Share

5. Sok Pahlawan

Happy Reading

*****

Menghempaskan tubuh ke sofa setelah berperang melawan rasa jengkel terhadap sang mantan. Andini memijat pelipisnya ringan. "Sialan, aku kira dia benar-benar akan menolongku. Ternyata cuma mencari celah untuk menghina."

Andini memejamkan mata sebentar, sebelum memutuskan pulang. Teringat kenangan dua belas tahun silam. Di mana dirinya dan Rasya adalah dua pasang anak muda yang saling mencintai.

"Untuk apa aku mengingat semua itu, dia pasti sudah bahagia dengan kekasihnya," gumam Andini.

Pintu ruangannya terbuka, wajah Pratiwi terlihat. "Mau nginep di sini atau gimana?"

Membuka mata, langsung menegakkan duduk. "Jam berapa sekarang?"

"Sudah hampir jam sepuluh."

"Astagfirullah. Aku pulang sekarang," ucap Andini, "Bisma aku tinggalkan sama si Mbak. Aku ngomong akan pulang jam tujuh tadi, tapi sekarang sudah sangat terlambat. Kasihan mbaknya."

"Ya, sudah sana pulang. Aku juga mau pulang."

Andini memeluk sahabatnya sebelum pulang. Lalu, melirik Davit yang ternyata sudah berdiri di belakang Pratiwi.

"Pak, nitip Ibu Pratiwi." Mengedipkan sebelah mata, menggoda keduanya.

Pratiwi melempar tisu ke wajah Andini. "Pergi sana!" usirnya.

Perjalanan yang biasanya cuma memakan waktu sepuluh menit, kini ditempuh lima menit oleh Andini. Setelah memarkir kendaraannya, dia segera masuk dan alangkah terkejutnya ketika mendapati Bisma tertidur di sofa ruang tamu.

"Assalamualaikum," ucap Andini pelan.

"Waaalikumsalam. Ibu baru pulang?" tanya perempuan yang usianya dua tahun lebih tua dari Andini.

"Maaf, Mbak. Tak kira nggak sampai malam, tapi ternyata masalah di kantor terlalu rumit. Jadi, baru bisa pulang jam segini."

"Nggak papa, Bu. Karena ibu sudah datang, jadi saya mau  pulang sekarang. Sudah ditunggu suami."

"Iya, Mbak."

Sepulangnya si Mbak, Andini langsung membopong putranya ke kamar.

"Maaf, Sayang. Mama nggak bisa memberikan banyak waktu untuk bersamamu," ucap Andini lirih sambil menggotong si buah hati ke kamar. Menidurkan buah hatinya dengan hati-hati. Saat itulah foto pernikahannya dengan sang suami terlihat.

"Apa njenengan nggak rindu dengan celotehan Bisma, Pa? Sudah selama ini, tapi keberadaanmu belum juga mampu aku temukan." Andini meneteskan air mata ketika mengingat sang suami.

Tak ingin larut dalam kesedihan, perempuan itu keluar. Selesai membersihkan diri, Andini kembali melanjutkan pekerjaan. Mengecek keseluruhan laporan keuangan cabang selama beberapa bulan ke belakang.

Di tempat lain, sepulang dari kafenya Andini. Rasya kembali ke kantor. Begitulah kehidupan lelaki itu setiap hari. Gila kerja sampai tidak memperhatikan kondisinya sendiri.

"Setelah ini, apakah ada meeting lagi?" tanya Rasya pada asistennya.

"Ada meeting dengan Pak Mahesa lima belas menit lagi."

"Kalau begitu, ayo berangkat sekarang."

Adipati mengangguk. Menjadi asisten Rasya selama hampir lima tahun. Dia cukup paham performa sang atasan, tidak akan membatalkan meeting yang sudah dijadwal walau hari sudah malam.

Tepat jam yang sudah disepakati, Mahesa datang. Beberapa menit membahas kerja sama mereka, pikiran Rasya malah terpusat pada Andini. "Ada apa denganku? Kenapa wajah sedihnya terlihat jelas." Rasya ingin cepat-cepat menyelesaikan meeting kali. Pikirannya benar-benar kacau.

"Sepertinya kamu punya masalah, Ras?" tanya Mahesa memecah lamunan sang pengusaha muda.

"Sorry, Sa. Aku sedikit kurang fokus. Kayaknya pembahasan kita lanjut besok, saja." Rasya mengusap pelipisnya sebentar.

"Oke. Nggak masalah buatku. Sebentar lagi, istriku juga datang." Mahesa merapikan berkas dan beberapa peralatan kerjanya termasuk laptop. "Mikirin apa, sih, Ras? Ada masalah di percetakan atau hotel?"

"Bukan keduanya, masalah pribadi. Aku pamit, deh. Besok kita sambung lagi." Rasya menjulurkan tangan sebelum pergi meninggalkan sahabat sekaligus rekan kerjanya.

"Hati-hati dengan hatimu. Mulailah membuka diri. Nggak ada salahnya menerima perempuan baru meski belum kamu cintai. Belajarlah dari kisah cintaku. Kamu sudah terlalu lama terjebak dengan Andini."

"Oke. Terima kasih sarannya. Aku permisi." Rasya tersenyum.

"Sekarang, kita ke mana, Pak?" tanya Adipati. "Pulang atau kantor?"

"Pulang saja." 

Tak ada perkataan lagi membuat Adipati bersorak dalam hati. Apalagi ketika melirik arlojinya masih menunjukkan pukul setengah sebelas. Hari ini adalah rekor pulang tercepat sejak menjabat sebagai asistennya Rasya.

Sebelum turun dan masuk rumah, Rasya berkata, "Cari tahu tentang kehidupan seluruh manajemen kafe MCD terutama Andini dan asistennya. Kalau perlu kamu selidiki juga hubungan pribadi orang-orang tersebut. Satu jam lagi aku mau laporan lengkap tentang mereka semua."

Jika bukan bosnya, tentu Adipati ingin sekali memukul wajah Rasya. Sempat bahagia karena pulang lebih cepat, ternyata Rasya malah memberi tugas yang cukup berat.

"Baik, Pak."

Rasya masuk, tetapi tidak langsung ke kamar seperti biasa. Lelaki itu bergerak ke ruang kerja. Belum ada satu jam, lelaki itu sudah gelisah karena sang asisten tak kunjung memberinya kabar. Akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi sang asisten terlebih dahulu.

"Maaf, Pak. Laporan yang masuk belum selesai semua," jawab Adipati ketika si bos bertanya tentang tugas yang diberikan tadi.

"Sementara, laporkan tentang Andini dulu. Lainnya bisa menyusul nanti."

"Baik." Adipati mulai mengatakan segala hal tentang Andini. Dia juga mengirimkan salinan seluruh laporan terkait perempuan satu anak itu.

Beberapa menit mendengarkan laporan Adipati, mata Rasya membelalak. Memukul meja dengan sangat keras. "Oke. Terus selidiki semua orang yang ada di manajemen MCD. Besok pagi, aku mau laporan lengkapnya."

Mematikan sambungan pada sang asisten, lalu menghubungi Davit.

"Kamu bodoh apa bagaimana, sih, Vit?" kata Rasya melampiaskan kemarahan pada sahabatnya.

Davit yang masih berada di kantornya, mengumpat keras ketika kalimat hinaan keluar dari mulut Rasya. "Kamu yang bodoh. Nggak tahu ada masalah apa, tiba-tiba marah."

Rasya berdecak di seberang sana. "Sorry, aku tekejut mendengar kabar tentang Andini dan pernikahannya."

"Sialan. Ternyata semua karena masalah itu. Apa maumu jika sudah tahu tentang penikahannya?"

Terdengar suara tawa Rasya. "Jadi, apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa om-om gila daun muda itu bisa menghilang tanpa jejak?"

"Kurang tahu, Ras. Sepertinya, lelaki itu sengaja menciptakan plote hole dalam kehidupan pernikahannya dengan Andini. Dari cerita Tiwi, Pak Raditya itu mendapat tugas dinas keluar kota di pulau. Nah, bis rombongannya tergelincir, tapi katanya nggak ada korban saat itu. Anehnya, si om-om itu malah menghilang tanpa jejak bahkan meninggalkan hutang yang begitu banyak pada Andini."

"Kasihan kesayanganku. Kenapa kamu nggak pernah menceritakan ini, Dav."

"Kamu amnesia apa gimana? Jejak keberadaanmu saja baru aku ketahui setahun ini. Kukira, setelah sukses kamu lupa sama ayangmu itu."

"Oke. Terima kasih atas infonya. Aku ingin menemui Dini langsung." Setelah terdengar salam dari seberang, Rasya menutup teleponnya.

Setelahnya, lelaki itu menghubungi Andini.

"Siapa ini?" tanya Andini. Profil yang dipakai oleh sang penelepon tidak asing walau belum tersimpan di kontaknya.

"Menurutmu, siapa aku?"

"Maaf, kalau cuma iseng. Saya tutup telponnya."

Tawa Rasya menguar. "Apa kamu nggak mengenali suaraku?"

"Berhenti bermain-main. Aku sudah bersuami dan nggak pantas menerima telpon dari lelaki lain."

"Suami mana yang kamu maksud?" Suara Rasya begitu tegas, menggertak Andini supaya wanita itu tidak berbohong lagi tentang keadaan rumah tangganya.

"Aku tahu. Aku pernah menyakitimu di masa lalu, tolong lupakan semua. Aku benar-benar minta maaf. Mari kita jalani hidup masing-masing. Aku sudah cukup bahagia dengan pernikahanku sekarang."

"Jangan menjadi bodoh karena cinta, Din. Raditya jelas-jelas sudah meninggalkanmu saat ini. Kamu bukanlah wanita bersuami sekarang."

"Rasya. Jangan keterlaluan!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status