Home / Pendekar / Bara Dendam di Perbatasan / 36 - Kembali ke Kutaraja

Share

36 - Kembali ke Kutaraja

Author: Kebo Rawis
last update Last Updated: 2024-09-09 08:07:11
SETELAH berkuda tanpa henti selama satu penanakan nasi (antara 30-40 menit), Seta tiba di perbatasan Kutaraja. Matahari sedang merangkak naik menuju puncak tertinggi ketika kuda sang prajurit memasuki gerbang perbatasan ibukota Kerajaan Jenggala tersebut.

Sebelumnya, selepas meninggalkan kediaman Ki Palasara rasa bimbang sempat menggelayuti Seta. Di satu sisi keinginan untuk segera membalaskan dendam pada Ranajaya. Di sisi lain rasa penasaran akan perkembangan di kotaraja.

Namun setelah lama menimbang-nimbang, pada akhirnya Seta memutuskan untuk pergi ke kotaraja terlebih dahulu. Mana tahu dari rekan-rekannya sesama prajurit ada kabar terbaru yang perlu ia dengar.

Barulah sesudah mendapat keterangan cukup dari kotaraja, Seta akan menyatroni tempat persembunyian Ranajaya di lereng Gunung Kampud. Membalaskan dendam atas kematian Harini isterinya, serta putera semata wayangnya.

"Tunggulah pembalasanku, Ranajaya keparat!" geram Seta sembari mengertakkan rahang.

Amarah Seta selalu saja melu
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Bara Dendam di Perbatasan   37 - Penyerang Bercadar

    Kewaspadaan Seta seketika meningkat. Sigap sang prajurit menarik tali kekang kudanya. Hewan tersebut meringkik keras, kemudian berhenti sembari mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi."Darpa?" seru Seta senang begitu melihat siapa yang memanggil."Oh, syukurlah kau masih hidup, Seta! Aku sudah menduga semua kabar mengenai kematianmu itu pasti bohong belaka," ujar Darpa yang langsung saja menghambur mendekat.Seta bersiap turun dari atas punggung kuda, namun segera dicegah oleh Darpa."Jangan turun di sini!" ujar Darpa setengah berbisik. Sambil berkata begitu kepalanya menoleh ke kanan-kiri.Tentu saja Seta jadi heran dibuatnya. Untuk kesekian kali di sepanjang hari itu, kening sang prajurit lagi-lagi dibuat berkerut dalam karena rasa penasaran yang amat sangat."Kenapa tidak boleh?" tanya Seta meminta penjelasan."Bukannya tidak boleh, tapi untuk saat ini sebaiknya kau jangan du

    Last Updated : 2024-09-10
  • Bara Dendam di Perbatasan   38 - Pertarungan Sengit

    Dalam jarak sedekat itu Seta dapat melihat jelas keempat penyerang di hadapannya. Namun wajah mereka tak terlihat utuh karena ditutup cadar hitam dari bawah mata hingga ke dagu. Keempatnya juga mengenakan ikat kepala yang sama-sama berwarna hitam.Setelah menunggu beberapa saat, Seta tak mendapat jawaban. Empat orang bercadar hitam itu hanya diam sembari pandangi sang prajurit dengan tatapan tajam berkilat."Bedebah! Kalian tentunya punya mulut dan tidak bisu. Cepat jawab pertanyaan temanku!" bentak Darpa yang tahu-tahu saja sudah berdiri di sebelah Seta.Terdengar dengusan keras dari arah empat orang tersebut. Tanpa berkata sepatah kata pun salah satu dari mereka mencabut parang dari pinggang. Lalu meloncat turun dari punggung kuda untuk melancarkan serangan pada Seta.Wuuuttt!Parang besar di tangan lelaki bercadar itu terayun deras. Menimbulkan suara berkesiuran saat beradu dengan udara. Mata parang

    Last Updated : 2024-09-11
  • Bara Dendam di Perbatasan   39 - Panah Beracun

    Tiga parang besar disabetkan ke depan dengan cepat. Satu menusuk ke arah perut, satunya lagi mengarah ke ulu hati, sedangkan yang terakhir mengincar batang leher! Benar-benar sebuah serangan mematikan.Seta menyambut datangnya serangan dengan menggerenyotkan bibir hingga deretan giginya terlihat. Kali ini sang prajurit tak mau lagi memberi ampun. Tangan kanannya bergerak mencabut pedang dari pinggang.Sret!Sejari lagi mata kedua parang lawan menyentuh tubuhnya, Seta bergerak sedemikian rupa sehingga lolos dari serangan dengan mudah. Sungguh sebuah gerakan yang sangat sulit diikuti pandangan mata!Tiga lelaki bercadar dibuat melengak kaget oleh kecepatan gerakan sang prajurit. Namun mereka tak mau kalah cepat. Dalam sekejap saja mereka sudah mengubah gerakan untuk menyusulkan serangan kedua.Kali ini sabetan tiga parang besar mengarah ke perut, dada, dan punggung. Sebuah gabungan serangan dari

    Last Updated : 2024-09-11
  • Bara Dendam di Perbatasan   40 - Darpa Gugur

    Sebatang anak panah tampak menancap dalam di batang leher Malwa. Lelaki tersebut keluarkan suara keluhan tertahan. Wajahnya yang berubah pucat mengernyit kesakitan. Kedua matanya membelalak lebar, lalu ambruk ke tanah dan tak bergerak lagi.Ada pun Darpa terkena anak panah di bagian punggung. Ia tak bersuara sedikit pun. Namun dari air muka wajahnya terlihat jelas betapa prajurit tersebut tengah menahan rasa sakit yang amat sangat."Pembokong kurang ajar!" geram Seta seraya bergegas melompat ke arah rekannya tersebut."Jangan pedulikan aku. Sebaiknya segera kau kejar pembokong itu," ujar Darpa setengah mendesis.Seta bingung sesaat. Namun dengan berat hati ia menyetujui usulan Darpa."Tunggulah di sini, aku tidak akan lama," ujarnya kemudian. "Berjanjilah untuk tidak mati. Aku akan menolongmu."Darpa hanya sunggingkan senyum tipis. Diikuti tatapan nanar sahabatnya itu, Seta melesat

    Last Updated : 2024-09-12
  • Bara Dendam di Perbatasan   41 - Duka Seta

    "Celaka!" desis Seta tercekat. Wajahnya seketika berubah pucat pasi.Masih merasa tidak percaya, sang prajurit lantas menekan lembut bagian sudut antara leher dan rahang bawah Darpa dengan dua jari. Lagi-lagi sama sekali tak ada denyut yang terasa di sana.Tiba-tiba saja seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam dada Seta. Rasanya begitu menyesakkan. Hembusan napas sang prajurit Jenggala berubah memburu. Sedangkan kedua bola matanya memanas."Jangan mati dulu, Darpa. Kau tidak boleh mati sekarang. Aku masih membutuhkanmu!" desis Seta. Suaranya berubah parau.Sembari mendesis begitu sang prajurit tempelkan daun telinganya lekat-lekat ke dada kiri Darpa. Ia berharap mendengar suara berdetak di sana. Meski hanya berupa detak lemah.Tapi harapan itu hanya tinggal harapan. Tak ada suara apa pun yang ditangkap pendengaran Seta. Jantung Darpa sudah berhenti berdetak."Tidak ..." Seta g

    Last Updated : 2024-09-12
  • Bara Dendam di Perbatasan   42 - Penginapan Sekarwangi

    HUJAN deras terus mengguyur sepanjang perjalanan Seta. Jalanan basah dan licin oleh tumpahan air dari langit Akibatnya, sang prajurit tak dapat memacu kuda kencang-kencang.Alih-alih menyuruhnya berlari, Seta musti mengendalikan hewan tunggangannya dengan sangat hati-hati. Salah-salah justru akan membawa celaka kalau sampai tergelincir dan jatuh.Dengan demikian perjalanan menuju Gunung Kampud pun menjadi terhambat. Sementara hari sudah memasuki rembang petang. Seta kembali mempertimbangkan ulang niatnya semula."Sepertinya lebih baik aku urungkan saja rencana ke Gunung Kampud hari ini. Sekarang saja suasana sudah sedemikian gelap. Apalagi nanti setibanya di sana, yang tentunya sudah sangat malam," ujarnya di dalam hati.Dalam cuaca cerah, perjalanan menuju Gunung Kampud hanya akan memakan waktu tiga kali penanakan nasi (sekitar dua seperempat jam). Namun dalam ke

    Last Updated : 2024-09-13
  • Bara Dendam di Perbatasan   43 - Membela Jalir

    MELIHAT isyarat tangan tersebut, dua lelaki kekar langsung lepaskan pegangannya pada si perempuan muda. Kejap berikutnya mereka sudah melompat ke muka, menyerang Seta.Dua tangan melayang di udara, melancarkan jotosan keras ke arah dada dan wajah Seta. Perempuan-perempuan muda yang ada di dalam ruangan tersebut berpekikan akibat rasa panik dan takut.Sementara yang diserang mendengus pendek. Lalu dalam satu gerakan cepat Seta menangkis kedua pukulan tersebut.Des! Des!Serangan kedua lelaki kekar mentah begitu saja. Tak cuma itu. Mereka juga merasakan tangan yang tadi bersentuhan dengan tangan Seta kesemutan hebat. Mati rasa untuk beberapa saat lamanya.Tahulah kedua lelaki itu jika lawan yang dihadapi tidak main-main. Tangkisan tadi tentulah dialiri tenaga dalam tinggi."Bangsat! Kau minta mati rupanya!" geram salah seorang dari mereka.Usai berkata begitu keduanya kembali lancark

    Last Updated : 2024-09-13
  • Bara Dendam di Perbatasan   44 - Berkeras

    EMPAT bilah golok tajam menyambar, mengintai empat bagian di tubuh Seta. Suara menderu kencang terdengar menggidikkan bersamaan dengan datangnya serangan.Wuutt! Wuutt!Seta pasang kuda-kuda. Kedua kaki ditekuk, direndahkan sedemikian hingga sepasang pahanya jadi rata satu sama lain. Sementara kedua tangan ditarik ke belakang, bersiaga di sisi perut dengan telapak mengepal.Begitu golok empat lawannya sudah dekat, Seta melompat menyambut datangnya serangan sembari menggembor keras."Hiaaat!"Sang prajurit menerapkan ilmu gerak cepat yang diajarkan Ki Sajiwa. Kedua tangannya bergerak sedemikian lincah, nyaris tak terlihat mata orang-orang yang ada di dalam ruangan tersebut. Lalu, tahu-tahu saja ....Buk! Buk!"Aaaaaah!"Terdengar suara bergebukan keras, bercampur dengan jeritan tinggi keempat lelaki tegap bersenjata golok. Tubuh mereka terjajar ke belakang untuk beberapa

    Last Updated : 2024-09-14

Latest chapter

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 203

    Seta menunggu hingga matahari tergelincir dari ubun-ubun. Saat itu, kebanyakan abdi dalem akan sibuk di bangsal tengah—membersihkan ruangan utama setelah santap siang para pembesar. Waktu yang tepat untuk menyusup ke bangsal timur, tempat Wadu tinggal sebelum ia menghilang entah ke mana.Seta memilih jalan belakang, melalui lorong-lorong sempit yang biasa dilalui pengangkat air dan pemikul kayu. Langkahnya ringan, tubuhnya setengah bersembunyi di balik tiang dan tabir. Ia tahu betul, satu kesalahan kecil bisa membuatnya diadili karena menyusup ke ruang kediaman abdi dalem tanpa izin.Bangsal timur sunyi. Di luar, hanya ada satu penjaga yang duduk malas sambil mengunyah sirih. Seta menunggu sampai penjaga itu lengah, lalu menyelinap masuk lewat pintu samping.Ruangan itu gelap, lembap, dan penuh bau keringat. Tikar pandan digelar berderet, menunjukkan bahwa tempat itu dihuni beberapa orang sekaligus.Seta melangkah pelan, menyusuri sudut demi sudut h

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 202

    Langkah Seta tak langsung menuju ke barak. Pagi itu, setelah meninggalkan kediaman permaisuri, ia berputar arah ke sisi belakang istana.Di sanalah dapur besar kerajaan berdiri, nyaris tak pernah sepi sejak fajar. Asap tipis mengepul dari tungku tanah liat, aroma rebusan daging dan beras merah bercampur dengan harum dedaunan segar yang baru dipotong.Seta menyusup di antara para pelayan yang sibuk, menyapa sekadarnya agar tak tampak mencurigakan. Pandangannya mencari satu nama—Ni Lastri, juru masak kepala yang sudah puluhan tahun mengabdi di istana permaisuri.Tak lama, ia menemukan orang yang dicari-cari di balik anyaman tikar bambu, tengah membersihkan lembaran-lembaran daun pisang.“Ni Lastri…” Seta menyapa dengan suara rendah.Perempuan tua itu menoleh cepat, sedikit heran. “Oh, Raden Seta? Ada angin apa pagi-pagi kemari?”“Tidak usah panggil raden. Aku… aku hanya abdi bi

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 201

    Cahaya pagi menyelusup pelan ke balik tirai sutra kamar permaisuri Panjalu. Suasana cerah yang sangat berlawanan dengan kabar muram yang akan disampaikan Seta pada pemilik tempat ini.Burung-burung belum lama berkicau di taman dalam ketika Seta melangkah masuk, menunduk hormat di hadapan Sasi Kirana yang telah duduk di bangku rendah, mengenakan kain selendang tipis warna biru senja. Rambutnya masih basah setelah mandi, dan matanya sembab. Entah karena lelah, atau ada sesuatu yang ia rasakan sejak semalam.“Ada apa pagi-pagi begini kau menghadapku, Seta?” bisiknya lirih. Seakan tahu gelagat, ia menyuruh pelayannya mundur menjauh sehingga kini dirinya dan Seta seakan tengah berbicara empat mata.Seta menunggu sampai pintu ditutup rapat. Barulah ia menjawab. “Lira… pelayan Gusti… tewas dibunuh.”Sasi Kirana tersentak. Nafasnya tercekat. “Apa maksudmu?” tanyanya, nyaris tanpa suara.“Tadi malam, h

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 200

    Dini hari turun pelan-pelan seperti kabut, menyusup lembut ke balik dinding-dinding bata dan atap genteng istana Panjalu.Seta belum tidur sejak semalam. Ia terus berjaga di serambi belakang tempat dapur istana berada, matanya tak lepas dari lorong kecil yang tembus ke arah sumur tua. Tempat itulah yang semalam menjadi jalur Wadu menghancurkan sepotong surat.Di balik tembok, waktu terasa beku. Sesekali terdengar suara kelelawar, sesekali suara tikus kecil di sela-sela kayu. Namun malam itu, ada sesuatu yang berbeda.Seta yang duduk memeluk lutut perlahan menegakkan tubuh. Sebuah langkah ringan terdengar—terlalu ringan untuk seorang lelaki, dan terlalu gelisah untuk sekadar pelayan menuju sumur.Dari celah bayangan, tampak sekelebat sosok perempuan berjalan pelan-pelan membawa kendi. Baju pelayannya kusam oleh lembab dini hari, rambutnya digelung seadanya, seolah terburu-buru. Ia menoleh dua kali ke belakang, seperti takut ketahuan.Seta meng

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 199

    Seta memilih untuk tidak menanggapi secara terburu-buru. Sejak semula, ia tidak ingin kehadirannya di istana Panjalu memancing perhatian. Maka ia menahan diri, hanya memperhatikan dari balik bayang-bayang pilar batu di serambi samping ketika sosok abdi muda itu keluar dari bilik dapur pembantu. Gerak-geriknya terlalu tenang—terlalu teratur untuk ukuran pelayan baru.Tiap pagi, pelayan itu muncul lebih cepat dari yang lain, dan tiap malam ia pulang paling lambat. Namun ada satu hal yang membuat Seta semakin curiga: ia tak pernah terlihat berbincang dengan siapa pun. Tak ada senda gurau, tak ada obrolan remeh-temeh seperti yang biasa dilakukan para abdi muda lainnya. Ia hanya diam, bekerja, dan sesekali menghilang dari pandangan.Malam itu, selepas membasuh diri dan bersantap malam seadanya di bilik dalam, Seta diam-diam mengikuti langkah pelayan muda itu dari kejauhan. Ia menunggu sampai hampir seluruh isi istana permaisuri tertidur. Ketika suara malam tinggal des

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 198

    Tak terasa, sudah nyaris sepekan Seta menetap di istana Panjalu. Ia tinggal diam-diam di bangsal kecil dekat taman belakang, bagian dari kompleks kediaman Permaisuri Sasi Kirana.Bangunan itu dahulu tempat istirahat emban dan pelayan istana. Letaknya agak terpencil, dikelilingi pepohonan dan jalan setapak, membuatnya tempat yang ideal untuk sembunyi dari mata pengintai.Sasi Kirana sendiri yang mengatur semuanya. Tak banyak pelayan yang tahu bahwa ada seorang tamu rahasia yang diam-diam tinggal di sana. Ia hanya mempercayakan hal itu pada dua emban tua dan satu pengawal muda yang telah bersumpah setia padanya sejak masih menjadi puteri Jenggala.Namun ketenangan itu mulai terusik.Sejak fajar tadi, Seta merasa ada yang ganjil. Seorang pelayan baru tampak mondar-mandir di sekitar lorong yang menghubungkan dapur ke taman belakang.Gerak-gerik pelayan itu terlalu hati-hati di mata Seta, terlalu memperhitungkan langkah. Seperti seseorang yang ingin ter

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 197

    Di istana, Seta tidak mengetahui bahwa bayang-bayang bahaya mulai mengintai. Ia tetap menjalankan tugasnya tanpa cela, dengan sikap penuh siaga.Setiap pagi, ia mengiringi Sasi Kirana ke taman, juga mengikuti Dyah Ardana berlatih menulis dan bermain di sana.Seta belum menyadari jika setiap gerak-geriknya terus diawasi dari kejauhan.Sudut belakang pasar tua Kotaraja menjadi tempat mata-mata Dyah Srengga mengintai istana permaisuri. Seperti petang itu, ketika dua orang bersandar di tembok bata sambil berbincang pelan.“Sudah aku pastikan kebenerannya. Rombongan Permaisuri dari Jenggala sudah kembali ke timur dua hari lalu,” kata salah satu dari mereka, berselendang kusam dan memakai caping lebar. "Namun rupanya ada satu yang tampaknya sengaja ditinggalkan di sini."“Maksudmu, pengawal yang tengah mengiringi Sasi Kirana dan Dyah Ardana itu?”“Ya, benar sekali. Laki-laki itu membuatku curiga. Dia masuk ke dalam istana Permaisuri Panjalu sebagai anggota rombongan dari Jenggala. Namun seka

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 196

    Hari-hari pertama di istana Panjalu terasa seperti babak baru bagi Seta. Sebagai prajurit, ia telah menjalani banyak tugas berat, tetapi tak satu pun seperti yang kini diembannya—menjadi bayangan di belakang permaisuri Panjalu dan putranya yang seorang calon penerus takhta, tanpa boleh mengungkapkan jati diri yang sebenarnya.Seta ditempatkan di lingkungan dalam istana sebagai bagian dari pengawal keluarga raja, tetapi tidak satu pun menyadari bahwa ia bukan sekadar prajurit biasa. Terlebih dalam kesehariannya Seta mengenakan busana dan ikat kepala khas abdi Panjalu, tidak mencolok namun tetap gagah.Sikapnya tenang, selalu menjaga jarak yang tepat, dengan tatapan matanya tajam tapi sopan—ciri khas prajurit berpengalaman.Pembawaan itu membuat Sasi Kirana dan putranya, Dyah Ardana, cepat menyukai kehadiran Seta. Sang calon putera mahkota bahkan mulai sering meminta diajak berlatih pedang-pedangan kayu, dan Seta dengan sabar meladeni, meski tak lupa selalu berjaga di sekeliling mereka.

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 195

    Rombongan Permaisuri Jenggala akhirnya tiba di gerbang megah istana Panjalu menjelang senja. Suara genderang dan tiupan seruling mengiringi kedatangan mereka, sementara para pelayan istana dan prajurit berbaris rapi di halaman depan.Sri Prabu Kamesywara berdiri di tangga utama bersama Sasi Kirana dan puteranya yang masih kecil, Dyah Ardana. Wajah mereka berseri-seri menyambut kedatangan sang tamu agung.“Selamat datang di Panjalu, Ibunda Permaisuri,” Sri Prabu Kamesywara menyambut dengan suara lantang, langkahnya mantap menuruni tangga. Ia membungkuk hormat, diikuti Sasi Kirana yang tersenyum hangat.“Terima kasih, Ananda Prabu,” Permaisuri menjawab lembut, turun dari kereta kencana dengan bantuan mbok emban. Wajahnya sedikit letih, tetapi masih memancarkan wibawa yang anggun.Dyah Ardana berlari kecil menghampiri eyangnya, kedua tangannya terangkat tinggi memohon pelukan. Permaisuri menyambutnya dengan penuh kasih sayang, membela

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status