"Siapa orang itu, Ayah?" tanya Rara lagi pada ayahnya.Ki Palasara hanya geleng-gelengkan kepalanya perlahan."Dua orang bercaping yang tadi menemui Ayah?"Ki Palasara kembali menggeleng.Wajah Rara berubah tegang."Kenapa tadi Ayah tidak memberi tahu Kakang Seta?" tanyanya setengah menjerit.Ki Palasara terdiam. Kepalanya ditundukkan, menghindari tatapan penuh tanya dari Rara. Namun sang lurah menjadi terkejut ketika dilihatnya gadis itu berlari ke halaman, terus menuju ke jalan desa."Rara, kau mau ke mana?" pekiknya.Yang ditanya tak menjawab. Bahkan menoleh pun tidak. Gadis itu kemudian malah percepat langkahnya, menjadi setengah berlari.Mau tak mau Ki Palasara bergegas menyusul.***Sementara itu, Seta merasa ada beberapa orang yang membuntuti sejak ia meninggalkan perbatasan desa. Namun anehnya setiap kali ia menoleh ke belakang, tak ada satu sosok pun terlihat. Hatinya jadi dipenuhi berbagai pertanyaan dan dugaan.Perasaan tidak enak sebenarnya sudah muncul sejak Seta meningga
Tendangan Seta mendarat telak di punggung lawan. Kedua lelaki bercaping lebar berseru tertahan. Tubuh mereka terdorong dengan keras beberapa langkah ke depan, hampir saja tersuruk dan jatuh andai tak cepat menyeimbangkan diri.Seta tak mau kehilangan kesempatan. Saat kedua orang tersebut masih berdiri tergontai-gontai, pedang di tangannya dilempar ke depan. Senjata tersebut melesat cepat mengarah dada salah satu lawan.Bersamaan dengan itu Seta kembali melompat ke depan, melancarkan sebuah tendangan ke lawan yang seorang lagi."Awas, serangan!"Salah satu dari dua lelaki bercaping lebar di sisi lain berseru keras, memperingatkan rekan mereka yang mendapat serangan. Tak cukup sampai di sana, sembari menggeram lelaki tersebut melesat menghalau lemparan pedang Seta.Traaang!
Suara berdentrangan kembali terdengar saat Seta berhasil menangkis sabetan golok lawan. Diikuti pekik tertahan lelaki bercaping lebar. Lalu ditutup dengan bunyi berkelontangan ketika golok lelaki tersebut terpental dan jatuh ke tanah.Memanfaatkan keterkejutan lawan, Seta berhasil menyarangkan satu tendangan keras. Yang ditendang kembali mengeluh tertahan. Tubuhnya terjengkang ke belakang, lalu terseret hingga sejauh belasan langkah."Keparat!" maki lelaki bercaping lebar tersebut, sembari berdiri tergontai-gontai memegangi dada. Kemudian terdengar ia batuk-batuk, pertanda mengalami luka dalam.Seta tak mau buang-buang kesempatan. Sekali ia melompat lancarkan tendangan melayang. Lawan yang tengah sibuk dengan luka dan rasa sesak di dadanya tak kuasa mengelak. Hantaman kaki sang prajurit kembali mendarat telak."Aaaaahk!"Lelaki bercaping lebar menjerit keras. Tubuhnya terbadai mundur, kemudian jatuh tergeletak di tanah bagaikan sehelai daun kering
Yang diajak bicara pandangi Seta dengan tatapan mata berkilat-kilat. Napas lelaki itu tersengal-sengal oleh luapan amarah, juga oleh rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya."Jangan harap!" desisnya penuh kegeraman.Lalu tanpa disangka-sangka lelaki bercaping lebar itu kembali menyerang dengan tangan kosong. Habis sudah kesabaran Seta. Tanpa ampun sang prajurit layangkan tendangan keras, yang tak dapat dihindari oleh lelaki bercaping lebar.Bukk!Tendangan Seta mendarat telak di dada lawan. Tubuh lelaki bercaping lebar itu terjajar mundur beberapa langkah. Seta mengejar, menyusulkan tendangan kedua. Kali ini mengarah ke kepala lawan yang sekali lagi tak dapat menghindar.Kraaak!Kepala lelaki bercaping lebar terpuntir keras, menyebabkan tulang lehernya berderak patah. Terdengar lelaki tersebut melenguh tertahan, lalu tubuhnya jatuh terbanting di tanah. Tak bergerak lagi.Seta menden
"Rara?" seru Seta akhirnya. Nada suara sang prajurit jelas sekali setengah tidak percaya.Bergegas prajurit muda berkumis lebat itu keluar dari persembunyian, lalu menghampiri rombongan berkuda tersebut. Perempuan yang dilihatnya tadi memang benar Rara. Bersamanya ada Ki Palasara dan beberapa orang pemuda.Di atas punggung kudanya, Rara kembangkan senyum lebar ketika melihat sosok Seta."Kakang?" balasnya dengan suara riang. "Kau tidak apa-apa?"Hanya itu yang dapat diucapkan si gadis. Benak puteri Ki Palasara itu seketika dilimpahi campuran perasaan lega dan senang. Setelah memberi isyarat anggukan kepala pada sang ayah, bergegas ia turun dari atas pelana."Ah, Tuan Prajurit. Syukurlah kau selamat rupanya," ujar Ki Palasara pula.Lelaki paruh baya pejabat kepala desa itu ikut turun dari punggung kuda tunggangannya, kemudian membuntuti sang anak yang berjalan ke arah Seta.Kemunculan orang-orang ini tentu saja membingungkan Seta. Deng
SETELAH berkuda tanpa henti selama satu penanakan nasi (antara 30-40 menit), Seta tiba di perbatasan Kutaraja. Matahari sedang merangkak naik menuju puncak tertinggi ketika kuda sang prajurit memasuki gerbang perbatasan ibukota Kerajaan Jenggala tersebut.Sebelumnya, selepas meninggalkan Lawadan rasa bimbang sempat menggelayuti Seta. Di satu sisi keinginan untuk segera membalaskan dendam pada Ranajaya. Di sisi lain rasa penasaran akan perkembangan di kotaraja.Namun setelah lama menimbang-nimbang, pada akhirnya Seta memutuskan untuk pergi ke kotaraja terlebih dahulu. Mana tahu dari rekan-rekannya sesama prajurit ada kabar terbaru yang perlu ia dengar.Barulah sesudah mendapat keterangan cukup dari kotaraja, Seta akan menyatroni tempat persembunyian Ranajaya di lereng Gunung Kampud. Membalaskan dendam atas kematian Harini isterinya, serta putera semata wayangnya."
Kewaspadaan Seta seketika meningkat. Sigap sang prajurit menarik tali kekang kudanya. Hewan tersebut meringkik keras, kemudian berhenti sembari mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi."Darpa?" seru Seta senang begitu melihat siapa yang memanggil."Oh, syukurlah kau masih hidup, Seta! Aku sudah menduga semua kabar mengenai kematianmu itu pasti bohong belaka," ujar Darpa yang langsung saja menghambur mendekat.Seta bersiap turun dari atas punggung kuda, namun segera dicegah oleh Darpa."Jangan turun di sini!" ujar Darpa setengah berbisik. Sambil berkata begitu kepalanya menoleh ke kanan-kiri.Tentu saja Seta jadi heran dibuatnya. Untuk kesekian kali di sepanjang hari itu, kening sang prajurit lagi-lagi dibuat berkerut dalam karena rasa penasaran yang amat sangat."Kenapa tidak boleh?" tanya Seta meminta penjelasan."Bukannya tidak boleh, tapi untuk saat ini sebaiknya kau jangan du
Dalam jarak sedekat itu Seta dapat melihat jelas keempat penyerang di hadapannya. Namun wajah mereka tak terlihat utuh karena ditutup cadar hitam dari bawah mata hingga ke dagu. Keempatnya juga mengenakan ikat kepala yang sama-sama berwarna hitam.Setelah menunggu beberapa saat, Seta tak mendapat jawaban. Empat orang bercadar hitam itu hanya diam sembari pandangi sang prajurit dengan tatapan tajam berkilat."Bedebah! Kalian tentunya punya mulut dan tidak bisu. Cepat jawab pertanyaan temanku!" bentak Darpa yang tahu-tahu saja sudah berdiri di sebelah Seta.Terdengar dengusan keras dari arah empat orang tersebut. Tanpa berkata sepatah kata pun salah satu dari mereka mencabut parang dari pinggang. Lalu meloncat turun dari punggung kuda untuk melancarkan serangan pada Seta.Wuuuttt!Parang besar di tangan lelaki bercadar itu terayun deras. Menimbulkan suara berkesiuran saat beradu dengan udara. Mata parang