SETA sangat terkejut mendengar keterangan Ki Palakrama. Sebab Gunung Kampud adalah sebuah gunung suci. Salah satu dari sembilan puncak suci di Jawa Dwipa yang diagungkan dalam ajaran Syiwa.
Kesucian tersebut berasal dari kepercayaan bahwa Gunung Kampud adalah potongan puncak Gunung Mahameru. Ada pun Mahameru sendiri gunung paling suci di muka bumi. Tempat bersemayamnya para dewa-dewi.
Karena itulah di lereng-lereng Gunung Kampud banyak dibangun tempat-tempat pemujaan. Tersebar di semua arah mata angin. Jadi adalah sebuah penghinaan dan juga noda jika sampai ada sarang perampok di sana.
"Bagaimana bisa?" desis Seta dengan wajah menunjukkan air muka tidak percaya.
Ki Palakrama tak paham maksud ucapan prajurit tersebut, jadi lelaki paruh baya itu tidak menanggapi.
"Sejak kapan perampok-perampok itu bercokol di sana, Ki?" tanya Seta kemudian.
"Mmm, kalau untuk itu aku tidak tahu-menahu, anak muda
BEGITU memasuki kamar, Seta langsung rebahkan tubuh ke atas tilam empuk berlapis kain putih bersih. Sejenak dinikmatinya kenyamanan tersebut sembari memandangi langit-langit ruangan.Beberapa kejap kemudian sepasang mata Seta terpejam. Belum tidur. Prajurit itu sedang memancing rasa kantuk agar segera datang menghampiri. Namun ....Tok! Tok! Tok!Belum lagi kantuk yang diharapkan datang, terdengar suara ketukan di pintu. Seta langsung terjingkat bangun. Pandangannya tajam tertuju pada daun pintu."Siapa?" tanya sang prajurit setengah berseru."S-saya." Terdengar suara lirih seorang perempuan.Seta kernyitkan kening dalam-dalam. Mengapa ada perempuan mendatanginya malam-malam begini? Jangan-jangan ini ulah Ki Palakrama, yang diam-diam mengirim jalir untuknya? Demikian batin si prajurit.Berpikir sampai di situ Seta segera turun dari pembaringan dan melangkah menuju pintu. Kalau mema
SEPASANG mata Seta terbelalak lebar menyaksikan tubuh polos Sitadewi. Napas sang prajurit seketika terdengar memburu kencang. Dadanya bergemuruh, dirayapi satu perasaan aneh yang menuntut untuk dituntaskan.Sementara di hadapannya, Sitadewi gerakkan tangan sedemikian rupa dalam sikap menantang. Dengan perlahan si perempuan mengusap tubuh dari bawah ke atas. Diiringi lenggak-lenggok yang memancing hasrat.Usapan tangan tersebut berhenti ketika mencapai bagian dada. Sembari mendesis manja, gadis itu meremas-remas sepasang gundukan kenyal miliknya nan menantang."Kemarilah, Kakang. Jangan biarkan aku sendiri di sini," desah Sitadewi dengan nada mengharap.Seta menggeram. Sepasang matanya yang berkilat-kilat terus menatap tajam pada tubuh polos nan indah itu. Setiap gerakan, setiap desahan Sitadewi membakar gairahnya sehingga semakin menyala-nyala.Nafsu kelelakian prajurit Jenggala itu pun mulai bangkit. M
ENTAH berapa lama Seta menunggu sampai akhirnya Sitadewi berhenti menangis. Begitu perempuan itu terlihat lebih tenang, direngkuhnya bahu dengan lembut.Tangan sang prajurit meremas-remas lembut bahu tersebut. Bermaksud memberi kekuatan pada si perempuan. Wajah Sitadewi yang masih basah oleh air mata lantas dibenamkan ke dadanya yang bidang."Tidak seorang pun boleh memandangmu serendah itu, Sita. Jangan biarkan mereka melakukannya. Semua wanita itu mulia," bisik Seta lirih, coba menenteramkan hati si perempuan."Aku hanya seorang jalir, Kang. Di mana letak mulianya seorang jalir?" balas Sitadewi dengan suara parau.Seta pegang kepala Sitadewi, lalu menjauhkannya dari dekapan dan dibawa maju ke depan wajah. Sang prajurit pandangi dua mata indah si perempuan yang masih basah oleh air mata.Yang dipandangi balas menatap, tapi tak lama. Sekejap kemudian sudah alihkan pandangan ke arah lain. Tampak pipi Sit
SITADEWI kembali tertawa kecil melihat Seta begitu penasaran. Tangan perempuan itu lantas meraih lengan sang prajurit, menyeretnya ke arah pembaringan. Yang diseret menurut saja.Keduanya lalu duduk di tepi ranjang. Seta serongkan tubuhnya agar dapat berhadap-hadapan dengan Sitadewi. Ia sudah tak sabar ingin mendengar keterangan apa yang bakal disampaikan si perempuan."Cepat katakan, apa keterangan menarik yang kau dapat mengenai Kutaraja!" desak Seta ketika Sitadewi tak kunjung buka suara."Aku tak percaya Kakang belum tahu mengenai hal ini. Sebab menurut pelangganku itu, hal ini sudah terjadi agak lama. Kira-kira sejak dua-tiga purnama lalu," sahut Sitadewi.Seta sontak gelengkan kepala. Prajurit rendahan sepertinya adalah kelompok terakhir yang tahu jika ada perkembangan terjadi di Kutaraja. Apalagi dirinya menghabiskan beberapa pekan terakhir di Teluk Lawa yang terpencil."Oya, siapa pelangganmu ya
KEESOKAN harinya, Seta sudah tinggalkan Penginapan Sekarwangi sebelum matahari terbit di ufuk timur. Sengaja ia berangkat saat gelap dan sepi. Sang prajurit ingin menghindari tatapan mata orang-orang.Alasan lain, Seta tak ingin kepergiaannya diketahui Ki Palakrama maupun Sitadewi. Baik salah satu dari mereka, apalagi malah kedua-duanya sekaligus.Prajurit Jenggala itu tak mau menghabiskan lebih banyak waktu percuma untuk Ki Palakrama. Sedangkan pada Sitadewi, ia tak mau niatnya goyah jika kembali bertemu perempuan itu."Maafkan aku, Sita. Tapi aku akan tepati janjiku untuk menemui dirimu setelah urusan di Gunung Kampud ini selesai," ujar Seta dalam hati.Ketika itu sang prajurit tengah melangkah di depan kajaliran, tempatnya semalam pertama kali bertemu Sitadewi. Ruangan itu tertutup dan tampak sepi.Hawa udara masih dingin mencucuk tulang. Namun Seta tak peduli. Kuda tunggangannya langsung dipacu kenc
SETA terkesiap kaget. Bertambah kaget lagi sewaktu melihat kedua sosok tersebut.Dalam jarak dua depa (sekitar 3,66 meter) di hadapannya, Seta melihat dua lelaki yang seketika mengingatkannya pada Ranajaya. Baik dari pakaian maupun perawakan. Sangat mirip sekali dengan lelaki incarannya itu.Dua orang di hadapan sang prajurit berwajah bengis. Masing-masing ditumbuhi kumis tebal, disertai cambang dan bauk lebat. Rambut keduanya juga panjang tak rapi, riap-riapan diterpa angin.Sementara tatapan mata mereka tajam berkilat-kilat. Memandang ke arah Seta tak berkesip. Seringai lebar tersungging di wajah kedua orang itu."Orang asing, sebutkan siapa dirimu dan apa keperluanmu datang kemari!" Kembali salah satu dari dua lelaki yang baru muncul keluarkan bentakan.Seta tumpangkan kedua belah tangan di atas perut, bersedekap. Sepasang matanya menyipit, mengamati sosok kedua orang di hadapannya lebih teliti.Pandangan sang prajurit lalu tertumbuk pada
TENDANGAN keras Seta bersarang telak di punggung dua lawan. Tanpa ampun yang ditendang jadi terdorong beberapa langkah ke depan. Setelah terhuyung-huyung, keduanya jatuh tersungkur di atas batu.Wajah kedua lelaki bercambang bauk lebat itu menghantam permukaan batu yang keras. Kembali terdengar suara mengaduh dari mulut mereka.Sementara itu parang besar dalam genggaman tangan mereka terpental lepas. Melayang sejarak beberapa hasta, lalu mengeluarkan suara berkelontangan ketika jatuh menghantam permukaan batu."Setan alas! Kemampuan orang ini tidak bisa dianggap main-main," desis salah satu dari kedua lelaki itu, masih dalam keadaan tertelungkup di atas batu."Kau benar. Agaknya dia bukan prajurit biasa," timpal rekannya mengamini."Siapa dia sebenarnya? Ada urusan apa dia mencari Ketua Ranajaya?" ujar lelaki pertama bertanya-tanya.Lelaki satunya hanya bisa gelengkan kepala. Mereka berdua ag
DIDORONG rasa ngeri, lelaki bercambang bauk lebat kembali bergerak hendak bangkit. Namun lagi-lagi ia harus mengurungkan niat, sebab Seta yang melihat gerakannya itu langsung menekan pedang yang menempel di leher lebih kencang."Aku beri satu kesempatan lagi padamu. Cepat tunjukkan di mana tempat persembunyian Ranajaya atau...."Seta sengaja penggal kalimatnya sampai di situ. Ia memang ingin membuat lelaki di hadapannya itu penasaran. Sehingga rasa takut pada diri si lelaki semakin menjadi-jadi.Namun dugaan sang prajurit salah besar. Rupanya lelaki bercambang bauk lebat itu jauh lebih takut pada Ranajaya."Dengar, Prajurit. Aku sungguh tidak bisa mengatakannya padamu. Jadi, lebih baik kau bunuh saja aku sekarang," sahut lelaki tersebut."Baik. Kalau memang begitu permintaanmu, dengan senang hati akan aku turuti," ujar Seta. Sepasang matanya pandangi lelaki itu dengan tatapan menusuk.Usai be