Home / Pendekar / Bara Dendam di Perbatasan / 7 - Pertunjukan Maut

Share

7 - Pertunjukan Maut

Author: Kebo Rawis
last update Last Updated: 2024-08-11 08:07:31

Di tempatnya, Seta menduga-duga apa yang bakal dilakukan begundal-begundal tersebut. Tatapan matanya terarah pada sang isteri yang terbaring lemah. Tiba-tiba saja satu pikiran buruk terlintas di kepalanya.

"Oh, tidak!" seru Seta tanpa sadar. Kepalanya digeleng-gelengkan sekeras-keras mungkin, berusaha mengusir bayangan-bayangan buruk tersebut.

"Seta, aku harap kau senang dengan pertunjukan yang kami suguhkan ini," kata Ranajaya, membuat sang prajurit memusatkan perhatian ke depan.

Lagi-lagi Ranajaya beri isyarat kepala pada salah satu anak buahnya. Yang diberi isyarat tertawa-tawa senang sembari usap-usap bagian pangkal pahanya.

Gerakan tangan orang itu membuat Seta terkesiap. Bayangan-bayangan buruk tadi kembali muncul di kepalanya.

Benar saja. Lelaki tersebut mendekati batu besar di mana isteri Seta berada. Begitu berada di tepian batu, enak saja tangan lelaki itu mengusap-usap kemaluan si perempuan. Semua dilakukan sembari terus tertawa-tawa senang.

Kehormatannya disentuh secara kurang ajar begitu, isteri Seta menjerit. Sepasang pahanya dikatupkan erat-erat, sebisa mungkin berusaha menjaga bagian kewanitaannya.

Sayang, usaha itu sia-sia belaka. Dalam sekali sentak saja lelaki bercambang bauk berhasil menyibakkan sepasang kaki mulus itu.

"Jahanam!" Seta menggeram marah. Digerakkannya kedua tangannya sekuat tenaga, mencoba lepas dari ikatan. Sayang, usahanya tak membuahkan hasil.

Ketika anak buah Ranajaya mulai menggagahi isterinya, Seta langsung tundukkan pandangan. Tubuhnya seketika bergetar hebat menahan kemarahan yang memuncak.

Terlebih ketika sepasang telinganya mendengar suara sang isteri menjerit-jerit. Juga suara tawa terbahak-bahak para lelaki jahanam.

"Seta, kenapa kau tundukkan kepalamu? Lihatlah, isterimu sungguh menikmati permainan ini," terdengar suara Ranajaya, diikuti gelak tawa membahana.

Sekali lagi Seta gerakkan tangannya sekuat tenaga, coba memutus tali-temali yang mengikat sekujur tubuhnya. Namun semakin kuat ia mencoba, justru kulitnya yang menjadi perih luar biasa. Tekanan tali terasa sampai ke tulang.

Putus asa, Seta berteriak sekeras-kerasnya. Suara teriakan sang prajurit memenuhi seisi gua. Membuat telinganya tak lagi mendengar suara rintihan bercampur tangis isterinya, juga suara gelak tawa para lelaki jahanam itu.

Sementara di tempatnya, saat meronta-ronta di bawah tindihan si lelaki penjahat, isteri Seta secara tak sengaja memutus tali pengikat tangannya. Ikatan perempuan itu agaknya memang tidak terlalu kencang.

Isteri Seta lantas melihat sebuah parang tergeletak tak jauh dari kakinya. Tanpa pikir panjang diraihnya senjata tersebut, kemudian bangkit dan duduk.

Bersamaan dengan itu tangannya bergerak sangat cepat. Parang di tangan diayunkan ke arah selangkangan.

Crraasss!

"Aaaaaaa!"

Satu jeritan melolong terdengar keras. Diiringi pekik tertahan beberapa orang lain.

Di tempatnya, Seta yang merasa penasaran segera buka kedua kelopak matanya. Seketika itu pula sepasang matanya membeliak besar. Tak percaya pada apa yang telah dilakukan oleh isterinya.

Di batu besar yang menjadi pembaringan tempat isterinya disandera, Seta melihat lelaki yang tadi menggauli perempuan itu terjajar mundur dengan wajah ngeri. Kedua tangan lelaki tersebut memegangi bagian kemaluan.

"Perempuan keparat!" jerit lelaki tersebut dengan suara tertahan.

Berkali-kali tangan si lelaki meraba-raba ke pangkal paha, tapi benda yang ia cari tak ada. Yang terasa oleh telapaknya hanya hangat dan basah darah mengucur.

Isteri Seta terlihat menyeringai aneh. Pandangannya diarahkan sekilas pada sang suami, yang balas memandang dengan tatapan bingung. Kejap berikutnya parang di tangan perempuan itu kembali bergerak cepat.

"Tidak! Jangan!" pekik Seta yang langsung dapat menduga apa yang akan dilakukan isterinya.

Namun terlambat! Tak ada yang dapat mencegah. Parang tersebut menembus pertengahan dada isteri Seta. Terdengar suaranya mengeluh tertahan, lalu tubuh polos itu terbanting jatuh dengan keras. Darah membasahi seluruh permukaan batu besar.

Paras Seta menegang. Sepasang matanya melotot besar, menatap tak percaya pada pemandangan di hadapannya. Sekejap kemudian ia menjerit sekali lagi.

"Tidaaaaaaaaaak!"

)|(

Related chapters

  • Bara Dendam di Perbatasan   8 - Amarah Seta

    MELEDAK sudah amarah Seta. Prajurit muda Jenggala ini tidak dapat menahan diri lagi. Mulutnya keluarkan suara menggeram dahsyat. Tubuhnya bergerak ke depan, menjauh dari batu tinggi tempatnya terikat. Kedua tangan dihentakkan kuat-kuat untuk memutus tali.Pada percobaan pertama usaha tersebut gagal. Seta justru merasakan bagian tubuh dan tangannya yang terikat sakit bukan main. Apalagi luka sabetan parang di dadanya yang masih belum kering. Rasa perihnya sungguh tak terkira.Akan tetapi sang prajurit tak mau ambil peduli. Hanya satu yang ada di kepalanya saat ini: menghabisi Ranajaya dan gerombolannya. Ia bahkan rela mati menyusul isterinya untuk itu."Heeeeeaaaa!"Seta kembali menggembor keras. Sekali lagi badan dan kedua tangannya digerakkan secara bersamaan. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan habis-habisan. Tali-temali yang mengikat sang prajurit seketika menegang, sampai akhirnya ....Taasss! Taasss

    Last Updated : 2024-08-12
  • Bara Dendam di Perbatasan   9 - Dibuang

    Begitu asap dan debu luruh, suasana di dalam gua menjadi begitu hening. Seta berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Ia tak dapat menggerakkan sekujur tubuh sama sekali. Namun sepasang telinga sang prajurit masih dapat menangkap suara-suara, meski samar.Suara yang pertama didengarnya adalah langkah kaki seseorang mendekat. Itu Ranajaya yang menghampirinya sembari membawa dua batang obor. Lelaki bercambang bauk lebat tersebut hentikan langkah setengah depa dari tubuh Seta."Agaknya dia sudah mati, Kang," terdengar satu suara. Yang berkata anak buah Ranajaya yang masih hidup.Yang diajak bicara tak langsung menanggapi. Sepasang matanya masih terus mengamat-amati keadaan Seta baik-baik. Lalu dengan sebelah kakinya tubuh si prajurit ditendang hingga terbalik, menjadi telentang. Dalam penglihatannya tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali."Pukulan kami mendarat tepat di dadanya. Mustinya dia sudah mampus, atau

    Last Updated : 2024-08-13
  • Bara Dendam di Perbatasan   10 - Teluk Lawa

    Matahari pagi nan hangat menyapa Teluk Lawa di pantai selatan Jawadwipa. Sinar lembutnya menerangi permukaan air laut yang berlomba-lomba ke tepian pantai.Suara ombak berdebur di pantai terdengar ramai. Buih putih yang bertumpuk-tumpuk tertinggal di atas pasir kehitaman nan memanjang.Sementara angin bertiup perlahan, menggoyang daun-daun panjang pohon cemara laut yang masih dihinggapi embun berkilauan. Di dahan-dahan yang lebih tinggi, beberapa ekor burung berkicau riuh sembari bergerak ke sana-sini."Oh, sungguh pagi yang begitu sempurna," desah seorang lelaki tua yang baru saja membuka matanya yang cekung.Sepasang pipi lelaki tua itu juga cekung, kalau tak mau dikatakan peot. Sedangkan mulutnya hampir-hampir tak terlihat, tertutup kumis dan janggut panjang yang telah memutih seluruhnya.Rambut panjang lelaki tua itu juga putih sempurna. Terlihat bagaikan tumpukan benang perak ditimpa sinar jingga m

    Last Updated : 2024-08-14
  • Bara Dendam di Perbatasan   11 - Petapa Tua

    Yang terdengar hanya suara gemericik air aliran dua sungai yang bertemu pada percabangan tak jauh dari pondok. Diiringi nyanyian katak penghuni tepian sungai. Juga derik jangkrik yang bersembunyi di balik rerumputan lebat.Sesekali seruan burung puyuh gemak yang berat mendayu-dayu memenuhi udara. Sementara semilir angin darat yang bertiup ke arah lautan luas di mulut teluk membisikkan kedamaian dan ketenangan. Begitu melenakan.Segala macam suara alam itu masuk ke gendang telinga Seta. Awalnya hanya terdengar lamat-lamat bagai buaian di alam mimpi. Namun lambat laun semakin keras dan jelas. Sehingga kemudian mengembalikan kesadaran sang prajurit Kerajaan Jenggala."Oh, di manakah aku?" desisnya saat membuka kelopak mata.Yang pertama kali ditangkap sepasang bola mata Seta adalah sebuah langit-langit rendah. Batang-batang bambu tampak menyangga atap yang terbuat dari susunan ilalang kering. Lalu turun ke bawah, dilihatnya dinding anyaman bambu berwarna cok

    Last Updated : 2024-08-15
  • Bara Dendam di Perbatasan   12 - Masa Penyembuhan

    Semenjak menemukan Seta di muara, si lelaki tua jadi punya kegiatan baru. Pada pagi hari begitu terang-terang tanah ia akan meninggalkan pondoknya di dekat percabangan sungai.Lelaki tua tersebut pergi ke hutan tak jauh dari pantai. Ia mencari aneka daun, akar, dan tetumbuhan obat lainnya. Utamanya daun dedalu atau gandarusa sebagai pereda nyeri, obat memar, sekaligus penurun panas.Lalu dua atau paling lama tiga kali penanakan nasi berselang lelaki tua tersebut sudah kembali lagi. Sesudah itu ia akan sibuk di bawah, di bagian terbuka di antara tiang-tiang pondok.Di sana, semua bahan obat-obatan yang didapat ia racik dan direbus. Ada juga yang sekedar ditumbuk halus. Ramuan obat yang sudah siap lantas ia bawa naik, untuk diborehkan ke bagian tubuh Seta yang terluka.Sehari sebanyak tiga kali si lelaki tua memborehkan ramuannya. Sementara praj

    Last Updated : 2024-08-16
  • Bara Dendam di Perbatasan   13 - Masa Pemulihan

    Meski sudah makan kenyang-kenyang dan minus sepuas-puasnya, Seta masih membutuhkan waktu lama untuk sekedar dapat berdiri. Hanya terbaring selama empat belas hari, serta tanpa asupan makanan maupun minuman sedikit pun, tak heran bila tenaganya sangat lemah.Setelah perutnya terisi dan berulang kali berlatih serta mencoba, barulah selepas tengah hari Seta dapat berdiri tegak serta berjalan seperti semula. Lelaki tua yang menolongnya terlihat sangat gembira melihat itu."Pemulihan tubuhmu terhitung cepat, anak muda. Kau juga mempunyai ketahanan tubuh di atas rata-rata. Orang yang tidak sadarkan diri begitu lama biasanya berlanjut pada kematian," ujar si lelaki tua.Saat itu keduanya sedang berjalan ke arah selatan, menyusuri badan sungai yang bermuara ke Teluk Lawa. Desau angin menemani langkah mereka. Rambut kedua lelaki berbeda usia itu pun riap-riapan terhalau bayu."Kalaupun kemudian orang itu siuman dan dapat hidup lebih lama, tidak sedikit yang lantas

    Last Updated : 2024-08-17
  • Bara Dendam di Perbatasan   14 - Sepasang Kera Pencabut Nyawa

    Sebutir kelapa yang kulit sabutnya masih berwarna hijau jatuh ke atas pasir. Lalu kejap berikutnya dua butir kembali jatuh.Setelah itu, buk! Suara bergedebukan yang terdengar lebih keras, menandakan benda yang jatuh lebih besar. Ternyata si lelaki tua."Tiga saja kurasa cukup. Aku satu, dan yang dua lagi untukmu," ujar orang tua itu seraya tertawa mengekeh. Lalu enak saja ia duduk menjelepok di atas pasir."Kenapa aku harus dua, Ki? Satu saja sudah cukup," sahut Seta, sembari ikut duduk di pasir. Bagaimanapun, sebagai orang yang lebih muda usia ia merasa tidak enak hati.Kekehan si lelaki tua jadi bertambah panjang. Setelah puas tertawa baru ia menjelaskan."Kau masih dalam masa pemulihan, Anak Muda. Walaupun sudah mampu berjalan hingga sejauh ini, tubuhmu sebetulnya masih dalam masa pemulihan. Nah, air kelapa muda ini sangat baik untuk membantu pemulihan tubuh."Tak hanya dapat menghilangkan haus, air kelapa juga bagus untuk mengembalikan tenaga. Juga dapat meningkatkan kemampuan ot

    Last Updated : 2024-08-18
  • Bara Dendam di Perbatasan   15 - Unjuk Gigi

    Sembari menggembor keras tubuh Wirakapi melesat ke depan. Kedua cakarnya berkelebat cepat, bergerak mengarah pada wajah Ki Sajiwa. Sekelebat angin menderu dahsyat bersamaan dengan datangnya cakaran itu.Yang diserang ganda tertawa. Tanpa menoleh ia berkata pada Seta yang tampak kebingungan, "Kau tidak perlu ikut-ikutan, Anak Muda. Cukup saksikan saja bagaimana aku bermain-main dengan sepasang kera tak tahu diri ini. Sana, cari tempat yang aman."Seta menurut. Selain masih belum pulih benar, sang prajurit tak yakin dapat menandingi kemampuan lelaki berbulu lebat tersebut. Maka ia pun bergegas menjauh dari kalangan pertempuran.Sementara Ki Sajiwa memutar-mutar kelapa hijau yang masih berada di tangannya. Kemudian kedua kakinya ditekuk, menirukan kuda-kuda Wirakapi tadi. Selanjutnya tangan yang memegang kelapa hijau ditarik ke belakang."Kau yang rasakan ini, Wirakapi. Ini jurus Kera Melempar Kelapa Muda. Hahaha," u

    Last Updated : 2024-08-19

Latest chapter

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 195

    Rombongan Permaisuri Jenggala akhirnya tiba di gerbang megah istana Panjalu menjelang senja. Suara genderang dan tiupan seruling mengiringi kedatangan mereka, sementara para pelayan istana dan prajurit berbaris rapi di halaman depan.Sri Prabu Kamesywara berdiri di tangga utama bersama Sasi Kirana dan puteranya yang masih kecil, Dyah Ardana. Wajah mereka berseri-seri menyambut kedatangan sang tamu agung.“Selamat datang di Panjalu, Ibunda Permaisuri,” Sri Prabu Kamesywara menyambut dengan suara lantang, langkahnya mantap menuruni tangga. Ia membungkuk hormat, diikuti Sasi Kirana yang tersenyum hangat.“Terima kasih, Ananda Prabu,” Permaisuri menjawab lembut, turun dari kereta kencana dengan bantuan mbok emban. Wajahnya sedikit letih, tetapi masih memancarkan wibawa yang anggun.Dyah Ardana berlari kecil menghampiri eyangnya, kedua tangannya terangkat tinggi memohon pelukan. Permaisuri menyambutnya dengan penuh kasih sayang, membela

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 194

    Kereta kencana bergerak mantap menyusuri jalanan berbatu, dikelilingi oleh pemandangan yang berganti-ganti dari hutan lebat, padang ilalang, hingga desa-desa kecil. Suara derap kaki kuda dari para pengawal dan gemerincing roda kereta mengiringi perjalanan panjang itu.Permaisuri duduk tenang di dalam kereta, ditemani mbok emban yang setia. Sementara Seta menunggang kuda di sisi kereta, matanya terus mengawasi sekitar, waspada terhadap kemungkinan bahaya.Di sepanjang perjalanan, mereka melewati beberapa perkampungan yang tampak sederhana. Penduduknya berhenti sejenak dari aktivitas mereka untuk memperhatikan rombongan kerajaan yang melintas.Beberapa anak kecil berlari ke tepi jalan, melambaikan tangan dengan riang, sementara para petani menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan.“Seta,” seorang perwira pengawal mendekati dari sisi kirinya. “Kita akan segera tiba di perbatasan Panjalu. Ada kemungkinan kita akan diperiksa di pos penja

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 193

    Seta melangkah pelan ke pelataran kecil di sisi istana, tempat Ki Sajiwa sering menghabiskan waktu malamnya. Cahaya bulan menerangi sosok tua yang sedang duduk bersila di atas tikar pandan, tampak tenang dengan udara malam yang lembut menyelimuti.Seta, meski langkahnya mantap, tak dapat menutupi raut bimbang yang tergurat di wajahnya.“Guru,” ucapnya pelan, memecah kesunyian malam. “Bolehkah aku meminta pendapat darimu?”Ki Sajiwa membuka matanya perlahan, tersenyum tipis, dan memberi isyarat agar muridnya duduk. “Bicaralah, Seta. Apa yang mengganjal pikiranmu saat ini?”Seta menarik napas panjang sebelum menjelaskan perintah Sri Prabu Girindra dan Permaisuri yang baru saja diterimanya. “Aku telah menerima tugas besar itu, Guru, mengawal Puteri Sasi Kirana dan puteranya di istana Panjalu.""Nah, bagus!" Ki Sajiwa menukas dengan raut muka senang. "Kau memang pantas mendapatkan kepercayaan ini, Seta.""Tapi, Guru, hati ini masih diselimuti bayang-bayang masa lalu. Kehidupanku serasa han

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 192

    Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 191

    Mentari pagi yang baru saja terbit menyinari tanah Jenggala dengan lembut, tetapi suasana di alun-alun kerajaan dipenuhi ketegangan. Sejumlah warga telah berkumpul, berbisik-bisik dan menunggu momen yang akan menjadi peringatan kelam dalam sejarah Jenggala.Di tengah kerumunan itu, Seta berdiri bersama Ki Sajiwa, keduanya diam membisu. Sorot mata Seta menunjukkan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelelahan yang mendalam.Tak jauh dari situ, rombongan prajurit yang dipimpin Rakryan Rangga tiba di gerbang penjara. Empat wira tamtama gagah berjaga di luar, dan begitu Rakryan Rangga muncul, mereka segera membuka jalan. Dengan langkah tegas, Rakryan Rangga masuk ke ruang tahanan.Dyah Wisesa sedang duduk bersila di lantai kerangkengnya, wajahnya tak lagi menyiratkan kesombongan, tetapi tatapannya masih penuh rasa penasaran. Ketika melihat Rakryan Rangga datang bersama pasukan kecilnya, ia berdiri perlahan dan tersenyum sinis.“Aku yakin kalian da

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 190

    Pagi itu, suasana balairung istana Jenggala dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara burung-burung pagi yang terdengar dari luar, menyusup melalui celah-celah dinding istana.Sri Prabu Girindra duduk di atas singgasananya dengan wajah yang tampak muram. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam lengan singgasana dengan erat, menahan gejolak emosi yang tak terlihat.Di hadapannya berdiri Dyah Daru dan Rakryan Rangga, dua sosok yang paling dipercaya untuk memberikan pandangan jernih dalam menghadapi persoalan pelik ini. Mereka berdua menunggu dengan hormat, membiarkan Sri Prabu menjadi yang pertama membuka pembicaraan.“Adikku Daru, Rakryan Rangga,” ujar Sri Prabu dengan nada berat. “Kalian tahu mengapa aku memanggil kalian kemari pagi ini.”Dyah Daru mengangguk pelan. “Hamba mengerti, Gusti Prabu,” jawabnya dengan penuh hormat.Rakryan Rangga hanya membungkukkan badan tanpa berani

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 189

    Suasana di penjara istana terasa mencekam. Dinding batu yang dingin dan bau lembap menyelubungi setiap sudut ruangan.Seta melangkah dengan kaki yang penuh tekad. Ia datang untuk menemui seorang tahanan yang kini terkurung dalam kerangkeng besi, di ujung penjara yang paling jauh.Dyah Wisesa, sang bangsawan yang dulu begitu dihormati, kini duduk di sudut kerangkeng, wajahnya tampak suram, penuh dengan keputusasaan. Ia tampak jauh lebih lemah dibandingkan ketika siang tadi dihadapkan pada Sri Prabu Girindra.Namun, meskipun penampilan Dyah Wisesa tak seperti dulu, kebencian yang ada di dalam dirinya masih tampak jelas, tersirat di balik matanya yang tajam.Setelah tiba di depan ruang tahanan di mana Dyah Wisesa dikurung, Seta tak membuang waktu. Ia mendekat, meletakkan tangan di atas jeruji penjara. Matanya menatap tajam ke arah Dyah Wisesa, bibirnya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.“Dyah Wisesa,” ujar Set

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 188

    Malam di Kotaraja Jenggala begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara angin yang menerpa pepohonan di taman istana.Di balkon kamar istana, Sri Prabu Girindra berdiri memandangi bulan yang menggantung di langit, sinarnya memantulkan warna perak pada segala sesuatu di bawahnya. Wajah sang raja tampak diliputi kekalutan, meski ia berdiri dengan tubuh tegap.Langkah lembut terdengar dari dalam kamar. Permaisuri, mengenakan kain sutra lembut dengan selendang melilit bahunya, melangkah menghampiri. Ia membawa ketenangan dalam setiap gerakannya, dan senyumnya yang hangat mengusir dinginnya malam.“Kakang Prabu, kenapa belum tidur?” tanyanya lembut sambil menyentuh lengan suaminya.Sri Prabu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku belum mengantuk, mana bisa tidur? Pikiran ini masih terlalu penuh untuk bisa terlelap ke alam impian.”Permaisuri menarik tangan Sri Prabu Girindra, menggenggam jari-jari suaminya itu dengan lembut.

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 187

    Mata keris Dyah Wisesa berkilat di bawah sinar matahari, meluncur cepat mengarah ke leher Seta. Namun, dengan ketenangan luar biasa, Seta memiringkan tubuhnya pada detik terakhir, membiarkan keris itu hanya mencium angin.Sambil menghindar, Seta sambil menangkap pergelangan tangan Dyah Wisesa dengan cengkeraman kuat, memutar tubuhnya, dan menggunakan momentum itu untuk melepaskan keris dari genggaman lawannya.“Kau terlalu lamban,” ujar Seta dingin, melemparkan keris itu jauh dari jangkauan Dyah Wisesa.Namun, Dyah Wisesa belum menyerah. Ia melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, setiap serangannya berusaha menembus pertahanan Seta.Yang tidak diketahui Dyah Wisesa, lawannya adalah seorang prajurit pilihan nan terlatih, dengan gerak tubuh yang terukur dan efisien. Belum lagi hasil gemblengan Ki Sajiwa di Teluk Lawa menambah kecepatan dan ketangkasan gerakan Seta.Maka, setiap serangan Dyah Wisesa tidak hanya gagal mengenai sasar

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status