"Aaaawwww!" Seta memekik kesakitan.
Rupanya itu batu yang tadi dilempar Ki Sajiwa ke atas. Tepat pada saat Seta berdiri di hadapan lelaki tua tersebut untuk menyerahkan kelapa, batu tersebut jatuh menimpa kepalanya. Sang prajurit mengumpat sembari usap-usap ubun-ubun.
Kontan saja tawa mengekeh Ki Sajiwa lepas. Deretan gigi geripis nan menghitam menghiasi mulut lelaki tua itu.
"Anak muda, kau ini banyak akal, tapi juga ceroboh dan bodoh!" ujarnya, lalu lanjutkan tertawa.
Seta tersenyum kecut. Sambil menunggu Ki Sajiwa puas tertawa, sebelah tangannya digerakkan memapras bagian atas buah kelapa hingga rata. Lalu dengan telunjuk dilubanginya batok kelapa itu hingga airnya mancur keluar.
Melihat kelapa sudah siap diminum, enak saja tangan Ki Sajiwa merebutnya dari pegangan Seta. Sekali tenggak saja seluruh air dalam kelapa besar itu sudah tandas.
"Baiklah, baiklah. Agaknya m
Seta selalu tak kuasa menahan geram setiap kali teringat pada apa yang telah menimpa anak dan isterinya. Amarah prajurit tersebut akan seketika mendidih bahkan hanya dengan mendengar nama Ranajaya.Namun meski kebenciannya terhadap Ranajaya setinggi gunung, diam-diam Seta membenarkan ucapan lelaki bercambang bauk lebat itu sewaktu di Gua Selogiri."Kau boleh saja menerima anugerah dari raja Jenggala karena telah menghabisi adikku. Tapi di gua ini aku pastikan kau bakal menyesal telah melakukan itu," demikian kata Ranajaya waktu itu.Setelah kematian isteri dan anaknya, bukan sekali-dua Seta menyesali kenyataan. Kenapa harus dirinya yang membunuh Surajaya sewaktu penyergapan di Alas Kampak?Bukan bermaksud tidak bersyukur atas anugerah yang kemudian ia dapat. Namun kalau boleh mengulang apa yang telah terjadi, sang prajurit memilih lebih baik tetap menjadi prajurit rendahan bergaji pas-pasan asalkan dapat hidup tenang bersama anak dan isterinya.Kin
Seta berlari menyusuri pecahan aliran sungai sebelah timur. Setelah menempuh jarak sekitar enam ribu lima ratus depa (20 kilometer), tibalah prajurit muda Kerajaan Jenggala itu di satu pemukiman.Tepat di gapura pintu masuk Seta hentikan laju larinya. Lalu dengan langkah perlahan sang prajurit masuk ke dalam pemukiman tersebut.Malam tengah berada di puncak kegelapan. Suasana pemukiman yang dimasuki Seta sangat sunyi. Tak terdengar suara apapun kecuali riuhnya nyanyian binatang malam saling bersahut-sahutan."Desa apa ini? Kenapa sepi sekali di sini?" batin Seta seraya mengamati sekeliling.Belum terlalu jauh kakinya masuk ke tengah-tengah pemukiman, tiba-tiba saja dari kejauhan terdengar derap kaki kuda banyak sekali. Diikuti bentakan-bentakan keras menggebah, juga ringkikan melengking hewan-hewan tersebut.Seta seketika hentikan langkah, lalu menepi ke bawah lindungan perdu di pinggir jalan. Setelah m
"Aaaaaa!"Satu jeritan melengking keluar dari mulut si penjahat. Ia merasakan ada satu benda dingin yang menyentuh pergelangan kakinya.Wajah si perampok yang mengernyit kesakitan menjadi pucat pasi sewaktu melihat telapak kakinya putus, melayang di samping kepalanya dan jatuh ke tanah."Ke-keparat!" bentak lelaki tersebut terbata-bata. Amarahnya seketika memuncak. "Ku-kubunuh kau, bangsat!"Setelah menggembor marah lelaki tersebut cabut parang besar dari pinggang. Tubuhnya kemudian melorot turun dari atas punggung kuda. Akan tetapi boro-boro hendak menyerang, untuk berdiri saja si penjahat kesusahan.Karena hanya punya sebelah telapak kaki, keseimbangan si lelaki jadi terganggu. Ia tak dapat lama-lama berdiri tegak, itupun dalam keadaan miring. Ketika ia coba berjalan, langkahnya terpincang-pincang.Sementara di tempatnya, Seta tampak menyeringai tipis melihat keadaan lawan."Ah,
Suara berdentrangan keras bertalu-talu. Saking kerasnya, dentrangan tersebut terdengar hingga ke telinga pemimpin gerombolan perampok yang berada di sudut lain. Saat itu lelaki tersebut tengah menghitung-hitung ternak yang dikumpulkan warga."Suara senjata siapa itu?" desis lelaki tersebut, sembari berpaling pada perampok lain di sebelahnya.Yang diajak bicara tajamkan pendengaran. Suara berdentrangan sekali lagi terdengar. Kening si perampok seketika mengerut dalam."Agaknya ada yang bertempur, Kang? Jangan-jangan ..." sahutnya tanpa mampu menyelesaikan ucapan.Pemimpin gerombolan rampok menggeram marah. Tanpa berkata apa-apa ia segera melesat ke arah asal suara. Perampok satunya lagi mengikuti di belakang.Para warga yang sedari tadi dicekam ketakutan jadi merasa penasaran. Tanpa diaba-aba, dengan langkah hati-hati mereka ikut membuntuti kedua perampok. Begitu melihat si gadis yang tergeletak pingsan, beberapa orang segera bergerak menolong.
Dukk!Telapak kaki Seta mendarat telak di dada lawan. Membuat tubuh si perampok terpental jauh ke belakang, lalu jatuh duduk di tanah. Lelaki tersebut segera berusaha bangkit. Namun belum lagi ia mampu berdiri, sekelompok warga sudah mengurungnya dengan macam-macam senjata terhunus."Bagus, Kisanak sekalian. Aku serahkan lelaki itu pada kalian," ujar Seta pada penduduk desa.Mendengar itu para penduduk desa yang berdiri mengurung langsung merangsek maju. Senjata di tangan masing-masing mereka terayun ke bawah, siap merobek-robek tubuh si perampok.Di lain tempat, pemimpin Rampok Alas Aranan menggeram marah melihat apa yang terjadi. Sebenarnya hatinya kecut, tapi pantang bagi lelaki tersebut untuk menyerah begitu saja. Lebih baik mati ketimbang lari."Bangsat! Kau harus mati di tanganku, prajurit keparat!" jerit si gembong rampok sembari melesat menyerang dengan parang besar terayun.Seta mend
Seta kernyitkan kening mendengar penjelasan tersebut. Seketika benaknya dipenuhi sejuta pertanyaan. Siapa yang telah mengirimkan pasukan ke Gua Selogiri? Apakah ada kaitan dengan kedatangannya ke gua tersebut?Kemudian sang prajurit teringat pada Darpa. Sewaktu mengantar dirinya ke Hantang, rekannya sesama prajurit Jengggala itu mengusulkan padanya agar melapor pada bekel atasan mereka. Darpa juga menyarankan agar Seta ditemani sepasukan prajurit saat menuju ke Gua Selogiri."Meloloskan diri ke mana?" tanya Seta lagi pada si gembong rampok."A-aku tidak tahu orang itu lari ke mana. Hanya kabar mengenai penyerbuan itu yang sampai ke telingaku," sahut si perampok cepat."Dusta!" bentak Seta. "Kau pasti berkata dusta!"Si gembong rampok menggeram tak senang dibentak begitu rupa."Apa perlunya aku berdusta? Aku benar-benar tidak tahu ke mana Ranajaya melarikan diri!" balasnya dengan suara lebih tinggi.Plak!Telapak tangan Seta mel
"Tapi ...," Seta buru-buru melanjutkan, tetapi sengaja penggal ucapannya sampai di sana. Sepasang matanya memandang ke sekeliling, ke arah wajah-jawah warga desa yang masih menuntut penjelasan.Setelah para penduduk kembali diam baru sang prajurit melanjutkan, "Tapi, tentu saja aku tidak punya hak untuk melarang kalian menjatuhkan hukuman padanya. Jadi, ya silakan saja, terserah kalian mau diapakan perampok satu ini."Usai berkata begitu Seta menyeringai lebar, kemudian melangkah pergi. Ucapannya diikuti sorak-sorai ramai para penduduk desa. Tanpa diberi aba-aba mereka langsung menyerbu gembong rampok yang seketika menjadi pucat pasi wajahnya."Keparat!" terdengar makian si perampok dengan nada geram.Sepasang mata lelaki bercambang bauk lebat itu menatap nanar pada senjata-senjata di tangan warga desa yang terayun ke arahnya. Dalam beberapa kejap kemudian mulutnya sudah mengeluarkan jerit-pekik kesakitan. Para penduduk tak mau memberinya ampun.Sementara di tempatnya, tampak Ki Palas
"I-ssteriku?" Seta mendesis dengan kening berkerut dalam. Tatapannya terpaku pada puteri Ki Palasar.Wajah gadis di hadapan sang prajurit berbentuk bulat telur, dengan sepasang mata lebar dinaungi alis tebal melengkung. Rambutnya yang panjang sepunggung mengembang indah, hitam legam bak arang. Sedangkan kulitnya tampak halus, berwarna kekuningan dalam siraman cahaya lampu.Sepasang mata Seta jadi terbelalak lebar. Kakinya sampai tersurut mundur satu langkah ke belakang, saking merasa tak percaya pada apa yang dilihat. Puteri Ki Palasara benar-benar tak ubahnya kembaran Harini, isterinya yang telah tiada.Hal itu tentu saja membuat Ki Palasara beserta isteri dan anaknya terheran-heran. Ketiganya saling pandang sesaat. Namun tak satu pun dari mereka yang berani bertanya pada sang prajurit."Maaf, Tuan Prajurit. Nama puteri saya ini Rara," kata isteri Ki Palasara kemudian, membuyarkan angan-angan Seta.Sang prajurit jadi tergeragap, lalu buru-buru menanggapi, "Ah, harap maafkan aku, Ni.
Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma
Mentari pagi yang baru saja terbit menyinari tanah Jenggala dengan lembut, tetapi suasana di alun-alun kerajaan dipenuhi ketegangan. Sejumlah warga telah berkumpul, berbisik-bisik dan menunggu momen yang akan menjadi peringatan kelam dalam sejarah Jenggala.Di tengah kerumunan itu, Seta berdiri bersama Ki Sajiwa, keduanya diam membisu. Sorot mata Seta menunjukkan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelelahan yang mendalam.Tak jauh dari situ, rombongan prajurit yang dipimpin Rakryan Rangga tiba di gerbang penjara. Empat wira tamtama gagah berjaga di luar, dan begitu Rakryan Rangga muncul, mereka segera membuka jalan. Dengan langkah tegas, Rakryan Rangga masuk ke ruang tahanan.Dyah Wisesa sedang duduk bersila di lantai kerangkengnya, wajahnya tak lagi menyiratkan kesombongan, tetapi tatapannya masih penuh rasa penasaran. Ketika melihat Rakryan Rangga datang bersama pasukan kecilnya, ia berdiri perlahan dan tersenyum sinis.“Aku yakin kalian da
Pagi itu, suasana balairung istana Jenggala dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara burung-burung pagi yang terdengar dari luar, menyusup melalui celah-celah dinding istana.Sri Prabu Girindra duduk di atas singgasananya dengan wajah yang tampak muram. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam lengan singgasana dengan erat, menahan gejolak emosi yang tak terlihat.Di hadapannya berdiri Dyah Daru dan Rakryan Rangga, dua sosok yang paling dipercaya untuk memberikan pandangan jernih dalam menghadapi persoalan pelik ini. Mereka berdua menunggu dengan hormat, membiarkan Sri Prabu menjadi yang pertama membuka pembicaraan.“Adikku Daru, Rakryan Rangga,” ujar Sri Prabu dengan nada berat. “Kalian tahu mengapa aku memanggil kalian kemari pagi ini.”Dyah Daru mengangguk pelan. “Hamba mengerti, Gusti Prabu,” jawabnya dengan penuh hormat.Rakryan Rangga hanya membungkukkan badan tanpa berani
Suasana di penjara istana terasa mencekam. Dinding batu yang dingin dan bau lembap menyelubungi setiap sudut ruangan.Seta melangkah dengan kaki yang penuh tekad. Ia datang untuk menemui seorang tahanan yang kini terkurung dalam kerangkeng besi, di ujung penjara yang paling jauh.Dyah Wisesa, sang bangsawan yang dulu begitu dihormati, kini duduk di sudut kerangkeng, wajahnya tampak suram, penuh dengan keputusasaan. Ia tampak jauh lebih lemah dibandingkan ketika siang tadi dihadapkan pada Sri Prabu Girindra.Namun, meskipun penampilan Dyah Wisesa tak seperti dulu, kebencian yang ada di dalam dirinya masih tampak jelas, tersirat di balik matanya yang tajam.Setelah tiba di depan ruang tahanan di mana Dyah Wisesa dikurung, Seta tak membuang waktu. Ia mendekat, meletakkan tangan di atas jeruji penjara. Matanya menatap tajam ke arah Dyah Wisesa, bibirnya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.“Dyah Wisesa,” ujar Set
Malam di Kotaraja Jenggala begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara angin yang menerpa pepohonan di taman istana.Di balkon kamar istana, Sri Prabu Girindra berdiri memandangi bulan yang menggantung di langit, sinarnya memantulkan warna perak pada segala sesuatu di bawahnya. Wajah sang raja tampak diliputi kekalutan, meski ia berdiri dengan tubuh tegap.Langkah lembut terdengar dari dalam kamar. Permaisuri, mengenakan kain sutra lembut dengan selendang melilit bahunya, melangkah menghampiri. Ia membawa ketenangan dalam setiap gerakannya, dan senyumnya yang hangat mengusir dinginnya malam.“Kakang Prabu, kenapa belum tidur?” tanyanya lembut sambil menyentuh lengan suaminya.Sri Prabu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku belum mengantuk, mana bisa tidur? Pikiran ini masih terlalu penuh untuk bisa terlelap ke alam impian.”Permaisuri menarik tangan Sri Prabu Girindra, menggenggam jari-jari suaminya itu dengan lembut.
Mata keris Dyah Wisesa berkilat di bawah sinar matahari, meluncur cepat mengarah ke leher Seta. Namun, dengan ketenangan luar biasa, Seta memiringkan tubuhnya pada detik terakhir, membiarkan keris itu hanya mencium angin.Sambil menghindar, Seta sambil menangkap pergelangan tangan Dyah Wisesa dengan cengkeraman kuat, memutar tubuhnya, dan menggunakan momentum itu untuk melepaskan keris dari genggaman lawannya.“Kau terlalu lamban,” ujar Seta dingin, melemparkan keris itu jauh dari jangkauan Dyah Wisesa.Namun, Dyah Wisesa belum menyerah. Ia melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, setiap serangannya berusaha menembus pertahanan Seta.Yang tidak diketahui Dyah Wisesa, lawannya adalah seorang prajurit pilihan nan terlatih, dengan gerak tubuh yang terukur dan efisien. Belum lagi hasil gemblengan Ki Sajiwa di Teluk Lawa menambah kecepatan dan ketangkasan gerakan Seta.Maka, setiap serangan Dyah Wisesa tidak hanya gagal mengenai sasar
Ketegangan di balairung istana mencapai puncak. Dyah Wisesa yang sudah dikuasai amarah menghunus kerisnya, mengarahkan senjata itu langsung ke dada Sri Prabu Girindra.Namun sebelum mata keris sempat menyentuh kulit sang raja, sebuah bayangan bergerak lebih cepat dari semua yang ada di balairung.“Seta!” seru Ki Sajiwa saat menyadari siapa yang barusan bergerak, tetapi panggilannya terlambat.Seta telah melesat bagaikan panah yang lepas dari busurnya. Dengan satu gerakan lincah, ia menghadang Dyah Wisesa.Tangan kanan sang wira tamtama terjulur, menangkis serangan dengan telapak tangan yang penuh tenaga dalam. Denting logam terdengar nyaring ketika keris Dyah Wisesa terpental ke udara.“Brak!”Satu dorongan keras dari Seta membuat Dyah Wisesa terjengkang jauh ke belakang, hingga menabrak tiang penyangga balairung.Para pejabat dan prajurit yang menyaksikan terhenyak, terkejut oleh keberanian Seta melawan seoran
Balairung istana yang sebelumnya mencekam kini terasa semakin tegang. Semua orang, mulai dari para pejabat hingga prajurit yang berjaga, menanti kelanjutan persidangan yang membawa Jenggala ke dalam gejolak.Dyah Daru, yang berdiri tegak di dekat Dyah Wisesa, menghela napas panjang. Ia kemudian melangkah maju, menyampaikan sesuatu yang membuat suasana makin panas.“Paduka Prabu,” ujar Dyah Daru sambil membungkuk hormat, “izinkan hamba menyampaikan satu hal lagi yang hamba ketahui tentang Kakanda Wisesa.""Katakan, Daru," sahut Sri Prabu cepat."Dini hari tadi, Kakang Wisesa dan pasukannya bersiap melarikan diri ke Panjalu. Untungnya, hamba dan Rakryan Rangga bergerak tepat waktu sehingga dapat menggagalkan rencana tersebut. Hamba bersama pasukan berhasil mengadang mereka sebelum mencapai perbatasan."Sementara itu, kami juga berhasil membuat Arya Jatikusuma beserta pasukannya berbalik arah menuju Kotaraja, padahal mereka semula he
Balairung istana semakin terasa mencekam. Matahari yang mulai tinggi memancarkan cahaya keemasan melalui celah-celah jendela, tetapi suasana di dalam ruangan tetap suram.Dyah Wisesa berdiri tegak dengan kepala menunduk, wajahnya penuh amarah yang ditahan. Di hadapan Sri Prabu Girindra, ia terlihat seperti seorang kesatria yang terpojok tetapi menolak menyerah.Sri Prabu, yang duduk dengan wibawa di atas singgasana, menatap adiknya itu dengan sorot mata penuh kekecewaan.“Wisesa, sampai kapan kau akan terus menyangkal? Tidakkah kau sadar bahwa segala bukti dan kesaksian mulai mengarah padamu? Aku bertanya sekali lagi, apakah benar kau bekerja sama dengan Dyah Srengga untuk menggagalkan cucuku menjadi putera mahkota sekaligus mengganggu takhta Jenggala?”Dyah Wisesa mengangkat wajah. Tatapannya tegas dan penuh rasa tersinggung.“Paduka Prabu, semua tuduhan itu tidak lebih dari fitnah keji. Hamba telah menjadi korban satu komplotan