Kewaspadaan Seta seketika meningkat. Sigap sang prajurit menarik tali kekang kudanya. Hewan tersebut meringkik keras, kemudian berhenti sembari mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi.
"Darpa?" seru Seta senang begitu melihat siapa yang memanggil.
"Oh, syukurlah kau masih hidup, Seta! Aku sudah menduga semua kabar mengenai kematianmu itu pasti bohong belaka," ujar Darpa yang langsung saja menghambur mendekat.
Seta bersiap turun dari atas punggung kuda, namun segera dicegah oleh Darpa.
"Jangan turun di sini!" ujar Darpa setengah berbisik. Sambil berkata begitu kepalanya menoleh ke kanan-kiri.
Tentu saja Seta jadi heran dibuatnya. Untuk kesekian kali di sepanjang hari itu, kening sang prajurit lagi-lagi dibuat berkerut dalam karena rasa penasaran yang amat sangat.
"Kenapa tidak boleh?" tanya Seta meminta penjelasan.
"Bukannya tidak boleh, tapi untuk saat ini sebaiknya kau jangan du
Dalam jarak sedekat itu Seta dapat melihat jelas keempat penyerang di hadapannya. Namun wajah mereka tak terlihat utuh karena ditutup cadar hitam dari bawah mata hingga ke dagu. Keempatnya juga mengenakan ikat kepala yang sama-sama berwarna hitam.Setelah menunggu beberapa saat, Seta tak mendapat jawaban. Empat orang bercadar hitam itu hanya diam sembari pandangi sang prajurit dengan tatapan tajam berkilat."Bedebah! Kalian tentunya punya mulut dan tidak bisu. Cepat jawab pertanyaan temanku!" bentak Darpa yang tahu-tahu saja sudah berdiri di sebelah Seta.Terdengar dengusan keras dari arah empat orang tersebut. Tanpa berkata sepatah kata pun salah satu dari mereka mencabut parang dari pinggang. Lalu meloncat turun dari punggung kuda untuk melancarkan serangan pada Seta.Wuuuttt!Parang besar di tangan lelaki bercadar itu terayun deras. Menimbulkan suara berkesiuran saat beradu dengan udara. Mata parang
Tiga parang besar disabetkan ke depan dengan cepat. Satu menusuk ke arah perut, satunya lagi mengarah ke ulu hati, sedangkan yang terakhir mengincar batang leher! Benar-benar sebuah serangan mematikan.Seta menyambut datangnya serangan dengan menggerenyotkan bibir hingga deretan giginya terlihat. Kali ini sang prajurit tak mau lagi memberi ampun. Tangan kanannya bergerak mencabut pedang dari pinggang.Sret!Sejari lagi mata kedua parang lawan menyentuh tubuhnya, Seta bergerak sedemikian rupa sehingga lolos dari serangan dengan mudah. Sungguh sebuah gerakan yang sangat sulit diikuti pandangan mata!Tiga lelaki bercadar dibuat melengak kaget oleh kecepatan gerakan sang prajurit. Namun mereka tak mau kalah cepat. Dalam sekejap saja mereka sudah mengubah gerakan untuk menyusulkan serangan kedua.Kali ini sabetan tiga parang besar mengarah ke perut, dada, dan punggung. Sebuah gabungan serangan dari
Sebatang anak panah tampak menancap dalam di batang leher Malwa. Lelaki tersebut keluarkan suara keluhan tertahan. Wajahnya yang berubah pucat mengernyit kesakitan. Kedua matanya membelalak lebar, lalu ambruk ke tanah dan tak bergerak lagi.Ada pun Darpa terkena anak panah di bagian punggung. Ia tak bersuara sedikit pun. Namun dari air muka wajahnya terlihat jelas betapa prajurit tersebut tengah menahan rasa sakit yang amat sangat."Pembokong kurang ajar!" geram Seta seraya bergegas melompat ke arah rekannya tersebut."Jangan pedulikan aku. Sebaiknya segera kau kejar pembokong itu," ujar Darpa setengah mendesis.Seta bingung sesaat. Namun dengan berat hati ia menyetujui usulan Darpa."Tunggulah di sini, aku tidak akan lama," ujarnya kemudian. "Berjanjilah untuk tidak mati. Aku akan menolongmu."Darpa hanya sunggingkan senyum tipis. Diikuti tatapan nanar sahabatnya itu, Seta melesat
"Celaka!" desis Seta tercekat. Wajahnya seketika berubah pucat pasi.Masih merasa tidak percaya, sang prajurit lantas menekan lembut bagian sudut antara leher dan rahang bawah Darpa dengan dua jari. Lagi-lagi sama sekali tak ada denyut yang terasa di sana.Tiba-tiba saja seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam dada Seta. Rasanya begitu menyesakkan. Hembusan napas sang prajurit Jenggala berubah memburu. Sedangkan kedua bola matanya memanas."Jangan mati dulu, Darpa. Kau tidak boleh mati sekarang. Aku masih membutuhkanmu!" desis Seta. Suaranya berubah parau.Sembari mendesis begitu sang prajurit tempelkan daun telinganya lekat-lekat ke dada kiri Darpa. Ia berharap mendengar suara berdetak di sana. Meski hanya berupa detak lemah.Tapi harapan itu hanya tinggal harapan. Tak ada suara apa pun yang ditangkap pendengaran Seta. Jantung Darpa sudah berhenti berdetak."Tidak ..." Seta g
HUJAN deras terus mengguyur sepanjang perjalanan Seta. Jalanan basah dan licin oleh tumpahan air dari langit Akibatnya, sang prajurit tak dapat memacu kuda kencang-kencang.Alih-alih menyuruhnya berlari, Seta musti mengendalikan hewan tunggangannya dengan sangat hati-hati. Salah-salah justru akan membawa celaka kalau sampai tergelincir dan jatuh.Dengan demikian perjalanan menuju Gunung Kampud pun menjadi terhambat. Sementara hari sudah memasuki rembang petang. Seta kembali mempertimbangkan ulang niatnya semula."Sepertinya lebih baik aku urungkan saja rencana ke Gunung Kampud hari ini. Sekarang saja suasana sudah sedemikian gelap. Apalagi nanti setibanya di sana, yang tentunya sudah sangat malam," ujarnya di dalam hati.Dalam cuaca cerah, perjalanan menuju Gunung Kampud hanya akan memakan waktu tiga kali penanakan nasi (sekitar dua seperempat jam). Namun dalam ke
MELIHAT isyarat tangan tersebut, dua lelaki kekar langsung lepaskan pegangannya pada si perempuan muda. Kejap berikutnya mereka sudah melompat ke muka, menyerang Seta.Dua tangan melayang di udara, melancarkan jotosan keras ke arah dada dan wajah Seta. Perempuan-perempuan muda yang ada di dalam ruangan tersebut berpekikan akibat rasa panik dan takut.Sementara yang diserang mendengus pendek. Lalu dalam satu gerakan cepat Seta menangkis kedua pukulan tersebut.Des! Des!Serangan kedua lelaki kekar mentah begitu saja. Tak cuma itu. Mereka juga merasakan tangan yang tadi bersentuhan dengan tangan Seta kesemutan hebat. Mati rasa untuk beberapa saat lamanya.Tahulah kedua lelaki itu jika lawan yang dihadapi tidak main-main. Tangkisan tadi tentulah dialiri tenaga dalam tinggi."Bangsat! Kau minta mati rupanya!" geram salah seorang dari mereka.Usai berkata begitu keduanya kembali lancark
EMPAT bilah golok tajam menyambar, mengintai empat bagian di tubuh Seta. Suara menderu kencang terdengar menggidikkan bersamaan dengan datangnya serangan.Wuutt! Wuutt!Seta pasang kuda-kuda. Kedua kaki ditekuk, direndahkan sedemikian hingga sepasang pahanya jadi rata satu sama lain. Sementara kedua tangan ditarik ke belakang, bersiaga di sisi perut dengan telapak mengepal.Begitu golok empat lawannya sudah dekat, Seta melompat menyambut datangnya serangan sembari menggembor keras."Hiaaat!"Sang prajurit menerapkan ilmu gerak cepat yang diajarkan Ki Sajiwa. Kedua tangannya bergerak sedemikian lincah, nyaris tak terlihat mata orang-orang yang ada di dalam ruangan tersebut. Lalu, tahu-tahu saja ....Buk! Buk!"Aaaaaah!"Terdengar suara bergebukan keras, bercampur dengan jeritan tinggi keempat lelaki tegap bersenjata golok. Tubuh mereka terjajar ke belakang untuk beberapa
MELIHAT Seta hanya berdiam diri dan seperti melamun, Ki Jibeng datang mendekat. Lelaki paruh baya itu keluarkan suara deheman. Membuat sang prajurit tergeragap, dan kembali kesadarannya."Kau mendengar apa yang aku ucapkan tadi, anak muda?" tanyanya.Seta buru-buru anggukkan kepala."Ya, Kisanak. Tentu saja aku dengar," sahutnya cepat. Lalu ia menambahkan, "Sepanjang gadis tadi dibebaskan dari kewajiban melayani si gemuk itu, aku setuju persoalan ini sudah selesai."Si lelaki tua manggut-manggut. Sepasang matanya lalu memandang ke arah Tirta. Kepalanya bergerak memberi isyarat tertentu, yang dibalas oleh lelaki gemuk tersebut dengan isyarat pula."Baiklah, kalau begitu berarti kita sudah sama-sama sepakat persoalan ini selesai," ujarnya setelah membaca isyarat yang diberikan Tirta.Usai berkata begitu tangan lelaki tersebut terangkat ke atas. Ini pertanda bagi empat lelaki berbadan tegap untu