Mayang dan Eric, dua orang yang saling mencintai. Susah senang mereka lalui dan saling menguatkan. "Aku yakin semua pasti indah pada waktunya." Eric menguatkan Mayang lagi dan lagi. "Sampai kapan Eric?" tanpa senyum tanpa tangis, bukan nyawa, hati pun bisa mati kalau begini. Persahabatan sangat diuji dengan kata CINTA. Saat batu sandungan lagi dan lagi ikut mengikis kisah mereka, apakah mereka tetap mampu bertahan. Banyu. Malaikat pelindung Mayang hanya bisa melihat pemandangan yang mengusik ketenangannya. Siapa dia? Bahkan menyentuh hati Mayang saja tidak bisa. Kalau cinta, harta, dan nyawa bisa dipilih semua, tanpa menyakiti salah satunya. Siapa yang akan menang? Tanya hatimu?
Lihat lebih banyakMayang POVās
"Mayang!!! Eric berantem di depan kelas 11A!" oh aku sangat bosan dengan kalimat itu. Hampir setiap minggu aku mendengarnya, apa Eric tidak bosan melakukannya lagi dan lagi.
Aku segera berlari dan menyibak kerumunan semut berseragam putih abu-abu itu dan menemukan Eric sedang menunggangi siswa yang aku tidak kenal itu siapa. Sekolahku cukup favorit jadi banyak murid di sini, jangan salahkan kalau aku tidak mengenal mereka semua. āHentikan Eric, kumohon?!!" teriakku sambil mencengkeram lengannya. Eric menatapku dengan amarah yang tergambar jelas di wajahnya, dia menghempaskan tubuh siswa itu ke atas paving taman kelas 11A dan pergi meninggalkan semua siswa dengan penuh ribuan tanya.
"Kau tidak apa-apa?" tanyaku pada siswa itu. Dia hanya menggeleng dan pergi.
Eric adalah temanku, sejak SMP kelas 8. Dia siswa pindahan dari Surabaya, ayahnya seorang jendral dan sering berpindah tugas. Ini sudah ke tujuh kali perpindahannya semenjak dia bisa menghitung angka kata Eric. Ibunya seorang ibu rumah tangga, masakannya selalu enak dan sangat ramah. Punya kakak perempuan yang sekarang menjadi seorang dokter kandungan di RST Malang. Ya aku tinggal di Malang, kota yang asri, damai, dan malang seperti nasibku.
Tidak seperti Eric, bapak dan ibuku memang selalu menyayangiku tapi aku tahu ada yang salah di antara mereka. Pertengkaran, banting piring, umpatan, makian, bahkan main tangan sudah jadi pemandangan hampir setiap malam. Siapa lagi yang tahu kisahku selain Eric. Dia adalah separuh nyawaku.
~~~
Jam pelajaran sudah selesai waktunya pulang, entah ke mana Eric. Setelah kejadian tadi dia absen.
Aku berjalan agak gontai menuju ke halte untuk mencari angkot yang melewati depan rumahku, sedikit lapar tapi harus kutahan karena uang sakuku hanya pas untuk ongkos angkot saja.
TIN..TIN..
Suara klakson motor truimph mengalihkan pandanganku, dengan wajahnya yang masih masam tanpa berkata apa pun, aku seperti tahu dari tatapan matanya yang tajam. Tanpa banyak komentar aku segera naik dan kami pun melaju membelah kota Malang yang sedang gerimis sore ini.
"Kita mau ke mana?" tanyaku. Tapi Eric tetap diam saja, dia memang begitu saat marah.
Sampai di Alun-alun Batu, Eric memarkirkan motornya dan berjalan menuju kolam dan memainkan airnya.
Aku bosan dengan keheningan ini padahal suasana di sini cukup ramai. "Kita gak pulang saja Eric? Masih pake seragam ini." aku mencoba membuka obrolan, siapa tahu dia jadi bisa ngomong lagi kalau aku tanya.
"Bapak kamu jarang pulang ya?" tanyanya.
"Kok tahu?" jawabku dengan nada yang sangat imut bila didengarkan sambil merem.
PLETAKKK
"Au...sakit Eric." sungguh jahat, dia bisa menjitak gadis semanis aku.
"Aku nanya serius." jawabnya ketus.
"Ya mana kutahu, aku pikir kamu mau gombalin aku," sanggahku sambil mengusap pucuk kepalaku yang masih terasa agak nyeri, "Iya, kenapa? Kamu kangen?" tambahku.
"Ke mana?" tanyanya.
"Gak tahu aku gak nanya." jawabku cuek.
"Ibu kamu tahu ke mana?" tanyanya lagi.
"Gak tahu deh, aku juga gak nanya ke ibu.ā
"Kamu juga gak denger apa gitukan?"
"Apaan sih, kamu tahu bapakku di mana? Udah deh palingan besok juga pulang, aku laper aku pengen pulang trus makan Eric." jawabku ketus.
Eric tidak membalasku, dia malah menyeretku menyeberang dan mengajakku masuk ke PKL depan pasar. Kami memesan bakso, aku pun melahapnya tanpa menghiraukan ada apa dengan Eric karena kulihat dia tidak punya selera makan sama sekali. Mengisi perutku lebih baik dari pada harus mengurusi amarah Eric sekarang.
ERIC POV's
Pagi tadi saat aku berjalan ke arah kelasku aku mendengar dua siswa sedang membicarakan hal yang mengganggu pendengaranku.
āBeneran kamu gak salah lihat?" tanya siswa yang sepertinya kelas 12 C ke siswa kelas 11 A. Aku tahu karena ada inisial kelas di seragam kami.
"Iya beneran Kak, aku minggu kemaren maen ke rumah Yusuf, kan Yusuf rumahnya deket rumah Mayang, aku lihat bapak tetanggaku itu. Aku tanyain ke Yusuf itu memang bapak ya Mayang." jelasnya panjang lebar.
"Bagus ini berita besar, nanti aku kabarin deh bos Marco." Marco itu cowok yang pernah nembak Mayang tapi ditolak, karena Mayang gak ada waktu mikirin begituan, aku tahu itu. "Biar tahu rasa dia kalau sampai berita ini menyebar, biar gak sombong lagi." tambahnya.
Saat siswa songong itu beranjak aku segera menarik kerahnya dan menonjok mulutnya yang kurang asupan itu.
Dia menatapku sinis, "Meski pun kamu lindungi sampai mati, bangkai akan tetap mengeluarkan bau yang sangat tajam. Apa kamu takut kalau dunia tahu bahwa bapaknya kawin lagi dan sudah memiliki anak, HAH?!!" tanya siswa itu dengan seringaian yang memuakan.
Aku sudah tidak bisa menahan amarahku lagi, aku terus memukulnya bertubi-tubi sampai akhirnya Mayang datang. Sungguh aku tidak ingin ada yang menyakiti Mayangku, aku tidak rela kalau air matanya sampai menetes karena kabar receh seperti ini.
Jangankan untuk mengikuti pelajaran hari ini, untuk bertemu dengan Mayang saja aku sangat malas. Duduk di teras atas lantai dua ini lebih baik dari pada ikut pelajaran dan menambah otakku panas. Untung saja tadi aku masih membawa tas sekolahku di punggungku, jadi aku bisa mendengarkan lagu dari ponselku.
Di bawah sana aku melihat Marco dengan anak yang baru saja aku tonjok tadi, entahlah apa yang mereka bicarakan. Aku akan menghabisi mereka jika tetap menyakiti Mayangku, aku janji pada diriku sendiri.
~
Aku tertidur di tempat yang nyaman ini. Angin sepoi yang berhembus mampu membawa kedamaian di dalam hati. Setelah siswa di bawah sana sudah banyak berkurang, aku pun turun dan memutuskan untuk pulang.
Aku melihat Mayangku mengantre di halte dekat sekolah, gadis itu sangat manis. Dari kejauhan saja mampu menggodaku. Aku putuskan untuk mendekatinya, dan membawanya di jok belakang motor kesayanganku. Itu lebih baik.
Arum sudah berumur tiga tahun sekarang. Tapi baik Banyu maupun Mayang masih saja tetap menawan.Banyu dengan tubuhnya yang tetap seksi dan menggoda, serta Mayang yang lebih berisi namun semakin membuatnya terlihat lebih segar sekarang.“Ayo, Sayang ... habiskan makananmu ... .” Mayang terus mengejar Arum dengan membawa sendok di tangan kanannya dan piring di tangan kiri yang berisi nasi yang tinggal sedikit dengan lauk sop brokoli plus bakso itu, memang Mayang masih menyuapi kesayangannya sekarang.“Kejal, Ma. Kejal telus.” Arum masih saja berlari sambil tertawa sampai ke dalam ruang kerja papanya, Banyu, dan mengagetkan Banyu yang masih fokus dengan pekerjaannya.Banyu segera meninggalkan meja kerjanya dan menunduk karena Arum bersembunyi di bawah mejanya sambil mengacungkan jari telunjuknya dan ditempelkan di depan bibirnya yang mengerucut. “Kenapa, Gadis Manis?”
“Selamat pagi, Nona Mayang. Senang melihatmu setelah sekian lama berkelana di Bali.”Deg.“Masih pagi.” Banyu memperingatkan karena tidak ingin mendengar perdebatan saat sedang sarapan seperti saat ini.“Hey ... Siska.” sapa Mayang, meski sedikit canggung karena merasa Siska mengetahui tentangnya yang kabur bersama Eric.Siska tidak menjawab sapaan Mayang. Dia jengkel karena merasa Mayang telah mempermainkan bosnya. “Barang yang datang sudah aku kirim semalam. Tinggal satu paket lagi, milik MK, Ngunut.” Siska meraih roti gandum di atas meja dan memberinya selai stroberi lalu melahapnya.“Bagus. Aku akan mengambil uangnya setelah ini, dan saat aku kembali kamu kirimkan.” Banyu mempercepat sarapannya dan segera bersiap berangkat sekarang.Mayang yang merasa obrolan Banyu dan Siska ambigu tidak berani b
Eric menghentikan kegiatannya saat melihat wanita yang dicintainya malah menangis tersedu sekarang. Diraihnya tubuh bergetar itu dan membawanya ke dalam pelukannya. “Hey ... maafkan aku, harusnya aku mengajakmu menikah lebih dulu, bukan malah seperti ini. Maafkan aku, May.” dielusnya punggung bergetar itu dan sesekali mencium puncak kepalanya.Mayang hanya diam tidak ingin menjawab apa pun sekarang. Bahkan mendengar sebuah pernikahan saja, seakan menampar dirinya sendiri, betapa telah begitu hina dirinya saat ini.Tidak ingin keadaan ini terus berlanjut, Mayang mengurai pelukan itu, menyeka air matanya, dan menatap Eric setelahnya, “Aku ingin bertanya sesuatu kepadamu, tapi aku ingin kamu menjawab semuanya dengan jujur.”Eric mengangguk, “Ya. Aku akan menjawabnya dengan jujur.” perasaan Eric menjadi tidak nyaman, sepertinya Mayang akan menanyainya sebuah kebenaran yang telah lama disem
“Terima kasih, Pak, Bu.”Tak ada lagi yang terdengar setelah itu, selain isak tangis dari seorang ibu yang sedang meratapi putri tunggalnya saja.“Apa salah anakku? Kenapa kamu tega melakukan semua ini terhadap anakku?” meski seseorang tetap menguatkan dan menyuruhnya untuk bersabar, tetap saja, dia sedang membutuhkan sebuah penjelasan sekarang.“Bapak ... tidak ... tahu ... kenapa ... kamu ... melakukan ... ini, bahkan ... saat ... orang ... suruhanmu ... mengajak ... bapak ... pergi ... waktu ... itu, bapak ... tetap ... mendukungmu, meski ... itu ... sangat ... tidak ... benar.” tidak ingin terpancing emosi, bapak Mayang hanya bisa menarik napasnya berkali-kali agar pikirannya tetap tenang.“Saya hanya ingin Mayang lebih mengenal hatinya saja, saya tidak ingin Mayang menerima saya karena terpaksa saja, saya ingin bersama Mayang jika memang dia benar-benar
“Hahahahahaha.” Eric terbahak mendengar ucapan Banyu yang baru saja terlontar dari mulutnya itu, “Bagaimana jika Mayang mendengar ini, pasti dia akan menyukainya.”“Hahahahahaha.” berganti Banyu yang terbahak sekarang, “Lakukan saja sesukamu.”“Bos?” Siska menoleh ke Banyu, dan Banyu mengangkat tangannya, mengisyaratkan agar Siska diam dan tidak ikut campur sekarang.“Ya ... aku akan melakukannya setelah bertemu dengannya nanti.” Eric sangat bahagia mengetahui kenyataan yang baru saja didapatnya.“Duduklah, aku yakin bukan hanya itu tujuanmu, sampai kau rela datang ke tempat yang sejauh ini.” Banyu mengambil gelasnya lagi dan meminum isinya.“Aku akan membawa Mayang pergi dan menikahinya, ayahku sudah meninggal dan tidak ada lagi alasan untuknya tidak menerimaku.” Eric mengatakannya de
Mayang baru saja menyelesaikan sarapannya dengan Banyu di kamarnya. Untung saja tadi Mayang mengambil nasi goreng cukup banyak, jadi perutnya yang keroncongan itu bisa terisi dengan cukup meski makan sepiring berdua bersama Banyu.Tok. Tok. Tok.Mayang segera menaruh piring kosong yang dipegangnya di atas nakas, dan segera membuka pintu kamarnya setelah mendengar ketukan di pintu kamar itu, “Ya?”“Nduk, ibu mau pulang sekarang.” kata ibu Mayang dengan wajah yang cukup panik.“Kenapa, Bu ... kok buru-buru?” Mayang penasaran karena ibunya sangat panik saat ini.“Nak Eric, Nduk. Nak Eric.”Deg.Rasanya seperti tersambar petir, meski belum tahu apa yang akan dibicarakan ibunya, tubuh Mayang sudah bergetar sekarang, “Kenapa Bu sama Eric?”Ibu Mayang hanya menangis
“Papa merusak suasana.” Sekar menyusul mamanya dan meninggalkan papanya di tengah lautan manusia yang sedang berjoget sekarang.Mayang yang tidak sengaja melihat kejadian yang baru saja, segera mendekati papa Banyu yang sekarang sudah resmi menjadi papanya juga, “Pa?”Papa menoleh dan tersenyum ke Mayang, “Papa banyak salah sama mama, jadi wajar kalau mama gak mau ketemu sama papa.”“Gak papa, Pa. Mama masih marah, sama Mayang aja dulu. Sekar beneran kurang enam bulan, Pa ... kuliahnya?” Mayang mencoba mengalihkan pembicaraan.Papa mengangguk, “Memang dia mau kuliah di sana sambil merayu papa agar pulang, tapi bukannya papa gak mau, tapi papa gak bisa.”“Tapi Mayang gak lihat ada anak kecil di sana?” Mayang menanyakan tentang jika papanya itu sudah memiliki anak dari wanita lain yang merawatnya di Malay
Mayang memeluk tubuh Banyu erat. Meski dia ingin segera masuk ke dalam sana, tapi dirinya pun takut setelah melihat genangan air yang menyerupai rawa di tengah rumah besar itu. Rumput yang memenuhi bibir kolam itu pun menambah kesan seram di pikiran Mayang.Banyu berjalan perlahan terus semakin dalam sambil menajamkan pendengarannya. Dia tidak ingin membahayakan gadis manisnya degan mendatangi tempat ini sendirian, apa lagi Banyu tidak mengenal daerah ini. Tapi dirinya juga tidak mungkin meninggalkan Mayang di rumah karena akan membuat ibunya semakin kawatir nanti. “Jangan jauh dariku.” pelan Banyu.Mayang mengangguk, melangkah perlahan seperti Banyu juga dan sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri.Hampir menghabiskan satu putaran penuh dan bapak Mayang belum kelihatan. Pintu kayu yang hampir reot juga sudah terbuka semua, hanya menyisakan empat pintu saja. Banyu mendekat ke pintu selanjutnya dan membuka
Sore ini Mayang sudah kembali ke rumahnya. Tapi Banyu tidak bisa menginap karena ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.Waktu luangnya yang cukup membuat Mayang ingin berjalan-jalan untuk melepas penat sore ini. Mungkin sedikit keluar mencari martabak manis bisa menyenangkan hatinya.Perlahan Mayang menyusuri jalan di kompleks perumahannya, dengan jaket parasit berwarna hijau lumut membuat Mayang tidak kedinginan meski langit sudah menggelap sekarang.Tin. Tin.Mayang menoleh, melihat senyuman yang lama tidak ditemukannya, dari pemilik yang duduk di depan kemudi mobil berwarna citrus mica metalik.“Masuklah.” teriak seseorang dari dalam mobil itu.“Aka mau nyari martabak di depan.” tolak Mayang halus.“Iya, aku juga mau ke sana.” jawabnya sambil membukakan pintu mobil itu dari dalam.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen