Beranda / Pendekar / Bara Dendam di Perbatasan / 1 - Tiga Jahanam di Kotaraja

Share

Bara Dendam di Perbatasan
Bara Dendam di Perbatasan
Penulis: Kebo Rawis

1 - Tiga Jahanam di Kotaraja

KOTARAJA Jenggala, tahun 1115 Saka (1193 Masehi).

Seperti hari-hari lain, suasana di pusat pemerintahan Tumapel terlihat sangat ramai siang itu. Lebih-lebih di pasar gede, di mana para pedagang tempatan bercampur baur dengan saudagar dari segala bangsa. Masing-masing sibuk menjajakan rupa-rupa barang dagangan, dari sayur-mayur hingga porselen bawaan bangsa Song.

Keramaian pasar luber sampai ke tempat-tempat di sekitarnya. Namun pedagang yang berjualan dalam warung-warung sederhana yang berjejer di luar tembok pasar hanya menjajakan makanan dan minuman. Siap dinikmati di tempat sembari mengamati keriuhan suasana siang.

Seorang lelaki muda berusia awal dua puluhan tahun, dengan kumis tipis menghiasi bagian bawah hidungnya, tampak berjalan melintasi deretan warung tersebut.

"Mari, Tuan Prajurit, silakan mampir di sini," seru seorang wanita paruh baya dari salah satu warung.

Yang disapa hanya tersenyum dan anggukkan kepala, tetapi tak sedikitpun menghentikan langkah. Ia baru berhenti ketika sampai di satu warung yang terletak agak di ujung.

Begitu memasuki warung, lelaki muda itu langsung saja duduk di atas bangku kayu panjang. Wajahnya yang cakap, berkulit sawo matang, berubah sedikit kelam oleh sengatan sinar matahari.

Dilihat dari penampilannya, serta perawakannya yang gagah dengan dada bidang dan sepasang bahu kukuh, agaknya lelaki muda tersebut berasal dari kalangan kesatria. Terlebih jika menilik pada senjata yang tergantung di pinggang. Sebuah pedang panjang dalam warangka.

Pada ujung gagang terdapat ukiran makhluk setengah manusia berkepala garuda dan bersayap. Sosok yang dikenal sebagai lencana Sri Maharaja Girindra, raja yang tengah bertakhta di Jenggala kala itu.

Setelah letakkan pantat ke permukaan bangku kayu, si lelaki muda tersenyum pada wanita paruh baya yang merupakan pemilik warung. Kumis lebatnya tampak melengkung seturut gerak bibir.

"Ah, Sang Wiratama rupanya. Silakan, Tuan, silakan duduk," sambut wanita pemilik warung dengan senyum lebar di wajah.

Ditegur begitu lelaki berkumis lebat tersebut tunjukkan raut muka keberatan. Kepalanya digeleng-gelengkan, sembari sebelah tangannya menggoyang-goyang jari telunjuk di depan muka.

"Mbok, sudah berapa kali aku katakan, jangan panggil aku begitu. Sebut saja namaku, Seta," ujarnya.

Simbok pemilik warung tertawa mengikik.

"Duh, Tuan Prajurit ini sungguh pandai merendah. Tidak sembarang prajurit bisa sampai di jenjang wira tamtama pada usia semuda ini. Apa yang telah Tuan Prajurit capai adalah satu keistimewaan.

"Lebih-lebih lagi pangkat itu didapat sebagai sebuah anugerah, yang diberikan langsung oleh Sri Maharaja Girindra sendiri. Kenapa musti ditutup-tutupi segala?" sahut wanita tersebut.

Lelaki yang menyebut diri sebagai Seta tersenyum simpul. Kembali kepalanya geleng-geleng.

"Bukannya mau ditutup-tutupi atau pun merasa malu, Mbok. Tapi ini kan di warung. Segala macam pangkat dan jabatan mana ada perlunya disebut-sebut di tempat ini.

"Beda cerita kalau Simbok datang ke tepas keprajuritan di dalam benteng keraton. Barulah Simbok boleh panggil aku begitu. Kalau perlu sebut yang lengkap sekalian gelar yang panjangnya seperti tali tampar itu," kata prajurit itu.

Keduanya lantas sama tertawa lepas. Suara riang mereka menerabas udara siang yang panas membakar.

Tawa itu baru berhenti ketika tiba-tiba simbok pemilik warung hentikan tawanya dan berkata, "Ah, saya sampai lupa bertanya. Tuan Prajurit mau pesan apa ya?"

Seta tampak berpikir sejenak. Meski sudah tengah hari, tapi ia merasa perutnya masih belum terlalu lapar.

"Tolong buatkan kopi panas saja, Mbok," pinta Seta kemudian.

"Baik, Tuan. Tolong tunggu sebentar," sahut simbok pemilik warung.

Kemudian si pemilik warung balikkan badan menuju ke bagian belakang. Begitu tubuh wanita paruh baya itu lenyap di balik dinding anyaman bambu, terdengar suaranya menjerit keras.

"Aaaaa!"

Seta tersentak kaget.

"Mbok?!" seru sang prajurit sembari bergegas bangkit dari duduk. Sebelah tangannya memegangi gagang pedang di pinggang, siap ditarik sewaktu-waktu diperlukan.

Belum lagi Seta mendekat, muncul beberapa sosok dari bagian belakang warung. Tiga orang lelaki, semuanya bertampang ganas lagi seram. Cambang bauk meranggas tumbuh memenuhi wajah mereka.

Dua dari mereka memegangi simbok pemilik warung. Sebilah parang besar menempel di leher wanita paruh baya tersebut. Wajahnya pasi, tampak sangat ketakutan.

Geraham Seta bergemeletuk keras. Amarahnya langsung memuncak melihat apa yang tersaji di depan matanya itu.

"Keparat! Siapa kalian?" bentaknya dengan suara menggelegar.

Tiga lelaki yang baru muncul menanggapi bentakan itu dengan tawa gelak-gelak. Sembari terus tertawa, lelaki yang paling depan maju beberapa langkah.

"Prajurit Tengik, kau tidak berhak bertanya!" hardik lelaki yang baru saja maju mendekati Seta. "Justru akulah yang ingin bertanya padamu. Benar kau prajurit Jenggala yang bernama Seta dari Hantang?"

Pertanyaan itu membuat kening Seta berkerut. Dari mana orang yang sama sekali tidak ia kenal ini tahu siapa dirinya? Bahkan tahu pula nama kampung yang menjadi asal-usulnya?

"Dari mana kau tahu semua itu?" Tanpa sadar Seta ajukan pertanyaan penuh nada heran.

"Bodoh! Sudah kubilang kau tidak berhak bertanya!" sentak lelaki bercambang bauk lebat dengan wajah garang. "Jawab saja pertanyaanku tadi, cepat!"

Geraham Seta bergemeletak menahan amarah. Namun mau tak mau ia menjawab juga.

"Benar, aku Seta prajurit Jenggala. Asalku dari Hantang."

Lelaki bercambang bauk lebat di hadapan Seta kembali tertawa lebar. Dua temannya yang sedang memegangi simbok warung turut tergelak-gelak.

"Ah, akhirnya kami menemukanmu di sini, Prajurit Tengik. Sungguh tidak sia-sia usaha kami beberapa hari ini. Meski untuk itu kami harus menanggung bahaya besar dengan memasuki kawasan kotaraja," ujar lelaki asing tersebut, lalu lanjutkan tawanya.

Seta mendengus. "Kau tidak menjawab pertanyaanku. Aku ulangi sekali lagi, siapa kalian?" bentaknya lagi.

Kembali tiga lelaki itu tertawa gelak-gelak. Dua yang sedang menyandera simbok pemilik warung saling pandang dalam gelak tawa.

"Wajar saja kau tidak mengenal siapa kami, Seta. Kami memang bukan orang terkenal sepertimu, prajurit terbaik di Kerajaan Jenggala, wira tamtama termuda," jawab lelaki yang paling depan sembari menyeringai.

Meski kalimat lelaki bercambang bauk lebat itu berupa pujian, namun jelas sekali nada suaranya terdengar mengejek.

"Tapi jika aku sebut satu nama, nama orang yang tentunya masih melekat kuat di ingatanmu, aku yakin sekali kau akan langsung mengetahui apa tujuan kami datang kemari," lanjut lelaki tersebut.

"Apa maksudmu?" tanya Seta keheranan. Seketika ingatannya melayang, mengingat-ingat sekian perselisihan yang pernah melibatkan dirinya pada waktu-waktu belakangan. Namun rasa-rasanya tidak ada.

Lelaki berwajah bengis kembali menyeringai. Sepasang matanya yang merah menatap lekat-lekat pada Seta yang menanti jawaban dalam kebingungan.

"Dengar baik-baik olehmu, wahai prajurit terbaik Jenggala. Pangkat wira tamtama yang baru saja dianugerahkan padamu itu kau peroleh dengan menewaskan saudara kandungku, Surajaya..."

Berubah paras Seta mendengar nama itu.

)|(

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status