Happy Reading*****"Dik, ceritakan kenapa sama kita?" pinta Andini ketika mereka berdua sudah ada di mobil.Tatapan aneh terlihat jelas di mata sang ibu hamil. Mengeluarkan botol minuman di dalam tas. Anggita tak langsung menjawab pertanyaan Andini, dia malah menuntaskan dahaga yang sejak tadi menyerang. "Aku mendengar obrolan Mami di telpon dengan seseorang," ucapnya."Lalu, apa hubungannya dengan kita? Kenapa juga kamu minta antar Mbak ke rumah sakit?" Andini menggelengkan kepala. Makin tak mengerti dengan jawaban perempuan hamil di sebelahnya."Kita harus melakukan pemeriksaan. Aku curiga kita ...?" Perkataan Anggita terjeda karena ada panggilan masuk dari ponselnya. "Siapa?" tanya Andini. Dia begitu cemas melihat Anggita seperti orang bingung dan panik. Entah apa yang dialami perempuan hamil itu."Mas.""Angkat saja." "Nggak usah, Mbak. Pokoknya, aku nggak akan mengangkat panggilan dari orang rumah." Melirik Anggita, Andini makin menyipitkan mata. "Dik, kamu ini sebenarnya ke
Happy Reading*****Hawa begitu tak sabar untuk masuk ke rumah Andini. Saat ini, sopir yang dimintanya untuk mengantar ke rumah ibu satu anak itu baru berada di depan pintu pagar. Sang sopir masih sibuk membunyikan klakson agar sang pemilik mau membukakn pintu, tetapi Hawa sudah lebih dulun turun."Bapak tunggu di sini saja, saya mau masuk sendiri," suruh Hawa. Wajahnya tegang dengan keringat mulai bercucuran padahal sang sopir sudah menyalakan pendingan di mobil. Namun, semua itu tak berpengaruh karena sang majikan tengah mengalami kekalutan."Baik, Bu," sahut sang sopir.Langkah perempuan paruh baya yang memakai hels itu begitu cepat. Serpertinya, dia terburu-buru."Ranti! Keluar kamu," teriak Hawa di depan pintu masuk rumah Andini. Tangannya juga sibuk memencet bel.Dari dalam, Ranti yang mendengar suara bel tanpa henti mulai menggerutu. Pasalnya, saat ini wanita paruh baya itu tengah menghitung keseluruhan aset yang dimiliki serta tabungannya. Semua itu dilakukan untuk memberikan
Happy Reading*****Andini maju, mendekati ibunya. "Bu, ada apa sebenarnya? Apa maksud Tante Hawa tadi?""Ran, ceritakan! Jangan diam saja," tambah Nareswara. Lelaki itu mulai meninggikan suaranya.Rasya dan Anggita cuma bisa menatap adegan di depannya. Keduanya memilih bungkam dan menunggu penjelasan dari para orang tua. Walau Anggita sudah mengetahui hal ini sejak Hawa menelepon seseorang tadi. Namun, perempuan hamil itu tak menyangka jika maminya berani mengungkap kebenaran yang telah disembunyikan. "Ceritakan saja, Ran. Nggak perlu lagi kita tutupi semuanya. Namanya bangkai, suatu saat pasti akan tercium juga. Aku nggak mau disebut sebagai perempuan jahat karena memisahkan mereka berdua," ucap Hawa seolah-olah Ranti adalah orang yang paling bersalah saat ini.Nareswara beralih menatap Hawa. "Pasti semua ini rencanamu untuk memisahkan Andini dan Rasya," katanya, "Mi, apa yang terjadi antara Papi dan Ranti sudah berakhir lama. Sejak Papi sudah menjatuhkan talak, kami sudah nggak p
Happy Reading*****"Apa benar yang dikatakan, Adik, Mi?" bentak Nareswara. Tubuhnya begitu lemah sekarang. Untuk berdiri saja, lelaki itu rasanya tak sanggup. "Nggak seperti itu, Pi. Anggita pasti salah paham. Aku nggak pernah berniat membunuh siapa pun," elak Hawa."Benarkah?" tanya Anggita. Dia mengeluarkan ponsel dari tasnya. Lalu, memutar sebuah rekaman video. "Coba Papi dengarkan ini."Semua orang serius menonton rekaman video. "Hawa!" bentak Nareswara, "begitu keji hatimu. Apa yang nggak aku berikan untukmu sebagai seorang istri dan menantu di keluarga ini. Mengapa kamu masih bisa berbuat demikian?""Pi, bukan itu maksudku." Hawa segera berdiri. Mendekati Nareswara dan memegangi lututnya. "Maaf, Mami cuma ingin mempertahankan nama baik keluarga Zafir. Jika orang-orang tahu bahwa Papi punya anak haram, maka kehormatan keluarga Zafir akan tercemar.""Tutup mulutmu, Hawa," sentak Ranti, "Andini bukan anak haram. Dia terlahir dari pernikahanku dan Nares. Perkawinan kami sah di m
Happy Reading*****Nareswara berteriak memanggil sopir, sedangkan Hawa memegang kepala Anggita. Andini dan Ranti berada di bagian kaki perempuan hamil itu. Semua orang memanggil dan menepuk-nepuk pipi serta bagian tubuh lainnya untuk membangunkan Anggita."Ada apa, Pak?" tanya sopir sambil membungkukkan badan. "Siapkan mobil. Bawa Anggita ke rumah sakit." Nareswara segera membopong si bungsu. Diikuti Hawa dan lainnya di belakang. Mobil keluarga Zafir melaju dengan kecepatan tinggi, sementara Andini dan Ranti mengikuti di belakangnya. "Din, hubungi Rasya. Dia harus tahu kondisi Anggita," pinta Ranti.Sambil menyetir, Andini menghubungi Rasya. Namun, panggilannya tak juga terjawab walau sudah beberapa kali menelepon. "Ke mana dia pergi?" ucap Andini lirih. "Kenapa? Apa telponmu nggak diangkat?" Andini menggelengkan kepala. "Biar aku telpon Bisma saja," putus ibu satu anak itu setelah melirik arlojinya. "Kenapa harus Bisma. Apa nggak ganggu sekolahnya?""Sudah jam istirahat, Bu.
Happy Reading*****Ranti semakin gugup ketika ditatap semenakutkan itu oleh Hawa. Nareswara dan Andini bahkan memegangi kedua tangan wanita paruh baya tersebut. Namun, Hawa menepis kedua tangan yang menghalanginya. Seperti kerasukan, dia melangkah semakin dekat pada Ranti. Andini dan Nareswara tak lagi bisa mencegah pergerakannya. Tanpa di duga oleh kedua orang itu, Hawa menekuk lutut dan menjatuhkan diri ke lantai."Tolong maafkan semua salahku, Ran. Maaf jik selama ini aku sudah begitu menyakitimu," ucap Hawa tanpa diduga oleh Andini dan Nareswara.Dia yang selama ini begitu angkuh dan tak mau mengalah pada siapa pun. Entah mengapa, hari ini tiba-tiba bertekuk lutut di hadapan Ranti bahkan meminta maaf seperti sekarang. "Wa, apa yang kamu lakukan?" tanya Ranti. Kedua tangannya memegang tubuh nyonya Zafir. "Berdiri, Wa. Kamu nggak boleh melakukan hal begini. Ini tempat umum. Jangan sampai memalukan nama baik keluarga besar Zafir. Jika ada yang mengenalmu gimana nantinya?""Aku ngg
Happy Reading*****"Ran, tolong jelaskan," pinta Nareswara. Lelaki itu masih memeluk sang istri walau tatapannya mengarah pada sang mantan. "Putranya Anggita meninggal sesaat setelah dilahirkan. Tim medis sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi nyawa bayi itu nggak tertolong," jelas Ranti."Maafkan Mami, Pi," ucap Hawa sambil terisak. Perempuan itu mengurai pelukannya dan menatap sang suami yang sedang memejamkan mata. "Mungkin ini balasan dari perbuatan jahat Mami pada Ranti.""Wa, jangan katakan itu lagi. Aku nggak pernah bermaksud untuk membalasmu," sahut Ranti disertai gelengan kepala. "Kenapa Mami bisa ngambil kesimpulan seperti itu? Semua takdir ini sudah digariskan jauh sebelum kelahiran kita. Jadi, nggak ada yang perlu di sesali," kata Nareswara berusaha membesarkan hati istrinya."Betul, Wa. Lupakan kejadian itu. Aku jug nggak ingat sudah mengutukmu seperti itu. Maafkan aku." Penuh ketulusan, Ranti menyodorkan tangannya untuk meminta maaf."Kamu nggak salah, Ran. Aku yan
Happy Reading*****"Hati-hati, Mbak," teriak Nareswara ketika Andini tak lagi mendengarkan perkataannya. "Semoga nggak terjadi apa-apa sama Rasya," ucap Ranti. Dia masih memeluk Hawa yang terisak."Semua ini salahku. Harusnya, aku mengatakan sejak dulu. Rasya pasti sangat terluka dengan semua kenyataan ini," kata Hawa."Sebuah keputusan akan selalu mendatangkan resiko. Kita harus siap menghadapi semuanya," sahut Nareswara. Kalau boleh jujur, saat ini hatinya tengah hancur melihat penderitaan anak-anaknya. Anggita masih berjuang di ruang UGD untuk melahirkan penerus keluarga. Kini, Nareswara harus mendengar kabar buruk tentang si sulung. Walaupun tak tahu apa yang terjadi, tetapi melihat gelagat Andini yang begitu panik. Pasti sesuatu telah terjadi pada Rasya.Melajukan kendaraan dengan kecepatan penuh, Andini tak lagi memikirkan keselamatannya, dia bahkan lupa untuk menjemput sang buah hati hingga salah satu guru menginfokannya. Di tengah kepanikannya, Andini terpaksa meminta tol