Seta terlalu memusatkan perhatian pada dua lawan yang berada di hadapan. Akibatnya ia tak menyadari kemunculan dua sosok lain di dalam gua. Muncul di belakang punggungnya! Dengan licik, sosok-sosok yang baru muncul itu menyerang sang prajurit dari belakang.
"Pembokong keparat licik!" Seta menggeram marah. Ia baru menyadari adanya bokongan itu setelah merasakan angin serangan yang sudah sangat dekat. Terlambat!
Buuukk! Buuukk!
Dua tendangan keras mengantam punggung Seta, membuatnya terjengkang jauh ke depan.
Tubuh Seta bergulingan sejauh beberapa langkah. Baru berhenti setelah punggungnya menghantam satu batu besar.
Sang prajurit merasakan punggungnya yang terkena tendangan lawan sakit bukan main. Seolah dihantam dua balok kayu secara bersamaan. Sementara dadanya seketika menjadi sesak.
Wajah Seta seketika mengernyit kesakitan. Napasnya tersengal-sengal seolah mau putus. Namun semangatnya kembali bangkit begitu mendengar suara pekikan ngeri seorang perempuan. Suara isterinya!
Cepat-cepat sang prajurit Jenggala bangkit berdiri. Meski sambil terus pegangi dadanya yang sangat sesak. Batu besar di mana dirinya terantuk dan berhenti bergulingan ternyata adalah tempat di mana isterinya terbaring tanpa daya.
"Kakang?!" seru perempuan tersebut dengan suara lemah. Air muka di wajahnya sangat sulit diartikan. "Maafkan aku, Kakang ..."
Seta gelengkan kepala kencang-kencang mendengar ucapan itu.
"Tidak, Isteriku, kau tidak perlu meminta maaf. Bertahanlah, aku akan segera menyelamatkannmu," sahutnya dengan perasaan campur aduk.
Menyaksikan dari dekat bagaimana keadaan isterinya, Seta merasa sedih bercampur marah. Kedua tangan perempuan itu rupanya diikat sedemikian rupa pada sudut-sudut batu.
Yang paling membuat Seta geram, tubuh isterinya benar-benar polos tanpa penutup barang sehelai pun. Remang cahaya obor membuat seluruh bagian kewanitaan perempuan itu terpampang jelas.
Satu-satunya yang dapat dilakukan perempuan itu untuk menjaga diri adalah dengan selalu merapatkan kedua belah paha. Sehingga bagian kemaluannya tidak terlihat di mata lelaki-lelaki jahanam penculiknya.
"Awas, Kakang!" Tiba-tiba saja isteri Seta berseru, membuat sang prajurit tersentak kaget.
Rupanya dua orang bertopeng yang tadi muncul diam-diam kembali lancarkan serangan. Kedua kaki mereka terentang lurus lancarkan tendangan.
Seta yang masih kepayahan akibat bokongan sebelumnya, tak sempat bergerak menghindar. Sementara serangan itu sudah sedemikian dekat.
Apa boleh buat. Disertai satu geraman dahsyat Seta gerakkan kedua tangannya untuk menangkis. Tenaga dalam yang masih tersisa dikerahkannya sampai penuh.
"Hiiaaatt!"
Deess! Deess!
Dua tangan dan dua kaki beradu. Seta terpekik. Tangan yang dipakai menangkis tendangan terasa kesemutan dan nyeri bukan main.
Kejut prajurit itu bertambah-tambah ketika dua anak buah Ranajaya masuk gelanggang. Merangsek maju ke arahnya dengan parang di tangan.
Tak mau celaka, sekuat tenaga Seta lempar tubuhnya ke belakang. Sambaran dua parang hanya mengenai udara kosong. Setelah bersalto dua kali di udara, sang prajurit mendarat di lantai gua. Tubuhnya tergontai-gontai.
Apes! Belum lagi dapat menguasai diri, datang kembali serangan dari dua lelaki bertopeng yang baru muncul. Lagi-lagi sepasang tendangan yang diarahkan tepat ke dada.
Seta menggembor marah, lalu buang tubuhnya coba menghindar. Akan tetapi gerakannya sangat terlambat.
Buuukk! Buuukk!
Seta mengeluh tertahan, sedangkan isterinya terdengar memekik ngeri. Dua tendangan mendarat telak di dada sang prajurit. Membuatnya terjengkang mundur beberapa jarak. Ketika tubuhnya mendarat di lantai gua, mulut Seta memuntahkan darah segar!
Seketika itu juga terdengar suara tawa Ranajaya. Lalu diikuti gelak dua lelaki lain. Sedangkan dua orang bertopeng yang muncul belakangan terlihat hanya diam.
"Hahaha, ternyata kau tak sehebat yang digembar-gemborkan, Seta," ujar lelaki itu sembari melangkah perlahan menghampiri Seta.
"Keparat licik! Kalian hanya berani main keroyok dan menyerang dari belakang!" desis Seta penuh amarah.
Sang prajurit berusaha bangkit berdiri. Namun dua orang anak buah Ranajaya sigap memegangi tangannya, membuatnya benar-benar tak berdaya.
Ranajaya hentikan langkah satu depa dari hadapan Seta. Sang prajurit merasakan tatapan mata lelaki itu tajam menusuk.
"Dasar besar mulut! Memangnya kau pikir kau tidak main keroyok saat membunuh adikku Surajaya? Kami berlima tidak ada apa-apanya dibanding jumlah prajurit Jenggala yang menyerbu adikku!" ujar Ranajaya, diikuti dengusan kasar.
Seta terdiam. Memang benar ucapan lelaki tersebut. Saat itu kerajaan mengirim sepasukan kecil yang terdiri atas dua lusin prajurit, termasuk dirinya. Sedangkan Surajaya dan gerombolannya berjumlah tujuh orang.
"Kau boleh saja menerima anugerah dari raja Jenggala karena telah menghabisi adikku, Seta. Tapi di gua ini aku pastikan kau bakal menyesal telah melakukan itu," kata Ranajaya lagi.
Setelah berkata begitu lelaki bercambang bauk lebat tersebut memberi isyarat kepala pada dua rekannya.
Seta merasakan pegangan tangan kedua orang di sebelahnya mengencang. Lalu tubuhnya diseret ke sebuah batu kapur berbentuk kerucut yang berdiri tegak di lantai gua. Tubuh dan kedua tangannya diikat erat di sana.
"Baiklah, pertunjukan kita mulai," ujar Ranajaya kemudian.
)|(
Di tempatnya, Seta menduga-duga apa yang bakal dilakukan begundal-begundal tersebut. Tatapan matanya terarah pada sang isteri yang terbaring lemah. Tiba-tiba saja satu pikiran buruk terlintas di kepalanya."Oh, tidak!" seru Seta tanpa sadar. Kepalanya digeleng-gelengkan sekeras-keras mungkin, berusaha mengusir bayangan-bayangan buruk tersebut."Seta, aku harap kau senang dengan pertunjukan yang kami suguhkan ini," kata Ranajaya, membuat sang prajurit memusatkan perhatian ke depan.Lagi-lagi Ranajaya beri isyarat kepala pada salah satu anak buahnya. Yang diberi isyarat tertawa-tawa senang sembari usap-usap bagian pangkal pahanya.Gerakan tangan orang itu membuat Seta terkesiap. Bayangan-bayangan buruk tadi kembali muncul di kepalanya.Benar saja. Lelaki tersebut mendekati batu besar di mana isteri Seta berada. Begitu berada di tepian batu, enak saja tangan lelaki itu mengusap-usap
MELEDAK sudah amarah Seta. Prajurit muda Jenggala ini tidak dapat menahan diri lagi. Mulutnya keluarkan suara menggeram dahsyat. Tubuhnya bergerak ke depan, menjauh dari batu tinggi tempatnya terikat. Kedua tangan dihentakkan kuat-kuat untuk memutus tali.Pada percobaan pertama usaha tersebut gagal. Seta justru merasakan bagian tubuh dan tangannya yang terikat sakit bukan main. Apalagi luka sabetan parang di dadanya yang masih belum kering. Rasa perihnya sungguh tak terkira.Akan tetapi sang prajurit tak mau ambil peduli. Hanya satu yang ada di kepalanya saat ini: menghabisi Ranajaya dan gerombolannya. Ia bahkan rela mati menyusul isterinya untuk itu."Heeeeeaaaa!"Seta kembali menggembor keras. Sekali lagi badan dan kedua tangannya digerakkan secara bersamaan. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan habis-habisan. Tali-temali yang mengikat sang prajurit seketika menegang, sampai akhirnya ....Taasss! Taasss
Begitu asap dan debu luruh, suasana di dalam gua menjadi begitu hening. Seta berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Ia tak dapat menggerakkan sekujur tubuh sama sekali. Namun sepasang telinga sang prajurit masih dapat menangkap suara-suara, meski samar.Suara yang pertama didengarnya adalah langkah kaki seseorang mendekat. Itu Ranajaya yang menghampirinya sembari membawa dua batang obor. Lelaki bercambang bauk lebat tersebut hentikan langkah setengah depa dari tubuh Seta."Agaknya dia sudah mati, Kang," terdengar satu suara. Yang berkata anak buah Ranajaya yang masih hidup.Yang diajak bicara tak langsung menanggapi. Sepasang matanya masih terus mengamat-amati keadaan Seta baik-baik. Lalu dengan sebelah kakinya tubuh si prajurit ditendang hingga terbalik, menjadi telentang. Dalam penglihatannya tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali."Pukulan kami mendarat tepat di dadanya. Mustinya dia sudah mampus, atau
Matahari pagi nan hangat menyapa Teluk Lawa di pantai selatan Jawadwipa. Sinar lembutnya menerangi permukaan air laut yang berlomba-lomba ke tepian pantai.Suara ombak berdebur di pantai terdengar ramai. Buih putih yang bertumpuk-tumpuk tertinggal di atas pasir kehitaman nan memanjang.Sementara angin bertiup perlahan, menggoyang daun-daun panjang pohon cemara laut yang masih dihinggapi embun berkilauan. Di dahan-dahan yang lebih tinggi, beberapa ekor burung berkicau riuh sembari bergerak ke sana-sini."Oh, sungguh pagi yang begitu sempurna," desah seorang lelaki tua yang baru saja membuka matanya yang cekung.Sepasang pipi lelaki tua itu juga cekung, kalau tak mau dikatakan peot. Sedangkan mulutnya hampir-hampir tak terlihat, tertutup kumis dan janggut panjang yang telah memutih seluruhnya.Rambut panjang lelaki tua itu juga putih sempurna. Terlihat bagaikan tumpukan benang perak ditimpa sinar jingga m
Yang terdengar hanya suara gemericik air aliran dua sungai yang bertemu pada percabangan tak jauh dari pondok. Diiringi nyanyian katak penghuni tepian sungai. Juga derik jangkrik yang bersembunyi di balik rerumputan lebat.Sesekali seruan burung puyuh gemak yang berat mendayu-dayu memenuhi udara. Sementara semilir angin darat yang bertiup ke arah lautan luas di mulut teluk membisikkan kedamaian dan ketenangan. Begitu melenakan.Segala macam suara alam itu masuk ke gendang telinga Seta. Awalnya hanya terdengar lamat-lamat bagai buaian di alam mimpi. Namun lambat laun semakin keras dan jelas. Sehingga kemudian mengembalikan kesadaran sang prajurit Kerajaan Jenggala."Oh, di manakah aku?" desisnya saat membuka kelopak mata.Yang pertama kali ditangkap sepasang bola mata Seta adalah sebuah langit-langit rendah. Batang-batang bambu tampak menyangga atap yang terbuat dari susunan ilalang kering. Lalu turun ke bawah, dilihatnya dinding anyaman bambu berwarna cok
Semenjak menemukan Seta di muara, si lelaki tua jadi punya kegiatan baru. Pada pagi hari begitu terang-terang tanah ia akan meninggalkan pondoknya di dekat percabangan sungai.Lelaki tua tersebut pergi ke hutan tak jauh dari pantai. Ia mencari aneka daun, akar, dan tetumbuhan obat lainnya. Utamanya daun dedalu atau gandarusa sebagai pereda nyeri, obat memar, sekaligus penurun panas.Lalu dua atau paling lama tiga kali penanakan nasi berselang lelaki tua tersebut sudah kembali lagi. Sesudah itu ia akan sibuk di bawah, di bagian terbuka di antara tiang-tiang pondok.Di sana, semua bahan obat-obatan yang didapat ia racik dan direbus. Ada juga yang sekedar ditumbuk halus. Ramuan obat yang sudah siap lantas ia bawa naik, untuk diborehkan ke bagian tubuh Seta yang terluka.Sehari sebanyak tiga kali si lelaki tua memborehkan ramuannya. Sementara praj
Meski sudah makan kenyang-kenyang dan minus sepuas-puasnya, Seta masih membutuhkan waktu lama untuk sekedar dapat berdiri. Hanya terbaring selama empat belas hari, serta tanpa asupan makanan maupun minuman sedikit pun, tak heran bila tenaganya sangat lemah.Setelah perutnya terisi dan berulang kali berlatih serta mencoba, barulah selepas tengah hari Seta dapat berdiri tegak serta berjalan seperti semula. Lelaki tua yang menolongnya terlihat sangat gembira melihat itu."Pemulihan tubuhmu terhitung cepat, anak muda. Kau juga mempunyai ketahanan tubuh di atas rata-rata. Orang yang tidak sadarkan diri begitu lama biasanya berlanjut pada kematian," ujar si lelaki tua.Saat itu keduanya sedang berjalan ke arah selatan, menyusuri badan sungai yang bermuara ke Teluk Lawa. Desau angin menemani langkah mereka. Rambut kedua lelaki berbeda usia itu pun riap-riapan terhalau bayu."Kalaupun kemudian orang itu siuman dan dapat hidup lebih lama, tidak sedikit yang lantas
Sebutir kelapa yang kulit sabutnya masih berwarna hijau jatuh ke atas pasir. Lalu kejap berikutnya dua butir kembali jatuh.Setelah itu, buk! Suara bergedebukan yang terdengar lebih keras, menandakan benda yang jatuh lebih besar. Ternyata si lelaki tua."Tiga saja kurasa cukup. Aku satu, dan yang dua lagi untukmu," ujar orang tua itu seraya tertawa mengekeh. Lalu enak saja ia duduk menjelepok di atas pasir."Kenapa aku harus dua, Ki? Satu saja sudah cukup," sahut Seta, sembari ikut duduk di pasir. Bagaimanapun, sebagai orang yang lebih muda usia ia merasa tidak enak hati.Kekehan si lelaki tua jadi bertambah panjang. Setelah puas tertawa baru ia menjelaskan."Kau masih dalam masa pemulihan, Anak Muda. Walaupun sudah mampu berjalan hingga sejauh ini, tubuhmu sebetulnya masih dalam masa pemulihan. Nah, air kelapa muda ini sangat baik untuk membantu pemulihan tubuh."Tak hanya dapat menghilangkan haus, air kelapa juga bagus untuk mengembalikan tenaga. Juga dapat meningkatkan kemampuan ot