Begitu asap dan debu luruh, suasana di dalam gua menjadi begitu hening. Seta berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Ia tak dapat menggerakkan sekujur tubuh sama sekali. Namun sepasang telinga sang prajurit masih dapat menangkap suara-suara, meski samar.
Suara yang pertama didengarnya adalah langkah kaki seseorang mendekat. Itu Ranajaya yang menghampirinya sembari membawa dua batang obor. Lelaki bercambang bauk lebat tersebut hentikan langkah setengah depa dari tubuh Seta.
"Agaknya dia sudah mati, Kang," terdengar satu suara. Yang berkata anak buah Ranajaya yang masih hidup.
Yang diajak bicara tak langsung menanggapi. Sepasang matanya masih terus mengamat-amati keadaan Seta baik-baik. Lalu dengan sebelah kakinya tubuh si prajurit ditendang hingga terbalik, menjadi telentang. Dalam penglihatannya tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali.
"Pukulan kami mendarat tepat di dadanya. Mustinya dia sudah mampus, atau setidak-tidaknya tengah sekarat," imbuh suara lain. Salah satu dari dua lelaki bertopeng yang tadi menghajar Seta.
Ranajaya masih diam. Namun sejurus kemudian terdengar ia menyahut.
"Benar katamu, Wirama. Kalau dilihat-lihat, sepertinya prajurit tengik ini memang sudah mati. Kalaupun belum, pastilah dia tengah sekarat dan tak lama lagi bakal modar."
Terdengar satu dengusan tak setuju. Asalnya dari lelaki bertopeng yang satu lagi.
"Kenapa tidak kau tusuk saja dadanya dengan parang di tanganmu itu? Atau sekalian penggal lehernya sampai putus?" ujar lelaki si lelaki bertopeng.
Suara tawa Ranajaya membahana. Bergema setelah memantul di dinding-dinding gua.
"Balanatha, dengar. Orang-orang memang menyebutku sebagai penjahat. Tapi aku bukanlah seorang pengecut! Mana mungkin aku menyerang musuh yang sudah dalam keadaan tak berdaya seperti ini," sahutnya.
"Jangan mencari penyakit, Rana! Bagaimana kalau ternyata dia masih hidup? Ketimbang menyimpan masalah di masa depan, lebih baik habisi saja dia sekarang," ujar lelaki yang dipanggil Balanatha.
"Tidak, tidak, Natha," Ranajaya berkeras. "Bukankah kau ingin kematian prajurit tengik menggegerkan?"
Lelaki yang dipanggil Balanatha kembali mendengus. Agaknya ia masih kurang sepakat, namun tak ada bantahan lagi yang keluar dari mulutnya.
Sementara di tempatnya, jantung Seta berdetak lebih cepat mendengar nama yang disebut Ranajaya tersebut.
'Balanatha? Apakah dia ...?' desis sang prajurit bertanya-tanya dalam hati.
Seketika satu dugaan berkelebat di kepala Seta yang mulai terasa pusing. Namun prajurit Kerajaan Jenggala itu tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan membuka kelopak mata pun ia tak kuat.
"Kita tetap pada rencana semula." Kembali terdengar suara Ranajaya. "Buang tubuh prajurit ini ke sungai dan biarkan mengambang hanyut, sampai ditemukan oleh penduduk. Atau ditemukan nelayan kalau ternyata tubuhnya terbawa sampai ke laut."
"Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo cepat kita tenggelamkan dia di sungai!" sahut orang yang dipanggil Balanatha.
Usai berkata begitu lelaki bertopeng tersebut bungkukkan badan, siap mengangkat tubuh Seta.
"Sudah, biar prajurit tengik ini jadi urusan kami. Kau dan Wirama cepatlah pergi sejauh mungkin dari sini. Jangan sampai ada yang melihat keberadaan kalian berdua di sini," kata Ranajaya mencegah.
Balanatha urungkan niat. Setelah anggukkan kepala pada Ranajaya, ia memberi isyarat pada lelaki bertopeng satu lagi. Dengan membawa sebatang obor kedua orang itu melangkah keluar gua.
Berselang beberapa saat kemudian, Ranajaya berpaling pada satu-satunya anak buahnya yang tersisa.
"Ayo kita seret dia keluar!" perintahnya.
Anak buah Ranajaya mengangguk patuh. Lalu keduanya keluar sembari menggotong tubuh Seta.
Setibanya di mulut gua, malam telah benar-benar datang. Kegelapan menyungkupi kawasan hutan di sekeliling Gua Selogiri.
Ranajaya membawa tubuh Seta di atas punggung kudanya. Berdua bersama anak buahnya ia berkuda ke arah selatan. Tiba di satu tepian sungai, keduanya hentikan kuda masing-masing dan membawa turun tubuh sang prajurit.
"Sudah, di sini saja. Aku rasa arusnya sudah cukup deras," terdengar suara Ranajaya.
Seta masih dapat merasakan tubuhnya diturunkan dari atas punggung kuda, lalu digotong sebentar. Akan tetapi ia tak kuasa membuka mata untuk melihat di mana dirinya dibawa. Hanya sepasang telinganya lamat-lamat mendengar suara gemericik air mengalir.
Beberapa kejap kemudian, Seta merasa tubuhnya diayun-ayun beberapa kali. Setelah itu tangan-tangan yang memegangi kedua tangan dan kakinya dilepaskan. Dalam keadaan antara sadar dan tidak Seta merasakan dirinya tengah melayang dan....
Byuuurrr!
Terdengar suara kecipak air bersamaan dengan hawa dingin yang seketika menyelimuti sekujur kulit. Tepat di saat itulah kesadaran Seta lenyap.
)|(
Matahari pagi nan hangat menyapa Teluk Lawa di pantai selatan Jawadwipa. Sinar lembutnya menerangi permukaan air laut yang berlomba-lomba ke tepian pantai.Suara ombak berdebur di pantai terdengar ramai. Buih putih yang bertumpuk-tumpuk tertinggal di atas pasir kehitaman nan memanjang.Sementara angin bertiup perlahan, menggoyang daun-daun panjang pohon cemara laut yang masih dihinggapi embun berkilauan. Di dahan-dahan yang lebih tinggi, beberapa ekor burung berkicau riuh sembari bergerak ke sana-sini."Oh, sungguh pagi yang begitu sempurna," desah seorang lelaki tua yang baru saja membuka matanya yang cekung.Sepasang pipi lelaki tua itu juga cekung, kalau tak mau dikatakan peot. Sedangkan mulutnya hampir-hampir tak terlihat, tertutup kumis dan janggut panjang yang telah memutih seluruhnya.Rambut panjang lelaki tua itu juga putih sempurna. Terlihat bagaikan tumpukan benang perak ditimpa sinar jingga m
Yang terdengar hanya suara gemericik air aliran dua sungai yang bertemu pada percabangan tak jauh dari pondok. Diiringi nyanyian katak penghuni tepian sungai. Juga derik jangkrik yang bersembunyi di balik rerumputan lebat.Sesekali seruan burung puyuh gemak yang berat mendayu-dayu memenuhi udara. Sementara semilir angin darat yang bertiup ke arah lautan luas di mulut teluk membisikkan kedamaian dan ketenangan. Begitu melenakan.Segala macam suara alam itu masuk ke gendang telinga Seta. Awalnya hanya terdengar lamat-lamat bagai buaian di alam mimpi. Namun lambat laun semakin keras dan jelas. Sehingga kemudian mengembalikan kesadaran sang prajurit Kerajaan Jenggala."Oh, di manakah aku?" desisnya saat membuka kelopak mata.Yang pertama kali ditangkap sepasang bola mata Seta adalah sebuah langit-langit rendah. Batang-batang bambu tampak menyangga atap yang terbuat dari susunan ilalang kering. Lalu turun ke bawah, dilihatnya dinding anyaman bambu berwarna cok
Semenjak menemukan Seta di muara, si lelaki tua jadi punya kegiatan baru. Pada pagi hari begitu terang-terang tanah ia akan meninggalkan pondoknya di dekat percabangan sungai.Lelaki tua tersebut pergi ke hutan tak jauh dari pantai. Ia mencari aneka daun, akar, dan tetumbuhan obat lainnya. Utamanya daun dedalu atau gandarusa sebagai pereda nyeri, obat memar, sekaligus penurun panas.Lalu dua atau paling lama tiga kali penanakan nasi berselang lelaki tua tersebut sudah kembali lagi. Sesudah itu ia akan sibuk di bawah, di bagian terbuka di antara tiang-tiang pondok.Di sana, semua bahan obat-obatan yang didapat ia racik dan direbus. Ada juga yang sekedar ditumbuk halus. Ramuan obat yang sudah siap lantas ia bawa naik, untuk diborehkan ke bagian tubuh Seta yang terluka.Sehari sebanyak tiga kali si lelaki tua memborehkan ramuannya. Sementara praj
Meski sudah makan kenyang-kenyang dan minus sepuas-puasnya, Seta masih membutuhkan waktu lama untuk sekedar dapat berdiri. Hanya terbaring selama empat belas hari, serta tanpa asupan makanan maupun minuman sedikit pun, tak heran bila tenaganya sangat lemah.Setelah perutnya terisi dan berulang kali berlatih serta mencoba, barulah selepas tengah hari Seta dapat berdiri tegak serta berjalan seperti semula. Lelaki tua yang menolongnya terlihat sangat gembira melihat itu."Pemulihan tubuhmu terhitung cepat, anak muda. Kau juga mempunyai ketahanan tubuh di atas rata-rata. Orang yang tidak sadarkan diri begitu lama biasanya berlanjut pada kematian," ujar si lelaki tua.Saat itu keduanya sedang berjalan ke arah selatan, menyusuri badan sungai yang bermuara ke Teluk Lawa. Desau angin menemani langkah mereka. Rambut kedua lelaki berbeda usia itu pun riap-riapan terhalau bayu."Kalaupun kemudian orang itu siuman dan dapat hidup lebih lama, tidak sedikit yang lantas
Sebutir kelapa yang kulit sabutnya masih berwarna hijau jatuh ke atas pasir. Lalu kejap berikutnya dua butir kembali jatuh.Setelah itu, buk! Suara bergedebukan yang terdengar lebih keras, menandakan benda yang jatuh lebih besar. Ternyata si lelaki tua."Tiga saja kurasa cukup. Aku satu, dan yang dua lagi untukmu," ujar orang tua itu seraya tertawa mengekeh. Lalu enak saja ia duduk menjelepok di atas pasir."Kenapa aku harus dua, Ki? Satu saja sudah cukup," sahut Seta, sembari ikut duduk di pasir. Bagaimanapun, sebagai orang yang lebih muda usia ia merasa tidak enak hati.Kekehan si lelaki tua jadi bertambah panjang. Setelah puas tertawa baru ia menjelaskan."Kau masih dalam masa pemulihan, Anak Muda. Walaupun sudah mampu berjalan hingga sejauh ini, tubuhmu sebetulnya masih dalam masa pemulihan. Nah, air kelapa muda ini sangat baik untuk membantu pemulihan tubuh."Tak hanya dapat menghilangkan haus, air kelapa juga bagus untuk mengembalikan tenaga. Juga dapat meningkatkan kemampuan ot
Sembari menggembor keras tubuh Wirakapi melesat ke depan. Kedua cakarnya berkelebat cepat, bergerak mengarah pada wajah Ki Sajiwa. Sekelebat angin menderu dahsyat bersamaan dengan datangnya cakaran itu.Yang diserang ganda tertawa. Tanpa menoleh ia berkata pada Seta yang tampak kebingungan, "Kau tidak perlu ikut-ikutan, Anak Muda. Cukup saksikan saja bagaimana aku bermain-main dengan sepasang kera tak tahu diri ini. Sana, cari tempat yang aman."Seta menurut. Selain masih belum pulih benar, sang prajurit tak yakin dapat menandingi kemampuan lelaki berbulu lebat tersebut. Maka ia pun bergegas menjauh dari kalangan pertempuran.Sementara Ki Sajiwa memutar-mutar kelapa hijau yang masih berada di tangannya. Kemudian kedua kakinya ditekuk, menirukan kuda-kuda Wirakapi tadi. Selanjutnya tangan yang memegang kelapa hijau ditarik ke belakang."Kau yang rasakan ini, Wirakapi. Ini jurus Kera Melempar Kelapa Muda. Hahaha," u
Wirakapi mengeluh tertahan. Bukan cuma kepalanya yang terpuntir dengan keras, tapi tubuhnya juga ikut berputar setengah lingkaran. Lalu jatuh berdebam ke atas pasir.Tanpa menunggu lawan bangkit, Ki Sajiwa sudah menyusulkan serangan kedua. Kakinya mendarat sekejap di pasir, lalu tubuhnya kembali melenting tinggi ke atas tubuh Wirakapi yang masih tergeletak.Saat tubuhnya meluncur turun, kedua tangan lelaki tua itu terentang ke samping menyerupai sayap burung. Sedangkan kakinya yang sebelah ditekuk, sebelah lagi lurus ke bawah. Tumitnya mengarah ke leher Wirakapi."Wirakapi, ini namanya jurus Bangau Tongtong Mencocol Ikan!" seru Ki Sajiwa, masih sempat-sempatnya tertawa.Lelaki berbulu lebat yang diserang bergulingan ke samping. Serangan Ki Sajiwa jadi meleset. Tumit lelaki tua itu mendarat satu jengkal dari lehernya. Namun serangan berikutnya yang sungguh tidak diduga-duga oleh Wirakapi.Kaki Ki Sajiwa yang menghujam lurus rupanya hanya pancingan. Karena begitu Wirakapi menghindar dan
Taman luas itu begitu indah dengan aneka bunga bermekaran di sana-sini. Kupu-kupu bermacam warna terbang kian-kemari. Hinggap di satu kuncup, lalu berpindah ke yang satunya lagi. Ada pula kumbang-kumbang yang beterbangan mengintai putik sari.Dalam keluasan taman itu Seta bermain-main dengan seorang bocah lelaki berusia tiga. Senyum lebar tak pernah lepas dari wajah keduanya. Saling berkejaran sembari memperdengarkan gelak tawa.Sekali waktu ditangkapnya itu bocah kecil bergas, lalu dibawa bergulingan sembari dipeluk erat-erat. Pipi montok si bocah diciumi dengan gemas, membuat anak kecil tersebut merasa geli oleh tusukan kumisnya yang lebat."Kena kau, anak kecil!" ujar Seta sembari menangkap si bocah.Yang ditangkap terkikik geli, bergerak meronta-ronta ingin melepaskan diri. Namun Seta semakin kencangkan pelukannya. Diangkatnya si bocah tinggi-tinggi ke udara, lalu dengan kedua tangan diayun-ayun seolah terbang
Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma
Mentari pagi yang baru saja terbit menyinari tanah Jenggala dengan lembut, tetapi suasana di alun-alun kerajaan dipenuhi ketegangan. Sejumlah warga telah berkumpul, berbisik-bisik dan menunggu momen yang akan menjadi peringatan kelam dalam sejarah Jenggala.Di tengah kerumunan itu, Seta berdiri bersama Ki Sajiwa, keduanya diam membisu. Sorot mata Seta menunjukkan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelelahan yang mendalam.Tak jauh dari situ, rombongan prajurit yang dipimpin Rakryan Rangga tiba di gerbang penjara. Empat wira tamtama gagah berjaga di luar, dan begitu Rakryan Rangga muncul, mereka segera membuka jalan. Dengan langkah tegas, Rakryan Rangga masuk ke ruang tahanan.Dyah Wisesa sedang duduk bersila di lantai kerangkengnya, wajahnya tak lagi menyiratkan kesombongan, tetapi tatapannya masih penuh rasa penasaran. Ketika melihat Rakryan Rangga datang bersama pasukan kecilnya, ia berdiri perlahan dan tersenyum sinis.“Aku yakin kalian da
Pagi itu, suasana balairung istana Jenggala dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara burung-burung pagi yang terdengar dari luar, menyusup melalui celah-celah dinding istana.Sri Prabu Girindra duduk di atas singgasananya dengan wajah yang tampak muram. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam lengan singgasana dengan erat, menahan gejolak emosi yang tak terlihat.Di hadapannya berdiri Dyah Daru dan Rakryan Rangga, dua sosok yang paling dipercaya untuk memberikan pandangan jernih dalam menghadapi persoalan pelik ini. Mereka berdua menunggu dengan hormat, membiarkan Sri Prabu menjadi yang pertama membuka pembicaraan.“Adikku Daru, Rakryan Rangga,” ujar Sri Prabu dengan nada berat. “Kalian tahu mengapa aku memanggil kalian kemari pagi ini.”Dyah Daru mengangguk pelan. “Hamba mengerti, Gusti Prabu,” jawabnya dengan penuh hormat.Rakryan Rangga hanya membungkukkan badan tanpa berani
Suasana di penjara istana terasa mencekam. Dinding batu yang dingin dan bau lembap menyelubungi setiap sudut ruangan.Seta melangkah dengan kaki yang penuh tekad. Ia datang untuk menemui seorang tahanan yang kini terkurung dalam kerangkeng besi, di ujung penjara yang paling jauh.Dyah Wisesa, sang bangsawan yang dulu begitu dihormati, kini duduk di sudut kerangkeng, wajahnya tampak suram, penuh dengan keputusasaan. Ia tampak jauh lebih lemah dibandingkan ketika siang tadi dihadapkan pada Sri Prabu Girindra.Namun, meskipun penampilan Dyah Wisesa tak seperti dulu, kebencian yang ada di dalam dirinya masih tampak jelas, tersirat di balik matanya yang tajam.Setelah tiba di depan ruang tahanan di mana Dyah Wisesa dikurung, Seta tak membuang waktu. Ia mendekat, meletakkan tangan di atas jeruji penjara. Matanya menatap tajam ke arah Dyah Wisesa, bibirnya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.“Dyah Wisesa,” ujar Set
Malam di Kotaraja Jenggala begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara angin yang menerpa pepohonan di taman istana.Di balkon kamar istana, Sri Prabu Girindra berdiri memandangi bulan yang menggantung di langit, sinarnya memantulkan warna perak pada segala sesuatu di bawahnya. Wajah sang raja tampak diliputi kekalutan, meski ia berdiri dengan tubuh tegap.Langkah lembut terdengar dari dalam kamar. Permaisuri, mengenakan kain sutra lembut dengan selendang melilit bahunya, melangkah menghampiri. Ia membawa ketenangan dalam setiap gerakannya, dan senyumnya yang hangat mengusir dinginnya malam.“Kakang Prabu, kenapa belum tidur?” tanyanya lembut sambil menyentuh lengan suaminya.Sri Prabu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku belum mengantuk, mana bisa tidur? Pikiran ini masih terlalu penuh untuk bisa terlelap ke alam impian.”Permaisuri menarik tangan Sri Prabu Girindra, menggenggam jari-jari suaminya itu dengan lembut.
Mata keris Dyah Wisesa berkilat di bawah sinar matahari, meluncur cepat mengarah ke leher Seta. Namun, dengan ketenangan luar biasa, Seta memiringkan tubuhnya pada detik terakhir, membiarkan keris itu hanya mencium angin.Sambil menghindar, Seta sambil menangkap pergelangan tangan Dyah Wisesa dengan cengkeraman kuat, memutar tubuhnya, dan menggunakan momentum itu untuk melepaskan keris dari genggaman lawannya.“Kau terlalu lamban,” ujar Seta dingin, melemparkan keris itu jauh dari jangkauan Dyah Wisesa.Namun, Dyah Wisesa belum menyerah. Ia melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, setiap serangannya berusaha menembus pertahanan Seta.Yang tidak diketahui Dyah Wisesa, lawannya adalah seorang prajurit pilihan nan terlatih, dengan gerak tubuh yang terukur dan efisien. Belum lagi hasil gemblengan Ki Sajiwa di Teluk Lawa menambah kecepatan dan ketangkasan gerakan Seta.Maka, setiap serangan Dyah Wisesa tidak hanya gagal mengenai sasar
Ketegangan di balairung istana mencapai puncak. Dyah Wisesa yang sudah dikuasai amarah menghunus kerisnya, mengarahkan senjata itu langsung ke dada Sri Prabu Girindra.Namun sebelum mata keris sempat menyentuh kulit sang raja, sebuah bayangan bergerak lebih cepat dari semua yang ada di balairung.“Seta!” seru Ki Sajiwa saat menyadari siapa yang barusan bergerak, tetapi panggilannya terlambat.Seta telah melesat bagaikan panah yang lepas dari busurnya. Dengan satu gerakan lincah, ia menghadang Dyah Wisesa.Tangan kanan sang wira tamtama terjulur, menangkis serangan dengan telapak tangan yang penuh tenaga dalam. Denting logam terdengar nyaring ketika keris Dyah Wisesa terpental ke udara.“Brak!”Satu dorongan keras dari Seta membuat Dyah Wisesa terjengkang jauh ke belakang, hingga menabrak tiang penyangga balairung.Para pejabat dan prajurit yang menyaksikan terhenyak, terkejut oleh keberanian Seta melawan seoran
Balairung istana yang sebelumnya mencekam kini terasa semakin tegang. Semua orang, mulai dari para pejabat hingga prajurit yang berjaga, menanti kelanjutan persidangan yang membawa Jenggala ke dalam gejolak.Dyah Daru, yang berdiri tegak di dekat Dyah Wisesa, menghela napas panjang. Ia kemudian melangkah maju, menyampaikan sesuatu yang membuat suasana makin panas.“Paduka Prabu,” ujar Dyah Daru sambil membungkuk hormat, “izinkan hamba menyampaikan satu hal lagi yang hamba ketahui tentang Kakanda Wisesa.""Katakan, Daru," sahut Sri Prabu cepat."Dini hari tadi, Kakang Wisesa dan pasukannya bersiap melarikan diri ke Panjalu. Untungnya, hamba dan Rakryan Rangga bergerak tepat waktu sehingga dapat menggagalkan rencana tersebut. Hamba bersama pasukan berhasil mengadang mereka sebelum mencapai perbatasan."Sementara itu, kami juga berhasil membuat Arya Jatikusuma beserta pasukannya berbalik arah menuju Kotaraja, padahal mereka semula he
Balairung istana semakin terasa mencekam. Matahari yang mulai tinggi memancarkan cahaya keemasan melalui celah-celah jendela, tetapi suasana di dalam ruangan tetap suram.Dyah Wisesa berdiri tegak dengan kepala menunduk, wajahnya penuh amarah yang ditahan. Di hadapan Sri Prabu Girindra, ia terlihat seperti seorang kesatria yang terpojok tetapi menolak menyerah.Sri Prabu, yang duduk dengan wibawa di atas singgasana, menatap adiknya itu dengan sorot mata penuh kekecewaan.“Wisesa, sampai kapan kau akan terus menyangkal? Tidakkah kau sadar bahwa segala bukti dan kesaksian mulai mengarah padamu? Aku bertanya sekali lagi, apakah benar kau bekerja sama dengan Dyah Srengga untuk menggagalkan cucuku menjadi putera mahkota sekaligus mengganggu takhta Jenggala?”Dyah Wisesa mengangkat wajah. Tatapannya tegas dan penuh rasa tersinggung.“Paduka Prabu, semua tuduhan itu tidak lebih dari fitnah keji. Hamba telah menjadi korban satu komplotan