatukan telunjuk dan jempolnya."Ayo berangkat," ajak perempuan berjilbab warna biru muda. Andini tampak bersinar dengan warna cerah yang dipakainya.Jalanan mulai macet karena jam-jam krusial. Sedikit mengumpat dalam hati ketika Rasya kembali mengiriminya pesan hinaan. "Nggak jelas banget. Dia itu kenapa, sih?" gerutu Andini di tengah fokusnya mengemudi."Mama kenapa?" ta
Happy Reading*****"Dih, ngapain aku melakukannya? Memangnya kamu siapa sampai aku harus memata-mataimu?" elak Rasya."Justru karena aku bukan siapa-siapamu, jadi dari mana kamu mendapatkan semua ini? Aku berhak tahu. Bukankah kamu sendiri yang ngomong jangan mudah percaya pada orang lain. Bisa jadi, kamu juga melakukan manipulasi data sehingga mencurigai tiga orang yang disebutkan tadi," cecar Andini. Rupanya, perempuan itu masih sangat penasaran. "Bodoh," sentak Rasya. "Mana mungkin aku melakukannya. Apa kamu nggak sadar jika aku sudah menggunakan nama besar Zafir Grup sebagai jaminan."Davit dan Pratiwi saling memandang kemudian mereka menggelengkan kepala. "Mau sampai kapan berdebat?" sela Davit ketika Andini akan melemparkan kalimat bantahan."Masalah ini, harus cepat kita selesaikan. Jadi, jangan berdebat lagi," tambah Pratiwi, "selain bukti ini, apakah kamu punya bukti kecurangan lain. Misal percakapan ketiga orang yang dicurigai ini."Beruntung, Pratiwi sudah memindahkan ke
Happy Reading*****"Yakin banget. Bukankah kamu yang selalu mengatakan padaku dulu. Setiap kali kamu minta dibuatkan kopi. Kamu akan selalu berkata takarannya," jawab Andini. Sama sekali tak gentar dengan wajah garang Rasya."Kalau begitu, coba sebutkan!" "Harus, ya?" Andini mulai jengkel. Akan melanjutkan perkataan, terdengar dering panggilan masuk di ponselnya."Ya, Sayang. Ada apa?" tanya Andini saat mengangkat ponselnya. Jelas terlihat kebahagiaan yang tidak bisa disembunyikan. Perempuan itu pamit tanpa suara pada rekan-rekannya yang lain. Jelas hal itu makin menimbulkan kecurigaan sang mantan.Lirikan Rasya begitu tajam. Mengkode sahabatnya untuk memastikan pendengaran tidak salah menangkap suara Andini tadi. "Anaknya kali. Gitu aja cemburu.""Aku nggak cemburu. Cuma memastikan kabar yang aku dapat semalam. Tapi, hari ini dia sudah memanggil sayang pada orang lain. Rancu, kan, jadinya." Mencoba menutupi kegalauan hati, lelaki berkulit kuning langsat itu mencemooh sang mantan.
Happy Reading*****"Jangan sembarangan, Rasya!" bentak Andini, "Bukankah kekasihmu adalah cewek yang ada di belakang Tante Hawa?"Perempuan yang berdiri di belakang Hawa, menunjuk dirinya sendiri. Lalu, dia tersenyum bingung sekaligus takut melihat tatapan majikannya. "Saya nggak punya hubungan apa pun dengan Pak Rasya, Bu. Bener, saya berani bersumpah," ucap si cewek. Jari tengah dan telunjuk ke atas sebagai bukti sumpahnya.Cewek itu menatap Andini tajam. "Mbak jangan asal nuduh kalau nggak ada bukti. Saya mana berani menaruh rasa pada Pak Rasya. Saya ini cuma perempuan biasa yang nggak pantas bersanding dengan beliau. Jangan fitnah, dong, Mbak. taruhannya pekerjaan saya, lho."Andini terdiam, dia bahkan tidak berani menatap siapa pun. Kepalanya tertunduk dalam menyadari semua prasangkanya salah dan bisa menyebabkan orang lain dalam masalah. Tahu persis bagaimana watak Hawa dalam menjaga pergaulan putranya, mamanya Bisma berkata, "Maaf, jika saya salah."Saat ini, Hawa masih diam d
Happy Reading*****Pulang dengan wajah kusut dan mata sembab, Andini mendapat tatapan intimidasi dari putranya. Baru juga masuk, Bisma sudah berdiri dengan kedua tangan menyilang di depan dada."Assalamualaikum, Sayang," sapa Andini. "Waalaikumussalam." Bisma masih bersedekah sementara sang Mama menghempaskan diri ke sofa. Andini menyandarkan kepalanya. Mencoba memejamkan mata sambil berharap bahwa semua yang terjadi tadi adalah mimpi."Apa masalah kafe sangat berat, Ma?" tanya Bisma setelah beberapa detik Andini memejamkan mata.Andini membuka mata ketika suara si kecil menyapa rungunya. Tersenyum pahit kala melihat wajah lugu si kecil yang selalu peka dengan keadaannya. "Nggak berat, kok, Sayang. Kenapa tanya begitu?"Menarik si kecil ke pangkuan, Andini memeluk dan meletakkan kepala ke bahu Bisma. "Sudah kayak orang dewasa saja tanyanya.""Hmm," jawab Bisma. Kedua tangan si kecil menangkup pipi Andini. "Kalau begitu, kenapa Mama nangis?""Siapa yang nangis?" Mencoba membuka mata
Happy Reading*****"Bisa-bisanya Bisma ngomong gitu, Say," kata seseorang di seberang sana.Andini menggerakkan kedua bahunya walau sang lawan bicara tidak dapat melihat apa yang dilakukannya. "Nggak tahu juga. Aku aja kaget nggak karuan. Kok, bisa dia itu ngasih saran aneh gitu."Ternyata Andini menceritakan semua yang dikatakan Bisma pada sahabat baiknya. Siapa lagi yang bisa diajak berdiskusi selain Pratiwi. Setelah sang ibu memutuskan tinggal bersama neneknya di desa asal. Sejak Andini menikah, dia hidup bersama keluarga kecil barunya."Tapi, ada benernya juga saran pangeranmu itu." Tawa Pratiwi meledak."Gila," balas Andini, "sudahlah. Aku matiin, mau berangkat dulu. Keburu bos baru kita nyindir lagi kayak kemarin."Pratiwi makin mengeraskan suara. "Tapi, enak juga punya bos disiplin seperti Rasya. Semua anak buah takut jika datang terlambat. Seperti beberapa karyawan kita. Mereka malah lebih segan pada mantanmu itu daripada kita berdua."Andini terpaksa ikut tertawa. "Beer juga
Happy Reading*****"Om sama Mama salaman dulu, deh. Biar nggak salah paham." Bisma mengambil tangan kanan keduanya, lalu menyatukannya untuk bersalaman. "Nah, gini kan lebih enak. Andai Adik tahu Om dan Mama sudah saling kenal. Adik pasti bakalan ngomong dari dulu sama Om.""Sudahlah, Sayang. Ayo pulang sekarang," ajak Andini. Sengaja mencegah perkataan aneh-aneh yang mungkin akan dikeluarkan oleh putranya. Sementara itu, Rasya malah senyum-senyum sendiri mengingat panggilan Andini tadi pada putranya. "Jadi, bocah ini kesayangan Andini. Bodohnya aku, kenapa bisa cemburu sama anaknya sendiri," ucap Rasya dalam hati."Adik mau pulang asal Mama mau ngajak Om ke rumah kita untuk makan siang." "Adik, jangan keterlaluan. Mama masih banyak pekerjaan di kafe. Adik tahu sendiri, kan, gimana beratnya masalah di kafe Mama." Andini memasang wajah sendu dan melas. Jelas hal itu dilakukan supaya Bisma tidak mengajak Rasya ke rumahnya."Mama nggak perlu khawatir. Nanti, biar adik ngomong sama Om
Happy Reading*****Rasya sangat jengkel dengan tingkah Davit yang menyamar sebagai Andini. D jaia pun memukuli lelaki itu hingga mengaduh."Ampun ... Ampun. Adikmu tersayang yang nyuruh. Marahin dia saja," ucap Davit sambil menunjuk pada Anggita. "Ih, kok aku, sih?" sahut Anggita, "Mbak Tiwi, tuh. Dia yang ngasih ide." Menunjuk sahabat Andini yang tertawa lebar melihat ekspresi kecewa Rasya. "Sudah!" bentak Rasya, "sekarang mana istriku?""Ini," ucap Ranti dan Hawa bersamaan. Gamis putih perpaduan sutra satin dan berkata serta payet mutiara, melekat di tubuh Andini. Kerudung yang menutup dada dan menjuntai serta mahkota mutiara bertengger di kepala. Jangan lupakan make up natural yang makin menambah pesona kecantikan perempuan itu berlipat ganda. Senyum penuh kebahagian menambah kilau kecantikannya bersinar. Rasya dibuat terpukau dengan sosok wanita yang kini sedang berjalan mendekatinya. Tanpa kedip, dia terus menatap Andini. Seorang perempuan yang sudah sangat lama dicintai. Se
Happy Reading*****Niat hati ingin berduaan dan menyatakan cinta pada sang pujaan malah gagal total. Seluruh keluarga Rasya dan Andini ada di restoran itu. Tangan Nareswara bahkan sudah bertengger pada telinga kiri. "Papi itu nggak percaya kalau Mas ngomong mau jemput Andini. Pasti kayak gini hasilnya," ucap Nareswara. "Hmm, Mas," sahut Hamni."Padahal tinggal nunggu beberapa hari lagi. Masak iya sudah nggak tahan pengen berduaan," tambah Hawa. Rasya meringis sambil menggaruk kepalanya. "Kok pada tahu kalau Mas di sini, sih?""Jelas kami tahu. Ada mata-mata yang akan mengatakan perilakumu, Mas," sahut Dzauhari. "Ayah kok ikut-ikutan, sih?" Wajah ditekuk-tekuk karena kesal rencana manisnya dengan Andini gagal, Rasya memajukan bibirnya. "Makanya, Pa. Kalau punya rencana ajak-ajak Adik biar nggak gini kejadiaannya," celetuk Bisma. "Eh, kok nggak belain Papa?" Rasya menggerak-gerakkan bibir, lucu sekali tingkah sang pemimpin grup Zafir itu. Andai para karyawannya tahu, apa mungkin
Happy Reading*****"Sudahlah, Nak. Nggak usah tanya untuk apa beliau meminta cincin ini," ucap Hamni. Dia mulai melepas cincin yang dibelikan sang suami sebagai hadiah ulang tahun pernikahan mereka yang ke 25 waktu itu. "Ibumu benar, Nak," tambah Dzauhari. "Ayah bisa membelikan ibumu cincin yang seperti itu lagi nantinya."Walau keberatan, Rasya tetap menganggukkan kepala. Perlahan Hamni melepaskan cincin yang diminta oleh Nareswara. "Ini, Pak." Menyerahkan pada lelaki yang tengah berbaring di ranjang kesakitan itu, Hamni menampilkan senyumnya."Tolong kamu pasangkan ke hari manis Mbak Andini. Sebelum terjadi hal-hal yang nggak diinginkan, saya mau melihatnya menjadi calon menantumu.""Papi," panggil Andini dan Rasya bersamaan. Mereka juga saling tatap. Tidak menyangka sama sekali jika Nareswara punya niat seperti itu."Papi nggak tahu sampai kapan hidup. Jadi, sebelum Papi dipanggil sama Allah, Papi mau kalian saling terikat satu sama lain."Andini meletakkan jari telunjuknya ke
Happy Reading*****Anggita mendekat pada Nareswara. Tangannya berusaha melepaskan cekikan di leher Hawa. "Pi, pliss jangan seperti ini. Kita bisa bicarakan semua dengan tenang. Biarkan Mami menceritakan semuanya.""Pi, benar katanya Adik. Nggak akan ada penyelesaian jika kita mengedepankan emosi," tambah Andini. Dia juga berusaha melepaskan pegangan tangan Nareswara pada leher Hawa. "Istighfar, Pi."Nareswara menghela napas. Perlahan, dia mengendurkan pegangannya pada leher sang istri. "Astagfirullah," ucapnya pelan.Sementara di seberang duduknya, Rasya dan orang tua kandungnya melihat dengan diam. Mereka tidak akan menambah kekeruhan permasalahan yang ada dengan membuka suara. "Jadi, katakan apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Mas Rasya sampai nekat akan melamar Andini yang jelas-jelas diketahui adalah adiknya," pinta Nareswara ketika Hawa terlihat jauh lebih tenang. "Berjanjilah, Papi nggak akan menceraikan Mami atau marah lagi," pinta Hawa. Sorot mata penuh ketakutan dan keput
Happy Reading*****"Iya, saya," kata seorang perempuan berjilbab yang di sebelahnya berdiri Rasya dan Dzauhari. "Apa kabar, Mbak?""Kalian kok bisa kenal sama Rasya padahal nggak pernah bertemu sama sekali?" tambah Nareswara, "ayo duduk."Walau sedikit terkejut dengan kedatangan tamu tak diundang. Nareswara tetap ramah dan menerima kedatangan Dzauhari dan Hamni. "Mbak minta tolong sama Bibi buatkan minuman untuk mereka," tambah Nareswara pada Andini. Sementara Hawa, dia diam bak patung, menjawab pertanyaan yang Hamni ajukan saja, tidak dilakukan. Tak disangka, mamanya Arvan mendekati Hamni dan memeluk. Mereka saling sapa dengan cipika-cipiki. Rasya menatap curiga pada Hamni. "Apa kabar, Mbak? Lama nggak ketemu, balik Banyuwangi nggak kabar-kabar. Tahu gitu tak jemput lho di bandara," ujar perempuan yang diketahui bernama Sarita, ibunya Arvan."Kabar baik, Rit. Maaf, ya, aku dadakan ini pulangnya. Jadi, nggak sempat kabar-kabar.""Yah, kok ibu kenal?" bisik Rasya pada Dzauhari. "B
Happy Reading*****"Kami, cuma bisa memberikan ini untuk kebahagianmu, Nak. Kapan pun kamu meminta kami untuk menghadap Pak Nareswara dan Mbak Hawa, kami siap," ucap Hamni."Benar, Nak. Nggak perlu nunggu besok atau lusa. Sekarang pun, kita bisa kembali kalau kamu mau," tambah Dzauhari."Ayah, Ibu, sekali lagi terima kasih. Aku nggak tahu bagaimana harus membalas semua ini," ucap Rasa begitu terharu.Para pekerja yang melihat adegan mengharukan di depan mereka, tak kuasa membendung air mata. Mereka begitu terharu, setelah sekian lama kebahagiaan itu akhirnya datang pada atasan mereka. "Mungkin, besok pagi. Aku kembali ke Banyuwangi, Pak. Gimana?""Nggak masalah, Nak." Dzauhari menaikkan garis bibirnya. "Gimana kalau menggunakan perjalanan darat saja, Nak. Ibu dengar, besok penerbangan Banyuwangi-Bali ditiadakan karena cuaca memburuk," tambah Hamni."Sepertinya iya, Bu. Aku barusan dapat kabar dari Adipati. Nggak ada tiket ke sana untuk besok."Pasangan itu tersenyum. "Biar sopir
Happy Reading*****Rasya mencengkeram erat kerah kemeja lawan bicaranya. Berani sekali Arvan menghubungi Nareswara di saat dia belum bisa menjelaskan semua kebenaran dan menunjukkan bukti kebenaran yang membuatnya bisa menikahi Andini. "Dari awal, aku sudah tahu apa tujuan pertemuan ini. Jadi, aku sengaja meminta pendapat Om Nares," jelas Arvan dengan suara tercekat akibat tangan Rasya yang berada di lehernya. "Nggak usah macam-macam, Mas. Papi yang meminta Arvan. Lebih baik kamu pulang sekaran. Kita selesaikan semua masalah ini di rumah," ucap Nareswara dari ponsel milik Arvan.Rasya melepaskan tangannya, lalu mematikan sambungan yang menghubungkan Arvan dengan papinya.Melirik sang asisten, Rasya berkata, "Tiketku, apa sudah siap?""Siap, Bos. Satu jam lagi, penerbangannya," ucap Adipati. "Bagus, kamu suruh orang bawa mobilku pulang dan antar aku ke bandara."Sulung keluarga Nareswara itu langsung meninggalkan Arvan tanpa pamit. Tak perlu pulang ke rumah besar Zafir lagi dan men
Happy Reading*****"Tante, minum ini," pinta Andini sambil menyodorkan segelas air. "Mami kenapa, sih?" Kening Nareswara berkerut. "Bukankah orang yang ditanyakan Mas Rasya itu adalah salah satu pegawai di keluargamu dulu?"Hawa memilih diam sejenak sambil meminum air yang diberikan Andini. "Iya. Papi masih ingat sama mereka?" Bukannya menjawab, Hawa malah memberikan pertanyaan aneh itu."Ingat banget, Mi. Saat Papi menjemputmu di rumah Ayah waktu itu, Mbak Hamni terlihat begitu sedih melihat Mas Rasya. Mungkin dia kepikiran sama anaknya.""Memang anaknya kenapa, Pi?" tanya Rasya dan Andini bersamaan. "Sudahlah, mereka cuma mantan pegawai Kakek kalian. Nggak ada sesuatu yang istimewa," sahut Hawa."Kenapa menanyakan tentang mereka, Mas?" tanya Nareswara. Rupanya, lelaki itu masih sangat penasaran. "Apa kalian pernah bertemu sebelumnya?"Pandangan Rasya menyapu semua anggota keluarganya. Lalu, dia menjatuhkan tatapan penuh selidik pada sang Mami. "Waktu ini, Mas, nggak sengaja ketem
Happy Reading*****Ditanya dengan pertanyaan yang menyudutkan dirinya, Rasya tetap tersenyum. Sebelum sampai di rumah besar Zafir, lelaki itu sudah mengumpulkan banyak informasi tentang Arvan. Semula, sulung Nareswara itu berusaha legowo. Namun, ketika membaca slide akhir data yang dikirim Adipati, seketika perasaan tak rela muncul kembali. "Untuk apa aku mengada-ada. Semua ini nggak bakalan terjadi jika kamu menjaga perilakumu selama ini terhadap wanita. Jangan kira, aku nggak tahu sifat burukmu, Van," ancam Rasya. "Mas, duduk dulu, deh. Kamu tiba-tiba pulang nggak ngabari Papi. Ada apa sebenarnya?" Daripada mempermasalahkan keberatan si sulung, Nareswara lebih khawatir melihat Rasya. Badan yang terlihat lebih kurus dengan kumis dan jambang belum dirapikan. Biasanya, si sulung tak pernah terlihat seberantakan itu. Nareswara semakin khawatir ketika wajah pucat Rasya terlihat dengan jelas.Duduk di sebelah Nareswara, Rasya menatap sekelilingnya bergantian. Pandangan terakhir dia tu