Share

5 - Gua Selogiri

Gua Selogiri terletak jauh di seberang selatan Bengawan Sigarada (kini Sungai Brantas). Penduduk Kerajaan Jenggala dan juga Panjalu lebih mengenal kawasan itu dengan sebutan Brang Kidul.

Pada masa lalu, kerajaan-kerajaan di kawasan Brang Kidul merupakan bawahan Kerajaan Medang. Ketika Sri Prabu Dharmawangsa Teguh tewas mengenaskan dalam penyerangan keji yang dilakukan oleh pasukan gabungan Lwaram dan Sriwijaya, satu demi satu kerajaan-kerajaan di Brang Kidul melepaskan diri.

Namun begitu Sri Prabu Airlangga mendirikan Kerajaan Kahuripan, menantu Sri Prabu Dharmawangsa Teguh itu berhasil menyatukan kembali seluruh bekas wilayah kekuasaan Medang. Ketika kemudian Kahuripdan dibagi dua, kawasan Brang Kidul turut dibelah pula untuk Jenggala dan Panjalu.

Begitu memastikan puteranya tak terselamatkan dari kobaran api dan tewas dalam rumah yang terbakar habis, Seta segera menuju ke Brang Kidul.

Dari Hantang, sang prajurit harus menempuh jarak lebih jauh lagi ke selatan. Tak ada pilihan lain, Seta tetap pada tekadnya. Dengan memacu kudanya sekencang mungkin, ia akan tiba di gua tersebut dalam waktu kurang dari tiga kali penanakan nasi.

Awalnya niat itu sempat dicegah oleh Darpa, rekan sesama prajurit yang mengantar ke Hantang. Namun tentu saja Seta berkeras pergi, atau isterinya yang bakal jadi korban Ranajaya berikutnya.

"Aku tidak punya pilihan lain, Darpa. Aku harus mendatangi gua itu guna menyelamatkan isteriku," ujar Seta setengah mendesis.

Suara prajurit Jenggala tersebut masih bercampur isak tangis. Sisa-sisa air mata juga masih membasahi kedua pipinya. Itu sebab Darpa mencegah Seta langsung menuju ke Gua Selogiri.

"Aku dapat memahami keadaanmu, Seta. Tapi setidaknya tenangkan dirimu terlebih dahulu ..."

"Bagaimana aku dapat menenangkan diri, Darpa! Isteriku diculik penjahat, anakku dibakar hidup-hidup!" tukas Seta, setengah menjerit.

Setelah itu sang prajurit menggeram keras, sembari meninju telapak tangannya sendiri untuk melampiaskan kemarahan.

Darpa terdiam. Selama beberapa saat ia hanya membisu, seolah memberi kesempatan pada Seta untuk menuntaskan kekesalannya.

"Aku akan memburu mereka, Darpa! Aku tak akan pernah melepaskan mereka semua. Orang-orang keparat itu harus mati di tanganku!" ujar Seta kemudian, setengah mendesis.

"Ya, kau memang harus membalaskan semua perbuatan biadab mereka, Seta" sahut Darpa buru-buru. Ia merasa dapat kesempatan baik untuk mengingatkan temannya itu.

"Tapi, ingatlah, agar berhasil melakukan itu kau harus dapat bersikap tenang. Kau tak akan mampu memenangkan pertarungan melawan para penjahat itu jika masih dikuasai amarah begini rupa."

Seta mengangguk membenarkan, meski wajahnya masih tampak tegang oleh amarah.

"Kau benar, Darpa. Aku akan coba tenangkan diri sepanjang perjalanan menuju ke sana," katanya setelah menghembuskan satu napas berat.

"Kau yakin tidak butuh bantuan? Aku dapat melaporkan kejadian ini pada Ki Bekel atau bahkan pada Ki Senopati agar kau dikawal sepasukan prajurit," tanya Darpa.

Yang ditanya pandangi Darpa sebentar, lalu gelengkan kepala.

"Sebaiknya jangan. Lelaki keparat bernama Ranajaya itu memintaku datang sendiri. Aku khawatir dia akan mengambil tindakan yang dapat membahayakan nyawa isteriku jika dilihatnya aku datang bersama pasukan Jenggala," katanya.

Darpa menghela napas panjang. Ini persoalan rumit. Entah apa yang telah disiapkan para penjahat itu di Gua Selogiri, tak ada yang tahu. Pada pikirnya akan lebih baik jika Seta dikawal. Namun ancaman Ranajaya tentunya juga tak boleh diabaikan begitu saja.

Sementara Darpa berpikir begitu, Seta sudah melompat naik ke atas punggung kuda.

"Aku berangkat sekarang, Darpa," ujar prajurit berkumis lebat itu.

Kedua tangan Seta menarik tali kekang untuk memutar arah hewan tunggangannya. Kuda tersebut meringkik kaget.

"Jika aku tidak kembali lagi ke Kotaraja besok, itu artinya aku sudah mati," tambah Seta lagi. Belum sempat Darpa menjawab, prajurit muda berkumis lebat itu sudah menggebah kudanya kencang-kencang.

Ucapan itu membuat Darpa tercekat. Tidak, tidak! Prajurit yang baru saja naik pangkat itu tidak boleh dibiarkan mati! Kerajaan Jenggala masih membutuhkan tenaganya.

Seketika itu pula Darpa merencanakan sesuatu.

***

Menjelang senja, Seta sudah memasuki Desa Lawadan(*) di kawasan Brang Kidul yang masuk ke dalam wilayah kekuasaan Panjalu. Gua Selogiri tidak terlalu jauh lagi dari sana.

Namun sejak melewati Lawadan medan perjalanan berubah menanjak dan berbatu-batu. Lalu rapatnya rimbunan daun pepohonan membuat sinar matahari tak leluasa menerangi permukaan tanah.

Seta terpaksa harus mengendalikan kudanya dengan sangat perlahan dan berhati-hati. Setelah menyusuri sepanjang punggungan satu pebukitan kapur, tibalah ia di muka gua yang ditandai dengan deretan beberapa obor tinggi.

"Hmmm, agaknya Ranajaya sengaja memberi tanda dengan jejeran obor itu, sehingga aku tak kesulitan menemukan gua yang dia maksudkan," ujar Seta pada dirinya sendiri.

Dengan tatapan tajam Seta edarkan pandangannya ke sekeliling. Sepi. Tak seorang pun terlihat di sekitaran mulut gua.

Sepasang telinganya lantas dipentang lebar-lebar, pendengarannya ditajamkan. Namun juga tak ada suara-suara mencurigakan yang tertangkap olehnya.

Seta lantas turun dari punggung kuda, lalu menambatkan hewan tersebut di sebatang pohon tak jauh dari mulut gua. Setelah mengambil sebatang obor yang berderet, prajurit Jenggala itu pun masuk ke dalam.

Suara ramai cericit kelelawar yang terkejut melihat cahaya menyambut kedatangan Seta. Semakin dalam ia masuk, semakin gelap suasana di sekelilingnya. Namun, nun di depan terlihat satu bagian yang terang benderang.

"Mereka pasti berada di sana," ujar Seta dalam hati.

Dengan sangat hati-hati sang prajurit menapaki batu-batu cadas yang tersusun sedemikian rupa menjadi lantai gua. Setapak demi setapak menuju ke arah bagian terang tersebut. Bertambah dekat ke sana, telinganya mulai mendengar suara-suara manusia. Semakin lama semakin jelas saja.

Ketika akhirnya dapat menangkap suara-suara itu dengan lebih jelas, wajah Seta berubah tegang. Itu suara seorang perempuan tengah merintih sambil menangis! Ditingkahi tawa bergelak memuakkan beberapa lelaki.

"Isteriku!" desis Seta dengan napas yang seketika berubah memburu. Rahangnya mengeras.

Tanpa sadar genggamannya pada batang obor jadi lebih kencang, sehingga kraaak! Bambu panjang itu hancur dan patah, sumbu apinya jatuh ke bawah.

Seta tak peduli. Dalam keremangan cahaya obor yang terjatuh di lantai gua ia percepat langkah. Setengah berlari prajurit tersebut menuju ke bagian terang yang tinggal beberapa langkah di muka.

Benar saja!

Begitu sampai di bagian yang ternyata sangat luas tersebut, sepasang mata Seta mendapati satu pemandangan keji. Tindakan yang membuat darahnya seketika mendidih, membuat napasnya semakin memburu kencang.

"Keparat!" teriak Seta.

Suara si prajurit menggema di dinding-dinding gua, mengagetkan tiga lelaki yang tengah mengerubuti seorang perempuan tanpa busana di atas permukaan datar sebuah batu besar. Tidak salah lagi, mereka adalah Ranajaya dan gerombolannya.

Sedangkan perempuan yang dalam keadaan telanjang, telentang di atas permukaan batu, adalah isteri Seta. Perempuan malang itu diculik dari rumahnya menjelang siang tadi. Bersamaan dengan kedatangan Ranajaya di kotaraja.

Belum hilang gema suara teriakannya, Seta sudah mencabut pedang dari pinggang lalu menyerbu ke depan. Dalam kedapnya gua, suara berkesiuran sabetan senjata tajam tersebut terdengar sangat jelas. Begitu menggidikkan di telinga.

Wuuuuttt!

Dua dari tiga lelaki tersebut bergerak menyambut serangan Seta. Di tangan mereka terhunus sebilah parang besar. Dua bilah parang itu langsung digerakkan ke muka, menghadang sambaran pedang lawan.

Traanggg!

Suara dentrang senjata menggema di dalam gua. Seta mengernyit kesakitan. Biar bagaimana pun, tenaga satu orang kalah dari dua orang sekaligus.

Namun prajurit Kerajaan Jenggala itu tak peduli. Dengan menahan rasa sakit ia kembali menyerang. Pedangnya sekali lagi disabetkan.

"Hiiiaaaaattt!"

Dua lelaki bercambang bauk saling pandang sembari menyeringai tipis. Keduanya sama-sama kembangkan kuda-kuda, lalu pelintangkan parang di tangan ke depan dada. Diam menunggu. Sama sekali tak ada tanda-tanda hendak menghindar maupun menangkis.

Hal ini membuat Seta curiga. Namun serangannya sudah kepalang tanggung, tak mungkin lagi ditarik balik. Lagipula tajamnya mata pedang sang prajurit tinggal sedikit lagi mengenai kulit lawan.

Sebuah keputusan salah!

)|(

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status