Yang diajak bicara pandangi Seta dengan tatapan mata berkilat-kilat. Napas lelaki itu tersengal-sengal oleh luapan amarah, juga oleh rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya.
"Jangan harap!" desisnya penuh kegeraman.
Lalu tanpa disangka-sangka lelaki bercaping lebar itu kembali menyerang dengan tangan kosong. Habis sudah kesabaran Seta. Tanpa ampun sang prajurit layangkan tendangan keras, yang tak dapat dihindari oleh lelaki bercaping lebar.
Bukk!
Tendangan Seta mendarat telak di dada lawan. Tubuh lelaki bercaping lebar itu terjajar mundur beberapa langkah. Seta mengejar, menyusulkan tendangan kedua. Kali ini mengarah ke kepala lawan yang sekali lagi tak dapat menghindar.
Kraaak!
Kepala lelaki bercaping lebar terpuntir keras, menyebabkan tulang lehernya berderak patah. Terdengar lelaki tersebut melenguh tertahan, lalu tubuhnya jatuh terbanting di tanah. Tak bergerak lagi.
Seta menden
"Rara?" seru Seta akhirnya. Nada suara sang prajurit jelas sekali setengah tidak percaya.Bergegas prajurit muda berkumis lebat itu keluar dari persembunyian, lalu menghampiri rombongan berkuda tersebut. Perempuan yang dilihatnya tadi memang benar Rara. Bersamanya ada Ki Palasara dan beberapa orang pemuda.Di atas punggung kudanya, Rara kembangkan senyum lebar ketika melihat sosok Seta."Kakang?" balasnya dengan suara riang. "Kau tidak apa-apa?"Hanya itu yang dapat diucapkan si gadis. Benak puteri Ki Palasara itu seketika dilimpahi campuran perasaan lega dan senang. Setelah memberi isyarat anggukan kepala pada sang ayah, bergegas ia turun dari atas pelana."Ah, Tuan Prajurit. Syukurlah kau selamat rupanya," ujar Ki Palasara pula.Lelaki paruh baya pejabat kepala desa itu ikut turun dari punggung kuda tunggangannya, kemudian membuntuti sang anak yang berjalan ke arah Seta.Kemunculan orang-orang ini tentu saja membingungkan Seta. Deng
SETELAH berkuda tanpa henti selama satu penanakan nasi (antara 30-40 menit), Seta tiba di perbatasan Kutaraja. Matahari sedang merangkak naik menuju puncak tertinggi ketika kuda sang prajurit memasuki gerbang perbatasan ibukota Kerajaan Jenggala tersebut.Sebelumnya, selepas meninggalkan kediaman Ki Palasara rasa bimbang sempat menggelayuti Seta. Di satu sisi keinginan untuk segera membalaskan dendam pada Ranajaya. Di sisi lain rasa penasaran akan perkembangan di kotaraja.Namun setelah lama menimbang-nimbang, pada akhirnya Seta memutuskan untuk pergi ke kotaraja terlebih dahulu. Mana tahu dari rekan-rekannya sesama prajurit ada kabar terbaru yang perlu ia dengar.Barulah sesudah mendapat keterangan cukup dari kotaraja, Seta akan menyatroni tempat persembunyian Ranajaya di lereng Gunung Kampud. Membalaskan dendam atas kematian Harini isterinya, serta putera semata wayangnya."Tunggulah pembalasanku, Ranajaya keparat!" geram Seta sembari mengertakkan rahang.Amarah Seta selalu saja melu
Kewaspadaan Seta seketika meningkat. Sigap sang prajurit menarik tali kekang kudanya. Hewan tersebut meringkik keras, kemudian berhenti sembari mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi."Darpa?" seru Seta senang begitu melihat siapa yang memanggil."Oh, syukurlah kau masih hidup, Seta! Aku sudah menduga semua kabar mengenai kematianmu itu pasti bohong belaka," ujar Darpa yang langsung saja menghambur mendekat.Seta bersiap turun dari atas punggung kuda, namun segera dicegah oleh Darpa."Jangan turun di sini!" ujar Darpa setengah berbisik. Sambil berkata begitu kepalanya menoleh ke kanan-kiri.Tentu saja Seta jadi heran dibuatnya. Untuk kesekian kali di sepanjang hari itu, kening sang prajurit lagi-lagi dibuat berkerut dalam karena rasa penasaran yang amat sangat."Kenapa tidak boleh?" tanya Seta meminta penjelasan."Bukannya tidak boleh, tapi untuk saat ini sebaiknya kau jangan du
Dalam jarak sedekat itu Seta dapat melihat jelas keempat penyerang di hadapannya. Namun wajah mereka tak terlihat utuh karena ditutup cadar hitam dari bawah mata hingga ke dagu. Keempatnya juga mengenakan ikat kepala yang sama-sama berwarna hitam.Setelah menunggu beberapa saat, Seta tak mendapat jawaban. Empat orang bercadar hitam itu hanya diam sembari pandangi sang prajurit dengan tatapan tajam berkilat."Bedebah! Kalian tentunya punya mulut dan tidak bisu. Cepat jawab pertanyaan temanku!" bentak Darpa yang tahu-tahu saja sudah berdiri di sebelah Seta.Terdengar dengusan keras dari arah empat orang tersebut. Tanpa berkata sepatah kata pun salah satu dari mereka mencabut parang dari pinggang. Lalu meloncat turun dari punggung kuda untuk melancarkan serangan pada Seta.Wuuuttt!Parang besar di tangan lelaki bercadar itu terayun deras. Menimbulkan suara berkesiuran saat beradu dengan udara. Mata parang
Tiga parang besar disabetkan ke depan dengan cepat. Satu menusuk ke arah perut, satunya lagi mengarah ke ulu hati, sedangkan yang terakhir mengincar batang leher! Benar-benar sebuah serangan mematikan.Seta menyambut datangnya serangan dengan menggerenyotkan bibir hingga deretan giginya terlihat. Kali ini sang prajurit tak mau lagi memberi ampun. Tangan kanannya bergerak mencabut pedang dari pinggang.Sret!Sejari lagi mata kedua parang lawan menyentuh tubuhnya, Seta bergerak sedemikian rupa sehingga lolos dari serangan dengan mudah. Sungguh sebuah gerakan yang sangat sulit diikuti pandangan mata!Tiga lelaki bercadar dibuat melengak kaget oleh kecepatan gerakan sang prajurit. Namun mereka tak mau kalah cepat. Dalam sekejap saja mereka sudah mengubah gerakan untuk menyusulkan serangan kedua.Kali ini sabetan tiga parang besar mengarah ke perut, dada, dan punggung. Sebuah gabungan serangan dari
Sebatang anak panah tampak menancap dalam di batang leher Malwa. Lelaki tersebut keluarkan suara keluhan tertahan. Wajahnya yang berubah pucat mengernyit kesakitan. Kedua matanya membelalak lebar, lalu ambruk ke tanah dan tak bergerak lagi.Ada pun Darpa terkena anak panah di bagian punggung. Ia tak bersuara sedikit pun. Namun dari air muka wajahnya terlihat jelas betapa prajurit tersebut tengah menahan rasa sakit yang amat sangat."Pembokong kurang ajar!" geram Seta seraya bergegas melompat ke arah rekannya tersebut."Jangan pedulikan aku. Sebaiknya segera kau kejar pembokong itu," ujar Darpa setengah mendesis.Seta bingung sesaat. Namun dengan berat hati ia menyetujui usulan Darpa."Tunggulah di sini, aku tidak akan lama," ujarnya kemudian. "Berjanjilah untuk tidak mati. Aku akan menolongmu."Darpa hanya sunggingkan senyum tipis. Diikuti tatapan nanar sahabatnya itu, Seta melesat
"Celaka!" desis Seta tercekat. Wajahnya seketika berubah pucat pasi.Masih merasa tidak percaya, sang prajurit lantas menekan lembut bagian sudut antara leher dan rahang bawah Darpa dengan dua jari. Lagi-lagi sama sekali tak ada denyut yang terasa di sana.Tiba-tiba saja seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam dada Seta. Rasanya begitu menyesakkan. Hembusan napas sang prajurit Jenggala berubah memburu. Sedangkan kedua bola matanya memanas."Jangan mati dulu, Darpa. Kau tidak boleh mati sekarang. Aku masih membutuhkanmu!" desis Seta. Suaranya berubah parau.Sembari mendesis begitu sang prajurit tempelkan daun telinganya lekat-lekat ke dada kiri Darpa. Ia berharap mendengar suara berdetak di sana. Meski hanya berupa detak lemah.Tapi harapan itu hanya tinggal harapan. Tak ada suara apa pun yang ditangkap pendengaran Seta. Jantung Darpa sudah berhenti berdetak."Tidak ..." Seta g
HUJAN deras terus mengguyur sepanjang perjalanan Seta. Jalanan basah dan licin oleh tumpahan air dari langit Akibatnya, sang prajurit tak dapat memacu kuda kencang-kencang.Alih-alih menyuruhnya berlari, Seta musti mengendalikan hewan tunggangannya dengan sangat hati-hati. Salah-salah justru akan membawa celaka kalau sampai tergelincir dan jatuh.Dengan demikian perjalanan menuju Gunung Kampud pun menjadi terhambat. Sementara hari sudah memasuki rembang petang. Seta kembali mempertimbangkan ulang niatnya semula."Sepertinya lebih baik aku urungkan saja rencana ke Gunung Kampud hari ini. Sekarang saja suasana sudah sedemikian gelap. Apalagi nanti setibanya di sana, yang tentunya sudah sangat malam," ujarnya di dalam hati.Dalam cuaca cerah, perjalanan menuju Gunung Kampud hanya akan memakan waktu tiga kali penanakan nasi (sekitar dua seperempat jam). Namun dalam ke
Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma
Mentari pagi yang baru saja terbit menyinari tanah Jenggala dengan lembut, tetapi suasana di alun-alun kerajaan dipenuhi ketegangan. Sejumlah warga telah berkumpul, berbisik-bisik dan menunggu momen yang akan menjadi peringatan kelam dalam sejarah Jenggala.Di tengah kerumunan itu, Seta berdiri bersama Ki Sajiwa, keduanya diam membisu. Sorot mata Seta menunjukkan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelelahan yang mendalam.Tak jauh dari situ, rombongan prajurit yang dipimpin Rakryan Rangga tiba di gerbang penjara. Empat wira tamtama gagah berjaga di luar, dan begitu Rakryan Rangga muncul, mereka segera membuka jalan. Dengan langkah tegas, Rakryan Rangga masuk ke ruang tahanan.Dyah Wisesa sedang duduk bersila di lantai kerangkengnya, wajahnya tak lagi menyiratkan kesombongan, tetapi tatapannya masih penuh rasa penasaran. Ketika melihat Rakryan Rangga datang bersama pasukan kecilnya, ia berdiri perlahan dan tersenyum sinis.“Aku yakin kalian da
Pagi itu, suasana balairung istana Jenggala dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara burung-burung pagi yang terdengar dari luar, menyusup melalui celah-celah dinding istana.Sri Prabu Girindra duduk di atas singgasananya dengan wajah yang tampak muram. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam lengan singgasana dengan erat, menahan gejolak emosi yang tak terlihat.Di hadapannya berdiri Dyah Daru dan Rakryan Rangga, dua sosok yang paling dipercaya untuk memberikan pandangan jernih dalam menghadapi persoalan pelik ini. Mereka berdua menunggu dengan hormat, membiarkan Sri Prabu menjadi yang pertama membuka pembicaraan.“Adikku Daru, Rakryan Rangga,” ujar Sri Prabu dengan nada berat. “Kalian tahu mengapa aku memanggil kalian kemari pagi ini.”Dyah Daru mengangguk pelan. “Hamba mengerti, Gusti Prabu,” jawabnya dengan penuh hormat.Rakryan Rangga hanya membungkukkan badan tanpa berani
Suasana di penjara istana terasa mencekam. Dinding batu yang dingin dan bau lembap menyelubungi setiap sudut ruangan.Seta melangkah dengan kaki yang penuh tekad. Ia datang untuk menemui seorang tahanan yang kini terkurung dalam kerangkeng besi, di ujung penjara yang paling jauh.Dyah Wisesa, sang bangsawan yang dulu begitu dihormati, kini duduk di sudut kerangkeng, wajahnya tampak suram, penuh dengan keputusasaan. Ia tampak jauh lebih lemah dibandingkan ketika siang tadi dihadapkan pada Sri Prabu Girindra.Namun, meskipun penampilan Dyah Wisesa tak seperti dulu, kebencian yang ada di dalam dirinya masih tampak jelas, tersirat di balik matanya yang tajam.Setelah tiba di depan ruang tahanan di mana Dyah Wisesa dikurung, Seta tak membuang waktu. Ia mendekat, meletakkan tangan di atas jeruji penjara. Matanya menatap tajam ke arah Dyah Wisesa, bibirnya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.“Dyah Wisesa,” ujar Set
Malam di Kotaraja Jenggala begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara angin yang menerpa pepohonan di taman istana.Di balkon kamar istana, Sri Prabu Girindra berdiri memandangi bulan yang menggantung di langit, sinarnya memantulkan warna perak pada segala sesuatu di bawahnya. Wajah sang raja tampak diliputi kekalutan, meski ia berdiri dengan tubuh tegap.Langkah lembut terdengar dari dalam kamar. Permaisuri, mengenakan kain sutra lembut dengan selendang melilit bahunya, melangkah menghampiri. Ia membawa ketenangan dalam setiap gerakannya, dan senyumnya yang hangat mengusir dinginnya malam.“Kakang Prabu, kenapa belum tidur?” tanyanya lembut sambil menyentuh lengan suaminya.Sri Prabu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku belum mengantuk, mana bisa tidur? Pikiran ini masih terlalu penuh untuk bisa terlelap ke alam impian.”Permaisuri menarik tangan Sri Prabu Girindra, menggenggam jari-jari suaminya itu dengan lembut.
Mata keris Dyah Wisesa berkilat di bawah sinar matahari, meluncur cepat mengarah ke leher Seta. Namun, dengan ketenangan luar biasa, Seta memiringkan tubuhnya pada detik terakhir, membiarkan keris itu hanya mencium angin.Sambil menghindar, Seta sambil menangkap pergelangan tangan Dyah Wisesa dengan cengkeraman kuat, memutar tubuhnya, dan menggunakan momentum itu untuk melepaskan keris dari genggaman lawannya.“Kau terlalu lamban,” ujar Seta dingin, melemparkan keris itu jauh dari jangkauan Dyah Wisesa.Namun, Dyah Wisesa belum menyerah. Ia melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, setiap serangannya berusaha menembus pertahanan Seta.Yang tidak diketahui Dyah Wisesa, lawannya adalah seorang prajurit pilihan nan terlatih, dengan gerak tubuh yang terukur dan efisien. Belum lagi hasil gemblengan Ki Sajiwa di Teluk Lawa menambah kecepatan dan ketangkasan gerakan Seta.Maka, setiap serangan Dyah Wisesa tidak hanya gagal mengenai sasar
Ketegangan di balairung istana mencapai puncak. Dyah Wisesa yang sudah dikuasai amarah menghunus kerisnya, mengarahkan senjata itu langsung ke dada Sri Prabu Girindra.Namun sebelum mata keris sempat menyentuh kulit sang raja, sebuah bayangan bergerak lebih cepat dari semua yang ada di balairung.“Seta!” seru Ki Sajiwa saat menyadari siapa yang barusan bergerak, tetapi panggilannya terlambat.Seta telah melesat bagaikan panah yang lepas dari busurnya. Dengan satu gerakan lincah, ia menghadang Dyah Wisesa.Tangan kanan sang wira tamtama terjulur, menangkis serangan dengan telapak tangan yang penuh tenaga dalam. Denting logam terdengar nyaring ketika keris Dyah Wisesa terpental ke udara.“Brak!”Satu dorongan keras dari Seta membuat Dyah Wisesa terjengkang jauh ke belakang, hingga menabrak tiang penyangga balairung.Para pejabat dan prajurit yang menyaksikan terhenyak, terkejut oleh keberanian Seta melawan seoran
Balairung istana yang sebelumnya mencekam kini terasa semakin tegang. Semua orang, mulai dari para pejabat hingga prajurit yang berjaga, menanti kelanjutan persidangan yang membawa Jenggala ke dalam gejolak.Dyah Daru, yang berdiri tegak di dekat Dyah Wisesa, menghela napas panjang. Ia kemudian melangkah maju, menyampaikan sesuatu yang membuat suasana makin panas.“Paduka Prabu,” ujar Dyah Daru sambil membungkuk hormat, “izinkan hamba menyampaikan satu hal lagi yang hamba ketahui tentang Kakanda Wisesa.""Katakan, Daru," sahut Sri Prabu cepat."Dini hari tadi, Kakang Wisesa dan pasukannya bersiap melarikan diri ke Panjalu. Untungnya, hamba dan Rakryan Rangga bergerak tepat waktu sehingga dapat menggagalkan rencana tersebut. Hamba bersama pasukan berhasil mengadang mereka sebelum mencapai perbatasan."Sementara itu, kami juga berhasil membuat Arya Jatikusuma beserta pasukannya berbalik arah menuju Kotaraja, padahal mereka semula he
Balairung istana semakin terasa mencekam. Matahari yang mulai tinggi memancarkan cahaya keemasan melalui celah-celah jendela, tetapi suasana di dalam ruangan tetap suram.Dyah Wisesa berdiri tegak dengan kepala menunduk, wajahnya penuh amarah yang ditahan. Di hadapan Sri Prabu Girindra, ia terlihat seperti seorang kesatria yang terpojok tetapi menolak menyerah.Sri Prabu, yang duduk dengan wibawa di atas singgasana, menatap adiknya itu dengan sorot mata penuh kekecewaan.“Wisesa, sampai kapan kau akan terus menyangkal? Tidakkah kau sadar bahwa segala bukti dan kesaksian mulai mengarah padamu? Aku bertanya sekali lagi, apakah benar kau bekerja sama dengan Dyah Srengga untuk menggagalkan cucuku menjadi putera mahkota sekaligus mengganggu takhta Jenggala?”Dyah Wisesa mengangkat wajah. Tatapannya tegas dan penuh rasa tersinggung.“Paduka Prabu, semua tuduhan itu tidak lebih dari fitnah keji. Hamba telah menjadi korban satu komplotan