KOTARAJA Jenggala, tahun 1115 Saka (1193 Masehi).
Seperti hari-hari lain, suasana di pusat pemerintahan Tumapel terlihat sangat ramai siang itu. Lebih-lebih di pasar gede, di mana para pedagang tempatan bercampur baur dengan saudagar dari segala bangsa. Masing-masing sibuk menjajakan rupa-rupa barang dagangan, dari sayur-mayur hingga porselen bawaan bangsa Song.
Keramaian pasar luber sampai ke tempat-tempat di sekitarnya. Namun pedagang yang berjualan dalam warung-warung sederhana yang berjejer di luar tembok pasar hanya menjajakan makanan dan minuman. Siap dinikmati di tempat sembari mengamati keriuhan suasana siang.
Seorang lelaki muda berusia awal dua puluhan tahun, dengan kumis tipis menghiasi bagian bawah hidungnya, tampak berjalan melintasi deretan warung tersebut.
"Mari, Tuan Prajurit, silakan mampir di sini," seru seorang wanita paruh baya dari salah satu warung.
Yang disapa hanya tersenyum dan anggukkan kepala, tetapi tak sedikitpun menghentikan langkah. Ia baru berhenti ketika sampai di satu warung yang terletak agak di ujung.
Begitu memasuki warung, lelaki muda itu langsung saja duduk di atas bangku kayu panjang. Wajahnya yang cakap, berkulit sawo matang, berubah sedikit kelam oleh sengatan sinar matahari.
Dilihat dari penampilannya, serta perawakannya yang gagah dengan dada bidang dan sepasang bahu kukuh, agaknya lelaki muda tersebut berasal dari kalangan kesatria. Terlebih jika menilik pada senjata yang tergantung di pinggang. Sebuah pedang panjang dalam warangka.
Pada ujung gagang terdapat ukiran makhluk setengah manusia berkepala garuda dan bersayap. Sosok yang dikenal sebagai lencana Sri Maharaja Girindra, raja yang tengah bertakhta di Jenggala kala itu.
Setelah letakkan pantat ke permukaan bangku kayu, si lelaki muda tersenyum pada wanita paruh baya yang merupakan pemilik warung. Kumis lebatnya tampak melengkung seturut gerak bibir.
"Ah, Sang Wiratama rupanya. Silakan, Tuan, silakan duduk," sambut wanita pemilik warung dengan senyum lebar di wajah.
Ditegur begitu lelaki berkumis lebat tersebut tunjukkan raut muka keberatan. Kepalanya digeleng-gelengkan, sembari sebelah tangannya menggoyang-goyang jari telunjuk di depan muka.
"Mbok, sudah berapa kali aku katakan, jangan panggil aku begitu. Sebut saja namaku, Seta," ujarnya.
Simbok pemilik warung tertawa mengikik.
"Duh, Tuan Prajurit ini sungguh pandai merendah. Tidak sembarang prajurit bisa sampai di jenjang wira tamtama pada usia semuda ini. Apa yang telah Tuan Prajurit capai adalah satu keistimewaan.
"Lebih-lebih lagi pangkat itu didapat sebagai sebuah anugerah, yang diberikan langsung oleh Sri Maharaja Girindra sendiri. Kenapa musti ditutup-tutupi segala?" sahut wanita tersebut.
Lelaki yang menyebut diri sebagai Seta tersenyum simpul. Kembali kepalanya geleng-geleng.
"Bukannya mau ditutup-tutupi atau pun merasa malu, Mbok. Tapi ini kan di warung. Segala macam pangkat dan jabatan mana ada perlunya disebut-sebut di tempat ini.
"Beda cerita kalau Simbok datang ke tepas keprajuritan di dalam benteng keraton. Barulah Simbok boleh panggil aku begitu. Kalau perlu sebut yang lengkap sekalian gelar yang panjangnya seperti tali tampar itu," kata prajurit itu.
Keduanya lantas sama tertawa lepas. Suara riang mereka menerabas udara siang yang panas membakar.
Tawa itu baru berhenti ketika tiba-tiba simbok pemilik warung hentikan tawanya dan berkata, "Ah, saya sampai lupa bertanya. Tuan Prajurit mau pesan apa ya?"
Seta tampak berpikir sejenak. Meski sudah tengah hari, tapi ia merasa perutnya masih belum terlalu lapar.
"Tolong buatkan kopi panas saja, Mbok," pinta Seta kemudian.
"Baik, Tuan. Tolong tunggu sebentar," sahut simbok pemilik warung.
Kemudian si pemilik warung balikkan badan menuju ke bagian belakang. Begitu tubuh wanita paruh baya itu lenyap di balik dinding anyaman bambu, terdengar suaranya menjerit keras.
"Aaaaa!"
Seta tersentak kaget.
"Mbok?!" seru sang prajurit sembari bergegas bangkit dari duduk. Sebelah tangannya memegangi gagang pedang di pinggang, siap ditarik sewaktu-waktu diperlukan.
Belum lagi Seta mendekat, muncul beberapa sosok dari bagian belakang warung. Tiga orang lelaki, semuanya bertampang ganas lagi seram. Cambang bauk meranggas tumbuh memenuhi wajah mereka.
Dua dari mereka memegangi simbok pemilik warung. Sebilah parang besar menempel di leher wanita paruh baya tersebut. Wajahnya pasi, tampak sangat ketakutan.
Geraham Seta bergemeletuk keras. Amarahnya langsung memuncak melihat apa yang tersaji di depan matanya itu.
"Keparat! Siapa kalian?" bentaknya dengan suara menggelegar.
Tiga lelaki yang baru muncul menanggapi bentakan itu dengan tawa gelak-gelak. Sembari terus tertawa, lelaki yang paling depan maju beberapa langkah.
"Prajurit Tengik, kau tidak berhak bertanya!" hardik lelaki yang baru saja maju mendekati Seta. "Justru akulah yang ingin bertanya padamu. Benar kau prajurit Jenggala yang bernama Seta dari Hantang?"
Pertanyaan itu membuat kening Seta berkerut. Dari mana orang yang sama sekali tidak ia kenal ini tahu siapa dirinya? Bahkan tahu pula nama kampung yang menjadi asal-usulnya?
"Dari mana kau tahu semua itu?" Tanpa sadar Seta ajukan pertanyaan penuh nada heran.
"Bodoh! Sudah kubilang kau tidak berhak bertanya!" sentak lelaki bercambang bauk lebat dengan wajah garang. "Jawab saja pertanyaanku tadi, cepat!"
Geraham Seta bergemeletak menahan amarah. Namun mau tak mau ia menjawab juga.
"Benar, aku Seta prajurit Jenggala. Asalku dari Hantang."
Lelaki bercambang bauk lebat di hadapan Seta kembali tertawa lebar. Dua temannya yang sedang memegangi simbok warung turut tergelak-gelak.
"Ah, akhirnya kami menemukanmu di sini, Prajurit Tengik. Sungguh tidak sia-sia usaha kami beberapa hari ini. Meski untuk itu kami harus menanggung bahaya besar dengan memasuki kawasan kotaraja," ujar lelaki asing tersebut, lalu lanjutkan tawanya.
Seta mendengus. "Kau tidak menjawab pertanyaanku. Aku ulangi sekali lagi, siapa kalian?" bentaknya lagi.
Kembali tiga lelaki itu tertawa gelak-gelak. Dua yang sedang menyandera simbok pemilik warung saling pandang dalam gelak tawa.
"Wajar saja kau tidak mengenal siapa kami, Seta. Kami memang bukan orang terkenal sepertimu, prajurit terbaik di Kerajaan Jenggala, wira tamtama termuda," jawab lelaki yang paling depan sembari menyeringai.
Meski kalimat lelaki bercambang bauk lebat itu berupa pujian, namun jelas sekali nada suaranya terdengar mengejek.
"Tapi jika aku sebut satu nama, nama orang yang tentunya masih melekat kuat di ingatanmu, aku yakin sekali kau akan langsung mengetahui apa tujuan kami datang kemari," lanjut lelaki tersebut.
"Apa maksudmu?" tanya Seta keheranan. Seketika ingatannya melayang, mengingat-ingat sekian perselisihan yang pernah melibatkan dirinya pada waktu-waktu belakangan. Namun rasa-rasanya tidak ada.
Lelaki berwajah bengis kembali menyeringai. Sepasang matanya yang merah menatap lekat-lekat pada Seta yang menanti jawaban dalam kebingungan.
"Dengar baik-baik olehmu, wahai prajurit terbaik Jenggala. Pangkat wira tamtama yang baru saja dianugerahkan padamu itu kau peroleh dengan menewaskan saudara kandungku, Surajaya..."
Berubah paras Seta mendengar nama itu.
)|(
Surajaya alias Begal Surajaya adalah gembong rampok paling ditakuti dari Alas Kampak di kawasan barat daya Jenggala. Gerombolannya kerap melakukan kejahatan di kampung-kampung dan juga di jalan-jalan dekat hutan di sekitaran kaki Gunung Kawi.Berkali-kali Kerajaan Jenggala mengirim sepasukan kecil prajurit untuk menumpas gerombolan rampok itu, tetapi tak pernah berhasil. Pada pengiriman pasukan penumpas yang kesekian beberapa pekan lalu, Seta ikut di dalamnya.Kali itu para prajurit Jenggala berhasil menggulung gerombolan rampok Alas Kampak. Nama Seta lantas mencuat dan dipuja-puji karena dirinyalah yang mengalahkan Surajaya.Keberhasilan itu membuat sang prajurit mendapat anugerah kenaikan pangkat lebih cepat. Dari seorang prajurit rendahan, menjadi wira tamtama."Kau tampak terkejut, Seta," ujar lelaki bengis saudara Surajaya.Seta kertakkan rahang. Sang prajurit sebetulnya sudah tak sabar ingin bertindak, melabrak ketiga lelaki tersebut. Namun ia tak boleh berlaku gegabah atau kesel
Pukulan jarak jauh tersebut menghantam dinding warung. Terus melaju cepat melabrak warung-warung lain di sebelah.Suara ledakan keras terdengar. Diiringi kepulan asap bercampur debu dari hancurnya sekat-sekat anyaman bambu yang hancur lebur. Menjadi remah-remah.Suara ledakan keras itu mengagetkan semua orang yang ada di sekitar tempat perkelahian. Membuat para pedagang dan orang-orang yang sedang makan-minum di warung-warung lain berhamburan keluar.Awalnya orang-orang itu diliputi rasa penasaran. Lalu berbondong-bondong datang. Mendekat untuk mencari tahu arah sumber suara.Namun setelah menyaksikan apa yang tengah terjadi, seketika mereka berlarian. Lintang pukang menjauh sembari menjerit-jerit. Suasana berubah kacau mencekam.Seta menghela napas panjang. Sang prajurit menyadari keadaan sudah menjadi gawat. Mereka telah berkelahi di pinggiran kotaraja. Hanya sejarak lima ratus depa (sekitar satu kilometer) dari istana raja!"Kalian telah membuat kekacauan di kotaraja. Bersiaplah ke
Terdengar suara daging mentah teriris, diiringi keluhan tertahan Seta. Prajurit itu merasakan sesuatu yang dingin merayapi dadanya. Lalu kejap berikutnya berganti rasa perih yang amat sangat.Pikiran bawah sadar Seta memerintahkan tangannya untuk meraba luka itu. Hangat dan basahnya darah segera terasa di jemari dan telapak tangannya.Belum lagi sempat sang prajurit menguasai diri, Ranajaya sudah kembali masuk ke kalangan pertempuran. Lelaki itu mengirim sebuah tendangan mengarah ke dada.Buuukk!Yang diserang tak dapat mengelak. Tendangan keras mendarat telak di dada Seta. Tubuh wira tamtama itu dibuat terpental beberapa langkah ke belakang.Lalu, bruaakk! Pinggang Seta menghantam permukaan meja warung. Membuat rangkaian dari kayu itu hancur berkeping-keping.Seta coba bangkit, namun segera batalkan niatnya dan kembali terkapar lemah. Pinggangnya yang tadi menghantam meja terasa sangat nyeri. Wajahnya yang dipenuhi keringat tampak meringis kesakitan.Di tempatnya, Ranajaya menyeringa
Gua Selogiri terletak jauh di seberang selatan Bengawan Sigarada (kini Sungai Brantas). Penduduk Kerajaan Jenggala dan juga Panjalu lebih mengenal kawasan itu dengan sebutan Brang Kidul.Pada masa lalu, kerajaan-kerajaan di kawasan Brang Kidul merupakan bawahan Kerajaan Medang. Ketika Sri Prabu Dharmawangsa Teguh tewas mengenaskan dalam penyerangan keji yang dilakukan oleh pasukan gabungan Lwaram dan Sriwijaya, satu demi satu kerajaan-kerajaan di Brang Kidul melepaskan diri.Namun begitu Sri Prabu Airlangga mendirikan Kerajaan Kahuripan, menantu Sri Prabu Dharmawangsa Teguh itu berhasil menyatukan kembali seluruh bekas wilayah kekuasaan Medang. Ketika kemudian Kahuripdan dibagi dua, kawasan Brang Kidul turut dibelah pula untuk Jenggala dan Panjalu.Begitu memastikan puteranya tak terselamatkan dari kobaran api dan tewas dalam rumah yang terbakar habis, Seta segera menuju ke Brang Kidul.Dari Hantang, sang prajurit harus menempuh jarak lebih jauh lagi ke selatan. Tak ada pilihan lain,
Seta terlalu memusatkan perhatian pada dua lawan yang berada di hadapan. Akibatnya ia tak menyadari kemunculan dua sosok lain di dalam gua. Muncul di belakang punggungnya! Dengan licik, sosok-sosok yang baru muncul itu menyerang sang prajurit dari belakang."Pembokong keparat licik!" Seta menggeram marah. Ia baru menyadari adanya bokongan itu setelah merasakan angin serangan yang sudah sangat dekat. Terlambat!Buuukk! Buuukk!Dua tendangan keras mengantam punggung Seta, membuatnya terjengkang jauh ke depan.Tubuh Seta bergulingan sejauh beberapa langkah. Baru berhenti setelah punggungnya menghantam satu batu besar.Sang prajurit merasakan punggungnya yang terkena tendangan lawan sakit bukan main. Seolah dihantam dua balok kayu secara bersamaan. Sementara dadanya seketika menjadi sesak.Wajah Seta seketika mengernyit kesaki
Di tempatnya, Seta menduga-duga apa yang bakal dilakukan begundal-begundal tersebut. Tatapan matanya terarah pada sang isteri yang terbaring lemah. Tiba-tiba saja satu pikiran buruk terlintas di kepalanya."Oh, tidak!" seru Seta tanpa sadar. Kepalanya digeleng-gelengkan sekeras-keras mungkin, berusaha mengusir bayangan-bayangan buruk tersebut."Seta, aku harap kau senang dengan pertunjukan yang kami suguhkan ini," kata Ranajaya, membuat sang prajurit memusatkan perhatian ke depan.Lagi-lagi Ranajaya beri isyarat kepala pada salah satu anak buahnya. Yang diberi isyarat tertawa-tawa senang sembari usap-usap bagian pangkal pahanya.Gerakan tangan orang itu membuat Seta terkesiap. Bayangan-bayangan buruk tadi kembali muncul di kepalanya.Benar saja. Lelaki tersebut mendekati batu besar di mana isteri Seta berada. Begitu berada di tepian batu, enak saja tangan lelaki itu mengusap-usap
MELEDAK sudah amarah Seta. Prajurit muda Jenggala ini tidak dapat menahan diri lagi. Mulutnya keluarkan suara menggeram dahsyat. Tubuhnya bergerak ke depan, menjauh dari batu tinggi tempatnya terikat. Kedua tangan dihentakkan kuat-kuat untuk memutus tali.Pada percobaan pertama usaha tersebut gagal. Seta justru merasakan bagian tubuh dan tangannya yang terikat sakit bukan main. Apalagi luka sabetan parang di dadanya yang masih belum kering. Rasa perihnya sungguh tak terkira.Akan tetapi sang prajurit tak mau ambil peduli. Hanya satu yang ada di kepalanya saat ini: menghabisi Ranajaya dan gerombolannya. Ia bahkan rela mati menyusul isterinya untuk itu."Heeeeeaaaa!"Seta kembali menggembor keras. Sekali lagi badan dan kedua tangannya digerakkan secara bersamaan. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan habis-habisan. Tali-temali yang mengikat sang prajurit seketika menegang, sampai akhirnya ....Taasss! Taasss
Begitu asap dan debu luruh, suasana di dalam gua menjadi begitu hening. Seta berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Ia tak dapat menggerakkan sekujur tubuh sama sekali. Namun sepasang telinga sang prajurit masih dapat menangkap suara-suara, meski samar.Suara yang pertama didengarnya adalah langkah kaki seseorang mendekat. Itu Ranajaya yang menghampirinya sembari membawa dua batang obor. Lelaki bercambang bauk lebat tersebut hentikan langkah setengah depa dari tubuh Seta."Agaknya dia sudah mati, Kang," terdengar satu suara. Yang berkata anak buah Ranajaya yang masih hidup.Yang diajak bicara tak langsung menanggapi. Sepasang matanya masih terus mengamat-amati keadaan Seta baik-baik. Lalu dengan sebelah kakinya tubuh si prajurit ditendang hingga terbalik, menjadi telentang. Dalam penglihatannya tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali."Pukulan kami mendarat tepat di dadanya. Mustinya dia sudah mampus, atau