Happy Reading*****Bisma tertawa keras. "Makanya, jangan berdebat terus. Kalau Mama sama Papa terus kayak gini. Kapan mau berangkat ke Watu Dodol?""Adik sudah siap?" tanya Rasya memutus perdebatan dengan sang pujaan."Sudah." Memutar tubuhnya di hadapan Rasya, Bisma menjawab dengan senyuman. "Papa tuh yang belum siap. Adik sama Mama tinggal nunggu Papa ganti baju.""Papa nggak usah ganti. Gini saja, nanti sampai pantai baru ganti.""Ribet," sahut Andini sewot. "Mana kunci mobilmu.""Untuk apa?" Rasya mengerutkan kening."Ngambil baju. Kamu ganti di kamar Adik saja. Kalau di toilet umum, takutnya kotor." Rasya mengeluarkan kunci dari saku baju kokonya. Lalu, menyerahkan pada Andini. Dalam hati, dia sempat berkata bahwa perhatian Andini tidak pernah berkurang sama sekali kepadanya. Menunggu beberapa detik, Andini membawa tas ransel. "Bajumu pasti ada di dalam sini. Aku sengaja membawa semuanya.""Iya nggak masalah." Rasya berdiri. Diikuti Bisma dia masuk rumah. Beberapa menit kemud
Happy Reading*****"Kenapa nggak boleh dibuang? Aku nggak mau kamu salah paham lagi kayak kemarin. Tiba-tiba pergi tanpa ngasih penjelasan." Andini memutar bola mata, malas.Susah payah dia meneguhkan hati supaya Rasya bisa kembali mempercayai. Namun, semua berbalik saat ada kado di meja teras rumah Andini."Bawa masuk dulu," pinta Rasya, "aku tidurkan Bisma di kamar. Setelahnya, kita bicara, ya.""Nggak jelas banget sih, Bi," sahut Andini. Akan tetapi, dia tetap menuruti permintaan sang kekasih.Ketika Rasya menidurkan Bisma di kamar, Andini sedang berada di dapur. Bertemu dengan si Mbak yang tengah menyiapkan makan siang, Andini pun bertanya mengenai kotak kado di terasnya."Saya nggak tahu dari siapa, Mbak. Waktu saya tanya, katanya Mbak sudah pasti tahu pengirimnya," jelas si pembantu.Kening Andini berkerut. "Siapa, ya, Mbak? Nggak ada nama pengirimnya.""Mungkin salah satu penggemarnya Mbak." Si Mbak yang sudah lama bekerja membersihkan dan membantu tugas rumah tangga itu meng
Happy Reading*****Andini melepas genggaman tangan Rasya. Demikian juga Bisma, si kecil mundur satu langkah dan melirik sang Mama. Keduanya memilih menjaga jarak dengan sang calon pemimpin keluarga.Sadar jika dua orang yang disayangi sedang tidak baik-baik saja. Rasya mengayunkan tangan kanannya, menampar pipi perempuan yang berkata sembarangan tadi."Rasya!" bentak perempuan yang tak lain adalah Kamelia. "Demi perempuan nggak jelas ini, kamu menentang keinginan Tante Hawa."Sekali lagi, Rasya menampar Kamelia. Kali ini, lebih keras dari sebelumnya. Perempuan berpakaian seksi itu menatap nyalang penuh amarah."Sekali lagi kamu mengatakan hal buruk tentang Andini. Akan kubuat wajahmu buruk," ancam Rasya."Keterlaluan, aku nggak akan diam," ancam Kamelia. Menghentakkan kaki, dia meninggalkan Rasya."Pa," panggil Bisma. Tangannya menarik ujung kemeja Rasya. Matanya memancarkan ketakutan yang besar."Nggak usah takut. Cuma orang gila yang nggak tahu diri. Papa akan selalu menjaga kalian
Happy Reading*****Perempuan bernama Anggita itu menatap Rasya dan Davit bergantian. Lalu, kembali tertawa keras. "Mbak Andini salah paham lagi, deh.""Makanya, Dik. Nggak usah ambigu kalau kenalan," jawab Rasya. Dia meraih pergelangan sang kekasih. "Kamu salah paham, Nda. Maksud Anggita, bukan kesayangan seperti dua orang dewasa yang saling mencintai.""Lalu, kesayangan seperti apa?" tanya Andini sedikit keras. Emosinya benar-benar terpancing."Kesayangan sebagai adik kakak," sahut Davit."Anggita itu, satu-satunya adik yang aku miliki. Kamu lupa, Nda?" tambah Rasya.Andini merapatkan bibir disertai mata terpejam sebentar, lalu mengembuskan napas panjang ketika semua pikirannya begitu kekanakan."Aku kan nggak pernah ketemu sama dia, Bi," elak Andini."Assalamualaikum, Tante. Kenalkan, aku Bisma." Si kecil mengambil inisiatif, menjulurkan tangan supaya bisa salaman dengan Anggita."Lucu banget, keponakan Tante." Anggita menyambut uluran tangan Bisma. Tanpa diduga, bocah kecil itu la
Happy Reading*****Kamelia berjalan lebih cepat dari Andini dan Rasya. Setelah sampai di hadapan pasangan tersebut, perempuan itu dengan cepat memisahkan tautan jemari keduanya. "Apakah seorang perempuan bersuami pantas untuk bergandengan tangan seperti ini dengan lelaki lain?" ucap Kamelia memprovokasi Andini supaya dibenci para tamu undangan.Perempuan berpakaian seksi itu menghalau pegangan tangan kedua. Namun, tidak berhasil karena Rasya mencengkeram kuat pergelangan sang pujaan."Siapa kamu berani berkata demikian? Apa aku harus membuka semua aibmu di depan semua orang?" ancam Rasya. Matanya tajam menatap Kamelia dan Hawa secara bergantian. "Dengar!" pinta Rasya menatap semua tamu yang ada di sana. Sudah tak mungkin baginya untuk tetap diam saat harga diri sang pujaan diinjak-injak seperti sekarang."Perempuan yang sedang bersama saya ini, memang berstatus istri seorang pengusaha bernama Raditya. Tapi, lelaki itu sudah menghilang dan dinyatakan meninggal dua tahun lalu. Andi
Happy Reading*****Andini memegang lengan Rasya dengan gemetar. Selama berhubungan dengan lelaki itu, tak sekalipun Nareswara pernah ikut campur bahkan dia belum pernah bertemu sama sekali."Bi, gimana ini?" Wajah yang memucat dengan berbagai pikiran yang muncul. Andini menatap penuh kekhawatiran pada sang pujaan."Tenang saja, Papi itu orangnya nggak menakutkan seperti yang kamu bayangkan." Menjulurkan tangan supaya sang pujaan segera menemui Nareswara."Papi itu penyayang, Mbak. Nggak usah khawatir, lebih menakutkan Mami, kok," tambah Anggita."Adik, nggak boleh gitu sama Mami." Walau nada suaranya memberi peringatan pada si bungsu, tetapi bibir Rasya tertarik ke atas."Hmm. Mas tertawa pasti membenarkan ucapanku tadi." Anggita pun tersenyum. Pratiwi juga ikut tersenyum gara-gara dua saudara itu. "Sudah-sudah. Ayo kita ketemu Papi. Nanti, baru lanjut." Sebelum menggerakkan kakinya, Rasya melirik Pratiwi. "Tolong, temani jagoanku kalau dia sudah selesai mainnya.""Siap, Bos." Prati
Happy Reading*****Nareswara mendelik, menatap sng istri yang seperti kesurupan roh jahat. Dia mengenal Hawa adalah wanita yang lemah lembut. Oleh karena itulah, dulu Nareswara menyetujui perjodohan dengannya walau sebagian hatinya masih terisi nama perempuan lain."Kenapa kamu jadi pemberontak?" ucap Nareswara. Amarahnya mulai terpancing.Andini mengusap pundak Rasya supaya tidak menyela percakapan orang tuanya."Papi akan menyesal jika merestui hubungan mereka berdua." Menghentakkan kakinya, Hawa keluar lebih dulu dari ruang kerja sang suami."Mas, menyetujui syarat yang Papi katakan tadi. Mulai saat ini juga, Mas, bakalan kerja keras untuk mendapatkan omzet yang Papi minta." Rasya pun berniat melanjutkan langkahnya."Papi tunggu kabar baiknya."*****Sepeninggal putranya, Nareswara memijat pelipis, kepalanya terasa berdenyut nyeri. "Sebaiknya, aku keluar. Mencari udara segar. Lagian, pesta ini sudah di-handle Hawa."Berjalan ke halaman samping, di mana banyak terdapat mainan anak-
Happy Reading*****"Apa sih, Bi. Kenapa harus marah-marah? Dia itu mamimu, lho," protes Andini. Sedikit kecewa karena Rasya berkata kasar."Ma, dengarkan Papa. Mungkin, Papa lebih tahu sifat Eyang. Makanya, melarang Mama bertemu berduaan dengannya." Bisma menimpali perkataan sang papa. Entahlah, di hatinya juga ada rasa takut. Tatapan Hawa kemarin malam jelas-jelas menunjukkan kebencian. "Adik nggak usah ikut-ikut. Lagian ini urusan Mama sama maminya Papa." Sorot mata tajam dengan kalimat tak terbantahkan. Andini jelas tidak suka dengan sikap putranya tadi."Apa yang dikatakan Bisma benar. Kalau kamu mau ketemu Mami, aku harus ikut. Titik." Rasya berdiri. Keinginannya untuk sarapan pagi dengan keluarga kecilnya, mendadak hilang. Apalagi, Adipati datang membawa kabar jika Mahesa sudah berada di kantornya."Tapi, Bi," ucap Andini, enggan menuruti permintaan sang kekasih. "Nggak ada tapi, Nda. Belajar nurut apa kataku. Sebentar lagi, kita akan menikah." Rasya berkata dengan serius. "