Share

2. Gagal Move On

Happy reading

***

Andini menghempaskan diri di sofa tunggal yang terdapat pada salah satu ruangan kafe miliknya. Dia mulai menyalakan pendingin ruangan, berharap bisa menghilangkan bara kemarahan di dalam hati. Susah payah perempuan itu menebus rasa bersalah pada lelaki yang ditemuinya tadi, tetapi semua sia-sia saat mengetahui reaksi pertemuan pertama mereka.

"Di sini, kamu rupanya," kata Pratiwi. Kepalanya tersembul masuk dari pintu yang terbuka sedikit.

"Pesankan aku jus jeruk, dong. Lagi butuh pendingin, nih," ungkap Andini.

"Dah, siap. Nih." Pratiwi masuk dan menyerahkan segelas jus jeruk yang sengaja dia bawa kepada sahabatnya. Tanpa diminta, dia tahu apa yang diinginkan Andini.

Di sebelah sahabatnya, Pratiwi mengamati wajah muram sang pemilik kafe. Sama seperti Andini, dia pun tak percaya akan bertemu dengan Rasya dalam suasana seperti tadi.

"Wi, apa takdir hidupku memang seperti ini, ya?" Tawa sumbang terlontar dari Andini.

"Jangan pesimis gitu, dong. Kita nggak tahu maksud kedatangannya lagi. Bisa saja ini suatu kebetulan. Kamu yang selalu ngajarin nggak berburuk sangka. Sekarang buktikan. Anggap kejadian tadi memang murni dia lakukan sebagai seorang pebisnis profesional."

"Lama aku mencari keberadaannya, hanya ingin mengucapkan satu kata maaf atas kejadian di masa lampau. Saat bertemu, reaksinya malah seperti itu. Apa dia terlalu membenciku?" Andini mulai memijat pelan kepalanya yang terasa berdenyut sambil memejamkan mata.

"Sudah! Jangan dipikirkan lagi. Jemput Bisma, gih. Sudah jamnya dia pulang." Pratiwi menarik pelan tangan sahabatnya untuk segera berdiri.

Andini melirik jam yang menempel pada pergelangan, sudah setengah sepuluh. "Astagfirullah," ucapnya, "semoga nggak terlambat. Aku ke sekolah dia dulu, ya."

"Hati-hati. Nggak usah terburu-buru, dia pasti nunggu kamu," teriak Pratiwi.

***

Pada waktu yang bersamaan di tempat lain, tepatnya di sebuah kafe kopi, dua lelaki yang bersahabat kini tengah beradu argumen. Mereka saling mempertahankan pendapatnya demi sebuah kebenaran yang diyakini hati masing-masing. Membahas tentang pertanyaan yang diajukan Rasya pada rapat tadi.

"Sedeng kamu, Ras. Jika hatimu masih tertaut padanya, kenapa nggak diungkap saja?" nasihat Davit pada Rasya.

"Jangan ambil kesimpulan sendiri. Bagian mana dari perkataanku yang mengatakan masih ada namanya tersimpan di sini?" Rasya menunjuk dada sebelah kiri, di sanalah letak jantung hatinya.

"Memang nggak ada kata yang mengungkap perasaanmu itu, tapi sorot matamu terbaca dengan jelas. Dia masih memenuhi seluruh ruang hatimu. Nggak perlu munafik, kita berdua ini sama-sama gagal move on dengan perempuan di masa lalu." Davit menyesap kopi latte miliknya yang mulai dingin.

Dari tempat duduknya, Rasya tertawa lebar dengan kejujuran sang sahabat. Dia sangat tahu siapa perempuan yang telah membuat Davit tidak bisa berpaling. Bisa jadi itulah kekuatan cinta pertama, pesonanya tidak mudah tergantikan bahkan ketika perempuan pujaan sang sahabat telah mengikrarkan janji suci dengan laki-laki lain. Davit masih menyimpan erat rasa cinta untuk perempuan itu.

"Seorang lelaki tampan dan mapan sepertimu, bisa gamon juga ternyata," seloroh Rasya.

Davit yang mendapat ejekan seperti itu, hanya menatap santai. Namun, benda yang dikeluarkan dari saku celana Davit membuktikan semua kebenaran perkataan Rasya, selalu saja benda mati itu jadi pelampiasan sahabatnya. Zat nikotin yang terkandung di dalamnya, dipercaya bisa meringankan beban pikiran Davit.

"Sembarangan. Setidaknya, aku pernah mencoba membuka hati dan berkomitmen, walaupun gagal. Apa kabarnya dirimu yang sama sekali nggak tertarik dengan perempuan selain Andini Prameswari?"

Tak mau kalah, Rasya menanggapi perkataan Davit dengan sindiran. "Kasihan, ya. Rokok itu nggak punya salah apa-apa, tapi dia jadi pelampiasanmu selama ini."

"Nggak usah diperjelas."

"Dasar sensian," jawab Rasya. Lalu, ponselnya berdering cukup nyaring. Wajah sang pemilik seketika berubah masam.

"Siapa?" tanya Davit. Masih menyesap dan menikmati sebatang rokok.

"Biasa."

"Tante Hawa? Kenapa?" Menyunggingkan senyum, Davit kembali mengepulkan asap ke udara.

"Nggak tahu."

"Angkat saja. Siapa tahu penting."

 Seolah mengerti dengan karakter orang tua sahabatnya, Davit kembali menyesap zat nikotin sambil mendengarkan perbincangan anak dan ibu.

"Mi, tolong berhenti mengatur kencan dengan perempuan-perempuan nggak jelas. Aku bisa nyari  calon istri sendiri." Suara Rasya mulai meninggi

Davit tertawa dari tempat duduknya. Bibirnya bergerak, "Rasain, emang enak?"

Rasya segera mengepalkan tangan kanannya dan menunjukkan pada sang sahabat. Davit makin tertawa keras sampai terbatuk.

"Oke, aku bakal temuin dia. Tapi, Mami harus janji. Ini yang terakhir kalinya. Kalau sampai perempuan itu nggak mau, jangan memaksaku lagi." Diam sebentar, Rasya mendengarkan perkataan lawan bicaranya. "Oke. Satu jam lagi, aku sampai di restoran itu."

Panggilan terputus dan Davit tidak bisa menahan tawanya lagi. "Masih jaman jodoh-jodohan? Ingat, Ras. Sekarang sudah jaman milenial. Aneh jika cowok tampan dan mapan sepertimu nggak ada satu pun yang mau dekat."

"Mulutmu. Aku bukan nggak laku, tapi memilih yang terbaik." Rasya melambaikan tangan pada salah satu pelayan yang ada di kafe tersebut. "Aku juga nggak mau dijodohkan seperti ini, tapi mau gimana. Mami bakalan ngoceh kalau aku nggak nurut."

Menyerahkan selembar uang berwarna biru untuk membayar tagihan, Rasya berdiri. "Aku tinggal dulu. Mami resek kalau aku nggak cepat datang."

"Kali ini, apa rencanamu untuk menggagalkan?" tanya Davit dan sang sahabat mengangkat kedua bahunya.

"Good Luck. Semoga rencanamu berhasil, menghempaskan cewek-cewek itu."

Rasya mengacungkan jempol kanannya sebagai jawaban. Dia pun melangkah pergi meninggalkan sahabat sekaligus rekan kerjanya.

Melihat ponsel, Rasya masih punya waktu sekitar setengah jam lagi. Sengaja, dia datang lebih awal sekalian untuk menyusun rencana menggagalkan perjodohannya. Di sebuah mall terbesar yang berada di kabupaten ujung Timur pulau Jawa, pandangan lelaki tersebut menyapu segala arah.

Tiba-tiba ide muncul ketika lelaki tersebut melihat seorang anak laki-laki yang tengah duduk sendirian di kursi tunggu mall.

"Semoga, dia bisa membantuku," ucap Rasya lirih. Dia pun berjalan mendekati sang bocah.

"Hai," sapa si lelaki berkemeja biru dongker. Sang bocah memutar bola mata.

"Boleh nggak Om duduk di sebelahmu?"

"Nggak boleh." Wajah si kecil menunjukkan rasa tidak sukanya.

Namun, Rasya tetap duduk di sebelah si kecil. "Boleh tahu namamu? Om, mau minta tolong. Kalau kamu mau, Om, bakalan ngasih hadiah."

Itulah Rasya, lelaki yang tidak suka basa-basi jika memiliki tujuan. Tak ayal wajah si kecil langsung berubah waspada dengan kening berkerut dan mata terbuka.

"Om mau menculik aku, ya?"

"Hei, bukan begitu. Om, cuma mau minta tolong. Ada cewek resek yang ngejar-ngejar. Dia itu jahat banget, mau menipu. Sini, deh," pinta Rasya. Lalu, dia membisikkan sesuatu ke telinga si kecil.

"Bagaimana?" Rasya menatap penuh permohonan.

"Nggak. Nanti, Mama marah kalau adik nakal," jawab si kecil yang masih memakai seragam sekolahnya. "Lagian, adik takut kalau Om penipu atau penculik."

Rasya melirik arlojinya, tinggal beberapa menit lagi. Teleponnya juga sudah berdering sejak tadi, panggilan dari maminya. Pasti mengabarkan jika cewek tersebut sudah sampai.

"Gini saja. Ini KTP dan kartu ATM Om. Kalau kamu nggak percaya dan takut. Kamu bisa lapor polisi." Rasya juga menyerahkan kartu namanya.

Setelah beberapa menit.

"Oke. Adik bantu, Om. Tapi, ada syaratnya." Setelah mengatakan syarat dan disetujui oleh Rasya. Mereka berdua meninggalkan tempat duduk, menuju restoran cepat saji yang berada di dalam mall.

Baru saja dua lelaki berbeda generasi itu melangkah masuk, Seorang perempuan berpakaian kurang bahan melambaikan tangan. Malas, Rasya beserta anak kecil tersebut mendekat.

"Hai, Ras. Apa kabar?" tanya si perempuan. Langsung memeluk dan berniat mencium pipi.

Namun, gerakan wanita tersebut bisa dihindari oleh Rasya. "Sebaiknya, kamu jaga sikap. Ada anak kecil di sini."

"Dia siapa? Apa keponakanmu?" tanya si perempuan. Hendak mencubit pipi, gemas. Namun, si kecil malah menepis tangan si perempuan.

"Pa, bibi jelek ini siapa?"

"Hei, jangan memanggilku Bibi? Nggak mungkin kamu anaknya Rasya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status