Share

5 - Gua Selogiri

Penulis: Kebo Rawis
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-09 22:37:30

Gua Selogiri terletak jauh di seberang selatan Bengawan Sigarada (kini Sungai Brantas). Penduduk Kerajaan Jenggala dan juga Panjalu lebih mengenal kawasan itu dengan sebutan Brang Kidul.

Pada masa lalu, kerajaan-kerajaan di kawasan Brang Kidul merupakan bawahan Kerajaan Medang. Ketika Sri Prabu Dharmawangsa Teguh tewas mengenaskan dalam penyerangan keji yang dilakukan oleh pasukan gabungan Lwaram dan Sriwijaya, satu demi satu kerajaan-kerajaan di Brang Kidul melepaskan diri.

Namun begitu Sri Prabu Airlangga mendirikan Kerajaan Kahuripan, menantu Sri Prabu Dharmawangsa Teguh itu berhasil menyatukan kembali seluruh bekas wilayah kekuasaan Medang. Ketika kemudian Kahuripdan dibagi dua, kawasan Brang Kidul turut dibelah pula untuk Jenggala dan Panjalu.

Begitu memastikan puteranya tak terselamatkan dari kobaran api dan tewas dalam rumah yang terbakar habis, Seta segera menuju ke Brang Kidul.

Dari Hantang, sang prajurit harus menempuh jarak lebih jauh lagi ke selatan. Tak ada pilihan lain, Seta tetap pada tekadnya. Dengan memacu kudanya sekencang mungkin, ia akan tiba di gua tersebut dalam waktu kurang dari tiga kali penanakan nasi.

Awalnya niat itu sempat dicegah oleh Darpa, rekan sesama prajurit yang mengantar ke Hantang. Namun tentu saja Seta berkeras pergi, atau isterinya yang bakal jadi korban Ranajaya berikutnya.

"Aku tidak punya pilihan lain, Darpa. Aku harus mendatangi gua itu guna menyelamatkan isteriku," ujar Seta setengah mendesis.

Suara prajurit Jenggala tersebut masih bercampur isak tangis. Sisa-sisa air mata juga masih membasahi kedua pipinya. Itu sebab Darpa mencegah Seta langsung menuju ke Gua Selogiri.

"Aku dapat memahami keadaanmu, Seta. Tapi setidaknya tenangkan dirimu terlebih dahulu ..."

"Bagaimana aku dapat menenangkan diri, Darpa! Isteriku diculik penjahat, anakku dibakar hidup-hidup!" tukas Seta, setengah menjerit.

Setelah itu sang prajurit menggeram keras, sembari meninju telapak tangannya sendiri untuk melampiaskan kemarahan.

Darpa terdiam. Selama beberapa saat ia hanya membisu, seolah memberi kesempatan pada Seta untuk menuntaskan kekesalannya.

"Aku akan memburu mereka, Darpa! Aku tak akan pernah melepaskan mereka semua. Orang-orang keparat itu harus mati di tanganku!" ujar Seta kemudian, setengah mendesis.

"Ya, kau memang harus membalaskan semua perbuatan biadab mereka, Seta" sahut Darpa buru-buru. Ia merasa dapat kesempatan baik untuk mengingatkan temannya itu.

"Tapi, ingatlah, agar berhasil melakukan itu kau harus dapat bersikap tenang. Kau tak akan mampu memenangkan pertarungan melawan para penjahat itu jika masih dikuasai amarah begini rupa."

Seta mengangguk membenarkan, meski wajahnya masih tampak tegang oleh amarah.

"Kau benar, Darpa. Aku akan coba tenangkan diri sepanjang perjalanan menuju ke sana," katanya setelah menghembuskan satu napas berat.

"Kau yakin tidak butuh bantuan? Aku dapat melaporkan kejadian ini pada Ki Bekel atau bahkan pada Ki Senopati agar kau dikawal sepasukan prajurit," tanya Darpa.

Yang ditanya pandangi Darpa sebentar, lalu gelengkan kepala.

"Sebaiknya jangan. Lelaki keparat bernama Ranajaya itu memintaku datang sendiri. Aku khawatir dia akan mengambil tindakan yang dapat membahayakan nyawa isteriku jika dilihatnya aku datang bersama pasukan Jenggala," katanya.

Darpa menghela napas panjang. Ini persoalan rumit. Entah apa yang telah disiapkan para penjahat itu di Gua Selogiri, tak ada yang tahu. Pada pikirnya akan lebih baik jika Seta dikawal. Namun ancaman Ranajaya tentunya juga tak boleh diabaikan begitu saja.

Sementara Darpa berpikir begitu, Seta sudah melompat naik ke atas punggung kuda.

"Aku berangkat sekarang, Darpa," ujar prajurit berkumis lebat itu.

Kedua tangan Seta menarik tali kekang untuk memutar arah hewan tunggangannya. Kuda tersebut meringkik kaget.

"Jika aku tidak kembali lagi ke Kotaraja besok, itu artinya aku sudah mati," tambah Seta lagi. Belum sempat Darpa menjawab, prajurit muda berkumis lebat itu sudah menggebah kudanya kencang-kencang.

Ucapan itu membuat Darpa tercekat. Tidak, tidak! Prajurit yang baru saja naik pangkat itu tidak boleh dibiarkan mati! Kerajaan Jenggala masih membutuhkan tenaganya.

Seketika itu pula Darpa merencanakan sesuatu.

***

Menjelang senja, Seta sudah memasuki Desa Lawadan(*) di kawasan Brang Kidul yang masuk ke dalam wilayah kekuasaan Panjalu. Gua Selogiri tidak terlalu jauh lagi dari sana.

Namun sejak melewati Lawadan medan perjalanan berubah menanjak dan berbatu-batu. Lalu rapatnya rimbunan daun pepohonan membuat sinar matahari tak leluasa menerangi permukaan tanah.

Seta terpaksa harus mengendalikan kudanya dengan sangat perlahan dan berhati-hati. Setelah menyusuri sepanjang punggungan satu pebukitan kapur, tibalah ia di muka gua yang ditandai dengan deretan beberapa obor tinggi.

"Hmmm, agaknya Ranajaya sengaja memberi tanda dengan jejeran obor itu, sehingga aku tak kesulitan menemukan gua yang dia maksudkan," ujar Seta pada dirinya sendiri.

Dengan tatapan tajam Seta edarkan pandangannya ke sekeliling. Sepi. Tak seorang pun terlihat di sekitaran mulut gua.

Sepasang telinganya lantas dipentang lebar-lebar, pendengarannya ditajamkan. Namun juga tak ada suara-suara mencurigakan yang tertangkap olehnya.

Seta lantas turun dari punggung kuda, lalu menambatkan hewan tersebut di sebatang pohon tak jauh dari mulut gua. Setelah mengambil sebatang obor yang berderet, prajurit Jenggala itu pun masuk ke dalam.

Suara ramai cericit kelelawar yang terkejut melihat cahaya menyambut kedatangan Seta. Semakin dalam ia masuk, semakin gelap suasana di sekelilingnya. Namun, nun di depan terlihat satu bagian yang terang benderang.

"Mereka pasti berada di sana," ujar Seta dalam hati.

Dengan sangat hati-hati sang prajurit menapaki batu-batu cadas yang tersusun sedemikian rupa menjadi lantai gua. Setapak demi setapak menuju ke arah bagian terang tersebut. Bertambah dekat ke sana, telinganya mulai mendengar suara-suara manusia. Semakin lama semakin jelas saja.

Ketika akhirnya dapat menangkap suara-suara itu dengan lebih jelas, wajah Seta berubah tegang. Itu suara seorang perempuan tengah merintih sambil menangis! Ditingkahi tawa bergelak memuakkan beberapa lelaki.

"Isteriku!" desis Seta dengan napas yang seketika berubah memburu. Rahangnya mengeras.

Tanpa sadar genggamannya pada batang obor jadi lebih kencang, sehingga kraaak! Bambu panjang itu hancur dan patah, sumbu apinya jatuh ke bawah.

Seta tak peduli. Dalam keremangan cahaya obor yang terjatuh di lantai gua ia percepat langkah. Setengah berlari prajurit tersebut menuju ke bagian terang yang tinggal beberapa langkah di muka.

Benar saja!

Begitu sampai di bagian yang ternyata sangat luas tersebut, sepasang mata Seta mendapati satu pemandangan keji. Tindakan yang membuat darahnya seketika mendidih, membuat napasnya semakin memburu kencang.

"Keparat!" teriak Seta.

Suara si prajurit menggema di dinding-dinding gua, mengagetkan tiga lelaki yang tengah mengerubuti seorang perempuan tanpa busana di atas permukaan datar sebuah batu besar. Tidak salah lagi, mereka adalah Ranajaya dan gerombolannya.

Sedangkan perempuan yang dalam keadaan telanjang, telentang di atas permukaan batu, adalah isteri Seta. Perempuan malang itu diculik dari rumahnya menjelang siang tadi. Bersamaan dengan kedatangan Ranajaya di kotaraja.

Belum hilang gema suara teriakannya, Seta sudah mencabut pedang dari pinggang lalu menyerbu ke depan. Dalam kedapnya gua, suara berkesiuran sabetan senjata tajam tersebut terdengar sangat jelas. Begitu menggidikkan di telinga.

Wuuuuttt!

Dua dari tiga lelaki tersebut bergerak menyambut serangan Seta. Di tangan mereka terhunus sebilah parang besar. Dua bilah parang itu langsung digerakkan ke muka, menghadang sambaran pedang lawan.

Traanggg!

Suara dentrang senjata menggema di dalam gua. Seta mengernyit kesakitan. Biar bagaimana pun, tenaga satu orang kalah dari dua orang sekaligus.

Namun prajurit Kerajaan Jenggala itu tak peduli. Dengan menahan rasa sakit ia kembali menyerang. Pedangnya sekali lagi disabetkan.

"Hiiiaaaaattt!"

Dua lelaki bercambang bauk saling pandang sembari menyeringai tipis. Keduanya sama-sama kembangkan kuda-kuda, lalu pelintangkan parang di tangan ke depan dada. Diam menunggu. Sama sekali tak ada tanda-tanda hendak menghindar maupun menangkis.

Hal ini membuat Seta curiga. Namun serangannya sudah kepalang tanggung, tak mungkin lagi ditarik balik. Lagipula tajamnya mata pedang sang prajurit tinggal sedikit lagi mengenai kulit lawan.

Sebuah keputusan salah!

)|(

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Bara Dendam di Perbatasan   6 - Dikeroyok

    Seta terlalu memusatkan perhatian pada dua lawan yang berada di hadapan. Akibatnya ia tak menyadari kemunculan dua sosok lain di dalam gua. Muncul di belakang punggungnya! Dengan licik, sosok-sosok yang baru muncul itu menyerang sang prajurit dari belakang."Pembokong keparat licik!" Seta menggeram marah. Ia baru menyadari adanya bokongan itu setelah merasakan angin serangan yang sudah sangat dekat. Terlambat!Buuukk! Buuukk!Dua tendangan keras mengantam punggung Seta, membuatnya terjengkang jauh ke depan.Tubuh Seta bergulingan sejauh beberapa langkah. Baru berhenti setelah punggungnya menghantam satu batu besar.Sang prajurit merasakan punggungnya yang terkena tendangan lawan sakit bukan main. Seolah dihantam dua balok kayu secara bersamaan. Sementara dadanya seketika menjadi sesak.Wajah Seta seketika mengernyit kesaki

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-10
  • Bara Dendam di Perbatasan   7 - Pertunjukan Maut

    Di tempatnya, Seta menduga-duga apa yang bakal dilakukan begundal-begundal tersebut. Tatapan matanya terarah pada sang isteri yang terbaring lemah. Tiba-tiba saja satu pikiran buruk terlintas di kepalanya."Oh, tidak!" seru Seta tanpa sadar. Kepalanya digeleng-gelengkan sekeras-keras mungkin, berusaha mengusir bayangan-bayangan buruk tersebut."Seta, aku harap kau senang dengan pertunjukan yang kami suguhkan ini," kata Ranajaya, membuat sang prajurit memusatkan perhatian ke depan.Lagi-lagi Ranajaya beri isyarat kepala pada salah satu anak buahnya. Yang diberi isyarat tertawa-tawa senang sembari usap-usap bagian pangkal pahanya.Gerakan tangan orang itu membuat Seta terkesiap. Bayangan-bayangan buruk tadi kembali muncul di kepalanya.Benar saja. Lelaki tersebut mendekati batu besar di mana isteri Seta berada. Begitu berada di tepian batu, enak saja tangan lelaki itu mengusap-usap

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-11
  • Bara Dendam di Perbatasan   8 - Amarah Seta

    MELEDAK sudah amarah Seta. Prajurit muda Jenggala ini tidak dapat menahan diri lagi. Mulutnya keluarkan suara menggeram dahsyat. Tubuhnya bergerak ke depan, menjauh dari batu tinggi tempatnya terikat. Kedua tangan dihentakkan kuat-kuat untuk memutus tali.Pada percobaan pertama usaha tersebut gagal. Seta justru merasakan bagian tubuh dan tangannya yang terikat sakit bukan main. Apalagi luka sabetan parang di dadanya yang masih belum kering. Rasa perihnya sungguh tak terkira.Akan tetapi sang prajurit tak mau ambil peduli. Hanya satu yang ada di kepalanya saat ini: menghabisi Ranajaya dan gerombolannya. Ia bahkan rela mati menyusul isterinya untuk itu."Heeeeeaaaa!"Seta kembali menggembor keras. Sekali lagi badan dan kedua tangannya digerakkan secara bersamaan. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan habis-habisan. Tali-temali yang mengikat sang prajurit seketika menegang, sampai akhirnya ....Taasss! Taasss

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-12
  • Bara Dendam di Perbatasan   9 - Dibuang

    Begitu asap dan debu luruh, suasana di dalam gua menjadi begitu hening. Seta berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Ia tak dapat menggerakkan sekujur tubuh sama sekali. Namun sepasang telinga sang prajurit masih dapat menangkap suara-suara, meski samar.Suara yang pertama didengarnya adalah langkah kaki seseorang mendekat. Itu Ranajaya yang menghampirinya sembari membawa dua batang obor. Lelaki bercambang bauk lebat tersebut hentikan langkah setengah depa dari tubuh Seta."Agaknya dia sudah mati, Kang," terdengar satu suara. Yang berkata anak buah Ranajaya yang masih hidup.Yang diajak bicara tak langsung menanggapi. Sepasang matanya masih terus mengamat-amati keadaan Seta baik-baik. Lalu dengan sebelah kakinya tubuh si prajurit ditendang hingga terbalik, menjadi telentang. Dalam penglihatannya tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali."Pukulan kami mendarat tepat di dadanya. Mustinya dia sudah mampus, atau

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-13
  • Bara Dendam di Perbatasan   10 - Teluk Lawa

    Matahari pagi nan hangat menyapa Teluk Lawa di pantai selatan Jawadwipa. Sinar lembutnya menerangi permukaan air laut yang berlomba-lomba ke tepian pantai.Suara ombak berdebur di pantai terdengar ramai. Buih putih yang bertumpuk-tumpuk tertinggal di atas pasir kehitaman nan memanjang.Sementara angin bertiup perlahan, menggoyang daun-daun panjang pohon cemara laut yang masih dihinggapi embun berkilauan. Di dahan-dahan yang lebih tinggi, beberapa ekor burung berkicau riuh sembari bergerak ke sana-sini."Oh, sungguh pagi yang begitu sempurna," desah seorang lelaki tua yang baru saja membuka matanya yang cekung.Sepasang pipi lelaki tua itu juga cekung, kalau tak mau dikatakan peot. Sedangkan mulutnya hampir-hampir tak terlihat, tertutup kumis dan janggut panjang yang telah memutih seluruhnya.Rambut panjang lelaki tua itu juga putih sempurna. Terlihat bagaikan tumpukan benang perak ditimpa sinar jingga m

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-14
  • Bara Dendam di Perbatasan   11 - Petapa Tua

    Yang terdengar hanya suara gemericik air aliran dua sungai yang bertemu pada percabangan tak jauh dari pondok. Diiringi nyanyian katak penghuni tepian sungai. Juga derik jangkrik yang bersembunyi di balik rerumputan lebat.Sesekali seruan burung puyuh gemak yang berat mendayu-dayu memenuhi udara. Sementara semilir angin darat yang bertiup ke arah lautan luas di mulut teluk membisikkan kedamaian dan ketenangan. Begitu melenakan.Segala macam suara alam itu masuk ke gendang telinga Seta. Awalnya hanya terdengar lamat-lamat bagai buaian di alam mimpi. Namun lambat laun semakin keras dan jelas. Sehingga kemudian mengembalikan kesadaran sang prajurit Kerajaan Jenggala."Oh, di manakah aku?" desisnya saat membuka kelopak mata.Yang pertama kali ditangkap sepasang bola mata Seta adalah sebuah langit-langit rendah. Batang-batang bambu tampak menyangga atap yang terbuat dari susunan ilalang kering. Lalu turun ke bawah, dilihatnya dinding anyaman bambu berwarna cok

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-15
  • Bara Dendam di Perbatasan   12 - Masa Penyembuhan

    Semenjak menemukan Seta di muara, si lelaki tua jadi punya kegiatan baru. Pada pagi hari begitu terang-terang tanah ia akan meninggalkan pondoknya di dekat percabangan sungai.Lelaki tua tersebut pergi ke hutan tak jauh dari pantai. Ia mencari aneka daun, akar, dan tetumbuhan obat lainnya. Utamanya daun dedalu atau gandarusa sebagai pereda nyeri, obat memar, sekaligus penurun panas.Lalu dua atau paling lama tiga kali penanakan nasi berselang lelaki tua tersebut sudah kembali lagi. Sesudah itu ia akan sibuk di bawah, di bagian terbuka di antara tiang-tiang pondok.Di sana, semua bahan obat-obatan yang didapat ia racik dan direbus. Ada juga yang sekedar ditumbuk halus. Ramuan obat yang sudah siap lantas ia bawa naik, untuk diborehkan ke bagian tubuh Seta yang terluka.Sehari sebanyak tiga kali si lelaki tua memborehkan ramuannya. Sementara praj

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-16
  • Bara Dendam di Perbatasan   13 - Masa Pemulihan

    Meski sudah makan kenyang-kenyang dan minus sepuas-puasnya, Seta masih membutuhkan waktu lama untuk sekedar dapat berdiri. Hanya terbaring selama empat belas hari, serta tanpa asupan makanan maupun minuman sedikit pun, tak heran bila tenaganya sangat lemah.Setelah perutnya terisi dan berulang kali berlatih serta mencoba, barulah selepas tengah hari Seta dapat berdiri tegak serta berjalan seperti semula. Lelaki tua yang menolongnya terlihat sangat gembira melihat itu."Pemulihan tubuhmu terhitung cepat, anak muda. Kau juga mempunyai ketahanan tubuh di atas rata-rata. Orang yang tidak sadarkan diri begitu lama biasanya berlanjut pada kematian," ujar si lelaki tua.Saat itu keduanya sedang berjalan ke arah selatan, menyusuri badan sungai yang bermuara ke Teluk Lawa. Desau angin menemani langkah mereka. Rambut kedua lelaki berbeda usia itu pun riap-riapan terhalau bayu."Kalaupun kemudian orang itu siuman dan dapat hidup lebih lama, tidak sedikit yang lantas

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-17

Bab terbaru

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 203

    Seta menunggu hingga matahari tergelincir dari ubun-ubun. Saat itu, kebanyakan abdi dalem akan sibuk di bangsal tengah—membersihkan ruangan utama setelah santap siang para pembesar. Waktu yang tepat untuk menyusup ke bangsal timur, tempat Wadu tinggal sebelum ia menghilang entah ke mana.Seta memilih jalan belakang, melalui lorong-lorong sempit yang biasa dilalui pengangkat air dan pemikul kayu. Langkahnya ringan, tubuhnya setengah bersembunyi di balik tiang dan tabir. Ia tahu betul, satu kesalahan kecil bisa membuatnya diadili karena menyusup ke ruang kediaman abdi dalem tanpa izin.Bangsal timur sunyi. Di luar, hanya ada satu penjaga yang duduk malas sambil mengunyah sirih. Seta menunggu sampai penjaga itu lengah, lalu menyelinap masuk lewat pintu samping.Ruangan itu gelap, lembap, dan penuh bau keringat. Tikar pandan digelar berderet, menunjukkan bahwa tempat itu dihuni beberapa orang sekaligus.Seta melangkah pelan, menyusuri sudut demi sudut h

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 202

    Langkah Seta tak langsung menuju ke barak. Pagi itu, setelah meninggalkan kediaman permaisuri, ia berputar arah ke sisi belakang istana.Di sanalah dapur besar kerajaan berdiri, nyaris tak pernah sepi sejak fajar. Asap tipis mengepul dari tungku tanah liat, aroma rebusan daging dan beras merah bercampur dengan harum dedaunan segar yang baru dipotong.Seta menyusup di antara para pelayan yang sibuk, menyapa sekadarnya agar tak tampak mencurigakan. Pandangannya mencari satu nama—Ni Lastri, juru masak kepala yang sudah puluhan tahun mengabdi di istana permaisuri.Tak lama, ia menemukan orang yang dicari-cari di balik anyaman tikar bambu, tengah membersihkan lembaran-lembaran daun pisang.“Ni Lastri…” Seta menyapa dengan suara rendah.Perempuan tua itu menoleh cepat, sedikit heran. “Oh, Raden Seta? Ada angin apa pagi-pagi kemari?”“Tidak usah panggil raden. Aku… aku hanya abdi bi

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 201

    Cahaya pagi menyelusup pelan ke balik tirai sutra kamar permaisuri Panjalu. Suasana cerah yang sangat berlawanan dengan kabar muram yang akan disampaikan Seta pada pemilik tempat ini.Burung-burung belum lama berkicau di taman dalam ketika Seta melangkah masuk, menunduk hormat di hadapan Sasi Kirana yang telah duduk di bangku rendah, mengenakan kain selendang tipis warna biru senja. Rambutnya masih basah setelah mandi, dan matanya sembab. Entah karena lelah, atau ada sesuatu yang ia rasakan sejak semalam.“Ada apa pagi-pagi begini kau menghadapku, Seta?” bisiknya lirih. Seakan tahu gelagat, ia menyuruh pelayannya mundur menjauh sehingga kini dirinya dan Seta seakan tengah berbicara empat mata.Seta menunggu sampai pintu ditutup rapat. Barulah ia menjawab. “Lira… pelayan Gusti… tewas dibunuh.”Sasi Kirana tersentak. Nafasnya tercekat. “Apa maksudmu?” tanyanya, nyaris tanpa suara.“Tadi malam, h

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 200

    Dini hari turun pelan-pelan seperti kabut, menyusup lembut ke balik dinding-dinding bata dan atap genteng istana Panjalu.Seta belum tidur sejak semalam. Ia terus berjaga di serambi belakang tempat dapur istana berada, matanya tak lepas dari lorong kecil yang tembus ke arah sumur tua. Tempat itulah yang semalam menjadi jalur Wadu menghancurkan sepotong surat.Di balik tembok, waktu terasa beku. Sesekali terdengar suara kelelawar, sesekali suara tikus kecil di sela-sela kayu. Namun malam itu, ada sesuatu yang berbeda.Seta yang duduk memeluk lutut perlahan menegakkan tubuh. Sebuah langkah ringan terdengar—terlalu ringan untuk seorang lelaki, dan terlalu gelisah untuk sekadar pelayan menuju sumur.Dari celah bayangan, tampak sekelebat sosok perempuan berjalan pelan-pelan membawa kendi. Baju pelayannya kusam oleh lembab dini hari, rambutnya digelung seadanya, seolah terburu-buru. Ia menoleh dua kali ke belakang, seperti takut ketahuan.Seta meng

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 199

    Seta memilih untuk tidak menanggapi secara terburu-buru. Sejak semula, ia tidak ingin kehadirannya di istana Panjalu memancing perhatian. Maka ia menahan diri, hanya memperhatikan dari balik bayang-bayang pilar batu di serambi samping ketika sosok abdi muda itu keluar dari bilik dapur pembantu. Gerak-geriknya terlalu tenang—terlalu teratur untuk ukuran pelayan baru.Tiap pagi, pelayan itu muncul lebih cepat dari yang lain, dan tiap malam ia pulang paling lambat. Namun ada satu hal yang membuat Seta semakin curiga: ia tak pernah terlihat berbincang dengan siapa pun. Tak ada senda gurau, tak ada obrolan remeh-temeh seperti yang biasa dilakukan para abdi muda lainnya. Ia hanya diam, bekerja, dan sesekali menghilang dari pandangan.Malam itu, selepas membasuh diri dan bersantap malam seadanya di bilik dalam, Seta diam-diam mengikuti langkah pelayan muda itu dari kejauhan. Ia menunggu sampai hampir seluruh isi istana permaisuri tertidur. Ketika suara malam tinggal des

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 198

    Tak terasa, sudah nyaris sepekan Seta menetap di istana Panjalu. Ia tinggal diam-diam di bangsal kecil dekat taman belakang, bagian dari kompleks kediaman Permaisuri Sasi Kirana.Bangunan itu dahulu tempat istirahat emban dan pelayan istana. Letaknya agak terpencil, dikelilingi pepohonan dan jalan setapak, membuatnya tempat yang ideal untuk sembunyi dari mata pengintai.Sasi Kirana sendiri yang mengatur semuanya. Tak banyak pelayan yang tahu bahwa ada seorang tamu rahasia yang diam-diam tinggal di sana. Ia hanya mempercayakan hal itu pada dua emban tua dan satu pengawal muda yang telah bersumpah setia padanya sejak masih menjadi puteri Jenggala.Namun ketenangan itu mulai terusik.Sejak fajar tadi, Seta merasa ada yang ganjil. Seorang pelayan baru tampak mondar-mandir di sekitar lorong yang menghubungkan dapur ke taman belakang.Gerak-gerik pelayan itu terlalu hati-hati di mata Seta, terlalu memperhitungkan langkah. Seperti seseorang yang ingin ter

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 197

    Di istana, Seta tidak mengetahui bahwa bayang-bayang bahaya mulai mengintai. Ia tetap menjalankan tugasnya tanpa cela, dengan sikap penuh siaga.Setiap pagi, ia mengiringi Sasi Kirana ke taman, juga mengikuti Dyah Ardana berlatih menulis dan bermain di sana.Seta belum menyadari jika setiap gerak-geriknya terus diawasi dari kejauhan.Sudut belakang pasar tua Kotaraja menjadi tempat mata-mata Dyah Srengga mengintai istana permaisuri. Seperti petang itu, ketika dua orang bersandar di tembok bata sambil berbincang pelan.“Sudah aku pastikan kebenerannya. Rombongan Permaisuri dari Jenggala sudah kembali ke timur dua hari lalu,” kata salah satu dari mereka, berselendang kusam dan memakai caping lebar. "Namun rupanya ada satu yang tampaknya sengaja ditinggalkan di sini."“Maksudmu, pengawal yang tengah mengiringi Sasi Kirana dan Dyah Ardana itu?”“Ya, benar sekali. Laki-laki itu membuatku curiga. Dia masuk ke dalam istana Permaisuri Panjalu sebagai anggota rombongan dari Jenggala. Namun seka

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 196

    Hari-hari pertama di istana Panjalu terasa seperti babak baru bagi Seta. Sebagai prajurit, ia telah menjalani banyak tugas berat, tetapi tak satu pun seperti yang kini diembannya—menjadi bayangan di belakang permaisuri Panjalu dan putranya yang seorang calon penerus takhta, tanpa boleh mengungkapkan jati diri yang sebenarnya.Seta ditempatkan di lingkungan dalam istana sebagai bagian dari pengawal keluarga raja, tetapi tidak satu pun menyadari bahwa ia bukan sekadar prajurit biasa. Terlebih dalam kesehariannya Seta mengenakan busana dan ikat kepala khas abdi Panjalu, tidak mencolok namun tetap gagah.Sikapnya tenang, selalu menjaga jarak yang tepat, dengan tatapan matanya tajam tapi sopan—ciri khas prajurit berpengalaman.Pembawaan itu membuat Sasi Kirana dan putranya, Dyah Ardana, cepat menyukai kehadiran Seta. Sang calon putera mahkota bahkan mulai sering meminta diajak berlatih pedang-pedangan kayu, dan Seta dengan sabar meladeni, meski tak lupa selalu berjaga di sekeliling mereka.

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 195

    Rombongan Permaisuri Jenggala akhirnya tiba di gerbang megah istana Panjalu menjelang senja. Suara genderang dan tiupan seruling mengiringi kedatangan mereka, sementara para pelayan istana dan prajurit berbaris rapi di halaman depan.Sri Prabu Kamesywara berdiri di tangga utama bersama Sasi Kirana dan puteranya yang masih kecil, Dyah Ardana. Wajah mereka berseri-seri menyambut kedatangan sang tamu agung.“Selamat datang di Panjalu, Ibunda Permaisuri,” Sri Prabu Kamesywara menyambut dengan suara lantang, langkahnya mantap menuruni tangga. Ia membungkuk hormat, diikuti Sasi Kirana yang tersenyum hangat.“Terima kasih, Ananda Prabu,” Permaisuri menjawab lembut, turun dari kereta kencana dengan bantuan mbok emban. Wajahnya sedikit letih, tetapi masih memancarkan wibawa yang anggun.Dyah Ardana berlari kecil menghampiri eyangnya, kedua tangannya terangkat tinggi memohon pelukan. Permaisuri menyambutnya dengan penuh kasih sayang, membela

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status