Author POV’s
Malang di bulan Desember. Gerimis, tiupan angin yang lumayan menusuk kulit, lengkap sudah.
Ditambah makian yang saling bersahutan satu sama lain, dengan nada rock n' roll yang memekakkan telinga. Mayang tidak tahu harus melakukan apa, ikut campur pun rasanya percuma meskipun umur sudah 16 tahun tetap saja hanya anak kecil di mata orang tuanya. Menangis, hanya itu yang dia bisa.
Saat suasana sudah sepi Mayang keluar dari kamar kecilnya, dan melihat ibunya duduk di lantai ruang makan yang tidak bisa disebut ruang makan lagi, karena lebih mirip dengan tempat sampah yang penuh dengan pecahan beling dari gelas maupun piring di rumah Mayang sendiri.
"Ibu." Mayang mendekati ibunya yang sudah seperti mayat hidup itu. Tidak ada air mata, senyum, atau sedih, hanya pandangan kosong dengan rambut yang awut-awutan dan sudut bibir yang mengeluarkan darah.
Dipeluknya tubuh yang rapuh itu dengan sangat erat. "Aku di sini, Bu. Akan tetap di sini." hanya itu kalimat yang bisa dikeluarkan oleh Mayang.
Setelah itu hanya ada tangisan memilukan di antara dua wanita yang sama-sama tersakiti dan merasa terbuang.
"Ingat Mayang! Jadilah sukses, belilah mulut lelaki yang sudah membuang kita!!" ucap ibu Mayang setelah lama berdiam dalam kesedihan.
~
Sekolah seperti biasa hanya itu yang bisa dilakukan semua murid hari ini. Meski pun awan mendung menggantung di langit dan banyak genangan air sisa hujan semalam.
Jam pulang sekolah sudah tiba menyisakan beberapa siswa yang masih mengikuti ekskul. Seperti Mayang yang masih berlatih entah apa. Di ruangan kotak dengan pencahayaan sedikit remang, dia memukuli samsak sampai beberapa jarinya memerah dan sedikit memar.
“Cantik, pulang bareng aku yuk." Ajak Marco sambil mendekati Mayang.
"Dapat apa?" tantang Mayang.
“Semuanya. Bahkan bulan kemarin aku menjanjikanmu dunia." jawab Marco dengan senyuman manis yang tercetak di wajahnya.
"Aku lapar dan malas kamu bonceng." jawab Mayang dengan nafas yang sedikit tersengal masih dengan memukul samsak tapi dengan sisa tenaga yang hampir habis.
"Aku bisa membelikanmu rumah makan dan mobil kalau mau. Papaku cukup kaya untuk itu." jawab Marco dengan nada yang menyombongkan kemampuan finansialnya.
Mayang berhenti dari kegiatannya, "Tunggu aku di tempat parkir. Tidak lebih dari tiga puluh menit." Mayang pun berlalu dan meninggalkan Marco dengan senyuman yang sangat mengembang.
Tidak ada lagi yang penting sekarang, apalah arti hati yang dia jaga jika masih tetap disakiti oleh seseorang yang menurut kita sangat berarti.
~
“Mau makan di mana?” tanya Marco setelah mereka berada di dalam mobil.
“Aku mau ATM yang ada isinya, dan carikan ibuku pekerjaan kalau kamu mau dekat denganku.” jawab Mayang tanpa menoleh Marco sedikit pun.
“Itu mudah.” jawab Marco, memang bukan hal yang sulit menurut Marco. Tanpa menunggu lama Marco segera merapat ke bank terdekat, tanpa mengajak Mayang.
Mayang yang tidak mau ambil pusing hanya menunggu di dalam mobil dan memainkan ponselnya. Pikirannya sangat kacau sekarang.
Hampir satu jam Marco keluar dari bank itu, masuk ke dalam mobilnya dan menyodorkan sebuah ATM ke Mayang. “Sudah ada isinya, dan kamu bisa menggunakannya segera, PIN-nya tanggal lahir kamu.” kata Marco sambil tersenyum manis.
Mayang menerima ATM itu dan memasukkannya ke saku seragamnya. “Ibuku?” tanyanya.
“Kita urus besok, okey?” kata Marco sambil meraih tangan kanan Mayang dan mengecupnya. Setelah itu dia menjalankan mobilnya menuju rumah makan terdekat karena dia sudah lapar saat ini.
~~~
Hari-hari berlalu sama seperti biasanya, sampai seseorang bermata elang dan memendam emosi yang membuat dadanya pengap. Dengan gigi gemeretak menahan luapan kemarahan yang bisa kapan saja mencuat setiap waktu.
Eric mencengkeram lengan Mayang dengan sangat kuat sampai membuatnya meringis, "Apa yang tidak aku tahu darimu dan juga Marco sialan itu? Kuharap aku salah dengar." ancam Eric.
"Kamu tidak salah dengar. Aku jadian sama Marco." jawab Mayang tanpa emosi apa pun di wajahnya.
Eric melepaskan cengkeramannya, mengacak rambutnya sendiri dan berpaling dari Mayang. Dia bertolak pinggang dan kembali menatap Mayang, "Kenapa? Aku sudah lama mengenalmu dan Marco... .” Eric menggantung kalimatnya dan hanya menggeleng sebagai tanda tidak percaya atas ucapan Mayang.
"Sudahlah Eric, apa pentingnya itu, dengan siapa, dengan apa, dia bisa menjaminku makan setiap hari itu sudah cukup." Mayang membuang muka, dilihatnya keluar jendela dan cuaca cukup cerah meski pun matahari hanya bersinar malu-malu.
“Inikah Mayang yang aku kenal? Kau bisa membicarakannya denganku, siapa aku? Siapa kita?" Eric menekuk satu kakinya dan memegang lutut Mayang. "Ada aku." tambahnya.
“Kita hanya orang asing Eric, dulu kita juga bukan siapa-siapa saat kamu masih di Surabaya." tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela besar di kelasnya di lantai dua.
"Berbagilah denganku. Tinggalkan Marco. Apa yang dia beri aku juga bisa memberimu hal yang sama. Aku tidak bisa bilang apa pun itu artinya, tapi apa kamu tidak bisa membaca dan merasakan sikapku selama ini Mayang?" jelas Eric panjang lebar.
“Kita bersahabat Eric. Hanya sahabat." sanggah Mayang.
"Bagaimana kalau aku meminta lebih?" kata Eric menaikkan sedikit suaranya.
"Aku tidak yakin Eric." kata Mayang.
"Kenapa dengan Marco kamu yakin?" Eric sangat mencoba meredam amarahnya, meski pun itu sangat sulit dia lakukan sekarang.
"Itu hanya status Eric." ada butiran bening yang meluncur di pipi pucat Mayang. Sudah beberapa hari ini Mayang terlihat tidak bergairah meski pun seluruh siswa membicarakannya yang pulang pergi dijemput sopir dan memakai sepatu, tas, dan jaket yang terbilang mewah untuk ukurannya.
“Aku tahu sekarang, kamu tidak mencintai Marco." Mayang hanya bergeming. "Kembalilah, aku tidak suka melihatmu dengan Marco. Aku bisa seperti dia." tambah Eric.
Barulah Mayang berpaling, menatap ke dalam mata elang Eric yang sebenarnya sangat menyejukkan. Mencari dusta yang tersimpan di sana, namun hanya menemukan kesungguhan yang nyata.
Semakin deras air mata itu membasahi pipi dan menyakitkan hati. Eric berdiri dan mendekap Mayangnya. Diusapnya rambut panjang Mayang, karena masih menangis di tempat duduknya.
Tidak ada balasan, tapi anggukan itu sangat melegakan bagi Eric.
~~~
Bukan karena Mayang tetapi karena Marco, siswa dari keluarga kaya dan memiliki wajah yang rupawan. Kabar buruk selalu lebih cepat menyebar.
"Kenapa, Cantik." panggilan sayang Marco untuk Mayang, "Apa aku melakukan kesalahan?" hanya itu yang bisa diucapkan Marco berkali-kali sejak kemarin Mayang mengajaknya mengakhiri hubungan.
"Aku tidak merasa nyaman denganmu Marco, akan kukembalikan semua yang pernah---"
"Tidak Cantik! Itu semua untukmu." potong Marco sambil menempelkan jari telunjuknya di depan bibir merah muda Mayang.
"Terima kasih Marco, aku akan menyimpan namamu di hatiku." Mayang pun berlalu tetapi Marco segera menyambar pergelangan tangannya.
"Kita mulai sekali lagi." ucapnya dengan wajah yang sangat memelas. Tetapi kenapa ada yang mengganggu hati Mayang, ada kepuasan, ada kelegaan, entah perasaan apa ini.
Mayang hanya bisa menatap wajah sedih Marco dan menyeringai, melepas genggaman tangannya lalu mengusapnya pelan dan berlalu menjauh.
Sejak kejadian itu Mayang bukan lagi Mayang yang dulu, dia berbeda. Banyak sudah nama yang terdaftar sebagai mantan pacarnya, bukan kaleng-kaleng bahkan kebanyakan dari keluarga kaya dan cukup terkenal di sekolahnya. Selain pacar juga banyak barang yang didapat dari kegemaran barunya itu. Mayang benar-benar merubah hidupnya saat ini. Dia tidak ingin lagi menjadi Mayang yang dulu.Tanpa sepengetahuan Eric, dia juga sering meminum alkohol berkadar rendah yang bisa dibeli di indom**t, hanya untuk menenangkan kegundahan hatinya. Dia juga menyembunyikan semua hubungan dengan mantan-mantannya dari Eric karena tidak ingin ribut dengan Eric.Sebenarnya Mayang ingin membeli minuman dingin waktu itu, namun Mayang tidak sengaja membaca kaleng minuman yang namanya mampu menarik perhatiannya, dan membuatnya ingin mencobanya. Entahlah, mungkin dua atau tiga kaleng tidak akan berpengaruh terhadap kesehatannya. Mayang hanya ingin ketenangan di dalam hidupnya, melup
Setelah kejadian itu Mayang seperti tidak memiliki semangat hidup. Keluarga berantakan dan sahabat yang telah meninggalkannya. Dua minggu berangkat sekolah tetap pemandangan yang sama yang dilihatnya. Eric dengan semua wanitanya. Mayang tidak tahu kenapa Eric juga menjadi seorang playboy sekarang.Karena malas pergi ke sekolah Mayang membolos, membuat surat palsu yang mengatakan dia sedang sakit. Mayang ingin tidur seharian untuk melupakan semua masalahnya ini.Seharian tidur sangat membosankan, ibu tercintanya masih berjualan di pasar besar dan belum pulang, Mayang sekarang memang benar-benar berbeda. Dia mempunyai tabungan yang isinya lumayan dari hasilnya menipu semua siswa bodoh yang mendekatinya, bahkan ibunya bisa berjualan juga karena kebaikan Marco, pacarnya dulu, yang memberi modal dan mencarikan tempat.Mayang memang bukan gadis yang sangat cantik, hanya senyumnya yang manis dan alis tebalnya yang menarik banyak siswa meny
Mentari bersinar cerah di bulan Maret ini. Burung berciutan terdengar merdu di telinga.Meskipun Mayang yakin ini masih sangat pagi, namun dia merasakan guncangan yang sangat kentara mengganggu tidurnya. Perlahan membuka mata dan menemukan sosok Eric di depannya dengan senyuman seperti biasanya. "Ngapain kesini?" kata Mayang ketus.“Galak bener, sekolah yuk." kata Eric yang terus menggoda Mayang agar segera bangun.“Aku lagi sakit." jawab Mayang malas."Mana ada orang sakit tidur pake tengtop gitu." kata Eric sambil menarik kaos yang dikenakan Mayang."Mendingan Lu urusin tuh cewek-cewek Lu." kata Mayang dan duduk sedikit menjauhi Eric.Meskipun sedikit tersinggung Eric harus tetap bersabar menghadapi Mayang ketika marah seperti sekarang. "Mandi sekarang atau kugendong ke kamar mandi." tegas Eric.Mayang segera berdiri, mengambil handuk dan berlalu ke kamar mandi. M
"Sudah berapa kali ayah bilang, jauhi Mayang." padahal Eric baru masuk rumah, tapi langsung disambut oleh kalimat yang membuatnya marah.“Apa salahnya, Yah?" tantang Eric, dia tidak suka ayahnya terlalu ikut campur masalah pribadinya.“Kamu itu anak seorang jendral, seharusnya kamu tahu mana yang baik dan mana yang tidak pantas kamu lakukan. Lihat kakakmu, sukses membanggakan orang tuanya. Kamu tidak mau seperti itu?" murka ayahnya.“Aku cinta, Yah." kata Eric sambil memelas menatap ayahnya."Mana tahu anak ingusan sepertimu masalah cinta." kata ayahnya meninggikan nada suaranya."Mayang berbeda, Yah." kata Eric meyakinkan ayahnya.“Iya, dia berbeda. Bedanya kamu gak akan bisa makan kalau hidup dengannya." setelah mengatakan itu ayah Eric pergi, meninggalkan Eric yang terdiam tidak tahu harus bagaimana lagi.Memang keluarga Eric tidak terlalu menyukai Mayang, bukan
Eric mendekatkan bibirnya ke telinga Mayang, "Aku yakin itu ciuman pertamamu, rasanya aku baru saja mencium manekin yang memiliki bibir lembut tapi rasanya sangat manis." bisik Eric dan Eric pun segera berlari keluar setelah mengatakan itu."Eriiicccc?!!!" teriak Mayang sambil mengacungkan tinjunya ke arah Eric yang kian menjauh.~~~Setelah kejadian di perpus waktu itu Mayang mulai membuat jarak antara dirinya dan Eric, canggung dan malu, itu yang dirasakan Mayang saat bertemu Eric.Setelah jam kosong yang berhari-hari karena sudah mendekati acara kelulusan, hari ini seluruh murid kelas 12 dikumpulkan di aula untuk membicarakan masalah prom night yang akan diadakan beberapa minggu lagi.Setelah rapat selesai, Mayang segera meninggalkan aula untuk menghindari pertemuannya dengan Eric. Di sinilah sekarang Mayang berada, duduk di taman belakang sekolah yang menghadap ke lapangan voli. Melihat permaina
Lelaki berjaz krem dengan dalaman kaos hitam dan celana jeans biru, seperti orang yang salah kostum saat prom night malam ini, tetapi dia tetap PD keluar dari mobil matic Toyota Yariz berwarna citrus mica metallic yang biasa dibawanya saat dia malas atau tidak memungkinkan mengendarai motornya, seperti saat ini.Eric sedikit berlari ke sisi yang lain dan membukakan pintu untuk seseorang yang berada satu mobil dengannya tadi. Gadis manis yang rambutnya disanggul rapi dengan gaun bernada kemerahan, sangat kontras dengan penampilan Eric yang sedikit berandal.Eric dan Mayang menikmati acara prom night dengan sangat khidmat, mereka berdua menyadari ini adalah malam terakhirnya bersama teman dan juga gurunya. Kedua sejoli itu sangat totalitas selama pesta berlangsung, meski pun bukan king and queen malam itu, mereka sangat bahagia karena masih memiliki kenangan satu lagi untuk mereka simpan.~Setelah acara selesai Mayan
Terdengar suara motor memenuhi halaman rumah Mayang yang tidak terlalu luas. Mayang sedikit berlari membukakan pintu, dilihatnya Eric sedang tersenyum sambil melepas helm catok berwarna silver dan terpampang stiker Slank di sisi kirinya."Kangen banget sampai jemput aku keluar gitu." goda Eric.Mayang yang tidak mendengarkannya segera menarik tangan Eric agar segera masuk ke dalam rumahnya. "Aku mau tanya sama kamu, tapi ini serius banget dan aku mau kamu jawab jujur." tuntut Mayang setelah mereka berdua duduk di kursi ruang tamu Mayang."Apaan sih, May?" tanya Eric penasaran.“Tangan kamu kemaren kenapa diperban?" tanya Mayang."Itu lagi sih May, terkilir. Aku kemaren kan udah bilang gitu." jawab Eric sambil meraih kantong plastik di atas meja, melihat ada bungkusan dan satu botol teh. Eric membuka teh itu dan meminumnya."Kenapa bisa terkilir?" tanya Mayang lagi.
[Kamu di mana May?] tanya Eric di seberang sana.“Aku kerja Eric, maaf tidak memberi tahumu dulu" jawab Mayang.Ada hembusan nafas yang terdengar dari telepon yang menyambungkan Mayang dengan seseorang di seberang sana.[Kamu gak bisa kayak gini May!!] bentak Eric."Maaf Eric, maafkan aku." Mayang pun menutup sambungan telepon itu karena sudah tidak sanggup lagi mendengar suara Eric, rasanya sangat sakit sekali.Meskipun sekarang ponselnya berdering beberapa kali, Mayang tidak berniat sedikit pun mengangkatnya. Mayang malah menumpahkan semua air mata yang entah sejak kapan berkumpul di kelopak matanya, mengantre ingin keluar dari tempatnya dan membasahi pipi pucat Mayang.~Eric yang merasa panggilannya sia-sia berteriak seperti orang kesetanan di dalam kamarnya, dia melempar semua yang ditemukannya. Menjambak rambutnya dan memukuli dadanya sendiri. Belum puas dia p
Arum sudah berumur tiga tahun sekarang. Tapi baik Banyu maupun Mayang masih saja tetap menawan.Banyu dengan tubuhnya yang tetap seksi dan menggoda, serta Mayang yang lebih berisi namun semakin membuatnya terlihat lebih segar sekarang.“Ayo, Sayang ... habiskan makananmu ... .” Mayang terus mengejar Arum dengan membawa sendok di tangan kanannya dan piring di tangan kiri yang berisi nasi yang tinggal sedikit dengan lauk sop brokoli plus bakso itu, memang Mayang masih menyuapi kesayangannya sekarang.“Kejal, Ma. Kejal telus.” Arum masih saja berlari sambil tertawa sampai ke dalam ruang kerja papanya, Banyu, dan mengagetkan Banyu yang masih fokus dengan pekerjaannya.Banyu segera meninggalkan meja kerjanya dan menunduk karena Arum bersembunyi di bawah mejanya sambil mengacungkan jari telunjuknya dan ditempelkan di depan bibirnya yang mengerucut. “Kenapa, Gadis Manis?”
“Selamat pagi, Nona Mayang. Senang melihatmu setelah sekian lama berkelana di Bali.”Deg.“Masih pagi.” Banyu memperingatkan karena tidak ingin mendengar perdebatan saat sedang sarapan seperti saat ini.“Hey ... Siska.” sapa Mayang, meski sedikit canggung karena merasa Siska mengetahui tentangnya yang kabur bersama Eric.Siska tidak menjawab sapaan Mayang. Dia jengkel karena merasa Mayang telah mempermainkan bosnya. “Barang yang datang sudah aku kirim semalam. Tinggal satu paket lagi, milik MK, Ngunut.” Siska meraih roti gandum di atas meja dan memberinya selai stroberi lalu melahapnya.“Bagus. Aku akan mengambil uangnya setelah ini, dan saat aku kembali kamu kirimkan.” Banyu mempercepat sarapannya dan segera bersiap berangkat sekarang.Mayang yang merasa obrolan Banyu dan Siska ambigu tidak berani b
Eric menghentikan kegiatannya saat melihat wanita yang dicintainya malah menangis tersedu sekarang. Diraihnya tubuh bergetar itu dan membawanya ke dalam pelukannya. “Hey ... maafkan aku, harusnya aku mengajakmu menikah lebih dulu, bukan malah seperti ini. Maafkan aku, May.” dielusnya punggung bergetar itu dan sesekali mencium puncak kepalanya.Mayang hanya diam tidak ingin menjawab apa pun sekarang. Bahkan mendengar sebuah pernikahan saja, seakan menampar dirinya sendiri, betapa telah begitu hina dirinya saat ini.Tidak ingin keadaan ini terus berlanjut, Mayang mengurai pelukan itu, menyeka air matanya, dan menatap Eric setelahnya, “Aku ingin bertanya sesuatu kepadamu, tapi aku ingin kamu menjawab semuanya dengan jujur.”Eric mengangguk, “Ya. Aku akan menjawabnya dengan jujur.” perasaan Eric menjadi tidak nyaman, sepertinya Mayang akan menanyainya sebuah kebenaran yang telah lama disem
“Terima kasih, Pak, Bu.”Tak ada lagi yang terdengar setelah itu, selain isak tangis dari seorang ibu yang sedang meratapi putri tunggalnya saja.“Apa salah anakku? Kenapa kamu tega melakukan semua ini terhadap anakku?” meski seseorang tetap menguatkan dan menyuruhnya untuk bersabar, tetap saja, dia sedang membutuhkan sebuah penjelasan sekarang.“Bapak ... tidak ... tahu ... kenapa ... kamu ... melakukan ... ini, bahkan ... saat ... orang ... suruhanmu ... mengajak ... bapak ... pergi ... waktu ... itu, bapak ... tetap ... mendukungmu, meski ... itu ... sangat ... tidak ... benar.” tidak ingin terpancing emosi, bapak Mayang hanya bisa menarik napasnya berkali-kali agar pikirannya tetap tenang.“Saya hanya ingin Mayang lebih mengenal hatinya saja, saya tidak ingin Mayang menerima saya karena terpaksa saja, saya ingin bersama Mayang jika memang dia benar-benar
“Hahahahahaha.” Eric terbahak mendengar ucapan Banyu yang baru saja terlontar dari mulutnya itu, “Bagaimana jika Mayang mendengar ini, pasti dia akan menyukainya.”“Hahahahahaha.” berganti Banyu yang terbahak sekarang, “Lakukan saja sesukamu.”“Bos?” Siska menoleh ke Banyu, dan Banyu mengangkat tangannya, mengisyaratkan agar Siska diam dan tidak ikut campur sekarang.“Ya ... aku akan melakukannya setelah bertemu dengannya nanti.” Eric sangat bahagia mengetahui kenyataan yang baru saja didapatnya.“Duduklah, aku yakin bukan hanya itu tujuanmu, sampai kau rela datang ke tempat yang sejauh ini.” Banyu mengambil gelasnya lagi dan meminum isinya.“Aku akan membawa Mayang pergi dan menikahinya, ayahku sudah meninggal dan tidak ada lagi alasan untuknya tidak menerimaku.” Eric mengatakannya de
Mayang baru saja menyelesaikan sarapannya dengan Banyu di kamarnya. Untung saja tadi Mayang mengambil nasi goreng cukup banyak, jadi perutnya yang keroncongan itu bisa terisi dengan cukup meski makan sepiring berdua bersama Banyu.Tok. Tok. Tok.Mayang segera menaruh piring kosong yang dipegangnya di atas nakas, dan segera membuka pintu kamarnya setelah mendengar ketukan di pintu kamar itu, “Ya?”“Nduk, ibu mau pulang sekarang.” kata ibu Mayang dengan wajah yang cukup panik.“Kenapa, Bu ... kok buru-buru?” Mayang penasaran karena ibunya sangat panik saat ini.“Nak Eric, Nduk. Nak Eric.”Deg.Rasanya seperti tersambar petir, meski belum tahu apa yang akan dibicarakan ibunya, tubuh Mayang sudah bergetar sekarang, “Kenapa Bu sama Eric?”Ibu Mayang hanya menangis
“Papa merusak suasana.” Sekar menyusul mamanya dan meninggalkan papanya di tengah lautan manusia yang sedang berjoget sekarang.Mayang yang tidak sengaja melihat kejadian yang baru saja, segera mendekati papa Banyu yang sekarang sudah resmi menjadi papanya juga, “Pa?”Papa menoleh dan tersenyum ke Mayang, “Papa banyak salah sama mama, jadi wajar kalau mama gak mau ketemu sama papa.”“Gak papa, Pa. Mama masih marah, sama Mayang aja dulu. Sekar beneran kurang enam bulan, Pa ... kuliahnya?” Mayang mencoba mengalihkan pembicaraan.Papa mengangguk, “Memang dia mau kuliah di sana sambil merayu papa agar pulang, tapi bukannya papa gak mau, tapi papa gak bisa.”“Tapi Mayang gak lihat ada anak kecil di sana?” Mayang menanyakan tentang jika papanya itu sudah memiliki anak dari wanita lain yang merawatnya di Malay
Mayang memeluk tubuh Banyu erat. Meski dia ingin segera masuk ke dalam sana, tapi dirinya pun takut setelah melihat genangan air yang menyerupai rawa di tengah rumah besar itu. Rumput yang memenuhi bibir kolam itu pun menambah kesan seram di pikiran Mayang.Banyu berjalan perlahan terus semakin dalam sambil menajamkan pendengarannya. Dia tidak ingin membahayakan gadis manisnya degan mendatangi tempat ini sendirian, apa lagi Banyu tidak mengenal daerah ini. Tapi dirinya juga tidak mungkin meninggalkan Mayang di rumah karena akan membuat ibunya semakin kawatir nanti. “Jangan jauh dariku.” pelan Banyu.Mayang mengangguk, melangkah perlahan seperti Banyu juga dan sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri.Hampir menghabiskan satu putaran penuh dan bapak Mayang belum kelihatan. Pintu kayu yang hampir reot juga sudah terbuka semua, hanya menyisakan empat pintu saja. Banyu mendekat ke pintu selanjutnya dan membuka
Sore ini Mayang sudah kembali ke rumahnya. Tapi Banyu tidak bisa menginap karena ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.Waktu luangnya yang cukup membuat Mayang ingin berjalan-jalan untuk melepas penat sore ini. Mungkin sedikit keluar mencari martabak manis bisa menyenangkan hatinya.Perlahan Mayang menyusuri jalan di kompleks perumahannya, dengan jaket parasit berwarna hijau lumut membuat Mayang tidak kedinginan meski langit sudah menggelap sekarang.Tin. Tin.Mayang menoleh, melihat senyuman yang lama tidak ditemukannya, dari pemilik yang duduk di depan kemudi mobil berwarna citrus mica metalik.“Masuklah.” teriak seseorang dari dalam mobil itu.“Aka mau nyari martabak di depan.” tolak Mayang halus.“Iya, aku juga mau ke sana.” jawabnya sambil membukakan pintu mobil itu dari dalam.