Share

5 - Gua Selogiri

Penulis: Kebo Rawis
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-09 22:37:30

Gua Selogiri terletak jauh di seberang selatan Bengawan Sigarada (kini Sungai Brantas). Penduduk Kerajaan Jenggala dan juga Panjalu lebih mengenal kawasan itu dengan sebutan Brang Kidul.

Pada masa lalu, kerajaan-kerajaan di kawasan Brang Kidul merupakan bawahan Kerajaan Medang. Ketika Sri Prabu Dharmawangsa Teguh tewas mengenaskan dalam penyerangan keji yang dilakukan oleh pasukan gabungan Lwaram dan Sriwijaya, satu demi satu kerajaan-kerajaan di Brang Kidul melepaskan diri.

Namun begitu Sri Prabu Airlangga mendirikan Kerajaan Kahuripan, menantu Sri Prabu Dharmawangsa Teguh itu berhasil menyatukan kembali seluruh bekas wilayah kekuasaan Medang. Ketika kemudian Kahuripdan dibagi dua, kawasan Brang Kidul turut dibelah pula untuk Jenggala dan Panjalu.

Begitu memastikan puteranya tak terselamatkan dari kobaran api dan tewas dalam rumah yang terbakar habis, Seta segera menuju ke Brang Kidul.

Dari Hantang, sang prajurit harus menempuh jarak lebih jauh lagi ke selatan. Tak ada pilihan lain, Seta tetap pada tekadnya. Dengan memacu kudanya sekencang mungkin, ia akan tiba di gua tersebut dalam waktu kurang dari tiga kali penanakan nasi.

Awalnya niat itu sempat dicegah oleh Darpa, rekan sesama prajurit yang mengantar ke Hantang. Namun tentu saja Seta berkeras pergi, atau isterinya yang bakal jadi korban Ranajaya berikutnya.

"Aku tidak punya pilihan lain, Darpa. Aku harus mendatangi gua itu guna menyelamatkan isteriku," ujar Seta setengah mendesis.

Suara prajurit Jenggala tersebut masih bercampur isak tangis. Sisa-sisa air mata juga masih membasahi kedua pipinya. Itu sebab Darpa mencegah Seta langsung menuju ke Gua Selogiri.

"Aku dapat memahami keadaanmu, Seta. Tapi setidaknya tenangkan dirimu terlebih dahulu ..."

"Bagaimana aku dapat menenangkan diri, Darpa! Isteriku diculik penjahat, anakku dibakar hidup-hidup!" tukas Seta, setengah menjerit.

Setelah itu sang prajurit menggeram keras, sembari meninju telapak tangannya sendiri untuk melampiaskan kemarahan.

Darpa terdiam. Selama beberapa saat ia hanya membisu, seolah memberi kesempatan pada Seta untuk menuntaskan kekesalannya.

"Aku akan memburu mereka, Darpa! Aku tak akan pernah melepaskan mereka semua. Orang-orang keparat itu harus mati di tanganku!" ujar Seta kemudian, setengah mendesis.

"Ya, kau memang harus membalaskan semua perbuatan biadab mereka, Seta" sahut Darpa buru-buru. Ia merasa dapat kesempatan baik untuk mengingatkan temannya itu.

"Tapi, ingatlah, agar berhasil melakukan itu kau harus dapat bersikap tenang. Kau tak akan mampu memenangkan pertarungan melawan para penjahat itu jika masih dikuasai amarah begini rupa."

Seta mengangguk membenarkan, meski wajahnya masih tampak tegang oleh amarah.

"Kau benar, Darpa. Aku akan coba tenangkan diri sepanjang perjalanan menuju ke sana," katanya setelah menghembuskan satu napas berat.

"Kau yakin tidak butuh bantuan? Aku dapat melaporkan kejadian ini pada Ki Bekel atau bahkan pada Ki Senopati agar kau dikawal sepasukan prajurit," tanya Darpa.

Yang ditanya pandangi Darpa sebentar, lalu gelengkan kepala.

"Sebaiknya jangan. Lelaki keparat bernama Ranajaya itu memintaku datang sendiri. Aku khawatir dia akan mengambil tindakan yang dapat membahayakan nyawa isteriku jika dilihatnya aku datang bersama pasukan Jenggala," katanya.

Darpa menghela napas panjang. Ini persoalan rumit. Entah apa yang telah disiapkan para penjahat itu di Gua Selogiri, tak ada yang tahu. Pada pikirnya akan lebih baik jika Seta dikawal. Namun ancaman Ranajaya tentunya juga tak boleh diabaikan begitu saja.

Sementara Darpa berpikir begitu, Seta sudah melompat naik ke atas punggung kuda.

"Aku berangkat sekarang, Darpa," ujar prajurit berkumis lebat itu.

Kedua tangan Seta menarik tali kekang untuk memutar arah hewan tunggangannya. Kuda tersebut meringkik kaget.

"Jika aku tidak kembali lagi ke Kotaraja besok, itu artinya aku sudah mati," tambah Seta lagi. Belum sempat Darpa menjawab, prajurit muda berkumis lebat itu sudah menggebah kudanya kencang-kencang.

Ucapan itu membuat Darpa tercekat. Tidak, tidak! Prajurit yang baru saja naik pangkat itu tidak boleh dibiarkan mati! Kerajaan Jenggala masih membutuhkan tenaganya.

Seketika itu pula Darpa merencanakan sesuatu.

***

Menjelang senja, Seta sudah memasuki Desa Lawadan(*) di kawasan Brang Kidul yang masuk ke dalam wilayah kekuasaan Panjalu. Gua Selogiri tidak terlalu jauh lagi dari sana.

Namun sejak melewati Lawadan medan perjalanan berubah menanjak dan berbatu-batu. Lalu rapatnya rimbunan daun pepohonan membuat sinar matahari tak leluasa menerangi permukaan tanah.

Seta terpaksa harus mengendalikan kudanya dengan sangat perlahan dan berhati-hati. Setelah menyusuri sepanjang punggungan satu pebukitan kapur, tibalah ia di muka gua yang ditandai dengan deretan beberapa obor tinggi.

"Hmmm, agaknya Ranajaya sengaja memberi tanda dengan jejeran obor itu, sehingga aku tak kesulitan menemukan gua yang dia maksudkan," ujar Seta pada dirinya sendiri.

Dengan tatapan tajam Seta edarkan pandangannya ke sekeliling. Sepi. Tak seorang pun terlihat di sekitaran mulut gua.

Sepasang telinganya lantas dipentang lebar-lebar, pendengarannya ditajamkan. Namun juga tak ada suara-suara mencurigakan yang tertangkap olehnya.

Seta lantas turun dari punggung kuda, lalu menambatkan hewan tersebut di sebatang pohon tak jauh dari mulut gua. Setelah mengambil sebatang obor yang berderet, prajurit Jenggala itu pun masuk ke dalam.

Suara ramai cericit kelelawar yang terkejut melihat cahaya menyambut kedatangan Seta. Semakin dalam ia masuk, semakin gelap suasana di sekelilingnya. Namun, nun di depan terlihat satu bagian yang terang benderang.

"Mereka pasti berada di sana," ujar Seta dalam hati.

Dengan sangat hati-hati sang prajurit menapaki batu-batu cadas yang tersusun sedemikian rupa menjadi lantai gua. Setapak demi setapak menuju ke arah bagian terang tersebut. Bertambah dekat ke sana, telinganya mulai mendengar suara-suara manusia. Semakin lama semakin jelas saja.

Ketika akhirnya dapat menangkap suara-suara itu dengan lebih jelas, wajah Seta berubah tegang. Itu suara seorang perempuan tengah merintih sambil menangis! Ditingkahi tawa bergelak memuakkan beberapa lelaki.

"Isteriku!" desis Seta dengan napas yang seketika berubah memburu. Rahangnya mengeras.

Tanpa sadar genggamannya pada batang obor jadi lebih kencang, sehingga kraaak! Bambu panjang itu hancur dan patah, sumbu apinya jatuh ke bawah.

Seta tak peduli. Dalam keremangan cahaya obor yang terjatuh di lantai gua ia percepat langkah. Setengah berlari prajurit tersebut menuju ke bagian terang yang tinggal beberapa langkah di muka.

Benar saja!

Begitu sampai di bagian yang ternyata sangat luas tersebut, sepasang mata Seta mendapati satu pemandangan keji. Tindakan yang membuat darahnya seketika mendidih, membuat napasnya semakin memburu kencang.

"Keparat!" teriak Seta.

Suara si prajurit menggema di dinding-dinding gua, mengagetkan tiga lelaki yang tengah mengerubuti seorang perempuan tanpa busana di atas permukaan datar sebuah batu besar. Tidak salah lagi, mereka adalah Ranajaya dan gerombolannya.

Sedangkan perempuan yang dalam keadaan telanjang, telentang di atas permukaan batu, adalah isteri Seta. Perempuan malang itu diculik dari rumahnya menjelang siang tadi. Bersamaan dengan kedatangan Ranajaya di kotaraja.

Belum hilang gema suara teriakannya, Seta sudah mencabut pedang dari pinggang lalu menyerbu ke depan. Dalam kedapnya gua, suara berkesiuran sabetan senjata tajam tersebut terdengar sangat jelas. Begitu menggidikkan di telinga.

Wuuuuttt!

Dua dari tiga lelaki tersebut bergerak menyambut serangan Seta. Di tangan mereka terhunus sebilah parang besar. Dua bilah parang itu langsung digerakkan ke muka, menghadang sambaran pedang lawan.

Traanggg!

Suara dentrang senjata menggema di dalam gua. Seta mengernyit kesakitan. Biar bagaimana pun, tenaga satu orang kalah dari dua orang sekaligus.

Namun prajurit Kerajaan Jenggala itu tak peduli. Dengan menahan rasa sakit ia kembali menyerang. Pedangnya sekali lagi disabetkan.

"Hiiiaaaaattt!"

Dua lelaki bercambang bauk saling pandang sembari menyeringai tipis. Keduanya sama-sama kembangkan kuda-kuda, lalu pelintangkan parang di tangan ke depan dada. Diam menunggu. Sama sekali tak ada tanda-tanda hendak menghindar maupun menangkis.

Hal ini membuat Seta curiga. Namun serangannya sudah kepalang tanggung, tak mungkin lagi ditarik balik. Lagipula tajamnya mata pedang sang prajurit tinggal sedikit lagi mengenai kulit lawan.

Sebuah keputusan salah!

)|(

Bab terkait

  • Bara Dendam di Perbatasan   6 - Dikeroyok

    Seta terlalu memusatkan perhatian pada dua lawan yang berada di hadapan. Akibatnya ia tak menyadari kemunculan dua sosok lain di dalam gua. Muncul di belakang punggungnya! Dengan licik, sosok-sosok yang baru muncul itu menyerang sang prajurit dari belakang."Pembokong keparat licik!" Seta menggeram marah. Ia baru menyadari adanya bokongan itu setelah merasakan angin serangan yang sudah sangat dekat. Terlambat!Buuukk! Buuukk!Dua tendangan keras mengantam punggung Seta, membuatnya terjengkang jauh ke depan.Tubuh Seta bergulingan sejauh beberapa langkah. Baru berhenti setelah punggungnya menghantam satu batu besar.Sang prajurit merasakan punggungnya yang terkena tendangan lawan sakit bukan main. Seolah dihantam dua balok kayu secara bersamaan. Sementara dadanya seketika menjadi sesak.Wajah Seta seketika mengernyit kesaki

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-10
  • Bara Dendam di Perbatasan   7 - Pertunjukan Maut

    Di tempatnya, Seta menduga-duga apa yang bakal dilakukan begundal-begundal tersebut. Tatapan matanya terarah pada sang isteri yang terbaring lemah. Tiba-tiba saja satu pikiran buruk terlintas di kepalanya."Oh, tidak!" seru Seta tanpa sadar. Kepalanya digeleng-gelengkan sekeras-keras mungkin, berusaha mengusir bayangan-bayangan buruk tersebut."Seta, aku harap kau senang dengan pertunjukan yang kami suguhkan ini," kata Ranajaya, membuat sang prajurit memusatkan perhatian ke depan.Lagi-lagi Ranajaya beri isyarat kepala pada salah satu anak buahnya. Yang diberi isyarat tertawa-tawa senang sembari usap-usap bagian pangkal pahanya.Gerakan tangan orang itu membuat Seta terkesiap. Bayangan-bayangan buruk tadi kembali muncul di kepalanya.Benar saja. Lelaki tersebut mendekati batu besar di mana isteri Seta berada. Begitu berada di tepian batu, enak saja tangan lelaki itu mengusap-usap

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-11
  • Bara Dendam di Perbatasan   8 - Amarah Seta

    MELEDAK sudah amarah Seta. Prajurit muda Jenggala ini tidak dapat menahan diri lagi. Mulutnya keluarkan suara menggeram dahsyat. Tubuhnya bergerak ke depan, menjauh dari batu tinggi tempatnya terikat. Kedua tangan dihentakkan kuat-kuat untuk memutus tali.Pada percobaan pertama usaha tersebut gagal. Seta justru merasakan bagian tubuh dan tangannya yang terikat sakit bukan main. Apalagi luka sabetan parang di dadanya yang masih belum kering. Rasa perihnya sungguh tak terkira.Akan tetapi sang prajurit tak mau ambil peduli. Hanya satu yang ada di kepalanya saat ini: menghabisi Ranajaya dan gerombolannya. Ia bahkan rela mati menyusul isterinya untuk itu."Heeeeeaaaa!"Seta kembali menggembor keras. Sekali lagi badan dan kedua tangannya digerakkan secara bersamaan. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan habis-habisan. Tali-temali yang mengikat sang prajurit seketika menegang, sampai akhirnya ....Taasss! Taasss

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-12
  • Bara Dendam di Perbatasan   9 - Dibuang

    Begitu asap dan debu luruh, suasana di dalam gua menjadi begitu hening. Seta berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Ia tak dapat menggerakkan sekujur tubuh sama sekali. Namun sepasang telinga sang prajurit masih dapat menangkap suara-suara, meski samar.Suara yang pertama didengarnya adalah langkah kaki seseorang mendekat. Itu Ranajaya yang menghampirinya sembari membawa dua batang obor. Lelaki bercambang bauk lebat tersebut hentikan langkah setengah depa dari tubuh Seta."Agaknya dia sudah mati, Kang," terdengar satu suara. Yang berkata anak buah Ranajaya yang masih hidup.Yang diajak bicara tak langsung menanggapi. Sepasang matanya masih terus mengamat-amati keadaan Seta baik-baik. Lalu dengan sebelah kakinya tubuh si prajurit ditendang hingga terbalik, menjadi telentang. Dalam penglihatannya tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali."Pukulan kami mendarat tepat di dadanya. Mustinya dia sudah mampus, atau

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-13
  • Bara Dendam di Perbatasan   10 - Teluk Lawa

    Matahari pagi nan hangat menyapa Teluk Lawa di pantai selatan Jawadwipa. Sinar lembutnya menerangi permukaan air laut yang berlomba-lomba ke tepian pantai.Suara ombak berdebur di pantai terdengar ramai. Buih putih yang bertumpuk-tumpuk tertinggal di atas pasir kehitaman nan memanjang.Sementara angin bertiup perlahan, menggoyang daun-daun panjang pohon cemara laut yang masih dihinggapi embun berkilauan. Di dahan-dahan yang lebih tinggi, beberapa ekor burung berkicau riuh sembari bergerak ke sana-sini."Oh, sungguh pagi yang begitu sempurna," desah seorang lelaki tua yang baru saja membuka matanya yang cekung.Sepasang pipi lelaki tua itu juga cekung, kalau tak mau dikatakan peot. Sedangkan mulutnya hampir-hampir tak terlihat, tertutup kumis dan janggut panjang yang telah memutih seluruhnya.Rambut panjang lelaki tua itu juga putih sempurna. Terlihat bagaikan tumpukan benang perak ditimpa sinar jingga m

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-14
  • Bara Dendam di Perbatasan   11 - Petapa Tua

    Yang terdengar hanya suara gemericik air aliran dua sungai yang bertemu pada percabangan tak jauh dari pondok. Diiringi nyanyian katak penghuni tepian sungai. Juga derik jangkrik yang bersembunyi di balik rerumputan lebat.Sesekali seruan burung puyuh gemak yang berat mendayu-dayu memenuhi udara. Sementara semilir angin darat yang bertiup ke arah lautan luas di mulut teluk membisikkan kedamaian dan ketenangan. Begitu melenakan.Segala macam suara alam itu masuk ke gendang telinga Seta. Awalnya hanya terdengar lamat-lamat bagai buaian di alam mimpi. Namun lambat laun semakin keras dan jelas. Sehingga kemudian mengembalikan kesadaran sang prajurit Kerajaan Jenggala."Oh, di manakah aku?" desisnya saat membuka kelopak mata.Yang pertama kali ditangkap sepasang bola mata Seta adalah sebuah langit-langit rendah. Batang-batang bambu tampak menyangga atap yang terbuat dari susunan ilalang kering. Lalu turun ke bawah, dilihatnya dinding anyaman bambu berwarna cok

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-15
  • Bara Dendam di Perbatasan   12 - Masa Penyembuhan

    Semenjak menemukan Seta di muara, si lelaki tua jadi punya kegiatan baru. Pada pagi hari begitu terang-terang tanah ia akan meninggalkan pondoknya di dekat percabangan sungai.Lelaki tua tersebut pergi ke hutan tak jauh dari pantai. Ia mencari aneka daun, akar, dan tetumbuhan obat lainnya. Utamanya daun dedalu atau gandarusa sebagai pereda nyeri, obat memar, sekaligus penurun panas.Lalu dua atau paling lama tiga kali penanakan nasi berselang lelaki tua tersebut sudah kembali lagi. Sesudah itu ia akan sibuk di bawah, di bagian terbuka di antara tiang-tiang pondok.Di sana, semua bahan obat-obatan yang didapat ia racik dan direbus. Ada juga yang sekedar ditumbuk halus. Ramuan obat yang sudah siap lantas ia bawa naik, untuk diborehkan ke bagian tubuh Seta yang terluka.Sehari sebanyak tiga kali si lelaki tua memborehkan ramuannya. Sementara praj

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-16
  • Bara Dendam di Perbatasan   13 - Masa Pemulihan

    Meski sudah makan kenyang-kenyang dan minus sepuas-puasnya, Seta masih membutuhkan waktu lama untuk sekedar dapat berdiri. Hanya terbaring selama empat belas hari, serta tanpa asupan makanan maupun minuman sedikit pun, tak heran bila tenaganya sangat lemah.Setelah perutnya terisi dan berulang kali berlatih serta mencoba, barulah selepas tengah hari Seta dapat berdiri tegak serta berjalan seperti semula. Lelaki tua yang menolongnya terlihat sangat gembira melihat itu."Pemulihan tubuhmu terhitung cepat, anak muda. Kau juga mempunyai ketahanan tubuh di atas rata-rata. Orang yang tidak sadarkan diri begitu lama biasanya berlanjut pada kematian," ujar si lelaki tua.Saat itu keduanya sedang berjalan ke arah selatan, menyusuri badan sungai yang bermuara ke Teluk Lawa. Desau angin menemani langkah mereka. Rambut kedua lelaki berbeda usia itu pun riap-riapan terhalau bayu."Kalaupun kemudian orang itu siuman dan dapat hidup lebih lama, tidak sedikit yang lantas

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-17

Bab terbaru

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 195

    Rombongan Permaisuri Jenggala akhirnya tiba di gerbang megah istana Panjalu menjelang senja. Suara genderang dan tiupan seruling mengiringi kedatangan mereka, sementara para pelayan istana dan prajurit berbaris rapi di halaman depan.Sri Prabu Kamesywara berdiri di tangga utama bersama Sasi Kirana dan puteranya yang masih kecil, Dyah Ardana. Wajah mereka berseri-seri menyambut kedatangan sang tamu agung.“Selamat datang di Panjalu, Ibunda Permaisuri,” Sri Prabu Kamesywara menyambut dengan suara lantang, langkahnya mantap menuruni tangga. Ia membungkuk hormat, diikuti Sasi Kirana yang tersenyum hangat.“Terima kasih, Ananda Prabu,” Permaisuri menjawab lembut, turun dari kereta kencana dengan bantuan mbok emban. Wajahnya sedikit letih, tetapi masih memancarkan wibawa yang anggun.Dyah Ardana berlari kecil menghampiri eyangnya, kedua tangannya terangkat tinggi memohon pelukan. Permaisuri menyambutnya dengan penuh kasih sayang, membela

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 194

    Kereta kencana bergerak mantap menyusuri jalanan berbatu, dikelilingi oleh pemandangan yang berganti-ganti dari hutan lebat, padang ilalang, hingga desa-desa kecil. Suara derap kaki kuda dari para pengawal dan gemerincing roda kereta mengiringi perjalanan panjang itu.Permaisuri duduk tenang di dalam kereta, ditemani mbok emban yang setia. Sementara Seta menunggang kuda di sisi kereta, matanya terus mengawasi sekitar, waspada terhadap kemungkinan bahaya.Di sepanjang perjalanan, mereka melewati beberapa perkampungan yang tampak sederhana. Penduduknya berhenti sejenak dari aktivitas mereka untuk memperhatikan rombongan kerajaan yang melintas.Beberapa anak kecil berlari ke tepi jalan, melambaikan tangan dengan riang, sementara para petani menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan.“Seta,” seorang perwira pengawal mendekati dari sisi kirinya. “Kita akan segera tiba di perbatasan Panjalu. Ada kemungkinan kita akan diperiksa di pos penja

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 193

    Seta melangkah pelan ke pelataran kecil di sisi istana, tempat Ki Sajiwa sering menghabiskan waktu malamnya. Cahaya bulan menerangi sosok tua yang sedang duduk bersila di atas tikar pandan, tampak tenang dengan udara malam yang lembut menyelimuti.Seta, meski langkahnya mantap, tak dapat menutupi raut bimbang yang tergurat di wajahnya.“Guru,” ucapnya pelan, memecah kesunyian malam. “Bolehkah aku meminta pendapat darimu?”Ki Sajiwa membuka matanya perlahan, tersenyum tipis, dan memberi isyarat agar muridnya duduk. “Bicaralah, Seta. Apa yang mengganjal pikiranmu saat ini?”Seta menarik napas panjang sebelum menjelaskan perintah Sri Prabu Girindra dan Permaisuri yang baru saja diterimanya. “Aku telah menerima tugas besar itu, Guru, mengawal Puteri Sasi Kirana dan puteranya di istana Panjalu.""Nah, bagus!" Ki Sajiwa menukas dengan raut muka senang. "Kau memang pantas mendapatkan kepercayaan ini, Seta.""Tapi, Guru, hati ini masih diselimuti bayang-bayang masa lalu. Kehidupanku serasa han

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 192

    Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 191

    Mentari pagi yang baru saja terbit menyinari tanah Jenggala dengan lembut, tetapi suasana di alun-alun kerajaan dipenuhi ketegangan. Sejumlah warga telah berkumpul, berbisik-bisik dan menunggu momen yang akan menjadi peringatan kelam dalam sejarah Jenggala.Di tengah kerumunan itu, Seta berdiri bersama Ki Sajiwa, keduanya diam membisu. Sorot mata Seta menunjukkan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelelahan yang mendalam.Tak jauh dari situ, rombongan prajurit yang dipimpin Rakryan Rangga tiba di gerbang penjara. Empat wira tamtama gagah berjaga di luar, dan begitu Rakryan Rangga muncul, mereka segera membuka jalan. Dengan langkah tegas, Rakryan Rangga masuk ke ruang tahanan.Dyah Wisesa sedang duduk bersila di lantai kerangkengnya, wajahnya tak lagi menyiratkan kesombongan, tetapi tatapannya masih penuh rasa penasaran. Ketika melihat Rakryan Rangga datang bersama pasukan kecilnya, ia berdiri perlahan dan tersenyum sinis.“Aku yakin kalian da

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 190

    Pagi itu, suasana balairung istana Jenggala dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara burung-burung pagi yang terdengar dari luar, menyusup melalui celah-celah dinding istana.Sri Prabu Girindra duduk di atas singgasananya dengan wajah yang tampak muram. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam lengan singgasana dengan erat, menahan gejolak emosi yang tak terlihat.Di hadapannya berdiri Dyah Daru dan Rakryan Rangga, dua sosok yang paling dipercaya untuk memberikan pandangan jernih dalam menghadapi persoalan pelik ini. Mereka berdua menunggu dengan hormat, membiarkan Sri Prabu menjadi yang pertama membuka pembicaraan.“Adikku Daru, Rakryan Rangga,” ujar Sri Prabu dengan nada berat. “Kalian tahu mengapa aku memanggil kalian kemari pagi ini.”Dyah Daru mengangguk pelan. “Hamba mengerti, Gusti Prabu,” jawabnya dengan penuh hormat.Rakryan Rangga hanya membungkukkan badan tanpa berani

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 189

    Suasana di penjara istana terasa mencekam. Dinding batu yang dingin dan bau lembap menyelubungi setiap sudut ruangan.Seta melangkah dengan kaki yang penuh tekad. Ia datang untuk menemui seorang tahanan yang kini terkurung dalam kerangkeng besi, di ujung penjara yang paling jauh.Dyah Wisesa, sang bangsawan yang dulu begitu dihormati, kini duduk di sudut kerangkeng, wajahnya tampak suram, penuh dengan keputusasaan. Ia tampak jauh lebih lemah dibandingkan ketika siang tadi dihadapkan pada Sri Prabu Girindra.Namun, meskipun penampilan Dyah Wisesa tak seperti dulu, kebencian yang ada di dalam dirinya masih tampak jelas, tersirat di balik matanya yang tajam.Setelah tiba di depan ruang tahanan di mana Dyah Wisesa dikurung, Seta tak membuang waktu. Ia mendekat, meletakkan tangan di atas jeruji penjara. Matanya menatap tajam ke arah Dyah Wisesa, bibirnya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.“Dyah Wisesa,” ujar Set

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 188

    Malam di Kotaraja Jenggala begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara angin yang menerpa pepohonan di taman istana.Di balkon kamar istana, Sri Prabu Girindra berdiri memandangi bulan yang menggantung di langit, sinarnya memantulkan warna perak pada segala sesuatu di bawahnya. Wajah sang raja tampak diliputi kekalutan, meski ia berdiri dengan tubuh tegap.Langkah lembut terdengar dari dalam kamar. Permaisuri, mengenakan kain sutra lembut dengan selendang melilit bahunya, melangkah menghampiri. Ia membawa ketenangan dalam setiap gerakannya, dan senyumnya yang hangat mengusir dinginnya malam.“Kakang Prabu, kenapa belum tidur?” tanyanya lembut sambil menyentuh lengan suaminya.Sri Prabu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku belum mengantuk, mana bisa tidur? Pikiran ini masih terlalu penuh untuk bisa terlelap ke alam impian.”Permaisuri menarik tangan Sri Prabu Girindra, menggenggam jari-jari suaminya itu dengan lembut.

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 187

    Mata keris Dyah Wisesa berkilat di bawah sinar matahari, meluncur cepat mengarah ke leher Seta. Namun, dengan ketenangan luar biasa, Seta memiringkan tubuhnya pada detik terakhir, membiarkan keris itu hanya mencium angin.Sambil menghindar, Seta sambil menangkap pergelangan tangan Dyah Wisesa dengan cengkeraman kuat, memutar tubuhnya, dan menggunakan momentum itu untuk melepaskan keris dari genggaman lawannya.“Kau terlalu lamban,” ujar Seta dingin, melemparkan keris itu jauh dari jangkauan Dyah Wisesa.Namun, Dyah Wisesa belum menyerah. Ia melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, setiap serangannya berusaha menembus pertahanan Seta.Yang tidak diketahui Dyah Wisesa, lawannya adalah seorang prajurit pilihan nan terlatih, dengan gerak tubuh yang terukur dan efisien. Belum lagi hasil gemblengan Ki Sajiwa di Teluk Lawa menambah kecepatan dan ketangkasan gerakan Seta.Maka, setiap serangan Dyah Wisesa tidak hanya gagal mengenai sasar

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status