Happy Reading*****"Ehem," ucap Andini, sengaja berdeham supaya kehadirannya diketahui oleh dua orang beda generasi yang sedang duduk santai di tengah lapangan basket. "Kenapa memberikan harapan jika kamu nggak bisa menjawab pertanyaan Bisma tadi?" tanya Andini karena tak kunjung mendapat jawaban dari bibir lelaki yang ternyata masih menghiasi hatinya. "Sejak kapan kamu datang?" Rasya menatap curiga. Walau sedikit terkejut, tetapi dia berusaha menguasai diri dengan cepat."Apa pedulimu?" Raut muka Andini berubah marah. Entah apa yang membuatnya begitu kesal. Rasa itu makin menjadi ketika Rasya malah tersenyum. Tidak mengerti sama sekali isi hatinya. Andini pun mengutuk perbuatan lelaki itu yang tidak peka sama sekali. "Tentu aku peduli karena perkataanmu tadi secara nggak langsung menuduhku. Apa kamu memiliki kebiasaan menguping pembicaraan orang lain?" Lirikan Rasya sungguh sangat menjengkelkan. Apalagi gestur tubuh yang ditunjukkan begitu mencemooh sang mantan. Andini yang tid
Happy Reading*****Bisma terbahak-bahak melihat wajah kedua orang yang disayanginya memerah karena malu. Padahal, Andini sedang marah padanya. Namun, si kecil tidak merasa takut sama sekali. "Dik, nggak boleh ngelakuin hal seperti tadi," peringat Rasya. Dia melihat kepolosan si kecil yang tidak mengetahui jika hal tersebut dilarang. Bibir Bisma maju, lalu memutar bola mata. "Memangnya kenapa nggak boleh? Orang tua teman-temanku juga sering melakukannya. Aku pernah melihat papanya Hanif nyium pipi mamanya pas mau berangkat kerja. Lalu, kenapa Papa nggak boleh melakukan hal sama?"Andini mengembuskan napas. Seketika, kemarahannya mereda. Bukan salah putra semata wayangnya jika sampai melakukan kenakalan seperti tadi. Namun, dia yang tidak memberikan pengertian bahwa hal semacam itu tidak diperbolehkan oleh agama.Menunduk sambil mengusap rambut si kecil. Andini berkata, "Mama sama Papa belum diperbolehkan bahkan dilarang melakukannya.""Masalahnya apa? Kenapa yang lain bisa, tapi Mam
Happy Reading****Lelaki yang mengenakan kemeja abu-abu itu berniat keluar terlebih dahulu, tetapi Andini segera mencegah dengan memegang pergelangan tangannya. "Aku turun dulu. Kamu sama Bisma sebaiknya di sini saja," ucap Rasya seolah dia mengetahui isi pikiran sang pujaan. "Tapi?" Ucapan Andini mendapat respon gelengan kepala. "Aku nggak akan kenapa-kenapa. Mereka nggak bisa menyentuhku. Justru yang aku khawatirkan adalah keadaanmu dan Bisma," sahut Rasya. Mengusap punggung tangan sang pujaan, Rasya menatap Andini, meyakinkan. Tak lupa, lelaki beralis tebal itu memberikan senyuman termanisnya. "Hati-hati. Aku nggak mau kamu sampai terluka oleh mereka. Sepertinya, dua orang itu bukanlah orang baik-baik. Mereka terlihat seperti preman," nasihat Andini."Bener kata Mama, Pa. Mereka preman yang bisa saja mau menculik salah satu dari kita bertiga. Seperti film-film yang pernah aku tonton," tambah Bisma. "Khayalanmu terlalu, Dik," ucap Rasya disertai senyuman. "Adik sama Mama tena
Happy Reading*****Membuka lemari yang biasa digunakan untuk menyimpan berkas-berkas penting, Andini mulai mencari sertifikat rumah yang diminta oleh Rasya tadi. Berkali-kali dia membalik dan membaca satu per satu semua berkas yang ada di sana. Namun, surat yang dicari tak ada sama sekali. Keringat mulai bermunculan di dahi si perempuan. "Kapan dia membawa surat itu? Kenapa aku sama sekali nggak sadar," gumam Andini.Berjalan gontai ke teras di mana Rasya dan dua penagih hutang tadi berada, Andini menatap Rasya sedih."Gimana? Apa surat itu masih kamu simpan?" tanya Rasya pada Andini.Si perempuan menggelengkan kepala. "Aku nggak sadar, kapan Mas Radit membawa sertifikat rumah ini," ucapnya."Bajingan," umpat Rasya, "bawa Bisma masuk. Biar aku yang menghadapi mereka.""Tapi," ucap Andini sedikit keberatan."Jangan membantah, Din. Kumohon, kali ini saja, kamu percaya," pinta Rasya dengan tatapan memohon."Kalian berdua cuma membuang-buang waktu kami. Cepat bayar atau kami akan membaw
Happy Reading****Mengendarai kendaraan roda empat tanpa tujuan, pikiran Rasya dipenuhi dengan Andini. Walau masih banyak pekerjaan di kantor, lelaki itu memilih tidak kembali. Dia berniat menenangkan diri di rumah tepi pantai miliknya. Perkataan Andini benar-benar menyakiti hati lelaki tersebut.Suara deburan ombak di teras rumah membuat hati Rasya sedikit terhibur. Tak lupa, lelaki itu menghubungi salah satu sahabat sekaligus rekan kerjanya yang memiliki rumah tak jauh dari tempat tinggalnya kini.Duduk merenung di teras rumah sambi menikmati suasana dan pemandangan di saat senja hadir, Rasya kembali teringat kata-kata sang pujaan yang begitu menyakitkan."Sudah sejauh ini aku membantunya. Apa masih belum mengerti juga jika aku sangat mencintainya. Kenapa masih terus membela om-om edan itu. Apa cintanya terlalu besar?" "Sialan kamu!!" Rasya berteriak kencang di teras rumah tepi pantainya. Meluapkan segala kekesalan hati. "Apa hebatnya lelaki itu sampai kamu tetap memaafkan bahkan
Happy Reading****Mahesa berdiri, sedikit terkejut dengan tindakan sahabatnya yang terlihat sangat terburu-buru."Jangan gegabah, Sya. Tenanglah, nggak perlu terburu-buru. Ceritakan, ada apa sebenarnya?" pinta Mahesa. Mulai khawatir dengan sikap lelaki di depannya. Terkadang, seseorang itu bisa saja bertindak bodoh karena cinta. Tidak mengejek Rasya karena Mahesa sendiri pernah mengalaminya. Demi orang yang dicintai, dia rela berbuat apa saja bahkan sampai membahayakan nyawanya. Oleh karena itulah, bapak satu anak itu tidak ingin sahabatnya mengalami apa yang pernah terjadi padanya. Walau belum tahu hal apa yang membuat Rasya sedemikian panik.Bukannya menjawab, lelaki itu malah menggerakkan jemarinya di atas layar ponsel. Keningnya berkerut dengan mata menyipit. Mahesa makin curiga melihat semua perubahan sikap Rasya di depannya.Setelah beberapa detik wajah Rasya terlihat tegang, sebuah senyuman muncul menghiasi wajahnya. Seperti mendapat air di tengah padang pasir yang tandus. Ra
Happy Reading*****Tak peduli apa yang dikatakan Hawa selanjutnya, Rasya memutuskan panggilan mereka. Lalu, segera melajukan kendaraan ke arah rumah Andini. Dia harus menyelesaikan konflik sebelumnya dengan perempuan itu. Sebelum sampai di halaman rumah sang kekasih, lelaki itu menyempatkan mampir ke mini market dan toko bunga untuk memberi oleh-oleh pada sang pujaan. Hatinya kembali berbunga-bunga sejak mendapat kiriman foto dari seseorang. Melirik jam tangannya, lelaki itu bergumam, "Masih ada waktu sebelum dia tidur. Jika kebiasaannya nggak berubah, dia belum tidur jam segini. Semoga nggak telat.""Ada yang bisa dibantu, Pak?" tanya salah satu pelayan toko bunga. Senyumnya merekah ketika menyambut kedatangan Rasya."Beri saya beberapa tangkai mawar merah. Lalu, rangkai menjadi buket yang indah," pinta Rasya pada pelayan toko bunga. Di mobil, dia sudah menyiapkan sekotak cokelat favorit mamanya Bisma. Semua kebiasaan serta makanan kesukaan Andini, masih terekam indah pada memori
Happy Reading***Tanpa menoleh ke belakang, Rasya tersenyum mendengar umpatan sang pujaan. Kali ini, dia pulang dengan senyum penuh kemenangan. Yakin jika Andini akan ikut bersamanya besok. Menghubungi asisten pribadinya, Rasya menuliskan pesan supaya Adipati melaksanakan perintahnya. "Besok, kirimkan gamis pesta terbaik ke alamat rumah Andini. Pagi-pagi sekali, baju itu harus sudah ada di sana, sebelum aku berangkat memancing.""Duh, Bos. Gamis pesta yang bagus itu gimana? Aku belum pernah memesan. Lagian aku juga nggak ngerti masalah gamis dan sejenisnya," balas Adipati."Tugasmu untuk mendapatkan apa yang aku inginkan." Setelah menuliskan balasan, Rasya tersenyum puas. Dia merasakan kebahagiaan ketika bisa mengerjai Adipati. Kekesalannya pada Andini tadi, terlampiaskan sudah.Sampai di rumah, Rasya memutuskan menghubungi Bisma. Si kecil, besok harus datang ke pesta ulang tahun Hawa. "Assalamualaikum, Papa," sapa Bisma terdengar oleh indera Rasya. "Kok, belum tidur?""Nggak bisa
Happy Reading*****Rasya sangat jengkel dengan tingkah Davit yang menyamar sebagai Andini. D jaia pun memukuli lelaki itu hingga mengaduh."Ampun ... Ampun. Adikmu tersayang yang nyuruh. Marahin dia saja," ucap Davit sambil menunjuk pada Anggita. "Ih, kok aku, sih?" sahut Anggita, "Mbak Tiwi, tuh. Dia yang ngasih ide." Menunjuk sahabat Andini yang tertawa lebar melihat ekspresi kecewa Rasya. "Sudah!" bentak Rasya, "sekarang mana istriku?""Ini," ucap Ranti dan Hawa bersamaan. Gamis putih perpaduan sutra satin dan berkata serta payet mutiara, melekat di tubuh Andini. Kerudung yang menutup dada dan menjuntai serta mahkota mutiara bertengger di kepala. Jangan lupakan make up natural yang makin menambah pesona kecantikan perempuan itu berlipat ganda. Senyum penuh kebahagian menambah kilau kecantikannya bersinar. Rasya dibuat terpukau dengan sosok wanita yang kini sedang berjalan mendekatinya. Tanpa kedip, dia terus menatap Andini. Seorang perempuan yang sudah sangat lama dicintai. Se
Happy Reading*****Niat hati ingin berduaan dan menyatakan cinta pada sang pujaan malah gagal total. Seluruh keluarga Rasya dan Andini ada di restoran itu. Tangan Nareswara bahkan sudah bertengger pada telinga kiri. "Papi itu nggak percaya kalau Mas ngomong mau jemput Andini. Pasti kayak gini hasilnya," ucap Nareswara. "Hmm, Mas," sahut Hamni."Padahal tinggal nunggu beberapa hari lagi. Masak iya sudah nggak tahan pengen berduaan," tambah Hawa. Rasya meringis sambil menggaruk kepalanya. "Kok pada tahu kalau Mas di sini, sih?""Jelas kami tahu. Ada mata-mata yang akan mengatakan perilakumu, Mas," sahut Dzauhari. "Ayah kok ikut-ikutan, sih?" Wajah ditekuk-tekuk karena kesal rencana manisnya dengan Andini gagal, Rasya memajukan bibirnya. "Makanya, Pa. Kalau punya rencana ajak-ajak Adik biar nggak gini kejadiaannya," celetuk Bisma. "Eh, kok nggak belain Papa?" Rasya menggerak-gerakkan bibir, lucu sekali tingkah sang pemimpin grup Zafir itu. Andai para karyawannya tahu, apa mungkin
Happy Reading*****"Sudahlah, Nak. Nggak usah tanya untuk apa beliau meminta cincin ini," ucap Hamni. Dia mulai melepas cincin yang dibelikan sang suami sebagai hadiah ulang tahun pernikahan mereka yang ke 25 waktu itu. "Ibumu benar, Nak," tambah Dzauhari. "Ayah bisa membelikan ibumu cincin yang seperti itu lagi nantinya."Walau keberatan, Rasya tetap menganggukkan kepala. Perlahan Hamni melepaskan cincin yang diminta oleh Nareswara. "Ini, Pak." Menyerahkan pada lelaki yang tengah berbaring di ranjang kesakitan itu, Hamni menampilkan senyumnya."Tolong kamu pasangkan ke hari manis Mbak Andini. Sebelum terjadi hal-hal yang nggak diinginkan, saya mau melihatnya menjadi calon menantumu.""Papi," panggil Andini dan Rasya bersamaan. Mereka juga saling tatap. Tidak menyangka sama sekali jika Nareswara punya niat seperti itu."Papi nggak tahu sampai kapan hidup. Jadi, sebelum Papi dipanggil sama Allah, Papi mau kalian saling terikat satu sama lain."Andini meletakkan jari telunjuknya ke
Happy Reading*****Anggita mendekat pada Nareswara. Tangannya berusaha melepaskan cekikan di leher Hawa. "Pi, pliss jangan seperti ini. Kita bisa bicarakan semua dengan tenang. Biarkan Mami menceritakan semuanya.""Pi, benar katanya Adik. Nggak akan ada penyelesaian jika kita mengedepankan emosi," tambah Andini. Dia juga berusaha melepaskan pegangan tangan Nareswara pada leher Hawa. "Istighfar, Pi."Nareswara menghela napas. Perlahan, dia mengendurkan pegangannya pada leher sang istri. "Astagfirullah," ucapnya pelan.Sementara di seberang duduknya, Rasya dan orang tua kandungnya melihat dengan diam. Mereka tidak akan menambah kekeruhan permasalahan yang ada dengan membuka suara. "Jadi, katakan apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Mas Rasya sampai nekat akan melamar Andini yang jelas-jelas diketahui adalah adiknya," pinta Nareswara ketika Hawa terlihat jauh lebih tenang. "Berjanjilah, Papi nggak akan menceraikan Mami atau marah lagi," pinta Hawa. Sorot mata penuh ketakutan dan keput
Happy Reading*****"Iya, saya," kata seorang perempuan berjilbab yang di sebelahnya berdiri Rasya dan Dzauhari. "Apa kabar, Mbak?""Kalian kok bisa kenal sama Rasya padahal nggak pernah bertemu sama sekali?" tambah Nareswara, "ayo duduk."Walau sedikit terkejut dengan kedatangan tamu tak diundang. Nareswara tetap ramah dan menerima kedatangan Dzauhari dan Hamni. "Mbak minta tolong sama Bibi buatkan minuman untuk mereka," tambah Nareswara pada Andini. Sementara Hawa, dia diam bak patung, menjawab pertanyaan yang Hamni ajukan saja, tidak dilakukan. Tak disangka, mamanya Arvan mendekati Hamni dan memeluk. Mereka saling sapa dengan cipika-cipiki. Rasya menatap curiga pada Hamni. "Apa kabar, Mbak? Lama nggak ketemu, balik Banyuwangi nggak kabar-kabar. Tahu gitu tak jemput lho di bandara," ujar perempuan yang diketahui bernama Sarita, ibunya Arvan."Kabar baik, Rit. Maaf, ya, aku dadakan ini pulangnya. Jadi, nggak sempat kabar-kabar.""Yah, kok ibu kenal?" bisik Rasya pada Dzauhari. "B
Happy Reading*****"Kami, cuma bisa memberikan ini untuk kebahagianmu, Nak. Kapan pun kamu meminta kami untuk menghadap Pak Nareswara dan Mbak Hawa, kami siap," ucap Hamni."Benar, Nak. Nggak perlu nunggu besok atau lusa. Sekarang pun, kita bisa kembali kalau kamu mau," tambah Dzauhari."Ayah, Ibu, sekali lagi terima kasih. Aku nggak tahu bagaimana harus membalas semua ini," ucap Rasa begitu terharu.Para pekerja yang melihat adegan mengharukan di depan mereka, tak kuasa membendung air mata. Mereka begitu terharu, setelah sekian lama kebahagiaan itu akhirnya datang pada atasan mereka. "Mungkin, besok pagi. Aku kembali ke Banyuwangi, Pak. Gimana?""Nggak masalah, Nak." Dzauhari menaikkan garis bibirnya. "Gimana kalau menggunakan perjalanan darat saja, Nak. Ibu dengar, besok penerbangan Banyuwangi-Bali ditiadakan karena cuaca memburuk," tambah Hamni."Sepertinya iya, Bu. Aku barusan dapat kabar dari Adipati. Nggak ada tiket ke sana untuk besok."Pasangan itu tersenyum. "Biar sopir
Happy Reading*****Rasya mencengkeram erat kerah kemeja lawan bicaranya. Berani sekali Arvan menghubungi Nareswara di saat dia belum bisa menjelaskan semua kebenaran dan menunjukkan bukti kebenaran yang membuatnya bisa menikahi Andini. "Dari awal, aku sudah tahu apa tujuan pertemuan ini. Jadi, aku sengaja meminta pendapat Om Nares," jelas Arvan dengan suara tercekat akibat tangan Rasya yang berada di lehernya. "Nggak usah macam-macam, Mas. Papi yang meminta Arvan. Lebih baik kamu pulang sekaran. Kita selesaikan semua masalah ini di rumah," ucap Nareswara dari ponsel milik Arvan.Rasya melepaskan tangannya, lalu mematikan sambungan yang menghubungkan Arvan dengan papinya.Melirik sang asisten, Rasya berkata, "Tiketku, apa sudah siap?""Siap, Bos. Satu jam lagi, penerbangannya," ucap Adipati. "Bagus, kamu suruh orang bawa mobilku pulang dan antar aku ke bandara."Sulung keluarga Nareswara itu langsung meninggalkan Arvan tanpa pamit. Tak perlu pulang ke rumah besar Zafir lagi dan men
Happy Reading*****"Tante, minum ini," pinta Andini sambil menyodorkan segelas air. "Mami kenapa, sih?" Kening Nareswara berkerut. "Bukankah orang yang ditanyakan Mas Rasya itu adalah salah satu pegawai di keluargamu dulu?"Hawa memilih diam sejenak sambil meminum air yang diberikan Andini. "Iya. Papi masih ingat sama mereka?" Bukannya menjawab, Hawa malah memberikan pertanyaan aneh itu."Ingat banget, Mi. Saat Papi menjemputmu di rumah Ayah waktu itu, Mbak Hamni terlihat begitu sedih melihat Mas Rasya. Mungkin dia kepikiran sama anaknya.""Memang anaknya kenapa, Pi?" tanya Rasya dan Andini bersamaan. "Sudahlah, mereka cuma mantan pegawai Kakek kalian. Nggak ada sesuatu yang istimewa," sahut Hawa."Kenapa menanyakan tentang mereka, Mas?" tanya Nareswara. Rupanya, lelaki itu masih sangat penasaran. "Apa kalian pernah bertemu sebelumnya?"Pandangan Rasya menyapu semua anggota keluarganya. Lalu, dia menjatuhkan tatapan penuh selidik pada sang Mami. "Waktu ini, Mas, nggak sengaja ketem
Happy Reading*****Ditanya dengan pertanyaan yang menyudutkan dirinya, Rasya tetap tersenyum. Sebelum sampai di rumah besar Zafir, lelaki itu sudah mengumpulkan banyak informasi tentang Arvan. Semula, sulung Nareswara itu berusaha legowo. Namun, ketika membaca slide akhir data yang dikirim Adipati, seketika perasaan tak rela muncul kembali. "Untuk apa aku mengada-ada. Semua ini nggak bakalan terjadi jika kamu menjaga perilakumu selama ini terhadap wanita. Jangan kira, aku nggak tahu sifat burukmu, Van," ancam Rasya. "Mas, duduk dulu, deh. Kamu tiba-tiba pulang nggak ngabari Papi. Ada apa sebenarnya?" Daripada mempermasalahkan keberatan si sulung, Nareswara lebih khawatir melihat Rasya. Badan yang terlihat lebih kurus dengan kumis dan jambang belum dirapikan. Biasanya, si sulung tak pernah terlihat seberantakan itu. Nareswara semakin khawatir ketika wajah pucat Rasya terlihat dengan jelas.Duduk di sebelah Nareswara, Rasya menatap sekelilingnya bergantian. Pandangan terakhir dia tu