Taman luas itu begitu indah dengan aneka bunga bermekaran di sana-sini. Kupu-kupu bermacam warna terbang kian-kemari. Hinggap di satu kuncup, lalu berpindah ke yang satunya lagi. Ada pula kumbang-kumbang yang beterbangan mengintai putik sari.
Dalam keluasan taman itu Seta bermain-main dengan seorang bocah lelaki berusia tiga. Senyum lebar tak pernah lepas dari wajah keduanya. Saling berkejaran sembari memperdengarkan gelak tawa.
Sekali waktu ditangkapnya itu bocah kecil bergas, lalu dibawa bergulingan sembari dipeluk erat-erat. Pipi montok si bocah diciumi dengan gemas, membuat anak kecil tersebut merasa geli oleh tusukan kumisnya yang lebat.
"Kena kau, anak kecil!" ujar Seta sembari menangkap si bocah.
Yang ditangkap terkikik geli, bergerak meronta-ronta ingin melepaskan diri. Namun Seta semakin kencangkan pelukannya. Diangkatnya si bocah tinggi-tinggi ke udara, lalu dengan kedua tangan diayun-ayun seolah terbang
Plak! Plak! Plak!Seta merasa pipinya ditepuk-tepuk. Kiri dan kanan berganti-ganti dengan cepat. Mulanya prajurit itu tak merasakan apa-apa. Namun lama-lama terasa perih juga. Telinganya juga mendengar suara sayup-sayup."Anak Muda, bangunlah ...."Akhirnya prajurit Kerajaan Jenggala itu pun terbangun dari tidur. Gerakannya seperti orang yang sedang ketakutan. Keringat mengalir deras membasahi wajah dan sekujur tubuh. Napas terengah-engah. Sementara kedua matanya terbuka nyalang."Kau bermimpi buruk, Anak Muda?" tanya Ki Sajiwa sembari memegang bahu Seta.Yang ditanya tidak menjawab. Tatapannya yang nyalang perlahan-lahan berubah sendu. Bukan saja karena teringat pada mimpinya tadi, di mana isterinya membawa putera kecil mereka pergi menghilang. Meninggalkan Seta sendirian.Namun juga karena mimpi itu mengingatkan sang prajurit pada sesuatu. Pada kejadian pilu yang telah dialami anak dan iste
"Aih, jurus buluk apa yang mau kau pamerkan ini?"Ki Sajiwa sambut tendangan melayang Seta sembari tertawa mengekeh. Hanya dengan memiringkan tubuh sedikit, kaki sang prajurit meleset dari sasaran. Di saat bersamaan lelaki tua itu gerakkan telapak tangannya ke perut lawan tanding.Dalam keadaan sedang melayang di udara begitu rupa, Seta tak kuasa menghindari hantaman Ki Sajiwa. Tanpa ampun telapak tangan lawan tanding mendarat telak di perutnya.Rasa mual seketika merayapi lambung sang prajurit. Tubuhnya terlempar beberapa langkah ke samping, lalu jatuh terkapar di atas pasir."Astaga! Bahkan tidak sampai satu jurus kau sudah terkapar begitu rupa, wahai prajurit terbaik Jenggala," ujar Ki Sajiwa mengejek, diikuti tawa terkekeh seperti biasa.Seta tersenyum kecut sembari bangkit berdiri. Agaknya ia tadi terlalu terburu-buru serta menganggap enteng tantangan orang. Tidak tahunya dalam sekali gebuk saja su
"Aaaawwww!" Seta memekik kesakitan.Rupanya itu batu yang tadi dilempar Ki Sajiwa ke atas. Tepat pada saat Seta berdiri di hadapan lelaki tua tersebut untuk menyerahkan kelapa, batu tersebut jatuh menimpa kepalanya. Sang prajurit mengumpat sembari usap-usap ubun-ubun.Kontan saja tawa mengekeh Ki Sajiwa lepas. Deretan gigi geripis nan menghitam menghiasi mulut lelaki tua itu."Anak muda, kau ini banyak akal, tapi juga ceroboh dan bodoh!" ujarnya, lalu lanjutkan tertawa.Seta tersenyum kecut. Sambil menunggu Ki Sajiwa puas tertawa, sebelah tangannya digerakkan memapras bagian atas buah kelapa hingga rata. Lalu dengan telunjuk dilubanginya batok kelapa itu hingga airnya mancur keluar.Melihat kelapa sudah siap diminum, enak saja tangan Ki Sajiwa merebutnya dari pegangan Seta. Sekali tenggak saja seluruh air dalam kelapa besar itu sudah tandas."Baiklah, baiklah. Agaknya m
Seta selalu tak kuasa menahan geram setiap kali teringat pada apa yang telah menimpa anak dan isterinya. Amarah prajurit tersebut akan seketika mendidih bahkan hanya dengan mendengar nama Ranajaya.Namun meski kebenciannya terhadap Ranajaya setinggi gunung, diam-diam Seta membenarkan ucapan lelaki bercambang bauk lebat itu sewaktu di Gua Selogiri."Kau boleh saja menerima anugerah dari raja Jenggala karena telah menghabisi adikku. Tapi di gua ini aku pastikan kau bakal menyesal telah melakukan itu," demikian kata Ranajaya waktu itu.Setelah kematian isteri dan anaknya, bukan sekali-dua Seta menyesali kenyataan. Kenapa harus dirinya yang membunuh Surajaya sewaktu penyergapan di Alas Kampak?Bukan bermaksud tidak bersyukur atas anugerah yang kemudian ia dapat. Namun kalau boleh mengulang apa yang telah terjadi, sang prajurit memilih lebih baik tetap menjadi prajurit rendahan bergaji pas-pasan asalkan dapat hidup tenang bersama anak dan isterinya.Kin
Seta berlari menyusuri pecahan aliran sungai sebelah timur. Setelah menempuh jarak sekitar enam ribu lima ratus depa (20 kilometer), tibalah prajurit muda Kerajaan Jenggala itu di satu pemukiman.Tepat di gapura pintu masuk Seta hentikan laju larinya. Lalu dengan langkah perlahan sang prajurit masuk ke dalam pemukiman tersebut.Malam tengah berada di puncak kegelapan. Suasana pemukiman yang dimasuki Seta sangat sunyi. Tak terdengar suara apapun kecuali riuhnya nyanyian binatang malam saling bersahut-sahutan."Desa apa ini? Kenapa sepi sekali di sini?" batin Seta seraya mengamati sekeliling.Belum terlalu jauh kakinya masuk ke tengah-tengah pemukiman, tiba-tiba saja dari kejauhan terdengar derap kaki kuda banyak sekali. Diikuti bentakan-bentakan keras menggebah, juga ringkikan melengking hewan-hewan tersebut.Seta seketika hentikan langkah, lalu menepi ke bawah lindungan perdu di pinggir jalan. Setelah m
"Aaaaaa!"Satu jeritan melengking keluar dari mulut si penjahat. Ia merasakan ada satu benda dingin yang menyentuh pergelangan kakinya.Wajah si perampok yang mengernyit kesakitan menjadi pucat pasi sewaktu melihat telapak kakinya putus, melayang di samping kepalanya dan jatuh ke tanah."Ke-keparat!" bentak lelaki tersebut terbata-bata. Amarahnya seketika memuncak. "Ku-kubunuh kau, bangsat!"Setelah menggembor marah lelaki tersebut cabut parang besar dari pinggang. Tubuhnya kemudian melorot turun dari atas punggung kuda. Akan tetapi boro-boro hendak menyerang, untuk berdiri saja si penjahat kesusahan.Karena hanya punya sebelah telapak kaki, keseimbangan si lelaki jadi terganggu. Ia tak dapat lama-lama berdiri tegak, itupun dalam keadaan miring. Ketika ia coba berjalan, langkahnya terpincang-pincang.Sementara di tempatnya, Seta tampak menyeringai tipis melihat keadaan lawan."Ah,
Suara berdentrangan keras bertalu-talu. Saking kerasnya, dentrangan tersebut terdengar hingga ke telinga pemimpin gerombolan perampok yang berada di sudut lain. Saat itu lelaki tersebut tengah menghitung-hitung ternak yang dikumpulkan warga."Suara senjata siapa itu?" desis lelaki tersebut, sembari berpaling pada perampok lain di sebelahnya.Yang diajak bicara tajamkan pendengaran. Suara berdentrangan sekali lagi terdengar. Kening si perampok seketika mengerut dalam."Agaknya ada yang bertempur, Kang? Jangan-jangan ..." sahutnya tanpa mampu menyelesaikan ucapan.Pemimpin gerombolan rampok menggeram marah. Tanpa berkata apa-apa ia segera melesat ke arah asal suara. Perampok satunya lagi mengikuti di belakang.Para warga yang sedari tadi dicekam ketakutan jadi merasa penasaran. Tanpa diaba-aba, dengan langkah hati-hati mereka ikut membuntuti kedua perampok. Begitu melihat si gadis yang tergeletak pingsan, beberapa orang segera bergerak menolong.
Dukk!Telapak kaki Seta mendarat telak di dada lawan. Membuat tubuh si perampok terpental jauh ke belakang, lalu jatuh duduk di tanah. Lelaki tersebut segera berusaha bangkit. Namun belum lagi ia mampu berdiri, sekelompok warga sudah mengurungnya dengan macam-macam senjata terhunus."Bagus, Kisanak sekalian. Aku serahkan lelaki itu pada kalian," ujar Seta pada penduduk desa.Mendengar itu para penduduk desa yang berdiri mengurung langsung merangsek maju. Senjata di tangan masing-masing mereka terayun ke bawah, siap merobek-robek tubuh si perampok.Di lain tempat, pemimpin Rampok Alas Aranan menggeram marah melihat apa yang terjadi. Sebenarnya hatinya kecut, tapi pantang bagi lelaki tersebut untuk menyerah begitu saja. Lebih baik mati ketimbang lari."Bangsat! Kau harus mati di tanganku, prajurit keparat!" jerit si gembong rampok sembari melesat menyerang dengan parang besar terayun.Seta mend