HUJAN deras terus mengguyur sepanjang perjalanan Seta. Jalanan basah dan licin oleh tumpahan air dari langit Akibatnya, sang prajurit tak dapat memacu kuda kencang-kencang.
Alih-alih menyuruhnya berlari, Seta musti mengendalikan hewan tunggangannya dengan sangat hati-hati. Salah-salah justru akan membawa celaka kalau sampai tergelincir dan jatuh.
Dengan demikian perjalanan menuju Gunung Kampud pun menjadi terhambat. Sementara hari sudah memasuki rembang petang. Seta kembali mempertimbangkan ulang niatnya semula.
"Sepertinya lebih baik aku urungkan saja rencana ke Gunung Kampud hari ini. Sekarang saja suasana sudah sedemikian gelap. Apalagi nanti setibanya di sana, yang tentunya sudah sangat malam," ujarnya di dalam hati.
Dalam cuaca cerah, perjalanan menuju Gunung Kampud hanya akan memakan waktu tiga kali penanakan nasi (sekitar dua seperempat jam). Namun dalam ke
MELIHAT isyarat tangan tersebut, dua lelaki kekar langsung lepaskan pegangannya pada si perempuan muda. Kejap berikutnya mereka sudah melompat ke muka, menyerang Seta.Dua tangan melayang di udara, melancarkan jotosan keras ke arah dada dan wajah Seta. Perempuan-perempuan muda yang ada di dalam ruangan tersebut berpekikan akibat rasa panik dan takut.Sementara yang diserang mendengus pendek. Lalu dalam satu gerakan cepat Seta menangkis kedua pukulan tersebut.Des! Des!Serangan kedua lelaki kekar mentah begitu saja. Tak cuma itu. Mereka juga merasakan tangan yang tadi bersentuhan dengan tangan Seta kesemutan hebat. Mati rasa untuk beberapa saat lamanya.Tahulah kedua lelaki itu jika lawan yang dihadapi tidak main-main. Tangkisan tadi tentulah dialiri tenaga dalam tinggi."Bangsat! Kau minta mati rupanya!" geram salah seorang dari mereka.Usai berkata begitu keduanya kembali lancark
EMPAT bilah golok tajam menyambar, mengintai empat bagian di tubuh Seta. Suara menderu kencang terdengar menggidikkan bersamaan dengan datangnya serangan.Wuutt! Wuutt!Seta pasang kuda-kuda. Kedua kaki ditekuk, direndahkan sedemikian hingga sepasang pahanya jadi rata satu sama lain. Sementara kedua tangan ditarik ke belakang, bersiaga di sisi perut dengan telapak mengepal.Begitu golok empat lawannya sudah dekat, Seta melompat menyambut datangnya serangan sembari menggembor keras."Hiaaat!"Sang prajurit menerapkan ilmu gerak cepat yang diajarkan Ki Sajiwa. Kedua tangannya bergerak sedemikian lincah, nyaris tak terlihat mata orang-orang yang ada di dalam ruangan tersebut. Lalu, tahu-tahu saja ....Buk! Buk!"Aaaaaah!"Terdengar suara bergebukan keras, bercampur dengan jeritan tinggi keempat lelaki tegap bersenjata golok. Tubuh mereka terjajar ke belakang untuk beberapa
MELIHAT Seta hanya berdiam diri dan seperti melamun, Ki Jibeng datang mendekat. Lelaki paruh baya itu keluarkan suara deheman. Membuat sang prajurit tergeragap, dan kembali kesadarannya."Kau mendengar apa yang aku ucapkan tadi, anak muda?" tanyanya.Seta buru-buru anggukkan kepala."Ya, Kisanak. Tentu saja aku dengar," sahutnya cepat. Lalu ia menambahkan, "Sepanjang gadis tadi dibebaskan dari kewajiban melayani si gemuk itu, aku setuju persoalan ini sudah selesai."Si lelaki tua manggut-manggut. Sepasang matanya lalu memandang ke arah Tirta. Kepalanya bergerak memberi isyarat tertentu, yang dibalas oleh lelaki gemuk tersebut dengan isyarat pula."Baiklah, kalau begitu berarti kita sudah sama-sama sepakat persoalan ini selesai," ujarnya setelah membaca isyarat yang diberikan Tirta.Usai berkata begitu tangan lelaki tersebut terangkat ke atas. Ini pertanda bagi empat lelaki berbadan tegap untu
SETA sangat terkejut mendengar keterangan Ki Palakrama. Sebab Gunung Kampud adalah sebuah gunung suci. Salah satu dari sembilan puncak suci di Jawa Dwipa yang diagungkan dalam ajaran Syiwa.Kesucian tersebut berasal dari kepercayaan bahwa Gunung Kampud adalah potongan puncak Gunung Mahameru. Ada pun Mahameru sendiri gunung paling suci di muka bumi. Tempat bersemayamnya para dewa-dewi.Karena itulah di lereng-lereng Gunung Kampud banyak dibangun tempat-tempat pemujaan. Tersebar di semua arah mata angin. Jadi adalah sebuah penghinaan dan juga noda jika sampai ada sarang perampok di sana."Bagaimana bisa?" desis Seta dengan wajah menunjukkan air muka tidak percaya.Ki Palakrama tak paham maksud ucapan prajurit tersebut, jadi lelaki paruh baya itu tidak menanggapi."Sejak kapan perampok-perampok itu bercokol di sana, Ki?" tanya Seta kemudian."Mmm, kalau untuk itu aku tidak tahu-menahu, anak muda
BEGITU memasuki kamar, Seta langsung rebahkan tubuh ke atas tilam empuk berlapis kain putih bersih. Sejenak dinikmatinya kenyamanan tersebut sembari memandangi langit-langit ruangan.Beberapa kejap kemudian sepasang mata Seta terpejam. Belum tidur. Prajurit itu sedang memancing rasa kantuk agar segera datang menghampiri. Namun ....Tok! Tok! Tok!Belum lagi kantuk yang diharapkan datang, terdengar suara ketukan di pintu. Seta langsung terjingkat bangun. Pandangannya tajam tertuju pada daun pintu."Siapa?" tanya sang prajurit setengah berseru."S-saya." Terdengar suara lirih seorang perempuan.Seta kernyitkan kening dalam-dalam. Mengapa ada perempuan mendatanginya malam-malam begini? Jangan-jangan ini ulah Ki Palakrama, yang diam-diam mengirim jalir untuknya? Demikian batin si prajurit.Berpikir sampai di situ Seta segera turun dari pembaringan dan melangkah menuju pintu. Kalau mema
SEPASANG mata Seta terbelalak lebar menyaksikan tubuh polos Sitadewi. Napas sang prajurit seketika terdengar memburu kencang. Dadanya bergemuruh, dirayapi satu perasaan aneh yang menuntut untuk dituntaskan.Sementara di hadapannya, Sitadewi gerakkan tangan sedemikian rupa dalam sikap menantang. Dengan perlahan si perempuan mengusap tubuh dari bawah ke atas. Diiringi lenggak-lenggok yang memancing hasrat.Usapan tangan tersebut berhenti ketika mencapai bagian dada. Sembari mendesis manja, gadis itu meremas-remas sepasang gundukan kenyal miliknya nan menantang."Kemarilah, Kakang. Jangan biarkan aku sendiri di sini," desah Sitadewi dengan nada mengharap.Seta menggeram. Sepasang matanya yang berkilat-kilat terus menatap tajam pada tubuh polos nan indah itu. Setiap gerakan, setiap desahan Sitadewi membakar gairahnya sehingga semakin menyala-nyala.Nafsu kelelakian prajurit Jenggala itu pun mulai bangkit. M
ENTAH berapa lama Seta menunggu sampai akhirnya Sitadewi berhenti menangis. Begitu perempuan itu terlihat lebih tenang, direngkuhnya bahu dengan lembut.Tangan sang prajurit meremas-remas lembut bahu tersebut. Bermaksud memberi kekuatan pada si perempuan. Wajah Sitadewi yang masih basah oleh air mata lantas dibenamkan ke dadanya yang bidang."Tidak seorang pun boleh memandangmu serendah itu, Sita. Jangan biarkan mereka melakukannya. Semua wanita itu mulia," bisik Seta lirih, coba menenteramkan hati si perempuan."Aku hanya seorang jalir, Kang. Di mana letak mulianya seorang jalir?" balas Sitadewi dengan suara parau.Seta pegang kepala Sitadewi, lalu menjauhkannya dari dekapan dan dibawa maju ke depan wajah. Sang prajurit pandangi dua mata indah si perempuan yang masih basah oleh air mata.Yang dipandangi balas menatap, tapi tak lama. Sekejap kemudian sudah alihkan pandangan ke arah lain. Tampak pipi Sit
SITADEWI kembali tertawa kecil melihat Seta begitu penasaran. Tangan perempuan itu lantas meraih lengan sang prajurit, menyeretnya ke arah pembaringan. Yang diseret menurut saja.Keduanya lalu duduk di tepi ranjang. Seta serongkan tubuhnya agar dapat berhadap-hadapan dengan Sitadewi. Ia sudah tak sabar ingin mendengar keterangan apa yang bakal disampaikan si perempuan."Cepat katakan, apa keterangan menarik yang kau dapat mengenai Kutaraja!" desak Seta ketika Sitadewi tak kunjung buka suara."Aku tak percaya Kakang belum tahu mengenai hal ini. Sebab menurut pelangganku itu, hal ini sudah terjadi agak lama. Kira-kira sejak dua-tiga purnama lalu," sahut Sitadewi.Seta sontak gelengkan kepala. Prajurit rendahan sepertinya adalah kelompok terakhir yang tahu jika ada perkembangan terjadi di Kutaraja. Apalagi dirinya menghabiskan beberapa pekan terakhir di Teluk Lawa yang terpencil."Oya, siapa pelangganmu ya