Share

43 - Membela Jalir

Author: Kebo Rawis
last update Last Updated: 2024-09-13 09:08:00

MELIHAT isyarat tangan tersebut, dua lelaki kekar langsung lepaskan pegangannya pada si perempuan muda. Kejap berikutnya mereka sudah melompat ke muka, menyerang Seta.

Dua tangan melayang di udara, melancarkan jotosan keras ke arah dada dan wajah Seta. Perempuan-perempuan muda yang ada di dalam ruangan tersebut berpekikan akibat rasa panik dan takut.

Sementara yang diserang mendengus pendek. Lalu dalam satu gerakan cepat Seta menangkis kedua pukulan tersebut.

Des! Des!

Serangan kedua lelaki kekar mentah begitu saja. Tak cuma itu. Mereka juga merasakan tangan yang tadi bersentuhan dengan tangan Seta kesemutan hebat. Mati rasa untuk beberapa saat lamanya.

Tahulah kedua lelaki itu jika lawan yang dihadapi tidak main-main. Tangkisan tadi tentulah dialiri tenaga dalam tinggi.

"Bangsat! Kau minta mati rupanya!" geram salah seorang dari mereka.

Usai berkata begitu keduanya kembali lancark

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Bara Dendam di Perbatasan   44 - Berkeras

    EMPAT bilah golok tajam menyambar, mengintai empat bagian di tubuh Seta. Suara menderu kencang terdengar menggidikkan bersamaan dengan datangnya serangan.Wuutt! Wuutt!Seta pasang kuda-kuda. Kedua kaki ditekuk, direndahkan sedemikian hingga sepasang pahanya jadi rata satu sama lain. Sementara kedua tangan ditarik ke belakang, bersiaga di sisi perut dengan telapak mengepal.Begitu golok empat lawannya sudah dekat, Seta melompat menyambut datangnya serangan sembari menggembor keras."Hiaaat!"Sang prajurit menerapkan ilmu gerak cepat yang diajarkan Ki Sajiwa. Kedua tangannya bergerak sedemikian lincah, nyaris tak terlihat mata orang-orang yang ada di dalam ruangan tersebut. Lalu, tahu-tahu saja ....Buk! Buk!"Aaaaaah!"Terdengar suara bergebukan keras, bercampur dengan jeritan tinggi keempat lelaki tegap bersenjata golok. Tubuh mereka terjajar ke belakang untuk beberapa

    Last Updated : 2024-09-14
  • Bara Dendam di Perbatasan   45 - Keterangan Palakrama

    MELIHAT Seta hanya berdiam diri dan seperti melamun, Ki Jibeng datang mendekat. Lelaki paruh baya itu keluarkan suara deheman. Membuat sang prajurit tergeragap, dan kembali kesadarannya."Kau mendengar apa yang aku ucapkan tadi, anak muda?" tanyanya.Seta buru-buru anggukkan kepala."Ya, Kisanak. Tentu saja aku dengar," sahutnya cepat. Lalu ia menambahkan, "Sepanjang gadis tadi dibebaskan dari kewajiban melayani si gemuk itu, aku setuju persoalan ini sudah selesai."Si lelaki tua manggut-manggut. Sepasang matanya lalu memandang ke arah Tirta. Kepalanya bergerak memberi isyarat tertentu, yang dibalas oleh lelaki gemuk tersebut dengan isyarat pula."Baiklah, kalau begitu berarti kita sudah sama-sama sepakat persoalan ini selesai," ujarnya setelah membaca isyarat yang diberikan Tirta.Usai berkata begitu tangan lelaki tersebut terangkat ke atas. Ini pertanda bagi empat lelaki berbadan tegap untu

    Last Updated : 2024-09-14
  • Bara Dendam di Perbatasan   46 - Sederet Dugaan

    SETA sangat terkejut mendengar keterangan Ki Palakrama. Sebab Gunung Kampud adalah sebuah gunung suci. Salah satu dari sembilan puncak suci di Jawa Dwipa yang diagungkan dalam ajaran Syiwa.Kesucian tersebut berasal dari kepercayaan bahwa Gunung Kampud adalah potongan puncak Gunung Mahameru. Ada pun Mahameru sendiri gunung paling suci di muka bumi. Tempat bersemayamnya para dewa-dewi.Karena itulah di lereng-lereng Gunung Kampud banyak dibangun tempat-tempat pemujaan. Tersebar di semua arah mata angin. Jadi adalah sebuah penghinaan dan juga noda jika sampai ada sarang perampok di sana."Bagaimana bisa?" desis Seta dengan wajah menunjukkan air muka tidak percaya.Ki Palakrama tak paham maksud ucapan prajurit tersebut, jadi lelaki paruh baya itu tidak menanggapi."Sejak kapan perampok-perampok itu bercokol di sana, Ki?" tanya Seta kemudian."Mmm, kalau untuk itu aku tidak tahu-menahu, anak muda

    Last Updated : 2024-09-15
  • Bara Dendam di Perbatasan   47 - Sitadewi

    BEGITU memasuki kamar, Seta langsung rebahkan tubuh ke atas tilam empuk berlapis kain putih bersih. Sejenak dinikmatinya kenyamanan tersebut sembari memandangi langit-langit ruangan.Beberapa kejap kemudian sepasang mata Seta terpejam. Belum tidur. Prajurit itu sedang memancing rasa kantuk agar segera datang menghampiri. Namun ....Tok! Tok! Tok!Belum lagi kantuk yang diharapkan datang, terdengar suara ketukan di pintu. Seta langsung terjingkat bangun. Pandangannya tajam tertuju pada daun pintu."Siapa?" tanya sang prajurit setengah berseru."A-aku." Terdengar suara lirih seorang perempuan.Seta kernyitkan kening dalam-dalam. Mengapa ada perempuan mendatanginya malam-malam begini? Jangan-jangan ini ulah Ki Palakrama, yang diam-diam mengirim jalir untuknya? Demikian batin si prajurit.Berpikir sampai di situ Seta segera turun dari pembaringan dan melangkah menuju pintu. Kalau memang itu jalir kiriman Ki Palakrama, ia akan langsung menyuruh perempuan itu kembali.Benar saja. Ketika pint

    Last Updated : 2024-09-15
  • Bara Dendam di Perbatasan   48 - Bayangan Harini

    SEPASANG mata Seta terbelalak lebar menyaksikan tubuh polos Sitadewi. Napas sang prajurit seketika terdengar memburu kencang. Dadanya bergemuruh, dirayapi satu perasaan aneh yang menuntut untuk dituntaskan.Sementara di hadapannya, Sitadewi gerakkan tangan sedemikian rupa dalam sikap menantang. Dengan perlahan si perempuan mengusap tubuh dari bawah ke atas. Diiringi lenggak-lenggok yang memancing hasrat.Usapan tangan tersebut berhenti ketika mencapai bagian dada. Sembari mendesis manja, gadis itu meremas-remas sepasang gundukan kenyal miliknya nan menantang."Kemarilah, Kakang. Jangan biarkan aku sendiri di sini," desah Sitadewi dengan nada mengharap.Seta menggeram. Sepasang matanya yang berkilat-kilat terus menatap tajam pada tubuh polos nan indah itu. Setiap gerakan, setiap desahan Sitadewi membakar gairahnya sehingga semakin menyala-nyala.Nafsu kelelakian prajurit Jenggala itu pun mulai bangkit. M

    Last Updated : 2024-09-16
  • Bara Dendam di Perbatasan   49 - Pertukaran

    ENTAH berapa lama Seta menunggu sampai akhirnya Sitadewi berhenti menangis. Begitu perempuan itu terlihat lebih tenang, direngkuhnya bahu dengan lembut.Tangan sang prajurit meremas-remas lembut bahu tersebut. Bermaksud memberi kekuatan pada si perempuan. Wajah Sitadewi yang masih basah oleh air mata lantas dibenamkan ke dadanya yang bidang."Tidak seorang pun boleh memandangmu serendah itu, Sita. Jangan biarkan mereka melakukannya. Semua wanita itu mulia," bisik Seta lirih, coba menenteramkan hati si perempuan."Aku hanya seorang jalir, Kang. Di mana letak mulianya seorang jalir?" balas Sitadewi dengan suara parau.Seta pegang kepala Sitadewi, lalu menjauhkannya dari dekapan dan dibawa maju ke depan wajah. Sang prajurit pandangi dua mata indah si perempuan yang masih basah oleh air mata.Yang dipandangi balas menatap, tapi tak lama. Sekejap kemudian sudah alihkan pandangan ke arah lain. Tampak pipi Sitadewi yang juga masih basah bersemu merah."Kau menjadi jalir tentulah ada alasan, a

    Last Updated : 2024-09-16
  • Bara Dendam di Perbatasan   50 - Sebuah Kecupan

    SITADEWI kembali tertawa kecil melihat Seta begitu penasaran. Tangan perempuan itu lantas meraih lengan sang prajurit, menyeretnya ke arah pembaringan. Yang diseret menurut saja.Keduanya lalu duduk di tepi ranjang. Seta serongkan tubuhnya agar dapat berhadap-hadapan dengan Sitadewi. Ia sudah tak sabar ingin mendengar keterangan apa yang bakal disampaikan si perempuan."Cepat katakan, apa keterangan menarik yang kau dapat mengenai Kutaraja!" desak Seta ketika Sitadewi tak kunjung buka suara."Aku tak percaya Kakang belum tahu mengenai hal ini. Sebab menurut pelangganku itu, hal ini sudah terjadi agak lama. Kira-kira sejak dua-tiga purnama lalu," sahut Sitadewi.Seta sontak gelengkan kepala. Prajurit rendahan sepertinya adalah kelompok terakhir yang tahu jika ada perkembangan terjadi di Kutaraja. Apalagi dirinya menghabiskan beberapa pekan terakhir di Teluk Lawa yang terpencil."Oya, siapa pelangganmu ya

    Last Updated : 2024-09-17
  • Bara Dendam di Perbatasan   51 - Air Terjun

    KEESOKAN harinya, Seta sudah tinggalkan Penginapan Sekarwangi sebelum matahari terbit di ufuk timur. Sengaja ia berangkat saat gelap dan sepi. Sang prajurit ingin menghindari tatapan mata orang-orang.Alasan lain, Seta tak ingin kepergiaannya diketahui Ki Palakrama maupun Sitadewi. Baik salah satu dari mereka, apalagi malah kedua-duanya sekaligus.Prajurit Jenggala itu tak mau menghabiskan lebih banyak waktu percuma untuk Ki Palakrama. Sedangkan pada Sitadewi, ia tak mau niatnya goyah jika kembali bertemu perempuan itu."Maafkan aku, Sita. Tapi aku akan tepati janjiku untuk menemui dirimu setelah urusan di Gunung Kampud ini selesai," ujar Seta dalam hati.Ketika itu sang prajurit tengah melangkah di depan kajaliran, tempatnya semalam pertama kali bertemu Sitadewi. Ruangan itu tertutup dan tampak sepi.Hawa udara masih dingin mencucuk tulang. Namun Seta tak peduli. Kuda tunggangannya langsung dipacu kenc

    Last Updated : 2024-09-17

Latest chapter

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 192

    Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 191

    Mentari pagi yang baru saja terbit menyinari tanah Jenggala dengan lembut, tetapi suasana di alun-alun kerajaan dipenuhi ketegangan. Sejumlah warga telah berkumpul, berbisik-bisik dan menunggu momen yang akan menjadi peringatan kelam dalam sejarah Jenggala.Di tengah kerumunan itu, Seta berdiri bersama Ki Sajiwa, keduanya diam membisu. Sorot mata Seta menunjukkan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelelahan yang mendalam.Tak jauh dari situ, rombongan prajurit yang dipimpin Rakryan Rangga tiba di gerbang penjara. Empat wira tamtama gagah berjaga di luar, dan begitu Rakryan Rangga muncul, mereka segera membuka jalan. Dengan langkah tegas, Rakryan Rangga masuk ke ruang tahanan.Dyah Wisesa sedang duduk bersila di lantai kerangkengnya, wajahnya tak lagi menyiratkan kesombongan, tetapi tatapannya masih penuh rasa penasaran. Ketika melihat Rakryan Rangga datang bersama pasukan kecilnya, ia berdiri perlahan dan tersenyum sinis.“Aku yakin kalian da

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 190

    Pagi itu, suasana balairung istana Jenggala dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara burung-burung pagi yang terdengar dari luar, menyusup melalui celah-celah dinding istana.Sri Prabu Girindra duduk di atas singgasananya dengan wajah yang tampak muram. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam lengan singgasana dengan erat, menahan gejolak emosi yang tak terlihat.Di hadapannya berdiri Dyah Daru dan Rakryan Rangga, dua sosok yang paling dipercaya untuk memberikan pandangan jernih dalam menghadapi persoalan pelik ini. Mereka berdua menunggu dengan hormat, membiarkan Sri Prabu menjadi yang pertama membuka pembicaraan.“Adikku Daru, Rakryan Rangga,” ujar Sri Prabu dengan nada berat. “Kalian tahu mengapa aku memanggil kalian kemari pagi ini.”Dyah Daru mengangguk pelan. “Hamba mengerti, Gusti Prabu,” jawabnya dengan penuh hormat.Rakryan Rangga hanya membungkukkan badan tanpa berani

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 189

    Suasana di penjara istana terasa mencekam. Dinding batu yang dingin dan bau lembap menyelubungi setiap sudut ruangan.Seta melangkah dengan kaki yang penuh tekad. Ia datang untuk menemui seorang tahanan yang kini terkurung dalam kerangkeng besi, di ujung penjara yang paling jauh.Dyah Wisesa, sang bangsawan yang dulu begitu dihormati, kini duduk di sudut kerangkeng, wajahnya tampak suram, penuh dengan keputusasaan. Ia tampak jauh lebih lemah dibandingkan ketika siang tadi dihadapkan pada Sri Prabu Girindra.Namun, meskipun penampilan Dyah Wisesa tak seperti dulu, kebencian yang ada di dalam dirinya masih tampak jelas, tersirat di balik matanya yang tajam.Setelah tiba di depan ruang tahanan di mana Dyah Wisesa dikurung, Seta tak membuang waktu. Ia mendekat, meletakkan tangan di atas jeruji penjara. Matanya menatap tajam ke arah Dyah Wisesa, bibirnya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.“Dyah Wisesa,” ujar Set

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 188

    Malam di Kotaraja Jenggala begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara angin yang menerpa pepohonan di taman istana.Di balkon kamar istana, Sri Prabu Girindra berdiri memandangi bulan yang menggantung di langit, sinarnya memantulkan warna perak pada segala sesuatu di bawahnya. Wajah sang raja tampak diliputi kekalutan, meski ia berdiri dengan tubuh tegap.Langkah lembut terdengar dari dalam kamar. Permaisuri, mengenakan kain sutra lembut dengan selendang melilit bahunya, melangkah menghampiri. Ia membawa ketenangan dalam setiap gerakannya, dan senyumnya yang hangat mengusir dinginnya malam.“Kakang Prabu, kenapa belum tidur?” tanyanya lembut sambil menyentuh lengan suaminya.Sri Prabu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku belum mengantuk, mana bisa tidur? Pikiran ini masih terlalu penuh untuk bisa terlelap ke alam impian.”Permaisuri menarik tangan Sri Prabu Girindra, menggenggam jari-jari suaminya itu dengan lembut.

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 187

    Mata keris Dyah Wisesa berkilat di bawah sinar matahari, meluncur cepat mengarah ke leher Seta. Namun, dengan ketenangan luar biasa, Seta memiringkan tubuhnya pada detik terakhir, membiarkan keris itu hanya mencium angin.Sambil menghindar, Seta sambil menangkap pergelangan tangan Dyah Wisesa dengan cengkeraman kuat, memutar tubuhnya, dan menggunakan momentum itu untuk melepaskan keris dari genggaman lawannya.“Kau terlalu lamban,” ujar Seta dingin, melemparkan keris itu jauh dari jangkauan Dyah Wisesa.Namun, Dyah Wisesa belum menyerah. Ia melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, setiap serangannya berusaha menembus pertahanan Seta.Yang tidak diketahui Dyah Wisesa, lawannya adalah seorang prajurit pilihan nan terlatih, dengan gerak tubuh yang terukur dan efisien. Belum lagi hasil gemblengan Ki Sajiwa di Teluk Lawa menambah kecepatan dan ketangkasan gerakan Seta.Maka, setiap serangan Dyah Wisesa tidak hanya gagal mengenai sasar

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 186

    Ketegangan di balairung istana mencapai puncak. Dyah Wisesa yang sudah dikuasai amarah menghunus kerisnya, mengarahkan senjata itu langsung ke dada Sri Prabu Girindra.Namun sebelum mata keris sempat menyentuh kulit sang raja, sebuah bayangan bergerak lebih cepat dari semua yang ada di balairung.“Seta!” seru Ki Sajiwa saat menyadari siapa yang barusan bergerak, tetapi panggilannya terlambat.Seta telah melesat bagaikan panah yang lepas dari busurnya. Dengan satu gerakan lincah, ia menghadang Dyah Wisesa.Tangan kanan sang wira tamtama terjulur, menangkis serangan dengan telapak tangan yang penuh tenaga dalam. Denting logam terdengar nyaring ketika keris Dyah Wisesa terpental ke udara.“Brak!”Satu dorongan keras dari Seta membuat Dyah Wisesa terjengkang jauh ke belakang, hingga menabrak tiang penyangga balairung.Para pejabat dan prajurit yang menyaksikan terhenyak, terkejut oleh keberanian Seta melawan seoran

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 185

    Balairung istana yang sebelumnya mencekam kini terasa semakin tegang. Semua orang, mulai dari para pejabat hingga prajurit yang berjaga, menanti kelanjutan persidangan yang membawa Jenggala ke dalam gejolak.Dyah Daru, yang berdiri tegak di dekat Dyah Wisesa, menghela napas panjang. Ia kemudian melangkah maju, menyampaikan sesuatu yang membuat suasana makin panas.“Paduka Prabu,” ujar Dyah Daru sambil membungkuk hormat, “izinkan hamba menyampaikan satu hal lagi yang hamba ketahui tentang Kakanda Wisesa.""Katakan, Daru," sahut Sri Prabu cepat."Dini hari tadi, Kakang Wisesa dan pasukannya bersiap melarikan diri ke Panjalu. Untungnya, hamba dan Rakryan Rangga bergerak tepat waktu sehingga dapat menggagalkan rencana tersebut. Hamba bersama pasukan berhasil mengadang mereka sebelum mencapai perbatasan."Sementara itu, kami juga berhasil membuat Arya Jatikusuma beserta pasukannya berbalik arah menuju Kotaraja, padahal mereka semula he

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 184

    Balairung istana semakin terasa mencekam. Matahari yang mulai tinggi memancarkan cahaya keemasan melalui celah-celah jendela, tetapi suasana di dalam ruangan tetap suram.Dyah Wisesa berdiri tegak dengan kepala menunduk, wajahnya penuh amarah yang ditahan. Di hadapan Sri Prabu Girindra, ia terlihat seperti seorang kesatria yang terpojok tetapi menolak menyerah.Sri Prabu, yang duduk dengan wibawa di atas singgasana, menatap adiknya itu dengan sorot mata penuh kekecewaan.“Wisesa, sampai kapan kau akan terus menyangkal? Tidakkah kau sadar bahwa segala bukti dan kesaksian mulai mengarah padamu? Aku bertanya sekali lagi, apakah benar kau bekerja sama dengan Dyah Srengga untuk menggagalkan cucuku menjadi putera mahkota sekaligus mengganggu takhta Jenggala?”Dyah Wisesa mengangkat wajah. Tatapannya tegas dan penuh rasa tersinggung.“Paduka Prabu, semua tuduhan itu tidak lebih dari fitnah keji. Hamba telah menjadi korban satu komplotan

DMCA.com Protection Status