SITADEWI kembali tertawa kecil melihat Seta begitu penasaran. Tangan perempuan itu lantas meraih lengan sang prajurit, menyeretnya ke arah pembaringan. Yang diseret menurut saja.Keduanya lalu duduk di tepi ranjang. Seta serongkan tubuhnya agar dapat berhadap-hadapan dengan Sitadewi. Ia sudah tak sabar ingin mendengar keterangan apa yang bakal disampaikan si perempuan."Cepat katakan, apa keterangan menarik yang kau dapat mengenai Kutaraja!" desak Seta ketika Sitadewi tak kunjung buka suara."Aku tak percaya Kakang belum tahu mengenai hal ini. Sebab menurut pelangganku itu, hal ini sudah terjadi agak lama. Kira-kira sejak dua-tiga purnama lalu," sahut Sitadewi.Seta sontak gelengkan kepala. Prajurit rendahan sepertinya adalah kelompok terakhir yang tahu jika ada perkembangan terjadi di Kutaraja. Apalagi dirinya menghabiskan beberapa pekan terakhir di Teluk Lawa yang terpencil."Oya, siapa pelangganmu ya
KEESOKAN harinya, Seta sudah tinggalkan Penginapan Sekarwangi sebelum matahari terbit di ufuk timur. Sengaja ia berangkat saat gelap dan sepi. Sang prajurit ingin menghindari tatapan mata orang-orang.Alasan lain, Seta tak ingin kepergiaannya diketahui Ki Palakrama maupun Sitadewi. Baik salah satu dari mereka, apalagi malah kedua-duanya sekaligus.Prajurit Jenggala itu tak mau menghabiskan lebih banyak waktu percuma untuk Ki Palakrama. Sedangkan pada Sitadewi, ia tak mau niatnya goyah jika kembali bertemu perempuan itu."Maafkan aku, Sita. Tapi aku akan tepati janjiku untuk menemui dirimu setelah urusan di Gunung Kampud ini selesai," ujar Seta dalam hati.Ketika itu sang prajurit tengah melangkah di depan kajaliran, tempatnya semalam pertama kali bertemu Sitadewi. Ruangan itu tertutup dan tampak sepi.Hawa udara masih dingin mencucuk tulang. Namun Seta tak peduli. Kuda tunggangannya langsung dipacu kenc
SETA terkesiap kaget. Bertambah kaget lagi sewaktu melihat kedua sosok tersebut.Dalam jarak dua depa (sekitar 3,66 meter) di hadapannya, Seta melihat dua lelaki yang seketika mengingatkannya pada Ranajaya. Baik dari pakaian maupun perawakan. Sangat mirip sekali dengan lelaki incarannya itu.Dua orang di hadapan sang prajurit berwajah bengis. Masing-masing ditumbuhi kumis tebal, disertai cambang dan bauk lebat. Rambut keduanya juga panjang tak rapi, riap-riapan diterpa angin.Sementara tatapan mata mereka tajam berkilat-kilat. Memandang ke arah Seta tak berkesip. Seringai lebar tersungging di wajah kedua orang itu."Orang asing, sebutkan siapa dirimu dan apa keperluanmu datang kemari!" Kembali salah satu dari dua lelaki yang baru muncul keluarkan bentakan.Seta tumpangkan kedua belah tangan di atas perut, bersedekap. Sepasang matanya menyipit, mengamati sosok kedua orang di hadapannya lebih teliti.Pandangan sang prajurit lalu tertumbuk pada
TENDANGAN keras Seta bersarang telak di punggung dua lawan. Tanpa ampun yang ditendang jadi terdorong beberapa langkah ke depan. Setelah terhuyung-huyung, keduanya jatuh tersungkur di atas batu.Wajah kedua lelaki bercambang bauk lebat itu menghantam permukaan batu yang keras. Kembali terdengar suara mengaduh dari mulut mereka.Sementara itu parang besar dalam genggaman tangan mereka terpental lepas. Melayang sejarak beberapa hasta, lalu mengeluarkan suara berkelontangan ketika jatuh menghantam permukaan batu."Setan alas! Kemampuan orang ini tidak bisa dianggap main-main," desis salah satu dari kedua lelaki itu, masih dalam keadaan tertelungkup di atas batu."Kau benar. Agaknya dia bukan prajurit biasa," timpal rekannya mengamini."Siapa dia sebenarnya? Ada urusan apa dia mencari Ketua Ranajaya?" ujar lelaki pertama bertanya-tanya.Lelaki satunya hanya bisa gelengkan kepala. Mereka berdua ag
DIDORONG rasa ngeri, lelaki bercambang bauk lebat kembali bergerak hendak bangkit. Namun lagi-lagi ia harus mengurungkan niat, sebab Seta yang melihat gerakannya itu langsung menekan pedang yang menempel di leher lebih kencang."Aku beri satu kesempatan lagi padamu. Cepat tunjukkan di mana tempat persembunyian Ranajaya atau...."Seta sengaja penggal kalimatnya sampai di situ. Ia memang ingin membuat lelaki di hadapannya itu penasaran. Sehingga rasa takut pada diri si lelaki semakin menjadi-jadi.Namun dugaan sang prajurit salah besar. Rupanya lelaki bercambang bauk lebat itu jauh lebih takut pada Ranajaya."Dengar, Prajurit. Aku sungguh tidak bisa mengatakannya padamu. Jadi, lebih baik kau bunuh saja aku sekarang," sahut lelaki tersebut."Baik. Kalau memang begitu permintaanmu, dengan senang hati akan aku turuti," ujar Seta. Sepasang matanya pandangi lelaki itu dengan tatapan menusuk.Usai be
TANPA ampun Seta menebaskan pedangnya berkali-kali ke tubuh lawan. Sabetan pertama mendarat di dada. Membuat satu luka besar melintang panjang tercipta. Darah seketika mengucur deras.Luka pertama itulah yang membuat si lelaki bercambang bauk lebat menjerit keras. Ketika setelah itu pedang Seta menghunjam dada dan perutnya, lelaki tersebut hanya bisa mendesis kesakitan."Mati kowe!" geram Seta saat mengayunkan pedangnya untuk kali terakhir.Pedang berkelebat cepat menuju batang leher. Dalam keadaan terluka parah, lelaki bercambang bauk lebat tak punya daya untuk berkelit. Ia hanya dapat membeliakkan mata lebar-lebar dengan wajah tegang.Crasss!Leher lelaki bercambang bauk lebat langsung putus. Darah segar muncrat dari kutungan leher. Kepala yang lepas dari badan jatuh ke atas permukaan batu. Menggelinding sebentar, lalu berhenti karena mengantuk sesuatu.Sementara tubuh tanpa kepala itu terl
MENDENGAR bentakan tersebut Seta terkaget-kaget. Sontak prajurit Jenggala itu balikkan badan untuk melihat siapa yang ada di belakangnya.Namun rasa kaget sang prajurit bertambah-tambah. Belum sempat matanya melihat orang yang berteriak tadi dengan jelas, satu serangan deras sudah menyambut. Sebilah parang besar menyambar ke arahnya.Wuutt!Suara menderu keras terdengar bersamaan dengan datangnya sambaran parang. Seta yang tak siap dengan serangan itu mengambil cara termudah untuk mempertahankan diri.Dalam sekali gerak saja tangan sang prajurit sudah mencabut pedang dari dalam warangka di pinggang. Sret! Tanpa menunggu lama-lama, senjata tersebut diayunkan untuk menyambut datangnya serangan.Sing!Angin yang dibelah laju pedang menimbulkan suara berdesing. Sinar matahari yang jatuh di badan pedang membuat senjata andalan Seta itu terlihat berkilat-kilat.Lalu sekejap kemudian ....
RAUNGAN setinggi langit memenuhi seisi gua. Dua lelaki yang mengeroyok Seta terhuyung-huyung hendak jatuh tersungkur. Mereka merasakan rasa perih yang amat sangat pada bagian punggung.Ujung tajam pedang Seta memang menyayat punggung dua lelaki tersebut tanpa ampun. Menimbulkan satu luka lebar lagi memanjang. Melintang dari bahu hingga ke pinggang.Putihnya tulang menyembul di sela-sela daging merah yang teriris. Darah segar mengucur deras. Menetes berceceran di lantai gua."Keparat tengik! Kau ... kau benar-benar harus mati di tangan kami!" geram salah satu dari kedua lelaki tersebut dengan parang teracung.Sembari mendesis menahan sakit, kedua lelaki itu kembali menyerbu ke arah Seta. Dua bilah parang disabetkan secara serampangan pada tubuh sang prajurit.Yang diserang mendengus pendek. Ia tahu serangan tersebut didasarkan pada hawa amarah belaka. Karenanya arah serangan tak jelas. Tenaganya pun tak
Seta menunggu hingga matahari tergelincir dari ubun-ubun. Saat itu, kebanyakan abdi dalem akan sibuk di bangsal tengah—membersihkan ruangan utama setelah santap siang para pembesar. Waktu yang tepat untuk menyusup ke bangsal timur, tempat Wadu tinggal sebelum ia menghilang entah ke mana.Seta memilih jalan belakang, melalui lorong-lorong sempit yang biasa dilalui pengangkat air dan pemikul kayu. Langkahnya ringan, tubuhnya setengah bersembunyi di balik tiang dan tabir. Ia tahu betul, satu kesalahan kecil bisa membuatnya diadili karena menyusup ke ruang kediaman abdi dalem tanpa izin.Bangsal timur sunyi. Di luar, hanya ada satu penjaga yang duduk malas sambil mengunyah sirih. Seta menunggu sampai penjaga itu lengah, lalu menyelinap masuk lewat pintu samping.Ruangan itu gelap, lembap, dan penuh bau keringat. Tikar pandan digelar berderet, menunjukkan bahwa tempat itu dihuni beberapa orang sekaligus.Seta melangkah pelan, menyusuri sudut demi sudut h
Langkah Seta tak langsung menuju ke barak. Pagi itu, setelah meninggalkan kediaman permaisuri, ia berputar arah ke sisi belakang istana.Di sanalah dapur besar kerajaan berdiri, nyaris tak pernah sepi sejak fajar. Asap tipis mengepul dari tungku tanah liat, aroma rebusan daging dan beras merah bercampur dengan harum dedaunan segar yang baru dipotong.Seta menyusup di antara para pelayan yang sibuk, menyapa sekadarnya agar tak tampak mencurigakan. Pandangannya mencari satu nama—Ni Lastri, juru masak kepala yang sudah puluhan tahun mengabdi di istana permaisuri.Tak lama, ia menemukan orang yang dicari-cari di balik anyaman tikar bambu, tengah membersihkan lembaran-lembaran daun pisang.“Ni Lastri…” Seta menyapa dengan suara rendah.Perempuan tua itu menoleh cepat, sedikit heran. “Oh, Raden Seta? Ada angin apa pagi-pagi kemari?”“Tidak usah panggil raden. Aku… aku hanya abdi bi
Cahaya pagi menyelusup pelan ke balik tirai sutra kamar permaisuri Panjalu. Suasana cerah yang sangat berlawanan dengan kabar muram yang akan disampaikan Seta pada pemilik tempat ini.Burung-burung belum lama berkicau di taman dalam ketika Seta melangkah masuk, menunduk hormat di hadapan Sasi Kirana yang telah duduk di bangku rendah, mengenakan kain selendang tipis warna biru senja. Rambutnya masih basah setelah mandi, dan matanya sembab. Entah karena lelah, atau ada sesuatu yang ia rasakan sejak semalam.“Ada apa pagi-pagi begini kau menghadapku, Seta?” bisiknya lirih. Seakan tahu gelagat, ia menyuruh pelayannya mundur menjauh sehingga kini dirinya dan Seta seakan tengah berbicara empat mata.Seta menunggu sampai pintu ditutup rapat. Barulah ia menjawab. “Lira… pelayan Gusti… tewas dibunuh.”Sasi Kirana tersentak. Nafasnya tercekat. “Apa maksudmu?” tanyanya, nyaris tanpa suara.“Tadi malam, h
Dini hari turun pelan-pelan seperti kabut, menyusup lembut ke balik dinding-dinding bata dan atap genteng istana Panjalu.Seta belum tidur sejak semalam. Ia terus berjaga di serambi belakang tempat dapur istana berada, matanya tak lepas dari lorong kecil yang tembus ke arah sumur tua. Tempat itulah yang semalam menjadi jalur Wadu menghancurkan sepotong surat.Di balik tembok, waktu terasa beku. Sesekali terdengar suara kelelawar, sesekali suara tikus kecil di sela-sela kayu. Namun malam itu, ada sesuatu yang berbeda.Seta yang duduk memeluk lutut perlahan menegakkan tubuh. Sebuah langkah ringan terdengar—terlalu ringan untuk seorang lelaki, dan terlalu gelisah untuk sekadar pelayan menuju sumur.Dari celah bayangan, tampak sekelebat sosok perempuan berjalan pelan-pelan membawa kendi. Baju pelayannya kusam oleh lembab dini hari, rambutnya digelung seadanya, seolah terburu-buru. Ia menoleh dua kali ke belakang, seperti takut ketahuan.Seta meng
Seta memilih untuk tidak menanggapi secara terburu-buru. Sejak semula, ia tidak ingin kehadirannya di istana Panjalu memancing perhatian. Maka ia menahan diri, hanya memperhatikan dari balik bayang-bayang pilar batu di serambi samping ketika sosok abdi muda itu keluar dari bilik dapur pembantu. Gerak-geriknya terlalu tenang—terlalu teratur untuk ukuran pelayan baru.Tiap pagi, pelayan itu muncul lebih cepat dari yang lain, dan tiap malam ia pulang paling lambat. Namun ada satu hal yang membuat Seta semakin curiga: ia tak pernah terlihat berbincang dengan siapa pun. Tak ada senda gurau, tak ada obrolan remeh-temeh seperti yang biasa dilakukan para abdi muda lainnya. Ia hanya diam, bekerja, dan sesekali menghilang dari pandangan.Malam itu, selepas membasuh diri dan bersantap malam seadanya di bilik dalam, Seta diam-diam mengikuti langkah pelayan muda itu dari kejauhan. Ia menunggu sampai hampir seluruh isi istana permaisuri tertidur. Ketika suara malam tinggal des
Tak terasa, sudah nyaris sepekan Seta menetap di istana Panjalu. Ia tinggal diam-diam di bangsal kecil dekat taman belakang, bagian dari kompleks kediaman Permaisuri Sasi Kirana.Bangunan itu dahulu tempat istirahat emban dan pelayan istana. Letaknya agak terpencil, dikelilingi pepohonan dan jalan setapak, membuatnya tempat yang ideal untuk sembunyi dari mata pengintai.Sasi Kirana sendiri yang mengatur semuanya. Tak banyak pelayan yang tahu bahwa ada seorang tamu rahasia yang diam-diam tinggal di sana. Ia hanya mempercayakan hal itu pada dua emban tua dan satu pengawal muda yang telah bersumpah setia padanya sejak masih menjadi puteri Jenggala.Namun ketenangan itu mulai terusik.Sejak fajar tadi, Seta merasa ada yang ganjil. Seorang pelayan baru tampak mondar-mandir di sekitar lorong yang menghubungkan dapur ke taman belakang.Gerak-gerik pelayan itu terlalu hati-hati di mata Seta, terlalu memperhitungkan langkah. Seperti seseorang yang ingin ter
Di istana, Seta tidak mengetahui bahwa bayang-bayang bahaya mulai mengintai. Ia tetap menjalankan tugasnya tanpa cela, dengan sikap penuh siaga.Setiap pagi, ia mengiringi Sasi Kirana ke taman, juga mengikuti Dyah Ardana berlatih menulis dan bermain di sana.Seta belum menyadari jika setiap gerak-geriknya terus diawasi dari kejauhan.Sudut belakang pasar tua Kotaraja menjadi tempat mata-mata Dyah Srengga mengintai istana permaisuri. Seperti petang itu, ketika dua orang bersandar di tembok bata sambil berbincang pelan.“Sudah aku pastikan kebenerannya. Rombongan Permaisuri dari Jenggala sudah kembali ke timur dua hari lalu,” kata salah satu dari mereka, berselendang kusam dan memakai caping lebar. "Namun rupanya ada satu yang tampaknya sengaja ditinggalkan di sini."“Maksudmu, pengawal yang tengah mengiringi Sasi Kirana dan Dyah Ardana itu?”“Ya, benar sekali. Laki-laki itu membuatku curiga. Dia masuk ke dalam istana Permaisuri Panjalu sebagai anggota rombongan dari Jenggala. Namun seka
Hari-hari pertama di istana Panjalu terasa seperti babak baru bagi Seta. Sebagai prajurit, ia telah menjalani banyak tugas berat, tetapi tak satu pun seperti yang kini diembannya—menjadi bayangan di belakang permaisuri Panjalu dan putranya yang seorang calon penerus takhta, tanpa boleh mengungkapkan jati diri yang sebenarnya.Seta ditempatkan di lingkungan dalam istana sebagai bagian dari pengawal keluarga raja, tetapi tidak satu pun menyadari bahwa ia bukan sekadar prajurit biasa. Terlebih dalam kesehariannya Seta mengenakan busana dan ikat kepala khas abdi Panjalu, tidak mencolok namun tetap gagah.Sikapnya tenang, selalu menjaga jarak yang tepat, dengan tatapan matanya tajam tapi sopan—ciri khas prajurit berpengalaman.Pembawaan itu membuat Sasi Kirana dan putranya, Dyah Ardana, cepat menyukai kehadiran Seta. Sang calon putera mahkota bahkan mulai sering meminta diajak berlatih pedang-pedangan kayu, dan Seta dengan sabar meladeni, meski tak lupa selalu berjaga di sekeliling mereka.
Rombongan Permaisuri Jenggala akhirnya tiba di gerbang megah istana Panjalu menjelang senja. Suara genderang dan tiupan seruling mengiringi kedatangan mereka, sementara para pelayan istana dan prajurit berbaris rapi di halaman depan.Sri Prabu Kamesywara berdiri di tangga utama bersama Sasi Kirana dan puteranya yang masih kecil, Dyah Ardana. Wajah mereka berseri-seri menyambut kedatangan sang tamu agung.“Selamat datang di Panjalu, Ibunda Permaisuri,” Sri Prabu Kamesywara menyambut dengan suara lantang, langkahnya mantap menuruni tangga. Ia membungkuk hormat, diikuti Sasi Kirana yang tersenyum hangat.“Terima kasih, Ananda Prabu,” Permaisuri menjawab lembut, turun dari kereta kencana dengan bantuan mbok emban. Wajahnya sedikit letih, tetapi masih memancarkan wibawa yang anggun.Dyah Ardana berlari kecil menghampiri eyangnya, kedua tangannya terangkat tinggi memohon pelukan. Permaisuri menyambutnya dengan penuh kasih sayang, membela