Matahari pagi nan hangat menyapa Teluk Lawa di pantai selatan Jawadwipa. Sinar lembutnya menerangi permukaan air laut yang berlomba-lomba ke tepian pantai.
Suara ombak berdebur di pantai terdengar ramai. Buih putih yang bertumpuk-tumpuk tertinggal di atas pasir kehitaman nan memanjang.
Sementara angin bertiup perlahan, menggoyang daun-daun panjang pohon cemara laut yang masih dihinggapi embun berkilauan. Di dahan-dahan yang lebih tinggi, beberapa ekor burung berkicau riuh sembari bergerak ke sana-sini.
"Oh, sungguh pagi yang begitu sempurna," desah seorang lelaki tua yang baru saja membuka matanya yang cekung.
Sepasang pipi lelaki tua itu juga cekung, kalau tak mau dikatakan peot. Sedangkan mulutnya hampir-hampir tak terlihat, tertutup kumis dan janggut panjang yang telah memutih seluruhnya.
Rambut panjang lelaki tua itu juga putih sempurna. Terlihat bagaikan tumpukan benang perak ditimpa sinar jingga m
Yang terdengar hanya suara gemericik air aliran dua sungai yang bertemu pada percabangan tak jauh dari pondok. Diiringi nyanyian katak penghuni tepian sungai. Juga derik jangkrik yang bersembunyi di balik rerumputan lebat.Sesekali seruan burung puyuh gemak yang berat mendayu-dayu memenuhi udara. Sementara semilir angin darat yang bertiup ke arah lautan luas di mulut teluk membisikkan kedamaian dan ketenangan. Begitu melenakan.Segala macam suara alam itu masuk ke gendang telinga Seta. Awalnya hanya terdengar lamat-lamat bagai buaian di alam mimpi. Namun lambat laun semakin keras dan jelas. Sehingga kemudian mengembalikan kesadaran sang prajurit Kerajaan Jenggala."Oh, di manakah aku?" desisnya saat membuka kelopak mata.Yang pertama kali ditangkap sepasang bola mata Seta adalah sebuah langit-langit rendah. Batang-batang bambu tampak menyangga atap yang terbuat dari susunan ilalang kering. Lalu turun ke bawah, dilihatnya dinding anyaman bambu berwarna cok
Semenjak menemukan Seta di muara, si lelaki tua jadi punya kegiatan baru. Pada pagi hari begitu terang-terang tanah ia akan meninggalkan pondoknya di dekat percabangan sungai.Lelaki tua tersebut pergi ke hutan tak jauh dari pantai. Ia mencari aneka daun, akar, dan tetumbuhan obat lainnya. Utamanya daun dedalu atau gandarusa sebagai pereda nyeri, obat memar, sekaligus penurun panas.Lalu dua atau paling lama tiga kali penanakan nasi berselang lelaki tua tersebut sudah kembali lagi. Sesudah itu ia akan sibuk di bawah, di bagian terbuka di antara tiang-tiang pondok.Di sana, semua bahan obat-obatan yang didapat ia racik dan direbus. Ada juga yang sekedar ditumbuk halus. Ramuan obat yang sudah siap lantas ia bawa naik, untuk diborehkan ke bagian tubuh Seta yang terluka.Sehari sebanyak tiga kali si lelaki tua memborehkan ramuannya. Sementara praj
Meski sudah makan kenyang-kenyang dan minus sepuas-puasnya, Seta masih membutuhkan waktu lama untuk sekedar dapat berdiri. Hanya terbaring selama empat belas hari, serta tanpa asupan makanan maupun minuman sedikit pun, tak heran bila tenaganya sangat lemah.Setelah perutnya terisi dan berulang kali berlatih serta mencoba, barulah selepas tengah hari Seta dapat berdiri tegak serta berjalan seperti semula. Lelaki tua yang menolongnya terlihat sangat gembira melihat itu."Pemulihan tubuhmu terhitung cepat, anak muda. Kau juga mempunyai ketahanan tubuh di atas rata-rata. Orang yang tidak sadarkan diri begitu lama biasanya berlanjut pada kematian," ujar si lelaki tua.Saat itu keduanya sedang berjalan ke arah selatan, menyusuri badan sungai yang bermuara ke Teluk Lawa. Desau angin menemani langkah mereka. Rambut kedua lelaki berbeda usia itu pun riap-riapan terhalau bayu."Kalaupun kemudian orang itu siuman dan dapat hidup lebih lama, tidak sedikit yang lantas
Sebutir kelapa yang kulit sabutnya masih berwarna hijau jatuh ke atas pasir. Lalu kejap berikutnya dua butir kembali jatuh.Setelah itu, buk! Suara bergedebukan yang terdengar lebih keras, menandakan benda yang jatuh lebih besar. Ternyata si lelaki tua."Tiga saja kurasa cukup. Aku satu, dan yang dua lagi untukmu," ujar orang tua itu seraya tertawa mengekeh. Lalu enak saja ia duduk menjelepok di atas pasir."Kenapa aku harus dua, Ki? Satu saja sudah cukup," sahut Seta, sembari ikut duduk di pasir. Bagaimanapun, sebagai orang yang lebih muda usia ia merasa tidak enak hati.Kekehan si lelaki tua jadi bertambah panjang. Setelah puas tertawa baru ia menjelaskan."Kau masih dalam masa pemulihan, Anak Muda. Walaupun sudah mampu berjalan hingga sejauh ini, tubuhmu sebetulnya masih dalam masa pemulihan. Nah, air kelapa muda ini sangat baik untuk membantu pemulihan tubuh."Tak hanya dapat menghilangkan haus, air kelapa juga bagus untuk mengembalikan tenaga. Juga dapat meningkatkan kemampuan ot
Sembari menggembor keras tubuh Wirakapi melesat ke depan. Kedua cakarnya berkelebat cepat, bergerak mengarah pada wajah Ki Sajiwa. Sekelebat angin menderu dahsyat bersamaan dengan datangnya cakaran itu.Yang diserang ganda tertawa. Tanpa menoleh ia berkata pada Seta yang tampak kebingungan, "Kau tidak perlu ikut-ikutan, Anak Muda. Cukup saksikan saja bagaimana aku bermain-main dengan sepasang kera tak tahu diri ini. Sana, cari tempat yang aman."Seta menurut. Selain masih belum pulih benar, sang prajurit tak yakin dapat menandingi kemampuan lelaki berbulu lebat tersebut. Maka ia pun bergegas menjauh dari kalangan pertempuran.Sementara Ki Sajiwa memutar-mutar kelapa hijau yang masih berada di tangannya. Kemudian kedua kakinya ditekuk, menirukan kuda-kuda Wirakapi tadi. Selanjutnya tangan yang memegang kelapa hijau ditarik ke belakang."Kau yang rasakan ini, Wirakapi. Ini jurus Kera Melempar Kelapa Muda. Hahaha," u
Wirakapi mengeluh tertahan. Bukan cuma kepalanya yang terpuntir dengan keras, tapi tubuhnya juga ikut berputar setengah lingkaran. Lalu jatuh berdebam ke atas pasir.Tanpa menunggu lawan bangkit, Ki Sajiwa sudah menyusulkan serangan kedua. Kakinya mendarat sekejap di pasir, lalu tubuhnya kembali melenting tinggi ke atas tubuh Wirakapi yang masih tergeletak.Saat tubuhnya meluncur turun, kedua tangan lelaki tua itu terentang ke samping menyerupai sayap burung. Sedangkan kakinya yang sebelah ditekuk, sebelah lagi lurus ke bawah. Tumitnya mengarah ke leher Wirakapi."Wirakapi, ini namanya jurus Bangau Tongtong Mencocol Ikan!" seru Ki Sajiwa, masih sempat-sempatnya tertawa.Lelaki berbulu lebat yang diserang bergulingan ke samping. Serangan Ki Sajiwa jadi meleset. Tumit lelaki tua itu mendarat satu jengkal dari lehernya. Namun serangan berikutnya yang sungguh tidak diduga-duga oleh Wirakapi.Kaki Ki Sajiwa yang menghujam lurus rupanya hanya pancingan. Karena begitu Wirakapi menghindar dan
Taman luas itu begitu indah dengan aneka bunga bermekaran di sana-sini. Kupu-kupu bermacam warna terbang kian-kemari. Hinggap di satu kuncup, lalu berpindah ke yang satunya lagi. Ada pula kumbang-kumbang yang beterbangan mengintai putik sari.Dalam keluasan taman itu Seta bermain-main dengan seorang bocah lelaki berusia tiga. Senyum lebar tak pernah lepas dari wajah keduanya. Saling berkejaran sembari memperdengarkan gelak tawa.Sekali waktu ditangkapnya itu bocah kecil bergas, lalu dibawa bergulingan sembari dipeluk erat-erat. Pipi montok si bocah diciumi dengan gemas, membuat anak kecil tersebut merasa geli oleh tusukan kumisnya yang lebat."Kena kau, anak kecil!" ujar Seta sembari menangkap si bocah.Yang ditangkap terkikik geli, bergerak meronta-ronta ingin melepaskan diri. Namun Seta semakin kencangkan pelukannya. Diangkatnya si bocah tinggi-tinggi ke udara, lalu dengan kedua tangan diayun-ayun seolah terbang
Plak! Plak! Plak!Seta merasa pipinya ditepuk-tepuk. Kiri dan kanan berganti-ganti dengan cepat. Mulanya prajurit itu tak merasakan apa-apa. Namun lama-lama terasa perih juga. Telinganya juga mendengar suara sayup-sayup."Anak Muda, bangunlah ...."Akhirnya prajurit Kerajaan Jenggala itu pun terbangun dari tidur. Gerakannya seperti orang yang sedang ketakutan. Keringat mengalir deras membasahi wajah dan sekujur tubuh. Napas terengah-engah. Sementara kedua matanya terbuka nyalang."Kau bermimpi buruk, Anak Muda?" tanya Ki Sajiwa sembari memegang bahu Seta.Yang ditanya tidak menjawab. Tatapannya yang nyalang perlahan-lahan berubah sendu. Bukan saja karena teringat pada mimpinya tadi, di mana isterinya membawa putera kecil mereka pergi menghilang. Meninggalkan Seta sendirian.Namun juga karena mimpi itu mengingatkan sang prajurit pada sesuatu. Pada kejadian pilu yang telah dialami anak dan iste