Dukk!
Telapak kaki Seta mendarat telak di dada lawan. Membuat tubuh si perampok terpental jauh ke belakang, lalu jatuh duduk di tanah. Lelaki tersebut segera berusaha bangkit. Namun belum lagi ia mampu berdiri, sekelompok warga sudah mengurungnya dengan macam-macam senjata terhunus.
"Bagus, Kisanak sekalian. Aku serahkan lelaki itu pada kalian," ujar Seta pada penduduk desa.
Mendengar itu para penduduk desa yang berdiri mengurung langsung merangsek maju. Senjata di tangan masing-masing mereka terayun ke bawah, siap merobek-robek tubuh si perampok.
Di lain tempat, pemimpin Rampok Alas Aranan menggeram marah melihat apa yang terjadi. Sebenarnya hatinya kecut, tapi pantang bagi lelaki tersebut untuk menyerah begitu saja. Lebih baik mati ketimbang lari.
"Bangsat! Kau harus mati di tanganku, prajurit keparat!" jerit si gembong rampok sembari melesat menyerang dengan parang besar terayun.
Seta mend
Seta kernyitkan kening mendengar penjelasan tersebut. Seketika benaknya dipenuhi sejuta pertanyaan. Siapa yang telah mengirimkan pasukan ke Gua Selogiri? Apakah ada kaitan dengan kedatangannya ke gua tersebut?Kemudian sang prajurit teringat pada Darpa. Sewaktu mengantar dirinya ke Hantang, rekannya sesama prajurit Jengggala itu mengusulkan padanya agar melapor pada bekel atasan mereka. Darpa juga menyarankan agar Seta ditemani sepasukan prajurit saat menuju ke Gua Selogiri."Meloloskan diri ke mana?" tanya Seta lagi pada si gembong rampok."A-aku tidak tahu orang itu lari ke mana. Hanya kabar mengenai penyerbuan itu yang sampai ke telingaku," sahut si perampok cepat."Dusta!" bentak Seta. "Kau pasti berkata dusta!"Si gembong rampok menggeram tak senang dibentak begitu rupa."Apa perlunya aku berdusta? Aku benar-benar tidak tahu ke mana Ranajaya melarikan diri!" balasnya dengan suara lebih tinggi.Plak!Telapak tangan Seta mel
"Tapi ...," Seta buru-buru melanjutkan, tetapi sengaja penggal ucapannya sampai di sana. Sepasang matanya memandang ke sekeliling, ke arah wajah-jawah warga desa yang masih menuntut penjelasan.Setelah para penduduk kembali diam baru sang prajurit melanjutkan, "Tapi, tentu saja aku tidak punya hak untuk melarang kalian menjatuhkan hukuman padanya. Jadi, ya silakan saja, terserah kalian mau diapakan perampok satu ini."Usai berkata begitu Seta menyeringai lebar, kemudian melangkah pergi. Ucapannya diikuti sorak-sorai ramai para penduduk desa. Tanpa diberi aba-aba mereka langsung menyerbu gembong rampok yang seketika menjadi pucat pasi wajahnya."Keparat!" terdengar makian si perampok dengan nada geram.Sepasang mata lelaki bercambang bauk lebat itu menatap nanar pada senjata-senjata di tangan warga desa yang terayun ke arahnya. Dalam beberapa kejap kemudian mulutnya sudah mengeluarkan jerit-pekik kesakitan. Para penduduk tak mau memberinya ampun.Sementara di tempatnya, tampak Ki Palas
"I-ssteriku?" Seta mendesis dengan kening berkerut dalam. Tatapannya terpaku pada puteri Ki Palasar.Wajah gadis di hadapan sang prajurit berbentuk bulat telur, dengan sepasang mata lebar dinaungi alis tebal melengkung. Rambutnya yang panjang sepunggung mengembang indah, hitam legam bak arang. Sedangkan kulitnya tampak halus, berwarna kekuningan dalam siraman cahaya lampu.Sepasang mata Seta jadi terbelalak lebar. Kakinya sampai tersurut mundur satu langkah ke belakang, saking merasa tak percaya pada apa yang dilihat. Puteri Ki Palasara benar-benar tak ubahnya kembaran Harini, isterinya yang telah tiada.Hal itu tentu saja membuat Ki Palasara beserta isteri dan anaknya terheran-heran. Ketiganya saling pandang sesaat. Namun tak satu pun dari mereka yang berani bertanya pada sang prajurit."Maaf, Tuan Prajurit. Nama puteri saya ini Rara," kata isteri Ki Palasara kemudian, membuyarkan angan-angan Seta.Sang prajurit jadi tergeragap, lalu buru-buru menanggapi, "Ah, harap maafkan aku, Ni.
Untung saja pada saat-saat seperti itu akal sehat kembali menguasai Seta. Di kepala sang prajurit segera saja terbayang wajah Harini, isterinya.Wanita yang dikasihinya itu belum lama pergi meninggalkan dunia ini. Bagaimana mungkin ia sudah tertarik pada pesona perempuan lain? Pada Rara puteri kepala desa ini?Di dalam hati, sang prajurit Jenggala jadi mengutuk dirinya sendiri."Suami macam apa kau ini, Seta! Dendam atas kematian anak dan isterimu belum lagi tuntas, bisa-bisanya dirimu sudah tergoda pada seorang gadis!"Tanpa sadar Seta geleng-gelengkan kepala. Ia berharap dengan begitu segala perasaan dan hasrat yang tiba-tiba muncul terhadap Rara dapat dienyahkan sejauh mungkin."Semirip apapun gadis itu dengan Harini, tak selayaknya kau memendam perasaan asmara terhadapnya, Seta!" bisik satu suara lain di dalam diri sang prajurit."Setidaknya sampai kau dapat membalaskan dendam pada Ranajaya keparat itu!" tambah suara itu.Suasana di dalam kamar itu untuk sesaat menjadi sunyi. Samp
"Kau kenal dua orang itu?" tanya Seta pada Rara.Si gadis gelengkan kepala dengan wajah bingung."Saya juga tidak tahu, Kang. Mungkin saja tamu Ayah," jawab Rara. Namun kemudian ia bertanya-tanya setengah menggumam, "Tapi kalau mereka tamu Ayah, kenapa tidak masuk ke dalam rumah?"Ketika melihat Rara dan Seta datang menghampiri, kedua tamu Ki Palasara terlihat buru-buru pamit. Sedangkan sang lurah menunjukkan wajah bingung, sembari memandangi kepergian dua lelaki bercaping lebar.Dari tempatnya, kening Seta mengernyit melihat tingkah tamu Ki Palasara tersebut. Dalam pandangan sang prajurit, gerak-gerik dua orang tersebut sungguh mencurigakan. Akan tetapi buru-buru disingkirkannya pikiran buruk yang seketika muncul."Ah, Tuan Prajurit. Bagaimana, apakah tidur andika semalam nyenyak?" ujar Ki Palasara dengan tersenyum lebar. Lelaki paruh baya itu tahu-tahu saja sudah berada di hadapan Seta.Sang prajurit bungkukkan badan memberi hormat, baru menjawab, "Tidurku semalam sungguh nyenyak se
"Siapa orang itu, Ayah?" tanya Rara lagi pada ayahnya.Ki Palasara hanya geleng-gelengkan kepalanya perlahan."Dua orang bercaping yang tadi menemui Ayah?"Ki Palasara kembali menggeleng.Wajah Rara berubah tegang."Kenapa tadi Ayah tidak memberi tahu Kakang Seta?" tanyanya setengah menjerit.Ki Palasara terdiam. Kepalanya ditundukkan, menghindari tatapan penuh tanya dari Rara. Namun sang lurah menjadi terkejut ketika dilihatnya gadis itu berlari ke halaman, terus menuju ke jalan desa."Rara, kau mau ke mana?" pekiknya.Yang ditanya tak menjawab. Bahkan menoleh pun tidak. Gadis itu kemudian malah percepat langkahnya, menjadi setengah berlari.Mau tak mau Ki Palasara bergegas menyusul.***Sementara itu, Seta merasa ada beberapa orang yang membuntuti sejak ia meninggalkan perbatasan desa. Namun anehnya setiap kali ia menoleh ke belakang, tak ada satu sosok pun terlihat. Hatinya jadi dipenuhi berbagai pertanyaan dan dugaan.Perasaan tidak enak sebenarnya sudah muncul sejak Seta meningga
Tendangan Seta mendarat telak di punggung lawan. Kedua lelaki bercaping lebar berseru tertahan. Tubuh mereka terdorong dengan keras beberapa langkah ke depan, hampir saja tersuruk dan jatuh andai tak cepat menyeimbangkan diri.Seta tak mau kehilangan kesempatan. Saat kedua orang tersebut masih berdiri tergontai-gontai, pedang di tangannya dilempar ke depan. Senjata tersebut melesat cepat mengarah dada salah satu lawan.Bersamaan dengan itu Seta kembali melompat ke depan, melancarkan sebuah tendangan ke lawan yang seorang lagi."Awas, serangan!"Salah satu dari dua lelaki bercaping lebar di sisi lain berseru keras, memperingatkan rekan mereka yang mendapat serangan. Tak cukup sampai di sana, sembari menggeram lelaki tersebut melesat menghalau lemparan pedang Seta.Traaang!
Suara berdentrangan kembali terdengar saat Seta berhasil menangkis sabetan golok lawan. Diikuti pekik tertahan lelaki bercaping lebar. Lalu ditutup dengan bunyi berkelontangan ketika golok lelaki tersebut terpental dan jatuh ke tanah.Memanfaatkan keterkejutan lawan, Seta berhasil menyarangkan satu tendangan keras. Yang ditendang kembali mengeluh tertahan. Tubuhnya terjengkang ke belakang, lalu terseret hingga sejauh belasan langkah."Keparat!" maki lelaki bercaping lebar tersebut, sembari berdiri tergontai-gontai memegangi dada. Kemudian terdengar ia batuk-batuk, pertanda mengalami luka dalam.Seta tak mau buang-buang kesempatan. Sekali ia melompat lancarkan tendangan melayang. Lawan yang tengah sibuk dengan luka dan rasa sesak di dadanya tak kuasa mengelak. Hantaman kaki sang prajurit kembali mendarat telak."Aaaaahk!"Lelaki bercaping lebar menjerit keras. Tubuhnya terbadai mundur, kemudian jatuh tergeletak di tanah bagaikan sehelai daun kering