Home / Pendekar / Bara Dendam di Perbatasan / 25 - Mengorek Keterangan

Share

25 - Mengorek Keterangan

Author: Kebo Rawis
last update Last Updated: 2024-08-29 08:07:22

Dukk!

Telapak kaki Seta mendarat telak di dada lawan. Membuat tubuh si perampok terpental jauh ke belakang, lalu jatuh duduk di tanah. Lelaki tersebut segera berusaha bangkit. Namun belum lagi ia mampu berdiri, sekelompok warga sudah mengurungnya dengan macam-macam senjata terhunus.

"Bagus, Kisanak sekalian. Aku serahkan lelaki itu pada kalian," ujar Seta pada penduduk desa.

Mendengar itu para penduduk desa yang berdiri mengurung langsung merangsek maju. Senjata di tangan masing-masing mereka terayun ke bawah, siap merobek-robek tubuh si perampok.

Di lain tempat, pemimpin Rampok Alas Aranan menggeram marah melihat apa yang terjadi. Sebenarnya hatinya kecut, tapi pantang bagi lelaki tersebut untuk menyerah begitu saja. Lebih baik mati ketimbang lari.

"Bangsat! Kau harus mati di tanganku, prajurit keparat!" jerit si gembong rampok sembari melesat menyerang dengan parang besar terayun.

Seta mend

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Bara Dendam di Perbatasan   26 - Sebuah Pengakuan

    Seta kernyitkan kening mendengar penjelasan tersebut. Seketika benaknya dipenuhi sejuta pertanyaan. Siapa yang telah mengirimkan pasukan ke Gua Selogiri? Apakah ada kaitan dengan kedatangannya ke gua tersebut?Kemudian sang prajurit teringat pada Darpa. Sewaktu mengantar dirinya ke Hantang, rekannya sesama prajurit Jengggala itu mengusulkan padanya agar melapor pada bekel atasan mereka. Darpa juga menyarankan agar Seta ditemani sepasukan prajurit saat menuju ke Gua Selogiri."Meloloskan diri ke mana?" tanya Seta lagi pada si gembong rampok."A-aku tidak tahu orang itu lari ke mana. Hanya kabar mengenai penyerbuan itu yang sampai ke telingaku," sahut si perampok cepat."Dusta!" bentak Seta. "Kau pasti berkata dusta!"Si gembong rampok menggeram tak senang dibentak begitu rupa."Apa perlunya aku berdusta? Aku benar-benar tidak tahu ke mana Ranajaya melarikan diri!" balasnya dengan suara lebih tinggi.Plak!Telapak tangan Seta mel

    Last Updated : 2024-08-30
  • Bara Dendam di Perbatasan   27 - Tawaran Ki Palasara

    "Tapi ...," Seta buru-buru melanjutkan, tetapi sengaja penggal ucapannya sampai di sana. Sepasang matanya memandang ke sekeliling, ke arah wajah-jawah warga desa yang masih menuntut penjelasan.Setelah para penduduk kembali diam baru sang prajurit melanjutkan, "Tapi, tentu saja aku tidak punya hak untuk melarang kalian menjatuhkan hukuman padanya. Jadi, ya silakan saja, terserah kalian mau diapakan perampok satu ini."Usai berkata begitu Seta menyeringai lebar, kemudian melangkah pergi. Ucapannya diikuti sorak-sorai ramai para penduduk desa. Tanpa diberi aba-aba mereka langsung menyerbu gembong rampok yang seketika menjadi pucat pasi wajahnya."Keparat!" terdengar makian si perampok dengan nada geram.Sepasang mata lelaki bercambang bauk lebat itu menatap nanar pada senjata-senjata di tangan warga desa yang terayun ke arahnya. Dalam beberapa kejap kemudian mulutnya sudah mengeluarkan jerit-pekik kesakitan. Para penduduk tak mau memberinya ampun.Sementara di tempatnya, tampak Ki Palas

    Last Updated : 2024-08-31
  • Bara Dendam di Perbatasan   28 - Pesona Rara

    "I-ssteriku?" Seta mendesis dengan kening berkerut dalam. Tatapannya terpaku pada puteri Ki Palasar.Wajah gadis di hadapan sang prajurit berbentuk bulat telur, dengan sepasang mata lebar dinaungi alis tebal melengkung. Rambutnya yang panjang sepunggung mengembang indah, hitam legam bak arang. Sedangkan kulitnya tampak halus, berwarna kekuningan dalam siraman cahaya lampu.Sepasang mata Seta jadi terbelalak lebar. Kakinya sampai tersurut mundur satu langkah ke belakang, saking merasa tak percaya pada apa yang dilihat. Puteri Ki Palasara benar-benar tak ubahnya kembaran Harini, isterinya yang telah tiada.Hal itu tentu saja membuat Ki Palasara beserta isteri dan anaknya terheran-heran. Ketiganya saling pandang sesaat. Namun tak satu pun dari mereka yang berani bertanya pada sang prajurit."Maaf, Tuan Prajurit. Nama puteri saya ini Rara," kata isteri Ki Palasara kemudian, membuyarkan angan-angan Seta.Sang prajurit jadi tergeragap, lalu buru-buru menanggapi, "Ah, harap maafkan aku, Ni.

    Last Updated : 2024-09-01
  • Bara Dendam di Perbatasan   29 - Dua Orang Mencurigakan

    Untung saja pada saat-saat seperti itu akal sehat kembali menguasai Seta. Di kepala sang prajurit segera saja terbayang wajah Harini, isterinya.Wanita yang dikasihinya itu belum lama pergi meninggalkan dunia ini. Bagaimana mungkin ia sudah tertarik pada pesona perempuan lain? Pada Rara puteri kepala desa ini?Di dalam hati, sang prajurit Jenggala jadi mengutuk dirinya sendiri."Suami macam apa kau ini, Seta! Dendam atas kematian anak dan isterimu belum lagi tuntas, bisa-bisanya dirimu sudah tergoda pada seorang gadis!"Tanpa sadar Seta geleng-gelengkan kepala. Ia berharap dengan begitu segala perasaan dan hasrat yang tiba-tiba muncul terhadap Rara dapat dienyahkan sejauh mungkin."Semirip apapun gadis itu dengan Harini, tak selayaknya kau memendam perasaan asmara terhadapnya, Seta!" bisik satu suara lain di dalam diri sang prajurit."Setidaknya sampai kau dapat membalaskan dendam pada Ranajaya keparat itu!" tambah suara itu.Suasana di dalam kamar itu untuk sesaat menjadi sunyi. Samp

    Last Updated : 2024-09-02
  • Bara Dendam di Perbatasan   30 - Berpamitan

    "Kau kenal dua orang itu?" tanya Seta pada Rara.Si gadis gelengkan kepala dengan wajah bingung."Saya juga tidak tahu, Kang. Mungkin saja tamu Ayah," jawab Rara. Namun kemudian ia bertanya-tanya setengah menggumam, "Tapi kalau mereka tamu Ayah, kenapa tidak masuk ke dalam rumah?"Ketika melihat Rara dan Seta datang menghampiri, kedua tamu Ki Palasara terlihat buru-buru pamit. Sedangkan sang lurah menunjukkan wajah bingung, sembari memandangi kepergian dua lelaki bercaping lebar.Dari tempatnya, kening Seta mengernyit melihat tingkah tamu Ki Palasara tersebut. Dalam pandangan sang prajurit, gerak-gerik dua orang tersebut sungguh mencurigakan. Akan tetapi buru-buru disingkirkannya pikiran buruk yang seketika muncul."Ah, Tuan Prajurit. Bagaimana, apakah tidur andika semalam nyenyak?" ujar Ki Palasara dengan tersenyum lebar. Lelaki paruh baya itu tahu-tahu saja sudah berada di hadapan Seta.Sang prajurit bungkukkan badan memberi hormat, baru menjawab, "Tidurku semalam sungguh nyenyak se

    Last Updated : 2024-09-03
  • Bara Dendam di Perbatasan   31 - Pengadang di Perbatasan

    "Siapa orang itu, Ayah?" tanya Rara lagi pada ayahnya.Ki Palasara hanya geleng-gelengkan kepalanya perlahan."Dua orang bercaping yang tadi menemui Ayah?"Ki Palasara kembali menggeleng.Wajah Rara berubah tegang."Kenapa tadi Ayah tidak memberi tahu Kakang Seta?" tanyanya setengah menjerit.Ki Palasara terdiam. Kepalanya ditundukkan, menghindari tatapan penuh tanya dari Rara. Namun sang lurah menjadi terkejut ketika dilihatnya gadis itu berlari ke halaman, terus menuju ke jalan desa."Rara, kau mau ke mana?" pekiknya.Yang ditanya tak menjawab. Bahkan menoleh pun tidak. Gadis itu kemudian malah percepat langkahnya, menjadi setengah berlari.Mau tak mau Ki Palasara bergegas menyusul.***Sementara itu, Seta merasa ada beberapa orang yang membuntuti sejak ia meninggalkan perbatasan desa. Namun anehnya setiap kali ia menoleh ke belakang, tak ada satu sosok pun terlihat. Hatinya jadi dipenuhi berbagai pertanyaan dan dugaan.Perasaan tidak enak sebenarnya sudah muncul sejak Seta meningga

    Last Updated : 2024-09-04
  • Bara Dendam di Perbatasan   32 - Pertempuran Sengit

    Tendangan Seta mendarat telak di punggung lawan. Kedua lelaki bercaping lebar berseru tertahan. Tubuh mereka terdorong dengan keras beberapa langkah ke depan, hampir saja tersuruk dan jatuh andai tak cepat menyeimbangkan diri.Seta tak mau kehilangan kesempatan. Saat kedua orang tersebut masih berdiri tergontai-gontai, pedang di tangannya dilempar ke depan. Senjata tersebut melesat cepat mengarah dada salah satu lawan.Bersamaan dengan itu Seta kembali melompat ke depan, melancarkan sebuah tendangan ke lawan yang seorang lagi."Awas, serangan!"Salah satu dari dua lelaki bercaping lebar di sisi lain berseru keras, memperingatkan rekan mereka yang mendapat serangan. Tak cukup sampai di sana, sembari menggeram lelaki tersebut melesat menghalau lemparan pedang Seta.Traaang!

    Last Updated : 2024-09-05
  • Bara Dendam di Perbatasan   33 - Dalang Pembunuhan

    Suara berdentrangan kembali terdengar saat Seta berhasil menangkis sabetan golok lawan. Diikuti pekik tertahan lelaki bercaping lebar. Lalu ditutup dengan bunyi berkelontangan ketika golok lelaki tersebut terpental dan jatuh ke tanah.Memanfaatkan keterkejutan lawan, Seta berhasil menyarangkan satu tendangan keras. Yang ditendang kembali mengeluh tertahan. Tubuhnya terjengkang ke belakang, lalu terseret hingga sejauh belasan langkah."Keparat!" maki lelaki bercaping lebar tersebut, sembari berdiri tergontai-gontai memegangi dada. Kemudian terdengar ia batuk-batuk, pertanda mengalami luka dalam.Seta tak mau buang-buang kesempatan. Sekali ia melompat lancarkan tendangan melayang. Lawan yang tengah sibuk dengan luka dan rasa sesak di dadanya tak kuasa mengelak. Hantaman kaki sang prajurit kembali mendarat telak."Aaaaahk!"Lelaki bercaping lebar menjerit keras. Tubuhnya terbadai mundur, kemudian jatuh tergeletak di tanah bagaikan sehelai daun kering

    Last Updated : 2024-09-06

Latest chapter

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 192

    Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 191

    Mentari pagi yang baru saja terbit menyinari tanah Jenggala dengan lembut, tetapi suasana di alun-alun kerajaan dipenuhi ketegangan. Sejumlah warga telah berkumpul, berbisik-bisik dan menunggu momen yang akan menjadi peringatan kelam dalam sejarah Jenggala.Di tengah kerumunan itu, Seta berdiri bersama Ki Sajiwa, keduanya diam membisu. Sorot mata Seta menunjukkan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelelahan yang mendalam.Tak jauh dari situ, rombongan prajurit yang dipimpin Rakryan Rangga tiba di gerbang penjara. Empat wira tamtama gagah berjaga di luar, dan begitu Rakryan Rangga muncul, mereka segera membuka jalan. Dengan langkah tegas, Rakryan Rangga masuk ke ruang tahanan.Dyah Wisesa sedang duduk bersila di lantai kerangkengnya, wajahnya tak lagi menyiratkan kesombongan, tetapi tatapannya masih penuh rasa penasaran. Ketika melihat Rakryan Rangga datang bersama pasukan kecilnya, ia berdiri perlahan dan tersenyum sinis.“Aku yakin kalian da

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 190

    Pagi itu, suasana balairung istana Jenggala dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara burung-burung pagi yang terdengar dari luar, menyusup melalui celah-celah dinding istana.Sri Prabu Girindra duduk di atas singgasananya dengan wajah yang tampak muram. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam lengan singgasana dengan erat, menahan gejolak emosi yang tak terlihat.Di hadapannya berdiri Dyah Daru dan Rakryan Rangga, dua sosok yang paling dipercaya untuk memberikan pandangan jernih dalam menghadapi persoalan pelik ini. Mereka berdua menunggu dengan hormat, membiarkan Sri Prabu menjadi yang pertama membuka pembicaraan.“Adikku Daru, Rakryan Rangga,” ujar Sri Prabu dengan nada berat. “Kalian tahu mengapa aku memanggil kalian kemari pagi ini.”Dyah Daru mengangguk pelan. “Hamba mengerti, Gusti Prabu,” jawabnya dengan penuh hormat.Rakryan Rangga hanya membungkukkan badan tanpa berani

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 189

    Suasana di penjara istana terasa mencekam. Dinding batu yang dingin dan bau lembap menyelubungi setiap sudut ruangan.Seta melangkah dengan kaki yang penuh tekad. Ia datang untuk menemui seorang tahanan yang kini terkurung dalam kerangkeng besi, di ujung penjara yang paling jauh.Dyah Wisesa, sang bangsawan yang dulu begitu dihormati, kini duduk di sudut kerangkeng, wajahnya tampak suram, penuh dengan keputusasaan. Ia tampak jauh lebih lemah dibandingkan ketika siang tadi dihadapkan pada Sri Prabu Girindra.Namun, meskipun penampilan Dyah Wisesa tak seperti dulu, kebencian yang ada di dalam dirinya masih tampak jelas, tersirat di balik matanya yang tajam.Setelah tiba di depan ruang tahanan di mana Dyah Wisesa dikurung, Seta tak membuang waktu. Ia mendekat, meletakkan tangan di atas jeruji penjara. Matanya menatap tajam ke arah Dyah Wisesa, bibirnya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.“Dyah Wisesa,” ujar Set

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 188

    Malam di Kotaraja Jenggala begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara angin yang menerpa pepohonan di taman istana.Di balkon kamar istana, Sri Prabu Girindra berdiri memandangi bulan yang menggantung di langit, sinarnya memantulkan warna perak pada segala sesuatu di bawahnya. Wajah sang raja tampak diliputi kekalutan, meski ia berdiri dengan tubuh tegap.Langkah lembut terdengar dari dalam kamar. Permaisuri, mengenakan kain sutra lembut dengan selendang melilit bahunya, melangkah menghampiri. Ia membawa ketenangan dalam setiap gerakannya, dan senyumnya yang hangat mengusir dinginnya malam.“Kakang Prabu, kenapa belum tidur?” tanyanya lembut sambil menyentuh lengan suaminya.Sri Prabu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku belum mengantuk, mana bisa tidur? Pikiran ini masih terlalu penuh untuk bisa terlelap ke alam impian.”Permaisuri menarik tangan Sri Prabu Girindra, menggenggam jari-jari suaminya itu dengan lembut.

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 187

    Mata keris Dyah Wisesa berkilat di bawah sinar matahari, meluncur cepat mengarah ke leher Seta. Namun, dengan ketenangan luar biasa, Seta memiringkan tubuhnya pada detik terakhir, membiarkan keris itu hanya mencium angin.Sambil menghindar, Seta sambil menangkap pergelangan tangan Dyah Wisesa dengan cengkeraman kuat, memutar tubuhnya, dan menggunakan momentum itu untuk melepaskan keris dari genggaman lawannya.“Kau terlalu lamban,” ujar Seta dingin, melemparkan keris itu jauh dari jangkauan Dyah Wisesa.Namun, Dyah Wisesa belum menyerah. Ia melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, setiap serangannya berusaha menembus pertahanan Seta.Yang tidak diketahui Dyah Wisesa, lawannya adalah seorang prajurit pilihan nan terlatih, dengan gerak tubuh yang terukur dan efisien. Belum lagi hasil gemblengan Ki Sajiwa di Teluk Lawa menambah kecepatan dan ketangkasan gerakan Seta.Maka, setiap serangan Dyah Wisesa tidak hanya gagal mengenai sasar

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 186

    Ketegangan di balairung istana mencapai puncak. Dyah Wisesa yang sudah dikuasai amarah menghunus kerisnya, mengarahkan senjata itu langsung ke dada Sri Prabu Girindra.Namun sebelum mata keris sempat menyentuh kulit sang raja, sebuah bayangan bergerak lebih cepat dari semua yang ada di balairung.“Seta!” seru Ki Sajiwa saat menyadari siapa yang barusan bergerak, tetapi panggilannya terlambat.Seta telah melesat bagaikan panah yang lepas dari busurnya. Dengan satu gerakan lincah, ia menghadang Dyah Wisesa.Tangan kanan sang wira tamtama terjulur, menangkis serangan dengan telapak tangan yang penuh tenaga dalam. Denting logam terdengar nyaring ketika keris Dyah Wisesa terpental ke udara.“Brak!”Satu dorongan keras dari Seta membuat Dyah Wisesa terjengkang jauh ke belakang, hingga menabrak tiang penyangga balairung.Para pejabat dan prajurit yang menyaksikan terhenyak, terkejut oleh keberanian Seta melawan seoran

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 185

    Balairung istana yang sebelumnya mencekam kini terasa semakin tegang. Semua orang, mulai dari para pejabat hingga prajurit yang berjaga, menanti kelanjutan persidangan yang membawa Jenggala ke dalam gejolak.Dyah Daru, yang berdiri tegak di dekat Dyah Wisesa, menghela napas panjang. Ia kemudian melangkah maju, menyampaikan sesuatu yang membuat suasana makin panas.“Paduka Prabu,” ujar Dyah Daru sambil membungkuk hormat, “izinkan hamba menyampaikan satu hal lagi yang hamba ketahui tentang Kakanda Wisesa.""Katakan, Daru," sahut Sri Prabu cepat."Dini hari tadi, Kakang Wisesa dan pasukannya bersiap melarikan diri ke Panjalu. Untungnya, hamba dan Rakryan Rangga bergerak tepat waktu sehingga dapat menggagalkan rencana tersebut. Hamba bersama pasukan berhasil mengadang mereka sebelum mencapai perbatasan."Sementara itu, kami juga berhasil membuat Arya Jatikusuma beserta pasukannya berbalik arah menuju Kotaraja, padahal mereka semula he

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 184

    Balairung istana semakin terasa mencekam. Matahari yang mulai tinggi memancarkan cahaya keemasan melalui celah-celah jendela, tetapi suasana di dalam ruangan tetap suram.Dyah Wisesa berdiri tegak dengan kepala menunduk, wajahnya penuh amarah yang ditahan. Di hadapan Sri Prabu Girindra, ia terlihat seperti seorang kesatria yang terpojok tetapi menolak menyerah.Sri Prabu, yang duduk dengan wibawa di atas singgasana, menatap adiknya itu dengan sorot mata penuh kekecewaan.“Wisesa, sampai kapan kau akan terus menyangkal? Tidakkah kau sadar bahwa segala bukti dan kesaksian mulai mengarah padamu? Aku bertanya sekali lagi, apakah benar kau bekerja sama dengan Dyah Srengga untuk menggagalkan cucuku menjadi putera mahkota sekaligus mengganggu takhta Jenggala?”Dyah Wisesa mengangkat wajah. Tatapannya tegas dan penuh rasa tersinggung.“Paduka Prabu, semua tuduhan itu tidak lebih dari fitnah keji. Hamba telah menjadi korban satu komplotan

DMCA.com Protection Status