Share

9 - Dibuang

Begitu asap dan debu luruh, suasana di dalam gua menjadi begitu hening. Seta berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Ia tak dapat menggerakkan sekujur tubuh sama sekali. Namun sepasang telinga sang prajurit masih dapat menangkap suara-suara, meski samar.

Suara yang pertama didengarnya adalah langkah kaki seseorang mendekat. Itu Ranajaya yang menghampirinya sembari membawa dua batang obor. Lelaki bercambang bauk lebat tersebut hentikan langkah setengah depa dari tubuh Seta.

"Agaknya dia sudah mati, Kang," terdengar satu suara. Yang berkata anak buah Ranajaya yang masih hidup.

Yang diajak bicara tak langsung menanggapi. Sepasang matanya masih terus mengamat-amati keadaan Seta baik-baik. Lalu dengan sebelah kakinya tubuh si prajurit ditendang hingga terbalik, menjadi telentang. Dalam penglihatannya tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali.

"Pukulan kami mendarat tepat di dadanya. Mustinya dia sudah mampus, atau setidak-tidaknya tengah sekarat," imbuh suara lain. Salah satu dari dua lelaki bertopeng yang tadi menghajar Seta.

Ranajaya masih diam. Namun sejurus kemudian terdengar ia menyahut.

"Benar katamu, Wirama. Kalau dilihat-lihat, sepertinya prajurit tengik ini memang sudah mati. Kalaupun belum, pastilah dia tengah sekarat dan tak lama lagi bakal modar."

Terdengar satu dengusan tak setuju. Asalnya dari lelaki bertopeng yang satu lagi.

"Kenapa tidak kau tusuk saja dadanya dengan parang di tanganmu itu? Atau sekalian penggal lehernya sampai putus?" ujar lelaki si lelaki bertopeng.

Suara tawa Ranajaya membahana. Bergema setelah memantul di dinding-dinding gua.

"Balanatha, dengar. Orang-orang memang menyebutku sebagai penjahat. Tapi aku bukanlah seorang pengecut! Mana mungkin aku menyerang musuh yang sudah dalam keadaan tak berdaya seperti ini," sahutnya.

"Jangan mencari penyakit, Rana! Bagaimana kalau ternyata dia masih hidup? Ketimbang menyimpan masalah di masa depan, lebih baik habisi saja dia sekarang," ujar lelaki yang dipanggil Balanatha.

"Tidak, tidak, Natha," Ranajaya berkeras. "Bukankah kau ingin kematian prajurit tengik menggegerkan?"

Lelaki yang dipanggil Balanatha kembali mendengus. Agaknya ia masih kurang sepakat, namun tak ada bantahan lagi yang keluar dari mulutnya.

Sementara di tempatnya, jantung Seta berdetak lebih cepat mendengar nama yang disebut Ranajaya tersebut.

'Balanatha? Apakah dia ...?' desis sang prajurit bertanya-tanya dalam hati.

Seketika satu dugaan berkelebat di kepala Seta yang mulai terasa pusing. Namun prajurit Kerajaan Jenggala itu tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan membuka kelopak mata pun ia tak kuat.

"Kita tetap pada rencana semula." Kembali terdengar suara Ranajaya. "Buang tubuh prajurit ini ke sungai dan biarkan mengambang hanyut, sampai ditemukan oleh penduduk. Atau ditemukan nelayan kalau ternyata tubuhnya terbawa sampai ke laut."

"Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo cepat kita tenggelamkan dia di sungai!" sahut orang yang dipanggil Balanatha.

Usai berkata begitu lelaki bertopeng tersebut bungkukkan badan, siap mengangkat tubuh Seta.

"Sudah, biar prajurit tengik ini jadi urusan kami. Kau dan Wirama cepatlah pergi sejauh mungkin dari sini. Jangan sampai ada yang melihat keberadaan kalian berdua di sini," kata Ranajaya mencegah.

Balanatha urungkan niat. Setelah anggukkan kepala pada Ranajaya, ia memberi isyarat pada lelaki bertopeng satu lagi. Dengan membawa sebatang obor kedua orang itu melangkah keluar gua.

Berselang beberapa saat kemudian, Ranajaya berpaling pada satu-satunya anak buahnya yang tersisa.

"Ayo kita seret dia keluar!" perintahnya.

Anak buah Ranajaya mengangguk patuh. Lalu keduanya keluar sembari menggotong tubuh Seta.

Setibanya di mulut gua, malam telah benar-benar datang. Kegelapan menyungkupi kawasan hutan di sekeliling Gua Selogiri.

Ranajaya membawa tubuh Seta di atas punggung kudanya. Berdua bersama anak buahnya ia berkuda ke arah selatan. Tiba di satu tepian sungai, keduanya hentikan kuda masing-masing dan membawa turun tubuh sang prajurit.

"Sudah, di sini saja. Aku rasa arusnya sudah cukup deras," terdengar suara Ranajaya.

Seta masih dapat merasakan tubuhnya diturunkan dari atas punggung kuda, lalu digotong sebentar. Akan tetapi ia tak kuasa membuka mata untuk melihat di mana dirinya dibawa. Hanya sepasang telinganya lamat-lamat mendengar suara gemericik air mengalir.

Beberapa kejap kemudian, Seta merasa tubuhnya diayun-ayun beberapa kali. Setelah itu tangan-tangan yang memegangi kedua tangan dan kakinya dilepaskan. Dalam keadaan antara sadar dan tidak Seta merasakan dirinya tengah melayang dan....

Byuuurrr!

Terdengar suara kecipak air bersamaan dengan hawa dingin yang seketika menyelimuti sekujur kulit. Tepat di saat itulah kesadaran Seta lenyap.

)|(

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status