MELEDAK sudah amarah Seta. Prajurit muda Jenggala ini tidak dapat menahan diri lagi. Mulutnya keluarkan suara menggeram dahsyat. Tubuhnya bergerak ke depan, menjauh dari batu tinggi tempatnya terikat. Kedua tangan dihentakkan kuat-kuat untuk memutus tali.
Pada percobaan pertama usaha tersebut gagal. Seta justru merasakan bagian tubuh dan tangannya yang terikat sakit bukan main. Apalagi luka sabetan parang di dadanya yang masih belum kering. Rasa perihnya sungguh tak terkira.
Akan tetapi sang prajurit tak mau ambil peduli. Hanya satu yang ada di kepalanya saat ini: menghabisi Ranajaya dan gerombolannya. Ia bahkan rela mati menyusul isterinya untuk itu.
"Heeeeeaaaa!"
Seta kembali menggembor keras. Sekali lagi badan dan kedua tangannya digerakkan secara bersamaan. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan habis-habisan. Tali-temali yang mengikat sang prajurit seketika menegang, sampai akhirnya ....
Taasss! Taasss!
Beberapa bagian tali putus dan jatuh ke lantai gua. Tubuh Seta terbebas lepas dari ikatan. Begitu kedua tangannya dapat bergerak leluasa, sang prajurit langsung menyerbu ke arah lelaki yang tadi menggauli isterinya secara paksa.
"Modar kowe, lelaki keparat!" teriak Seta sembari layangkan satu pukulan.
Yang diserang hanya berdiri diam macam orang linglung. Agaknya masih terkejut dan juga belum dapat mempercayai bagian kelelakiannya sudah tak ada lagi.
Karena sama sekali tidak bergerak menghindar, tinju Seta pun mendarat telak di wajah lelaki tersebut. Kepalanya sampai berputar ke samping saking kerasnya pukulan.
Buukkk!
Lelaki tersebut mengaduh lalu tersungkur, jatuh mengantuk sudut batu besar di mana jasad isteri Seta tergeletak. Seta pun mengejar dengan geram. Sebelah kakinya terjulur mengirim satu tendangan disertai teriakan menggelegar.
Kraaak!
Lagi-lagi yang diserang tidak menghindar. Tendangan Seta mendarat tepat di batang leher lelaki tersebut. Terdengar suara berderak tulang patah, diikuti lenguhan pendek.
Kejap berikutnya tubuh lelaki tersebut ambruk ke lantai gua. Setelahnya diam tak bergerak lagi.
"Bangsat! Kau sudah membunuh anak buahku!" Terdengar suara Ranajaya menggeram.
Seta berpaling ke arah asal suara. Dilihatnya lelaki bercambang bauk lebat itu melangkah mendekat. Di wajahnya yang bengis tersungging satu seringai lebar.
"Kau juga akan kubuat mati menyusul anak buahmu itu, Ranajaya keparat!" balas Seta.
Usai berkata begitu Seta bergerak cepat menyambar pedangnya yang tergeletak di lantai gua. Kejap selanjutnya senjata itu sudah diayunkan ke muka, mengarah ke batang leher Ranajaya.
Yang diserang mendengus pendek. Lelaki berwajah bengis itu tampak tenang-tenang saja. Namun rupanya diam-diam ia memberi isyarat pada dua lelaki bertopeng yang tadi menghajar Seta secara membokong.
Dua lelaki yang diberi isyarat segera melompat ke hadapan Seta. Salah satu dari mereka langsung lancarkan tendangan, mengarah ke pergelangan tangan sang prajurit yang tengah mengayun pedang. Sedangkan yang satu lagi mengirim tendangan ke arah dada.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Seta melengak kaget. Sama sekali tak menyangka bakal mendapat dua serangan cepat sekaligus seperti itu. Otaknya cepat berpikir. Lebih baik ia merelakan pedang terlepas ketimbang dadanya jadi sasaran.
Maka sang prajurit pun urungkan sabetannya. Tangan yang sudah terulur ditarik kembali, lalu tubuhnya dimiringkan sedikit sembari agak merunduk ke belakang. Dengan cara itu ia dapat menghindari dua tendangan yang dilepas kedua lawan sekaligus.
Akan tetapi Seta tak sempat bernapas lega. Begitu serangan pertama gagal, dua lelaki bertopeng sudah datang lagi dengan serangan berikutnya.
Dua kaki kembali menderu ke arahnya. Satu menuju ke kepala, satu lagi ke perut. Prajurit Jenggala ini menggeram marah.
"Bangsat haram jadah!" maki Seta. Sekuat tenaga ia lempar tubuh ke belakang, bersalto dua putaran menjauhi datangnya tendangan.
Sayang, rupanya lawan sudah menduga gerakan tersebut. Serangan itu pun agaknya hanya tipuan. Sebab saat tubuh Seta masih bersalto, kedua lelaki bertopeng tersebut meloncat mengikuti. Sembari melayang di udara, tangan keduanya melepas pukulan jarak jauh.
Wuuuusss! Wuuuusss!
Dua pukulan datang menderu dari dua arah. Seta kertakkan rahang. Keadaan dirinya tak memungkinkan untuk langsung menghindar. Ketika kemudian kakinya mendarat di lantai gua, serangan tersebut mendarat telak di tubuhnya.
Blaaaaar!
Satu letusan dahsyat terdengar, bergema memekakkan telinga. Suara tersebut diikuti mengepulnya segulung asap bercampur debut memenuhi ruangan gua. Dinding gua bergetar hebat seolah dilanda gempa.
Di antara semua itu, Seta memekik kesakitan. Dadanya kiri-kanan seolah dihantam sebatang balok batu besar. Sedangkan pernapasannya seketika menjadi sesak. Luka dalam yang tadi belum pulih, kini bertambah lagi.
Tubuh sang prajurit terlempar jauh ke belakang. Menghantam dinding gua dengan keras, lalu jatuh ke bawah dan tak bergerak lagi.
)|(
Begitu asap dan debu luruh, suasana di dalam gua menjadi begitu hening. Seta berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Ia tak dapat menggerakkan sekujur tubuh sama sekali. Namun sepasang telinga sang prajurit masih dapat menangkap suara-suara, meski samar.Suara yang pertama didengarnya adalah langkah kaki seseorang mendekat. Itu Ranajaya yang menghampirinya sembari membawa dua batang obor. Lelaki bercambang bauk lebat tersebut hentikan langkah setengah depa dari tubuh Seta."Agaknya dia sudah mati, Kang," terdengar satu suara. Yang berkata anak buah Ranajaya yang masih hidup.Yang diajak bicara tak langsung menanggapi. Sepasang matanya masih terus mengamat-amati keadaan Seta baik-baik. Lalu dengan sebelah kakinya tubuh si prajurit ditendang hingga terbalik, menjadi telentang. Dalam penglihatannya tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali."Pukulan kami mendarat tepat di dadanya. Mustinya dia sudah mampus, atau
Matahari pagi nan hangat menyapa Teluk Lawa di pantai selatan Jawadwipa. Sinar lembutnya menerangi permukaan air laut yang berlomba-lomba ke tepian pantai.Suara ombak berdebur di pantai terdengar ramai. Buih putih yang bertumpuk-tumpuk tertinggal di atas pasir kehitaman nan memanjang.Sementara angin bertiup perlahan, menggoyang daun-daun panjang pohon cemara laut yang masih dihinggapi embun berkilauan. Di dahan-dahan yang lebih tinggi, beberapa ekor burung berkicau riuh sembari bergerak ke sana-sini."Oh, sungguh pagi yang begitu sempurna," desah seorang lelaki tua yang baru saja membuka matanya yang cekung.Sepasang pipi lelaki tua itu juga cekung, kalau tak mau dikatakan peot. Sedangkan mulutnya hampir-hampir tak terlihat, tertutup kumis dan janggut panjang yang telah memutih seluruhnya.Rambut panjang lelaki tua itu juga putih sempurna. Terlihat bagaikan tumpukan benang perak ditimpa sinar jingga m
Yang terdengar hanya suara gemericik air aliran dua sungai yang bertemu pada percabangan tak jauh dari pondok. Diiringi nyanyian katak penghuni tepian sungai. Juga derik jangkrik yang bersembunyi di balik rerumputan lebat.Sesekali seruan burung puyuh gemak yang berat mendayu-dayu memenuhi udara. Sementara semilir angin darat yang bertiup ke arah lautan luas di mulut teluk membisikkan kedamaian dan ketenangan. Begitu melenakan.Segala macam suara alam itu masuk ke gendang telinga Seta. Awalnya hanya terdengar lamat-lamat bagai buaian di alam mimpi. Namun lambat laun semakin keras dan jelas. Sehingga kemudian mengembalikan kesadaran sang prajurit Kerajaan Jenggala."Oh, di manakah aku?" desisnya saat membuka kelopak mata.Yang pertama kali ditangkap sepasang bola mata Seta adalah sebuah langit-langit rendah. Batang-batang bambu tampak menyangga atap yang terbuat dari susunan ilalang kering. Lalu turun ke bawah, dilihatnya dinding anyaman bambu berwarna cok
Semenjak menemukan Seta di muara, si lelaki tua jadi punya kegiatan baru. Pada pagi hari begitu terang-terang tanah ia akan meninggalkan pondoknya di dekat percabangan sungai.Lelaki tua tersebut pergi ke hutan tak jauh dari pantai. Ia mencari aneka daun, akar, dan tetumbuhan obat lainnya. Utamanya daun dedalu atau gandarusa sebagai pereda nyeri, obat memar, sekaligus penurun panas.Lalu dua atau paling lama tiga kali penanakan nasi berselang lelaki tua tersebut sudah kembali lagi. Sesudah itu ia akan sibuk di bawah, di bagian terbuka di antara tiang-tiang pondok.Di sana, semua bahan obat-obatan yang didapat ia racik dan direbus. Ada juga yang sekedar ditumbuk halus. Ramuan obat yang sudah siap lantas ia bawa naik, untuk diborehkan ke bagian tubuh Seta yang terluka.Sehari sebanyak tiga kali si lelaki tua memborehkan ramuannya. Sementara praj
Meski sudah makan kenyang-kenyang dan minus sepuas-puasnya, Seta masih membutuhkan waktu lama untuk sekedar dapat berdiri. Hanya terbaring selama empat belas hari, serta tanpa asupan makanan maupun minuman sedikit pun, tak heran bila tenaganya sangat lemah.Setelah perutnya terisi dan berulang kali berlatih serta mencoba, barulah selepas tengah hari Seta dapat berdiri tegak serta berjalan seperti semula. Lelaki tua yang menolongnya terlihat sangat gembira melihat itu."Pemulihan tubuhmu terhitung cepat, anak muda. Kau juga mempunyai ketahanan tubuh di atas rata-rata. Orang yang tidak sadarkan diri begitu lama biasanya berlanjut pada kematian," ujar si lelaki tua.Saat itu keduanya sedang berjalan ke arah selatan, menyusuri badan sungai yang bermuara ke Teluk Lawa. Desau angin menemani langkah mereka. Rambut kedua lelaki berbeda usia itu pun riap-riapan terhalau bayu."Kalaupun kemudian orang itu siuman dan dapat hidup lebih lama, tidak sedikit yang lantas
Sebutir kelapa yang kulit sabutnya masih berwarna hijau jatuh ke atas pasir. Lalu kejap berikutnya dua butir kembali jatuh.Setelah itu, buk! Suara bergedebukan yang terdengar lebih keras, menandakan benda yang jatuh lebih besar. Ternyata si lelaki tua."Tiga saja kurasa cukup. Aku satu, dan yang dua lagi untukmu," ujar orang tua itu seraya tertawa mengekeh. Lalu enak saja ia duduk menjelepok di atas pasir."Kenapa aku harus dua, Ki? Satu saja sudah cukup," sahut Seta, sembari ikut duduk di pasir. Bagaimanapun, sebagai orang yang lebih muda usia ia merasa tidak enak hati.Kekehan si lelaki tua jadi bertambah panjang. Setelah puas tertawa baru ia menjelaskan."Kau masih dalam masa pemulihan, Anak Muda. Walaupun sudah mampu berjalan hingga sejauh ini, tubuhmu sebetulnya masih dalam masa pemulihan. Nah, air kelapa muda ini sangat baik untuk membantu pemulihan tubuh."Tak hanya dapat menghilangkan haus, air kelapa juga bagus untuk mengembalikan tenaga. Juga dapat meningkatkan kemampuan ot
Sembari menggembor keras tubuh Wirakapi melesat ke depan. Kedua cakarnya berkelebat cepat, bergerak mengarah pada wajah Ki Sajiwa. Sekelebat angin menderu dahsyat bersamaan dengan datangnya cakaran itu.Yang diserang ganda tertawa. Tanpa menoleh ia berkata pada Seta yang tampak kebingungan, "Kau tidak perlu ikut-ikutan, Anak Muda. Cukup saksikan saja bagaimana aku bermain-main dengan sepasang kera tak tahu diri ini. Sana, cari tempat yang aman."Seta menurut. Selain masih belum pulih benar, sang prajurit tak yakin dapat menandingi kemampuan lelaki berbulu lebat tersebut. Maka ia pun bergegas menjauh dari kalangan pertempuran.Sementara Ki Sajiwa memutar-mutar kelapa hijau yang masih berada di tangannya. Kemudian kedua kakinya ditekuk, menirukan kuda-kuda Wirakapi tadi. Selanjutnya tangan yang memegang kelapa hijau ditarik ke belakang."Kau yang rasakan ini, Wirakapi. Ini jurus Kera Melempar Kelapa Muda. Hahaha," u
Wirakapi mengeluh tertahan. Bukan cuma kepalanya yang terpuntir dengan keras, tapi tubuhnya juga ikut berputar setengah lingkaran. Lalu jatuh berdebam ke atas pasir.Tanpa menunggu lawan bangkit, Ki Sajiwa sudah menyusulkan serangan kedua. Kakinya mendarat sekejap di pasir, lalu tubuhnya kembali melenting tinggi ke atas tubuh Wirakapi yang masih tergeletak.Saat tubuhnya meluncur turun, kedua tangan lelaki tua itu terentang ke samping menyerupai sayap burung. Sedangkan kakinya yang sebelah ditekuk, sebelah lagi lurus ke bawah. Tumitnya mengarah ke leher Wirakapi."Wirakapi, ini namanya jurus Bangau Tongtong Mencocol Ikan!" seru Ki Sajiwa, masih sempat-sempatnya tertawa.Lelaki berbulu lebat yang diserang bergulingan ke samping. Serangan Ki Sajiwa jadi meleset. Tumit lelaki tua itu mendarat satu jengkal dari lehernya. Namun serangan berikutnya yang sungguh tidak diduga-duga oleh Wirakapi.Kaki Ki Sajiwa yang menghujam lurus rupanya hanya pancingan. Karena begitu Wirakapi menghindar dan